Selasa, 21 Desember 2010

Program Pengurangan Risiko Bencana oleh Masyarakat (PRBOM) yang Berbasis Masyarakat

Negeri ini sepertinya tak pernah sepi dari bencana!
Kilas balik sepanjang perjalanan beberapa tahun terakhir di tanah air tercinta kita ini banyak diselimuti oleh awan kelabu. Kehidupan beberapa tahun terakhir ini terasa memilukan dan mengerikan. Cuaca ekstrem yang menggejala dan mengepung atmosfer Indonesia akibat kian masifnya proses pemanasan global, diduga memicu terjadinya berbagai bencana alam secara sporadis.

Beberapa bencana yang diakibatkan oleh cuaca ekstrem itu kian melengkapi “parade” multibencana di bumi pertiwi tercinta ini. Betapa tidak, di negeri yang berpenghuni 238 juta jiwa ini berbagai jenis bencana telah merambah empat ranah sumber kehidupan alam seisinya, yaitu air (tsunami/banjir), api (kebakaran dan gunung meletus), udara (puting beliung/petir) dan tanah (longsor/gempa bumi/ kekeringan berkepanjangan) seakan menjadi siklus bencana tahunan.

Masih jelas dalam ingatan, rentetan kejadian bencana alam yang banyak menyebabkan terjadinya korban jiwa dan kerugian harta benda, silih berganti dari satu provinsi ke provinsi lain, dari satu pulau ke pulau yang lain. Hal itu terjadi seolah tiada hentinya. Bagaikan efek domino, semuanya mampu membuat bulu kuduk merinding dan mengukir guratan kepiluan di wajah. Bencana di Indonesia, dimulai dari tragedi tsunami di Aceh dan Mentawai yang memakan korban tidak sedikit. Banjir bandang yang menerjang Wasior – Papua (148 tewas) dan Kabupaten Sinjai, Sul-Sel, gempa bumi dahsyat di Tasikmalaya serta Padang, tanah longsor di Cianjur, dan bencana akibat Gunung Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan korban lebih dari 31 orang tewas termasuk tokoh fenomenal Mbah Marijan – sang juru kunci Gunung Merapi, bahkan banjir bandang yang terjadi daerah Sul-Bar, Sul-Sel, dan di berbagai daerah yang kerap datang setiap musim hujan.
Ironisnya, terkait rentetan multibencana ini, pemerintah dan rakyat negeri ini selalu saja terkesiap, tergagap, bingung mau berbuat apa. Kita selalu tanpa persiapan dalam menghadapi hal yang tak terduga ini, karena faktor pengetahuan dan pemahaman akan bencana itu sendiri masih pemahaman yang “awam” saja, yang mulai berlaku dari masyarakat yang memang “awam” sampai ke para pengambil kebijakan. Biasanya bencana diketahui dan dipahami sebagai bentuk peringatan, ujian, bahkan hukuman yang harus diterima dengan ikhlas, sabar tabah, yang mengingatkan kita pada potongan syair lagu Ebit G Ade: “... mungkin Tuhan sudah mulai bosan melihat tingkah kita...”
Sikap menerima apa adanya saja (nrimo) lebih mendominasi dibandingkan usaha pencegahan dan evaluasi itu sendiri. Pandangan “karena itu sudah menjadi takdir atau suratan dari Ilahi” lebih mewarnai cara berpikir dibandingankan dengan upaya yang lebih kritis dan bermanfaat. Jarang terlintas sedikitpun pertanyaan mengapa ini terjadi, apakah dapat dihindari dan bagaimana caranya? Akibatnya, penanganannya lebih sering terlambat, karena upaya dilakukan secara konvensional, artinya bencana terjadi, barulah ditanggulangi. Dengan kata lain pendekatan lebih mengarah secara responsif. Padahal saat ini tengah terjadi pergeseran paradigma, yakni dari responsif menjadi preventif. Artinya, ada upaya pencegahan sebelum terjadinya bencana. Harus ada upaya kesiapsiagaan, pencegahan, hingga pengurangan risiko.

Menuju Paradigma Baru
Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Olehnya itu, sangat diperlukan pemikiran dan cara pandang baru guna mengubah semua, terutama mentransformasikan rangkaian pengalaman kebencanaan menjadi guru yang berharga. Hal itu dapat diawali dari persiapan peralatan untuk mendeteksi terjadinya bencana, seperti pada bencana tsunami dan gunung meletus, pembuatan jenis bangunan yang tahan terhadap bencana gempa, pengelolaan tata kota dan kesadaran masyarakat untuk menanggulangi bencana banjir ataupun pemeliharaan daerah hulu sungai dan pegunungan serta hutan untuk mencegah terjadinya tanah longsor.

Perlu paradigma baru manajemen bencana berbasis komunitas, yang dapat memberdayakan potensi masyarakat daerah rawan bencana dalam mengantisipasi bencana melalui kesiapsiagaan bencana. Sebagai lembaga sosial kemanusiaan, yang juga bergerak di bidang kebencanaan dan sebagai rasa tanggung jawab sosialnya saat ini Caritas Makassar sudah membentuk dua kelompok komunitas yang berada di Pulau Muna.

Merintis Karya PRBOM
Diawali dengan diundangnya Caritas Makassar oleh Karina KWI untuk mengikuti Pelatihan Fasilitator Penanggulangan Resiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM 1) di Ambon – Natsepa selama 6 hari pada tanggal 10-16 Desember 2009. Pelatihan ini diikuti oleh 39 peserta utusan masing-masing paroki di keuskupan Amboina ditambah dua peserta dari Makassar: penulis dan Pastor Noel Para’pak, sebagai pengamat sekaligus peserta, karena Caritas Makassar sendiri pada waktu itu sedang merencanakan untuk mengadakan pelatihan fasilitator PRBOM.
Dalam pelatihan ini, calon fasilitator mempelajari berbagai cara memfasilitasi proses KRBP (Kajian Resiko Bencana Partisipatif). Pelajaran itu juga dilengkapi dengan alat-alat bantu kajian pedesaan partisipatif, yang dipakai memfasilitasi proses kajian di tingkat akar rumput dengan cara yang sederhana. Selain itu praktek lapangan untuk memfasilitasi proses KRBP yang telah diberikan oleh tim fasilitator dari Karina KWI juga dilakukan.

Sebagai hasil pengamatan penulis setelah mengikuti pelatihan Penguatan Fasilitator PRBOM di Ambon, atas persetujuan dari Direktur Caritas Makassar Pastor Fredy Rante Taruk Pr, tim Caritas Makassar mengadakan Kegiatan PRBOM 1 di Labasa, Kabupaten Muna, Kevikepan Sultra pada 14–20 Mei 2010 yang bekerja sama dengan tim Karina KWI, yaitu Wisnu, Stella, dan Baskoro (Staf Karina Keuskupan Agung Semarang). Tim dari Caritas Makassar terdiri dari Pastor Noel, Debby dan penulis.

Peserta yang hadir tercatat 37 orang, meskipun semula direncanakan 30 peserta. Hal itu disebabkan oleh antusias para pastor paroki Kevikepan Sultra untuk mendukung peserta terlibat dalam kegiatan PRBOM. Para calon fasilitator diberikan materi konsep dasar dan istilah-istilah kebencanaan, formula PRB, metodologi proses PRBOM. Dalam pelatihan itu juga peserta mempelajari berbagai cara memfasilitasi proses Kajian Risiko Bencana Partisipatif, yang dilengkapi dengan alat-alat bantu kajian pedesaan partisipatif sederhana untuk digunakan memfasilitasi proses kajian di tengah masyarakat.

Para fasilitator diberi kesempatan melakukan praktek lapangan, memfasilitasi proses KRBP (Kajian Risiko Bencana Partisipatif) yang diadakan di dua tempat, yakni di desa Lakapera, kira-kira 1 km dari tempat pelatihan yang didampingi oleh Pastor Noel, Stella dan Dedy dan di Desa Kulidawa, 4 km dari tempat pelatihan yang didampingi oleh Pastor Linus Oge, Wisnu, dan penulis. Setelah melakukan praktek lapangan selanjutnya para fasilitator diberi kesempatan untuk belajar merefleksikan pengalaman mereka menjadi fasilitator, membuat laporan proses fasilitasi sebagai alat bantu untuk mendokumentasikan pengalaman mereka dengan anggota komunitas yang ditemui di lapangan. Di akhir pelatihan peserta diminta merencanakan proses fasilitasi PRBOM 1, yaitu masuk – melebur dengan masyarakat, melakukan Kajian Risiko Bencana Partisipatif dan inisiasi organisasi basis PRB komunitas.

Dari hasil pertemuan PRBOM 1 ini fasilitator Karina dan Caritas Makassar menetapkan dua dusun menjadi komunitas percontohan PRBOM, yakni dusun Perintis desa Lakapera dan dusun Makantona desa Kulidawa, yang sering dilanda kekeringan kemarau panjang. Di samping itu tim merekomendasikan tiga peserta yang akan jadi fasilitator lokal, yakni La Kaosi Simon, Lidia Wa Ambe dan Isodorus La Rianto, bersama Fasitator dari Makassar mengadakan serangkaian assessment, menyusun program pendampingan bagi fasilitator lokal dan 2 dusun dampingan, yang akan dimonitoring dan dievaluasi setiap bulan selama 5 bulan pertama. Dari proses tersebut diharapkan lahir inisiatif pengurangan risiko bencana dari komunitas yang mereka kelola. Mereka melakukan kajian, merancang, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi lalu mendokumentasikan.
Pada 23-27 Agustus 2010 Caritas makassar dan Karina mengadakan pertemuan PRBOM 2, yang dihadiri oleh dua orang dari Karina (Stella dan Yosef), tiga orang dari Caritas Makassar (Pastor Noel, P. Linus Oge dan penulis), tiga orang fasilitator lokal (La Kaosi Simon, Lidia dan Isodorus serta pastor paroki setempat). Tujuan pertemuan adalah membuat review terhadap kajian-kajian PRBOM 1, mengukur kekuatan sumber daya lokal, menentukan strategi atau langkah yang perlu diambil untuk mencegah risiko kekeringan dan membahas serta memantapkan kajian-kajian yang dilakukan.
Di hari terakhir fasilitator Caritas Makassar dan fasilitator lokal mengadakan pertemuan dengan masyarakat untuk memilih pengurus sementara organisasi masyarakat (OM) yang telah dibentuk. Saat itu terpilih sebagai ketua adalah Ananias, sekretaris adalah La Ance Paulus. Sedangkan pada pertengahan September warga desa Perintis memilih pengurus definitif Ananias sebagai ketua dan Yeremias sebagai sekretaris, sedangkan Bendahara dipegang oleh Paula. Sementara itu dusun Makantona pada 28 September 2010 mengadakan pemilihan pengurus definitif OM, dimana terpilih Leonardus sebagai ketua, Nilus Sonda sebagai sekretaris, dan Maria Mboki sebagai bendahara. Dengan terbentuknya pengurus OM di kedua dusun tersebut, maka mereka menjadi komunitas pendampingan Caritas Makassar.

Sebagai akhir tulisan penulis mengingatkan agar dapat mencegah banyaknya korban saat bencana datang, maka Program Pengurangan Risiko Bencana Oleh Masyarakat (PRBOM) haruslah sungguh-sungguh berbasis masyarakat setempat. Masyarakat (komunitas) yang terdampak harus mampu menilai, merencanakan, mengorganisasikan, mengkoordinasi, memimpin dan mengevaluasi kegiatan mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat berarti masyarakat benar-benar harus mampu melihat dan mencoba mengatasi masalahnya sendiri, dalam hal ini berkaitan dengan bencana.
Semoga project pilot PRBOM di Labasa dapat memberikan dampak positif bagi perubahan cara pandang dan pikir kita semua tentang arti Penanggulangan Risiko Bencana oleh masyarakat! Ketahanan akan bencana sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri.*** Penulis: Martina Ela, Relawan Caritas Makassar

Tidak ada komentar: