Selasa, 18 Desember 2007

Ziarah Taize di Bumi Yogyakarta: Memilih Mencintai, Memilih Berpengharapan


Keluarga-keluarga, Gereja serta Komunitas-komunitas lintas denominasi kristiani di Yogyakarta menyambut dengan hangat para peziarah muda yang datang dari berbagai kota di Indonesia mengikuti acara Ziarah Iman di Bumi, 23-25 November 2007. Bruder Alois bersama dengan dua bruder dari Taizé, Prancis, ikut ambil bagian dalam pertemuan tersebut.

Kegiatan Taizé bertajuk “Ziarah Iman di Bumi Yogyakarta: Memilih Mencintai, Memilih Berpengharapan” merupakan pertemuan kaum muda dalam kerangka "Ziarah iman di bumi" yang diprakarsai oleh almarhum bruder Roger, pendiri Komunitas Taizé, Prancis. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mendukung kaum muda dalam pencarian mereka akan Tuhan dan komitmen mereka terhadap Gereja dan masyarakat. Menaruh kepercayaan dan kedamaian akan menjadi pusat bahasan dari pertemuan. Program acara meliputi doa bersama dan pertemuan dalam kelompok kecil. Para peserta (peziarah) selama kegiatan berlangsung menginap di keluarga-keluarga atau pun di jemaat/paguyuban/komunitas di Yogyakarta dan sekitarnya. Pada kunjungan tiga hari ke Yogyakarta, Bruder Alois Leser, pemimpin komunitas ekumenis Taize di Prancis, mendorong kaum muda Kristen guna mewujudkan persatuan umat Kristen.

"Mari kita melangkah menuju persatuan nyata umat Kristiani. Dengan cara ini, Injil akan sepenuhnya efektif dan Sabda Allah akan berbicara kepada semua orang di zaman sekarang," kata rahib Katolik asal Jerman itu kepada sekitar 500 kaum muda Katolik dan Protestan dari Indonesia dan Timor Leste pada hari pertama dari kunjungan 23-25 November itu.

Kaum muda itu menghadiri acara doa di aula seluas 800 meter persegi milik Universitas Sanata Dharma yang dikelola Serikat Yesus di Sleman, Yogyakarta. Mereka duduk di atas tikar di depan sebuah altar kecil dengan sebuah salib dan lilin bernyala di atasnya. Hadir pula Bruder Ghislain asal Belgia dan Bruder Francesco asal Indonesia.

"Janganlah kita takut akan masa depan... Allah menjadikan kita sebagai para pencipta bersama Dia. Dia memberi kita keberanian untuk memulai, bahkan ketika situasi tidak memungkinkan. Dia mengirim kita bersama kelemahan kita sebagai manusia untuk meneruskan, melalui hidup kita, sebuah misteri pengharapan," kata Bruder Alois, 53 tahun.


Indonesia merupakan perhentian terakhir dari tur Asia Bruder Alois sejak dipilih sebagai pemimpin komunitas Taize tahun 2005. Ia tiba pertama kali di Bangkok, dan kemudian pergi ke Hong Kong dan Seoul sebelum tiba di Yogyakarta. Dari sini ia pergi ke Kamboja. Bruder Alois menjelaskan bahwa ia dan para bruder Taize memutuskan untuk datang ke Indonesia karena keprihatinan kami bahwa negeri ini dilanda bencana alam seperti tsunami dan gempa bumi, dan situasi ini mempererat hubungan antara komunitas kami dan negeri ini."

Gempa mengguncang Yogyakarta dan Jawa Tengah pada pertengahan 2006 dan gempa yang berpusat di bawah permukaan laut yang menghasilkan tsunami menghancurkan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004.

Acara 23 November itu dimulai dengan sambutan pembukaan oleh Uskup Agung Semarang Mgr Ignatius Suharyo dan Bruder Alois, yang disusul dengan doa ala Taize selama satu jam. Doa ini biasanya mencakup lagu yang dinyanyikan berulang-ulang, meditasi, dan refleksi tentang ayat-ayat Injil seputar salib. Pencahayaan biasanya menggunakan lilin atau lampu redup.

Keesokan harinya, Bruder Alois memimpin refleksi spiritual dan doa. Hari terakhir, ia dan kedua bruder itu mengunjungi Candi Hati Kudus Tuhan Yesus di Ganjuran bersama beberapa peserta.

Bruder Francesco mengatakan bahwa tema acara doa itu, Ziarah Iman di Bumi, memiliki makna khusus bagi para bruder Taize karena mereka pergi dari satu negara ke negara lain sambil menebarkan benih-benih iman. "Kami hanya menebarkan benih melalui pertemuan doa dan kegiatan sosial kami," katanya, "dan biar kaum muda sendiri yang berupaya mengembangkannya." Seorang peserta, Margareth Aritonang, 25, mengatakan bahwa ia merasa doanya semakin mendalam dengan doa dan lagu ala Taize.

Uskup Agung Suharyo, dalam sambutan pembukaan, mengajak kaum muda untuk menjadikan acara itu sebagai kesempatan untuk bersatu dengan "mau melupakan diri sendiri sehingga hidup kalian semakin bisa dibagi-bagikan kepada orang lain."

Bruder Roger Schutz, yang berlatarbelakang Protestan, mendirikan komunitas Taize tahun 1940-an di Taize, sebuah desa di Prancis, untuk berkarya dan berdoa bagi perdamaian dunia. Saat ini, komunitas ini memiliki sekitar 100 anggota dari berbagai tradisi Kristen dan sekitar 30 negara. Para bruder bekerja untuk hidup dan tidak menerima sumbangan. Seorang wanita menikam Bruder Roger hingga tewas tahun 2005, di usia 90, dan kini Bruder Alois menggantikan pendiri itu. *** (toni: dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: