Minggu, 28 Juni 2009

Kerasulan dengan “Bahasa” Marketing

PENDAHULUAN
“Untuk menunaikan tugasnya, Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil” (GS, 4). Dengan kata-kata tegas ini, Konsili Vatikan II mengubah sikap resmi Gereja yang berlaku sampai saat itu, dalam hubungannya dengan dunia kontemporer yang mengalami perkembangan semakin cepat. Sejak abad ke-19 kemajuan industri dan ilmu pengetahuan saling menunjang dalam melahirkan revolusi teknologis, yang secara harafiah mengubah muka bumi kita. Sejalan dengan itu muncullah modernisme, sebuah gerakan yang bertujuan menyampaikan isi agama Kristiani dalam bentuk modern. Modernisme ingin melaksanakan dialog dengan filsafat, ilmu-ilmu eksakta dan kemasyarakatan modern, singkatnya suatu inkulturasi Gereja ke dalam masa baru. Tetapi gerakan ini sekian lama ditolak oleh (pimpinan) Gereja, karena dianggap membahayakan kemurnian iman Kristiani. Suatu penolakan yang ternyata harus dibayar mahal oleh Gereja sendiri. Gereja semakin terpinggirkan dan ditinggalkan manusia modern! Barulah dengan tampilnya Paus Yohannes XXIII datanglah pembaharuan besar (aggiornamento) dalam Gereja. Beliau menyerukan agar “pintu dan jendela-jendela Gereja dibuka lebar-lebar kepada dunia”. Beliau mengundang Konsili Vatikan II!

Namun hingga kini, setelah hampir setengah abad selesainya Konsili Vatikan II, masih saja terdengar banyak kritik bahwa Gereja lamban dalam menjalankan adaptasi di dalam karya kerasulannya. Bahkan ketika berbicara di depan SAGKI 2000, Dr. Eka Darmaputera menyebut gejala insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal yang sedang melanda Gereja. Maksudnya, ke dalam, umat semakin tidak menemukan makna Gereja dalam hidup mereka; dan keluar (di tengah masyarakat/dunia), Gereja semakin kehilangan relevansinya. Dan bukankah kita sering mendengar isyu banyak umat yang pindah Gereja, atau bahkan pindah agama?

Dalam konteks memprihatinkan dan mendesak seperti itulah rubrik “Dari Meja Uskup Agung” kali ini mengangkat tema dengan judul di atas. Mendahului rapat Dewan Imam KAMS, 5-7 Mei 2009 yang lalu, telah diadakan sebuah penelitian yang bertujuan memahami masalah aktual umat di wilayah Keuskupan Agung Makassar, khususnya dalam empat bidang ini: pendidikan, keluarga, sosial politik dan sosial ekonomi. Penelitian difasilitasi oleh “MarkPlus Insight”, Bpk. Hermawan Kartajaya dan Timnya. Hermawan Kartajaya disebut “seorang Marketing Guru dengan reputasi nasional, bahkan internasional” oleh Greg Soetomo, SJ (dlm Id., Marketing Hermawan Kartajaya on Church; Strategi dan Taktik Kerasulan di Zaman Ini, Penerbit OBOR, Jakarta, 2007:12). Buku Rm. Greg Soetomo ini merupakan adaptasi pemikiran strategis marketing dari H. Kartajaya, yang disebut “Sustainable Marketing Enterprise” (SME), “Perusahaan Marketing Berkelanjutan”, ke dalam konsep strategis dan taktis pelayanan di zaman ini. Adaptasi semacam ini menampilkan sebuah model Gereja, yang oleh Rm. Greg Soetomo disebut “Pilgrim Apostolic Church” (PAC), “Gereja Apostolik Peziarah”. Sebuah gagasan yang inspiratif, memberi pencerahan dalam kerasulan Gereja sesuai dengan tuntutan zaman.

Perlu diperhatikan dalam judul kita menulis “BAHASA” (dalam tanda kutip). Mengapa? Karena di sini kata “bahasa” tidak sekedar dimengerti dalam arti semantik atau harafiah, melainkan terlebih dalam arti antropologis dan kultural. Dalam arti yang terakhir ini “bahasa” mengandung unsur pola pikir, mentalitas, nilai, dst. (bdk. EN, 63). Oleh karena itu di sini pun tetap berlaku prinsip yang digariskan oleh Konsili Vatikan II, yaitu agar dicegah “semua bentuk sinkretisme (pencampuradukkan) dan partikularisme yang keliru” (AG, 22). Sebab kerasulan akan “menghadapi risiko kehilangan kekuatannya dan sekaligus lenyap apabila seseorang mengosongkan atau memalsukan isinya dengan dalih menerjemahkannya” (EN, 63).

1. TIGA TINGKATAN HUBUNGAN BISNIS DAN SPIRITUALITAS
1.1. Tahap Polarisasi
Tahap pertama ini memandang bisnis dan spiritualitas sebagai dua kutub yang berbeda, bahkan berlawanan. Orang benar-benar memisahkan antara urusan spiritual dan urusan bisnis. Kalau bisnis, ya bisnis. Spiritualitas tidak ada hubungannya dengan bisnis, jangan dicampuradukkan.

1.2. Tahap Keseimbangan
Pada tahap ini, orang menyisihkan sebagian keuntungan bisnisnya untuk kegiatan sosial. Bagaimana bisnis itu dijalankan, itu tidak ada hubungannya dengan kegiatan sosial itu. Yang penting seimbang antara kehidupan bisnis dan kegiatan sosial. Tokoh Al Pacino (Michaele Corleone) dalam film “Godfather”, dan tokoh Robin Hood, si pangeran pencuri, adalah dua contoh ekstrim yang berada pada tahap keseimbangan ini. Corleone digambarkan sebagai salah seorang mafia paling dihormati sekaligus ditakuti dan sangat kaya raya karena praktek bisnis ilegal dan menghalalkan segala cara. Ketika sudah semakin tua, sang “Don” mulai aktif dalam kegiatan sosial, menyumbang kepada Gereja melalui Michael Corleone Foundation dengan uang hasil bisnis ilegal. Mirip dengan Robin Hood, yang mencuri uang dari para bangsawan dan kemudian menyumbangkannya untuk rakyat kecil. Menjadi “jahat” di satu sisi dan menjadi “baik” di sisi lain.

1.3. Tahap Integrasi
Di sini bisnis dijalankan secara etis dan spiritual. Tidak ada suap-menyuap atau korupsi. Tidak ada juga penipuan kepada konsumen. Orang dapat melakukan bisnis dan menjadi spiritual sekaligus. Dengan lain kata, bisnis dan spiritualitas terintegrasi.

Tantangan bagi orang Kristiani adalah, bagaimana dapat mencapai tahap ketiga ini, serta mengintegrasikan bisnis dan Gereja dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu dapat terwujud jika orang mampu menerapkan prinsip-prinsip hidup Kristiani dalam menjalankan bisnis.

2. BISNIS DAN MARKET-ING: SME
2.1. Koreksi Pandangan yang Keliru mengenai Market-ing
Hermawan Kartajaya mengamati bahwa, bagi banyak orang Marketing (pemasaran) masih sering disalah-artikan. Beliau mendaftarkan tidak kurang dari sepuluh kekeliruan, dan sekaligus memberi koreksi, sebagai berikut:

Kekeliruan #1: Marketing sama dengan jualan, jualan sama dengan membujuk, membujuk sama dengan curang.
Pemasaran itu bukan sekedar penjualan (selling). Hakekat marketing ialah membuat pelanggan selalu berpikir tentang kita, jatuh cinta kepada kita. Sebelum jatuh cinta, tentunya kita harus membuat orang itu terlebih dahulu percaya kepada kita. Kepercayaan orang adalah fondasi dasar dalam berbisnis. Semakin orang percaya kepada kita, semakin mereka bersedia menyerahkan segalanya kepada kita. Dan supaya kepercayaan orang kepada kita berkelanjutan, maka unsur kecakapan, profesionalitas, dan khususnya integritas dan kejujuran harus tetap kita pelihara dan kembangkan.

Kekeliruan #2: Marketing sama dengan promosi, promosi sama dengan iklan, iklan sama dengan bualan.
Di era yang sudah sangat terbuka ini, perusahaan tidak dapat lagi membual kepada pelanggannya. Informasi produk atau servis pun tidak bisa lagi berjalan satu arah, semata hanya dari perusahaan ke pelanggan. Mereka dewasa ini sudah jauh lebih kritis, tidak akan menelan begitu saja apa yang diiklankan. Pelanggan akan lebih cenderung percaya pada informasi yang diceritakan sesama pelanggan lainnya, karena informasi ini relatif lebih jujur, apa adanya.

Kekeliruan #3: Marketing sama dengan multi-level, multi-level sama dengan motivasi, motivasi sama dengan memaksa.
Tidak semua Multi-Level Marketing (MLM) jelek. Namun ada persepsi di kalangan masyarakat bahwa orang MLM seringkali cuma mampu memaksa ketika jualan. Mereka lupa bahwa tidak semua konsumen sama dan dapat ditawari produk yang sama. Tenaga MLM seperti ini jelas tidak profesional, tidak memiliki strategi marketing. Marketing yang benar mengajar kita untuk mengerti para pelanggan satu demi satu dan menawarkan produk yang betul-betul diperlukan oleh mereka.

Kekeliruan #4: Marketing sama dengan perang harga, perang harga sama dengan diskon, diskon sama dengan membeli lebih banyak.
Seringkali untuk bersaing, perusahaan hanya menawarkan produk yang sama dengan harga lebih rendah. Lalu pesaingnya pun menurunkan harga. Akibatnya, persaingan hanya akan menjadi perang harga. Tetapi kalau itu terjadi, lama-kelamaan perusahaan-perusahaan akan mati. Karena dengan harga yang semakin rendah, penghasilan perusahaan akan semakin menurun, sampai tak akan mampu lagi menutup biaya yang dikeluarkan. Kecuali itu, kita mengajar pelanggan kita tidak loyal, mudah beralih ke lain hati karena harga yang lebih murah.

Kekeliruan #5: Marketing sama dengan kemasan, kemasan sama dengan menutupi-nutupi, menutup-nutupi sama dengan ilusi.
Marketing disalahartikan sebagai memberi nuansa konteks pada produk, sehingga sering dianggap sebagai kemasan yang menutup-nutupi kelemahan produk itu. Akibatnya, orang berpikir bahwa produk jelek pun dapat laku asal kemasannya bagus. Padahal inti dari Marketing adalah differensiasi, yang terdiri dari keunikan isi, konteks dan infrastruktur. Konteks, yang diantaranya termasuk kemasan, hanyalah salah satu bagian. Isi produk juga harus bagus, dan harus ada infrastruktur yang mendukung differensiasi itu.

Kekeliruan #6: Marketing sama dengan memberi nama, memberi nama sama dengan memberi logo, memberi logo sama dengan mendesain.
Marketing jangan dipahami sebagai sebuah proses yang berhenti pada pemberian nama, mendesain logo, dan pemasangan logo tersebut pada gedung kantor, produk atau alat komunikasi pemasaran perusahaan yang bersangkutan. Memang nama dan logo adalah elemen-elemen identitas yang penting dalam Marketing. Dan Marketing adalah tentang identitas yang jelas. Namun identitas yang jelas juga berarti adanya karakter dalam cara berinteraksi perusahaan yang bersangkutan dengan pihak lain, baik itu pelanggan, pemegang saham, pemasok, distributor, karyawan, dan bahkan juga pesaing. Nama dan logo hanyalah penggambaran dari karakter tersebut.

Kekeliruan #7: Marketing hanya untuk produk.
Marketing tidak hanya menjual produk. Ia juga menjual merek, layanan, ketersediaan barang di pasar, dll. Marketing juga bukan sebuah aktivitas yang dimiliki oleh perusahaan komersial yang jualan produk saja. Marketing dapat ditrapkan pada lingkup yang lebih luas. Sesungguhnya badan-badan non-komersial, seperti pemerintah, yayasan publik, sekolah, daerah, bahkan juga individu, perlu memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip pemasaran. Siapa pun dan organisasi mana pun, kalau mempunyai pesaing dan pelanggan, perlu Marketing.

Kekeliruan #8: Marketing hanya untuk pelanggan.
Jelaslah Marketing tidak hanya untuk pelanggan. Sesungguhnya, perusahaan mempunyai tiga stakeholders utama. Pertama, tentu saja pelanggan yang menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan perusahaan itu. Kedua, pemegang saham yang menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Dan ketiga, karyawan perusahaan itu sendiri. Karena itu, pasar bukan hanya pasar komersial atau pelanggan itu sendiri. Karena ada dua pasar lain yang tidak boleh dilupakan. Mereka tidak kalah pentingnya. Itulah capital market (pasal modal) di mana perusahaan bersaing mendapatkan modal, dan competency market (pasar tenaga kompeten) di mana perusahaan bersaing mendapatkan karyawan yang bermutu.

Kekeliruan #9: Marketing hanya sebuah departemen.
Marketing dari hakekatnya bukanlah nama sebuah departemen. Marketing atau pemasaran harus menjadi disiplin setiap orang dalam organisasi. Setiap orang dalam organisasi harus menjadi pemasar. Pemasaran harus menjadi “jiwa” setiap orang. Konsep pemasaran harus menjadi sebuah konsep bisnis strategis, sebagai sebuah “konsep payung” bagi setiap proses lintas-fungsional, sebagai sebuah “konsep direktif” bagi sang direktur, dan sebuah “konsep profit” bagi semua strakeholders.

Kekeliruan #10: Marketing hanya untuk perusahaan besar.
Perusahaan kecil justru harus lincah bergerak setiap saat. Mereka harus berpikir secara cerdik dan berani mengambil langkah-langkah yang berbeda dari kebiasaan umum agar tetap dapat bertahan. Karena itu, Marketing justru paling dibutuhkan untuk perusahaan kecil.

Bagaimana dengan perusahaan besar? Jika sudah menjadi perusahaan besar, tetaplah berpikir seperti perusahaan kecil. Itu akan mendorong perusahaan melakukan Marketing lebih lincah. Jika sudah menjadi nomor satu, tetaplah berpikir seperti nomor dua.

2.2. Model “Sustainable Market-ing Enterprise” (SME)
Menurut Hermawan Kartajaya kekeliruan-kekeliruan tersebut di atas membuat Marketing menjadi sesuatu yang jelek. Karenanya dia mencoba meredefinisi konsep Marketing itu sendiri melalui sebuah model, yang disebutnya “Sustainable Market-ing Enterprise” (SME), “Bisnis Pemasaran Berkeberlangsungan”. Model SME ini berlandaskan tiga karakter pokok, sebagai berikut:

Pertama, Marketing harus menjadi lebih dinamis, karena pasar berubah secara terus-menerus. Setiap bisnis harus dapat sukses dalam pasar yang terus berubah. Itulah sebabnya Market-ing, yang adalah kata kerja dan bukan kata benda (Marketing), sebaiknya diartikan sebagai “berurusan dengan pasar”(“dealing with market”).

Kedua, jika benar bahwa bisnis harus selalu berurusan dengan pasar yang terus berubah, maka marketing harus menjadi “jiwa” dari setiap model strategi bisnis. Dengan menempatkan model bisnis marketing sebagai disiplin bisnis strategis, bisnis tersebut akan mampu menjadi sebuah sustainable enterprise. Peter F. Drucker, godfather-nya ilmu manajemen, sering berkata, “Bisnis hanya mempunyai dua fungsi: marketing dan inovasi. Marketing dan inovasi menghasilkan nilai. Fungsi yang lain hanyalah biaya”.

Ketiga, sustainabilitas (keberlangsungan) itu sendiri adalah sebuah konsep yang dinamis, bukan statis. Sustainabilitas adalah elemen utama bisnis dalam pasar yang terus berubah. Karena itu, sebuah sustainable enterprise adalah suatu perusahaan (kecil maupun besar, konglomerat maupun bisnis perorangan, perusahaan publik maupun tertutup) yang dapat menyesuaikan diri dengan pasar yang terus berubah sebagai lingkungan bisnisnya.

Intinya, Market-ing adalah elemen terpenting bisnis. Business is Marketing plus others.

3. MARKET-ING DAN PERGERAKAN KERASULAN GEREJA
Rm. Greg Soetomo SJ, dalam bukunya yang sudah disebut di depan, mencoba membahas bagaimana Market-ing, khususnya model SME itu, dapat diterapkan dalam Gereja. Pantaslah buku tersebut dibaca dan didalami khususnya oleh para petugas kerasulan dalam Gereja. Di sini kita hanya menyajikan kerangka dasar dengan beberapa elemen pokok.

Berfungsinya model SME itu secara mendasar menyangkut pergerakan 4C, yaitu Company (Perusahaan), Customer (Pelanggan), Competitor (Pesaing) dan Change (Perubahan). Begitu kita membumikan perencanaan kerasulan Gereja, di hadapan kita langsung muncul pergerakan 4C tersebut. Pertama, “Company”, yaitu lembaga atau organisasi kerasulan yang sedang kita putar rodanya agar bergerak maju. Kedua, “Customer”, adalah orang yang hendak kita layani, atau orang-orang yang datang pada kita dan membutuhkan pelayanan kita.

Andaikata dalam kerasulan kita hanya ada C1 dan C2 tersebut, kita tidak mengalami banyak kesulitan. Akan tetapi, di tengah-tengah perjuangan “mewartakan kebaikan” terdapat C3, yaitu “Competitor”. Wujud pesaing itu tidak selalu berbentuk organisasi atau institusi. Competitor sangat sering menyelusup dalam sikap mental, dalam bentuk yang sifatnya kualitatif.

Dan lembaga kerasulan kita mengalami situasi yang lebih rumit ketika menghadapi C4 (Change). Perubahan di luar Gereja berlangsung sedemikian cepat, dengan arah yang tidak beraturan. Perubahan ini kerap tidak dapat diantisipasi, apalagi dikendalikan.

4. MODEL “GEREJA APOSTOLIK PEZIARAH”
Dengan mengetrapkan model SME itu ke dalam Gereja, akan menampilkan sebuah model khas Gereja, yang oleh Rm. Greg disebut “Pilgrim Apostolic Church” (PAC), “Gereja Apostolik Peziarah”:

4.1. Gereja (Church ~ Enterprise)
Gereja mirip dengan sebuah perusahaan, tetapi sekaligus memiliki kekhasan. Gereja, menurut Konsili Vatikan II, memiliki tiga dimensi: misteri-sakramen, berdialog dengan dunia, dan merupakan institusi. Meskipun dapat dibedakan, ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiga dimensi tersebut merupakan satu kesatuan yang menjadi landasan keberadaan Gereja.

4.1.1.Sakramen
Hakekat Gereja adalah misteri dan sakramen (LG,1). Ini berarti Allah adalah sumber dan dasar berdiri dan hidupnya Gereja.
Bagi kaum awam, konsep Gereja sebagai sakramen mungkin kedengaran asing. Kebanyakan umat hanya tahu “sakramen yang berjumlah 7”. Tujuh sakramen itu, yakni Pembaptisan, Penguatan (Krisma), Ekaristi, Tobat, Pengurapan Orang Sakit, Tahbisan dan Perkawinan. Tidak pernah mereka mendengar Gereja adalah sakramen. Untuk menjelaskannya, kita perlu memahami pengertian sakramen terlebih dahulu. Sakramen adalah tanda material yang memancarkan rahmat dan realitas rohani. Dari rumusan standar ini, menjadi nyata bahwa Gereja adalah sakramen. Bahkan dapat dikatakan bahwa ke-7 sakramen di atas merupakan perwujudan dari Gereja sebagai sakramen.

4.1.2. Berdialog dengan Dunia
Dua dokumen utama Konsili Vatikan II yang paling kuat dan saling melengkapi dalam menerangkan dialog Gereja dengan dunia modern adalah Gaudium et Spes (GS) dan Lumen Gentium (LG).

Pokok persoalan yang dibahas GS adalah “Gereja di dalam dunia dewasa ini”. Tema ini mengisyaratkan bahwa Gereja ingin memahami dan terlibat dalam setiap riuh-rendah dan carut-marut yang berlangsung di dunia. Lebih jauh, Gereja berjanji dan berusaha ikut memecahkan persoalan-persoalan zaman.

4.1.3. Institusi
Gereja yang “didirikan” Kristus, sebagaimana kita temukan dalam Kitab Suci, memiliki sejumlah model: Kerajaan Allah, Umat Allah, Tubuh Kristus, Bait Roh Kudus. Empat gambaran ini sangat berarti. Kita tidak dapat memahami Gereja secara utuh bila mengesampingkan unsur-unsur ilahi ini. Walaupun demikian, Gereja hadir di dunia, menjadi konkrit dan kasat mata, serta mewujud sebagai sebuah lembaga (GS, 89).

4.2. Apostolik (Apostolik ~ Marketing)
Ada tiga dasar untuk menerangkan karakter Gereja yang Apostolik. Pertama, Kristus mendirikan Gereja atas dasar para rasul (Ef. 2:20). Kedua, Gereja menjaga dan meneruskan ajaran kesaksian para rasul (Mat. 28:19-20). Ketiga, Gereja terus-menerus dibimbing dan disucikan oleh para rasul lewat para penggantinya.

Arti paling dasar dari “apostolik” adalah “merasul”. Acuan utama kita adalah para rasul. Mereka diutus oleh Tuhan sendiri, pertama kepada putra-putri Israel, dan selanjutnya kepada semua bangsa. Dengan memperoleh rahmat kekuatan dari Kristus, para rasul juga diutus untuk menjadikan segala bangsa murid-muridNya. Para rasul diutus untuk menggembalakan dan menyucikan mereka hingga akhir zaman (Mat. 28:20).

Karya para rasul masih diteruskan hingga sekarang oleh para uskup. Para uskup, dibimbing oleh Roh Kudus, berkarya dalam kolegialitas di bawah pimpinan Paus. Meskipun demikian, tugas apostolik, menurut Konsili Vatikan II, adalah tugas semua anggota Gereja. Kaum awam berperanan mengintensifkan tugas mereka yang ditahbiskan (uskup, imam) dalam mengantar orang kepada pengetahuan dan cinta akan Kristus.

Gereja yang apostolik adalah Gereja yang mendapatkan mandat dan misi. Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus merupakan asal sekaligus tugas dari perutusan ini. Misi ini didorong oleh cinta Allah sendiri. Dan sebagai agen utama dalam misi ini adalah Roh Kudus.

4.3. Peziarah (Pilgrim ~ Sustainable)
Gereja bukanlah Gereja yang sempurna. Gereja kita bukan Gereja “para kudus” yang imun dari kesalahan dan kekeliruan. Maka Gereja bukanlah realita yang tidak pernah membutuhkan pembaharuan terus-menerus. Dalam praktek hidup, seluruh umat dan institusi Gereja dengan rendah hati harus mengakui keterbatasan dan kelemahannya. Dalam hal ini Gereja perlu menyadari bahwa dirinya bergantung pada rahmat dan belas kasih Allah. Seluruh elemen Gereja hendaknya bersedia mendengarkan kehendak Allah dalam hidup mereka.

Gereja kita adalah Gereja yang berziarah. Gereja yang berziarah adalah Gereja yang mendengarkan bisikan dari luar. Dengan membuka jendela lebar-lebar, Gereja hendak membantu umatnya untuk bertumbuh dalam iman.

Demikianlah, panggilan Gereja adalah panggilan untuk belajar. Maka Gereja perlu membaca tanda-tanda zaman secara terus-menerus. Perubahan di luar selalu mendorong kita untuk memutar arah dan haluan dalam tiga unsur ini: (1) paradigma teologi (theological change), (2) praksis penggembalaan (pastoral change), dan (3) struktur institusi Gereja (institutional change).

Makassar, Awal Juni 2009
+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: