Selasa, 18 Desember 2007
Teladan Bunda Maria dan Globalisasi
Natal selalu mengingatkan pada kisah pasangan dari Nazareth, Yusuf dan Maria. Maria mengalami pengalaman mengejutkan ketika malaikat Gabriel mengatakan, “engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki”. Maria tidak begitu saja memahami kabar itu. Malaikat itu menjelaskan kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus” (Lukas 1:35). Maria tanpa banyak bertanya kemudian ia menjawab “terjadilah padaku menurut kehendakMu”.
Tugas yang dibebankan padanya oleh Malaikat Gabriel diterima Maria dengan kegembiraan dan juga tanda tanya besar dalam benaknya. Namun dengan didasari iman yang tulus pada Tuhan, Maria menjalankan tugas untuk kehidupan umat manusia selanjutnya. Maria percaya pada Tuhan. Maria menghormati anugerah hidup yang berasal dari Tuhan.
Penghormatan terhadap hidup manusia atau penghormatan terhadap kemanusiaan kemudian menjadi pokok ajaran Yesus Kristus dalam bentuk ajaran cinta kasih. Dalam konteks penghargaan terhadap kemanusiaan, apakah ketulusan Maria menjalankan tugas perutusannya digunakan untuk merefleksikan penghargaan terhadap kemanusiaan. Kemudian timbul pertanyaan mendasar, apakah dalam abad ke-21 atau sering disebut era global menjadi ajang untuk merefleksikan penghargaan terhadap kemanusiaan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, memang kemudian jawaban sederhananya dikembalikan kepada perilaku terhadap umat manusia. Namun apakah semua dikembalikan kepada perilaku umat manusia. Padahal kita tahu bahwa didunia ini ada instrumen yang mengelola perilaku dan mampu mengintervensi perilaku manusia yaitu pemerintah. Dalam bentuk yang lebih sistematis yaitu Negara. Lalu coba disimak lebih jauh lagi tentang kondisi bangsa kita. Bangsa kita sampai saat ini belum bisa terbebas dari berbagai masalah. Setiap hari masalah terus bertambah tanpa ada penyelesaian yang mendasar dari pemerintah. Penyelesaian yang terlihat merupakan penyelesaian simbolik dengan tidak menyentuh akar masalah.
Gereja Katolik dalam Sidang Agung Gereja Katolik 2005 merumuskan penyebab keterpurukan bangsa ini yaitu keretakan hidup berbangsa, formalisme agama, korupsi, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas/premanisme, penderitaan buruh, terpuruknya matra hidup seperti lingkungan hidup, pertanian, pendidikan, kesehatan dan kekerasan dalam hidup berbangsa (Hidup, 12/12/2005).
SUMBER KETERPURUKAN BANGSA?
Rumusan Sidang Agung Gereja Katolik 2005 memang merupakan masalah yang setiap saat terjadi di bangsa. Setiap saat tersaji dengan gamblang dalam kehidupan sehari kita, baik melalui pemberitaan di media massa ataupun yang kita rasakan secara langsung. Lalu apa sebenarnya yang menyebabkan semua itu terjadi. Keterpurukan bangsa ini memang tidak bisa lepas dari 32 tahun regim otoriter militeristik Orde Baru yang merusak segala sendi kehidupan rakyat. Pilihan ekonomi politik regim Orde Baru yaitu kapitalistik dengan ilusi ekonomi Pancasila kemudian membawa bangsa ini ke arah masalah yang sangat kompleks. Pilihan ekonomi kapitalis membuat Indonesia harus masuk dalam sebuah dunia ekonomi yang disebut neoliberalisme yang diwujudkan dengan istilah Globalisasi. Dalam era Globalisasi menurut Gereja Katolik dalam rumusan Habitus Baru ada tiga pilar utama dan penting dalam di bangsa ini yaitu Pengusaha, Penguasa dan Civil Society. Sayang bahwa dalam Habitus Baru tersebut Gereja Katolik tidak secara tegas membuat negasi terhadap Globalisasi (Neoliberalisme). Memang disebutkan bahwa Globalisasi mempunyai dampak negatif terhadap umat manusia, namun ketidaktegasan Gereja akan membuat ambigu umat. Dengan begitu globalisasi bukanlah sebuah hal yang perlu diwaspadai. Apalagi masih banyak pemahaman baik dikalangan Imam ataupun umat menyebutkan Globalisasi hanya melihat dari dampak saja, misalnya teknologi, konsumtifisme dan lain-lain. Tetapi tidak secara substansi disebutkan dampak Globalisasi dari sudut pandang yang lebih komprehensif dan mendasarnya misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya bangsa yang akan hilang jati dirinya.
Globalisasi dalam bentuk neoliberalisme atau perdagangan bebas dalam banyak hal tidak mampu memberikan solusi bagi rakyat Indonesia. Indikasi tersebut dapat terlihat karena:
1. Anti terhadap keadilan
Pilihan ekonomi kapitalistik pemerintah Indonesia, berdampak pada ketidakadilan penguasa terhadap rakyatnya sendiri. Di Indonesia ketidakadilan tersebut sangat nyata terlihat dari sikap pemerintah yang hanya berpihak pada pemilik modal asing. Bentuk keberpihakannya lebih mencabut subsidi BBM untuk kepentingan pemilik modal ketimbang untuk rakyatnya, lebih memilih menambah hutang ketimbang menolak hutang, memilih kebijakan investasi pihak asing ketimbang menguatkan industri nasional, menjual aset atau perusahaan asing ketimbang diberikan kepada rakyat. Tindakan tersebut dilakukan dengan logika ekonomi kapitilistik yang memang lebih berorientasi pada akumulasi modal pada beberapa orang saja. Dalam pemaknaan global, ketidakadilan tersebut dapat juga dilihat dari tingkat kesejahteraan negara-negara maju jauh lebih baik ketimbang negara-negara berkembang, bahkan dalam perjalanannya negara-negara maju malah melakukan penghisapan kekayaan alam untuk kepentingan negara mereka.
2. Meminimkan kesejahteraan sosial
Kampanye globalisasi adalah untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh muka bumi. Kesejahteraan tidak hanya menjadi milik negara-negara maju, tetapi juga milik negara berkembang atau terbelakang. Memang kesejahteraan meningkat, tetapi peningkatan kesejahteraan hanya berlaku bagi kelas masyarakat yang memiliki akses ekonomi dan kekuasaan yang besar. Kalau akses rakyat terhadap ekonomi dan kekuasaan minim maka tentunya bukan kesejahteraan yang didapatkan tetapi keterpurukan dan pemiskinan.
Ukuran yang paling nyata dari meminimkan kesejahteraan sosial, pemerintah atau penguasa dalam bidang ketenagakerjaan sangat sedikit aturan yang memihak pada buruh. Kalaupun ada aturan yang berpihak pada buruh maka sangatlah sulit untuk dipenuhi. Misalnya masalah hak-hak normatif saja buruh sangat sulit untuk mendapatkannya apalagi hak-hak lebih politis. Contoh paling anyar saat rencana kenaikan upah minimum dari tahun ke tahun akan didahului dengan aksi demonstrasi buruh agar upah minimum dapat meningkatkan kesejahteraan. Bahkan ketika pemerintah akan merevisi UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, kembali gelombang besar demonstrasi buruh menolaknya.
Petani sebagai kelas masyarakat mayoritas di Indonesia sampai saat ini belum memperoleh kesejahteraannya. Lahan pertanian yang seharusnya diperuntukkan kepada petani ternyata lebih diperuntukkan kepada pengusaha atau pemilik modal besar untuk membuka perkebunan. Akibatnya petani hanya bekerja diatas tanahnya sendiri. Kondisi ini hampir sama dengan sistem kultur stelsel (sistem tanam paksa) yang diterapkan oleh Kolonial Belanda. Menyempitnya lahan kelola petani ternyata diperparah lagi dengan harga pupuk yang makin mahal, tetapi tidak diikuti dengan kenaikan harga pangan utamanya beras/gabah. Apalagi BULOG membuat kebijakan impor beras, sebuah tindakan ironi bagi Indonesia yang merupakan negara agraris. Penguasa/pemerintah tidak berusaha meningkatkan kesejahteraan petani misalnya dengan mengembangkan teknologi pertanian yang murah dan membuat kebijakan distribusi hasil pangan yang berpihak petani.
Keluarnya Pepres No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum lebih memperparah kondisi agraria di Indonesia. Dalam aturan ini pemerintah memiliki kekuasaan penuh atas tanah. Dengan alasan kepentingan umum setiap orang mendiami tanah akan dapat digusur. Kondisi tersebut dapat kita lihat di hampir seluruh Indonesia, Pemerintah dengan Satuan Polisi Pamong Praja seringkali melakukan penggusuran. Penggusuran yang dilakukan sebuah tindakan ironi di tengah masyarakat yang terhimpit berbagai kesulitan hidup dan kesulitan ekonomi.
3. Ketidakadilan terhadap lingkungan hidup dan pertanian
Globalisasi menuntut eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Tuntutan ini ternyata berdampak pada ketidakadilan terhadap lingkungan hidup. Ketidakadilan terhadap lingkungan hidup dapat terlihat dengan meningkatnya polusi hampir berbagai wilayah Indonesia. Memang tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan produktifitas sebuah bangsa maka peningkatan industri harus digalakkan. Namun sayang kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produktifitas bangsa tidak dibarengi dengan pengelolaan lingkungan yang baik pula. Kasus-kasus penebangan hutan liar atau ilegal logging yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha kayu menunjukkan betapa eksploitasi alam atau hutan hanyak diperuntukkan untuk keuntungan segelintir orang. Sudah pasti ilegal logging akan merusak lingkungan dan merupakan penyebab utama banjir.
Dalam hal pertanian, revolusi hijau yang dimulai sekitar tahun 1970an merupakan awal dari keterpurukan petani di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia dan penggunaan bibit padi yang mengejar waktu tanam dan panen ternyata berdampak buruk pada hilangnya bibit lokal yang tahan akan hama dan hilangnya kearifan lokal yang menghargai proses penanaman padi sebagai bagian dari alam. Memang bangsa kita tidak ingin kembali ke zaman tradisional dalam hal pengelolaan pertanian. Rakyat membutuhkan pangan dengan cepat, tetapi akibat dari revolusi hijau ternyata malah menurunkan produktifitas tanah.
Penggunaan pupuk kimia selama puluhan tahun ternyata menurunkan kadar kesuburan tanah. Ibarat Pecandu Narkoba, tanaman tidak akan atau sulit tumbuh jika tidak menggunakan pupuk kimia.
LALU APA YANG HARUS DIBUAT DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI (NEOLIBERALISME)?
Gerakan terhadap anti Globalisasi telah dilakukan oleh bebagai masyarakat didunia ini. Berbagai forum dan pertemuan untuk menolak globalisasi telah dilakukan diberbagai negara. Di Indonesia gerakan menolak globalisasi juga berlangsung.
Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik atau Keuskupan Agung Makassar?
Gereja dalam konteks ini kita tidak diajak untuk menerima atau menolak globalisasi, namun ada beberapa hal yang penting untuk dikampanyekan atau disebarluaskan di tengah bangsa kita yang dirundung berbagai masalah. Hasil Sidang Agung Gereja Katolik cukup representatif tetapi kemudian sebaiknya dibuat dalam hal yang lebih konkrit.
Keuskupan Agung Makassar sebagai pintu Kawasan Timur Indonesia dan mercu suar perpolitikan dalam menghadapi globalisasi sebaiknya melakukan beberapa hal yang memang menjadi sebuah tindakan konkrit. Beberapa hal yang penting dilakukan ;
Pertama; proaktif dalam berbagai kondisi sosial yang menjadi concern Gereja Katolik. Misalnya keterlibatan aktif dalam masalah perburuhan, masalah petani, kampanye antikorupsi dan antikekerasan serta antidiskriminasi.
Kedua; membangun jaringan tidak hanya dalam makna dialog agama, tetapi lebih luas dari itu jaringan dan komunikasi yang lebih bermakna perjuangan untuk pembelaan kaum tertindas.
Semoga teladan Maria tidak hanya menjadi tumpukan tulisan, tetapi sebuah aksi nyata dalam kehidupan menggereja dan bernegara serta bisa menjadi awal perubahan bangsa Indonesia yang kita cintai bersama.***
Anselmus AR Masiku, SH
Praktisi Hukum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar