Minggu, 13 Desember 2009

Sebuah Renungan di Tahun Imam

PENGANTAR
Sebentar lagi kita akan kembali merayakan Berita Gembira NATAL yang disampaikan malaikat Tuhan: “Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk. 2:10-11). Seyogianya perayaan Natal tahun ini membawa makna khusus bagi kita para imam. Sebab ini adalah perayaan iman HUT kelahiran Yesus Kristus dalam ‘TAHUN IMAM’. Satu-satunya dasar keberadaan imamat dalam Gereja (Katolik) ialah Yesus Kristus. Bukankah imam disebut ‘alter Christus’, ‘Kristus yang lain’?

Paus Benediktus XVI mencanangkan “Tahun Imam dalam Rangka Peringatan 150 Tahun ‘Dies Natalis’ Seorang Imam Paroki dari Ars” melalui sebuah surat tertanggal Vatikan, 16 Juni 2009. ‘Tahun Imam’ ini dimulai pada Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, Jumat 19 Juni 2009, hari yang seturut tradisi dipersembahkan untuk doa bagi pengudusan kaum klerus, dan akan berakhir pada hari raya yang sama tahun 2010. Gema ‘Tahun Imam’ ini telah berkumandang di seluruh Gereja, dan di mana-mana mendapat tanggapan positif serta disambut hangat, tidak terkecuali di Indonesia. Di berbagai tempat oleh berbagai komunitas telah diadakan aneka bentuk kegiatan, seperti: retret imam, seminar dan penyegaran, rekoleksi, adorasi, doa untuk para imam, penerbitan buku, dsb. Di awal sambutan pencanangan ‘Tahun Imam’ tersebut di atas, Sri Paus menegaskan: “Tahun ini… dimaksudkan untuk memperdalam komitmen segenap imam pada pembaruan batin demi kesaksian Injil yang terlebih berhasil guna dan mengena di dunia pada masa kini”. Di bagian lain Sri Paus mengungkapkan tujuan ini dengan kata-kata, “dalam rangka menggalakkan usaha mencapai kesempurnaan spiritual dari para imam, di mana keefektifan pelayanan mereka bergantung”. Tulisan di bawah ini dimaksudkan sebagai sebuah upaya, betapa kecil pun, dalam mendukung tercapainya maksud tujuan ‘Tahun Imam’ tersebut.

JATI DIRI IMAM: ‘ALTER CHRISTUS’
Imam seringkali disebut ‘alter Christus’, ‘Kristus yang lain’. Apa artinya? Dengan sebutan itu tentu tidak dimaksudkan bahwa seorang imam menjadi se-hakekat (consubstantialis) dengan Kristus. Sebab Kristus adalah Imanuel, Allah-manusia, yang dalam Tritunggal Mahakudus se-hakekat dengan Bapa dan Roh Kudus. Sedangkan kita, sebagai imam, tetaplah manusia biasa. Yang dimaksudkan dengan sebutan itu ialah, bahwa sebagai imam kita mengambil bagian dalam tridharma pokok Kristus, yaitu (-di sini kita mengikuti urutan menurut Konsili Vatikan II, PO, 4-7 dan 13-): mewartakan Sabda Allah (nabi/guru), menguduskan umat Allah (imam), dan menggembalakan umat Allah (pastor). Ketiga tugas utama tersebut dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam tiga pertanyaan berurutan pada ritus penyelidikan di upacara tahbisan imamat kita.

Namun segera harus ditambahkan, bahwa sebutan ‘alter Christus’ itu tidak hanya mengandung makna fungsional belaka. Lebih dari itu! Hal ‘lebih’ itu kiranya lebih termaktub dalam sebutan lain ini: imam sebagai ‘configuratio Christi’ (keserupaan dengan Kristus). Sebutan ini digunakan antara lain dalam Anjuran Apostolik bagi pendidikan calon imam, Pastores Dabo Vobis, yang dikeluarkan Paus Yohannes Paulus II tahun 1992 (PDV,21). ‘Serupa’/’menyerupai’ berarti “dibentuk berdasarkan sebuah model”. Yesus Kristus memberi kepada kita sebagai imam sebuah model, pola, atau contoh untuk diikuti. Dengan daya guna tahbisan imamat, kehidupan kita ditandai, dibentuk, dan dicirikan oleh cara berpikir dan bertindak seperti Yesus Kristus (PDV,21). Jika jalan hidup kita sebagai imam akan ditandai, dibentuk, dan dicirikan dengan cara Yesus berpikir dan bertindak, maka kita tertuntut semakin mengenal Dia lebih dalam (lih. Strange, 2007:37).

Dan itulah yang dimaksudkan dengan pertanyaan ke-4 pada ritus penyelidikan dalam upacara tahbisan imamat kita. Setelah ke-3 pertanyaan menyangkut kesediaan menerima dan melaksanakan tri-tugas tersebut di atas, segera mengikut pertanyaan ke-4, sebagai berikut: “Kristus, Sang Imam Agung, telah mempersembahkan diri demi kita kepada Bapa. Bersediakah saudara dari hari ke hari semakin erat mempersatukan diri dengan Kristus, Tuhan, dan dengan demikian hidup untuk Allah demi keselamatan umat manusia?” Dalam teks Latin pertanyaan yang sangat padat ini dirumuskan hanya dalam satu kalimat. Di sini kita mengikuti terjemahan Pater Reiner Kaczynski, yang kiranya secara cermat mengungkapkan isi yang dimaksudkan (Kaczynski, 1994: 159-164). Bagian terakhir dari teks, “demi keselamatan umat manusia”, menegaskan tujuan dari tri-tugas yang diberikan dan disanggupi si calon tahbisan untuk selanjutnya dilaksanakan sebagai imam. Tetapi ini mempersyaratkan bahwa kita sebagai imam hidup hanya untuk Allah, seperti Yesus Kristus. Karena itu sebagai imam kita berkewajiban untuk “dari hari ke hari semakin erat mempersatukan diri dengan Kristus, Tuhan”, yang sebagai “Imam Agung telah mempersembahkan diri demi kita kepada Bapa”.

Dengan demikian, teks pertanyaan penyelidikan ke-4 pada upacara tahbisan imamat di atas menggemakan apa yang ditegaskan dalam Kitab Suci: “Ia (Yesus) memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil” (Mrk. 3:13-14). Yesuslah yang memanggil kita menjadi imam. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Tetapi Yesus tetap menghargai kebebasan kita. Kita menjawab positif panggilan-Nya, kita datang kepada-Nya. Ia “menetapkan 12 orang”, sebuah kelompok khusus, dalam kebersamaan, bukan sendiri-sendiri. Apa tujuan pembentukan kelompok khusus ini? Pertama-tama, “untuk menyertai Dia”. Apa persis maksud ungkapan ini? Berarti berada bersama Dia secara riil. Patut dicatat apa yang dikatakan oleh seorang hamba perempuan Imam Besar kepada Petrus ketika Yesus dihadapkan ke Mahkamah Agama Yahudi. Perempuan itu menuduh Petrus bukan dengan berkata, “Engkau juga murid Yesus”, melainkan “Engkau juga selalu bersama-sama dengan Yesus” (Mrk. 14:67). Jadi ciri khas dari orang-orang ini bukanlah bahwa mereka, terikat pada Yesus semata-mata secara intelektual, melainkan bahwa mereka selalu berada bersama dengan Dia secara fisik, secara nyata. Selanjutnya, tujuan kedua Yesus membentuk “kelompok 12” ialah “untuk diutus-Nya mewartakan Injil”. Tidak dikatakan bahwa “mereka bersama-sama dengan Dia dan mereka mewartakan Injil”. Adalah Dia yang mengutus mereka untuk mewartakan Injil. Dengan lain kata, dalam hubungan Yesus dengan orang-orang-Nya, inisiatif selalu berada pada pihak Yesus. Dan Injil yang harus diwartakan itu tiada lain dari Yesus Kristus sendiri, misteri Kerajaan Allah. Mereka selalu bersama Dia karena harus memberi kesaksian tentang Dia. Mereka tidak bersama-sama dengan Yesus karena mereka harus diberi instruksi dan kemudian diutus untuk meneruskannya kepada orang lain. Mereka bersama-sama dengan Yesus agar mengenal Dia secara akrab dalam satu persekutuan hidup, dan selanjutnya memberi kesaksian tentang Dia. Pentingnya “berada bersama Yesus” tidaklah terutama untuk meniru beberapa ucapan atau mengumpulkan sejumlah ungkapan Yesus, melainkan untuk mengidentifikasikan diri pada cara hidup-Nya, cara Dia bertindak, demi memberi kesaksian tentang Dia dengan cara yang sama. (Martini, 1980: 37-43 dan 1983:29-31).

Menjelang akhir hidup dan karya-Nya di depan umum, pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus menegaskan kepada Kelompok Duabelas itu: “Aku telah memberi teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu” (Yoh. 13:15). Tentu teladan yang dimaksudkan Yesus tidak hanya terbatas pada apa yang dibuat-Nya pada malam itu: membasuh kaki murid-murid-Nya. Teladan yang dimaksudkan-Nya menyangkut seluruh hidup dan karya-Nya, yang masih akan memuncak pada Jumat Agung di atas salib. Manakah ciri utama teladan hidup dan karya yang diberikan Yesus? Menurut Kardinal Carlo Maria MARTINI (1983:92-94) ada tiga ciri yang paling menonjol yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya:

Pertama, Yesus tampil dengan sikap hati lepas-bebas. Ia memiliki kebebasan penuh dalam hati, tidak melekatkan diri pada apa pun saja yang dapat menghalangi Dia dalam melaksanakan tugas perutusan-Nya: pendapatan, kepentingan pribadi, karier, kekuatiran-kekuatiran personal. Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala (Luk. 9:58). Di padang gurun Dia menolak godaan materiil, kekuasaan dan popularitas murahan (Luk. 4:1-13). Dia menolak dijadikan raja (Yoh. 6:15). Dengan keluarga-Nya pun Ia menjaga jarak (Mat. 12:46-50). Menjelang akhir hidup-Nya, Dia dengan kebebasan penuh menuju Yerusalem, walaupun Dia tahu di sana Dia akan ditangkap, disiksa dan dijatuhi hukuman mati di salib. Dan Yesus mengajarkan sikap hati lepas-bebas ini kepada para pengikut-Nya; mereka tidak perlu kuatir akan apa pun (Luk. 12:22-32). “Juallah segala milikmu dan berikanlah sedekah! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di surga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada (Luk. 12:33-34).

Kedua, Yesus memasrahkan diri seutuhnya kepada Allah, Bapa-Nya. Kedekatan Yesus dengan Bapa sudah mulai tampak ketika Ia masih remaja. Ketika pada umur 12 tahun Ia tertinggal di Bait Allah dan kemudian berhasil diketemukan di sana oleh orang tua-Nya, Ia berkata: “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49). Dalam hidup-Nya di depan umum, di tengah kesibukan-Nya yang luar biasa dalam mewartakan kerajaan Allah, pada malam hari atau pagi-pagi buta, demikian kita baca dalam Injil, Ia mengundurkan diri ke tempat sunyi di puncak bukit atau di bawah rerindang pohon-pohon zaitun, untuk apa? Untuk berdoa, berkomunikasi dengan Bapa. Ia menegaskan: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Di taman Getsemani, menjelang Dia ditangkap, Ia mengungkapkan kepasrahan total itu dalam bentuk doa: “Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk. 22:42). Dan sebelum menghembuskan nafas terakhir di atas salib, Ia berseru: “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Luk. 23:46). Dan Yesus mengajar murid-murid-Nya untuk mempercayakan secara penuh hidup mereka ke dalam tangan Bapa. Karena “bapa mana di antara kamu, jika anaknya minta ikan daripadanya, akan memberikannya ular?... Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di surga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Luk. 11:11.13). Dan lagi: “Karena itu Aku berkata kepadamu: janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai… Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu” (Luk. 12:22.30-31).

Sesungguhnya kedua ciri utama di atas mempunyai kaitan erat satu dengan yang lain. Untuk dapat memasrahkan diri seutuh-utuhnya kepada Bapa, Yesus harus lepas-bebas dari segala kelekatan lain. Selanjutnya, penyerahan diri secara total kepada Bapa itu bukanlah tanpa kesulitan. Itu menuntut pengorbanan dan pengingkaran diri. Dan itulah ciri utama ketiga: makna salib dalam hidup dan karya Yesus. Dalam Injil Lukas, tiga kali pemberitahuan tentang penderitaannya seakan membingkai bab 9 sampai 18. Yang pertama: “Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga” (Luk. 9:22). Yang kedua pada 9:44, dan ketiga pada 18:31. Dan di situ Yesus mengajar murid-murid-Nya agar siap sedia memikul salibnya: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku” (9:23).

Pada titik ini barangkali bergunalah mengutip kesaksian Pastor Roderick Strange, sebagai berikut: “Semua tampak sangat baik sampai saat kita ‘ditempatkan’ dalam sebuah ujian. Kita diutus untuk tugas perutusan yang baru yang tidak sesuai dengan rencana dan kemampuan kita. Terlebih lagi, peristiwa itu datang pada saat situasi batin kita tidak siap. Itupun masih ditambah dengan kemampuan kita yang terbatas… Keadaan sedang menguji kita. Ketika kepercayaan diri berkurang, kita menjadi tidak aman dan mudah kecewa. … Kita mungkin merasa terancam, berada dalam risiko. Tetapi, justru di sinilah kita menemukan salib, rasa sakit yang tidak dapat kita duga, penderitaan yang datang secara tiba-tiba. Dengan caranya sendiri, naluri kita akan bereaksi untuk menghindari risiko yang mungkin timbul”. Lalu kita harus menantang diri kita sendiri, “Apakah kita yakin bahwa ‘apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat” (1 Kor. 1:25.27)? … Jika saya selalu mencari ‘kesesuaian’ atau ‘rasa nikmat’ bagi diri saya sendiri, jika saya hanya bertindak sesuai dengan kemampuan saya serta menolak bekerja sama dengan keadaan yang tidak menguntungkan, pekerjaan yang saya lakukan hanya akan menjadi buah karya saya semata. Jika demikian, bagaimana kemuliaan Allah dapat terungkap dalam tindakan saya?” (Strange, 2007:83-85).

Dasar dari ketiga ciri pokok hidup dan karya Yesus tersebut di atas tiada lain dari KASIH sejati, tanpa syarat, tanpa batas. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Dan, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (15:12). Kasih sejati seperti inilah yang akan membawa terwujudnya Kerajaan Allah, di mana semua dijadikan anak-anak dari satu Bapa, dan karenanya satu sama lain menjadi saudari-saudara dalam satu keluarga dengan kesatuan sempurna, sebagaimana didoakan Yesus, Sang Imam Agung (Yoh. 17).

Setiap imam tentu sadar bahwa dia tidak pernah akan mampu menjadi ‘alter Christus’ yang sempurna. Tetapi justru karena itu, kita berkewajiban dari hari ke hari belajar lebih mengenal Kristus, dan semakin erat mempersatukan diri dengan-Nya, serta membiarkan Dia sendiri berkarya lewat kita, yang penuh keterbatasan dan kelemahan ini. Kiranya model tepat kita dalam hal ini ialah Paulus, yang menegaskan: “Jika aku lemah maka aku kuat” (2 Kor. 12:10), karena “bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku” (Gal. 2:20).

Santo Yohanes Maria Vianney, pelindung para imam, doakanlah kami!
Malino, 13 Desember 2009,
Hari Minggu Adven III,

+ John Liku-Ada’

DAFTAR BACAAN

IMAM Jantung Hati Yesus;
2009 Kumpulan Refleksi dari Berbagai Sudut Pandang tentang Imamat dan Pelayanan Imam, (Penerbit OBOR, Jakarta).

Kaczynski, Reiner
1994 “Seid Ihr bereit…?” Geistliche Vorträge zur Diakonen- und Priesterweihe, (Als Manuskript gedruckt, München).

Lepen, Rafael, SMM
2009 Santo Yohanes Maria Vianney; Pelindung Para Imam, (Penerbit OBOR, Jakarta).

Martini, Carlo Maria, SJ.
1980 L’Itinerario Spirituale dei Dodoci nel Vangelo di Marco, (Centrum Ignatianum Spiritualitatis, Roma).
1983 L’Evangelizzatore in San Luca; Meditazione del Cardinale Carlo Maria Martini, (Editrice Ancora, Milano).

Rahner, Karl
1979 Meditations on Priestly Life, (Sheed and Ward, London).

Strange, Roderick
2007 The Risk of Discipleship; Imamat Bukan Sekedar Selibat, (Penerbit Kanisius, Yogyakarta).

Tidak ada komentar: