Minggu, 28 Juni 2009

Bunga Rampai Masalah Keluarga Katolik


Kiranya semua pasangan suami-isteri (pasutri) akan setuju bila saya mengatakan bahwa ”KELUARGA seharusnya menjadi SURGA bagi semua anggotanya, baik pasutri maupun anak-anak”.

Namun pasti ada yang bereaksi dan mengatakan: Wah, saya belum pernah melihat surga jadi bagaimana saya bisa tahu keadaan di situ. Dan ditambah lagi dengan kesadaranku bahwa keluargaku belum juga seratus persen seperti yang saya inginkan dan harapkan.

Justru di situlah kesempatan untuk merenungkan dan mengusahakan agar keluarga kita menjadi dapur kebahagiaan dan cinta. Yang sekaligus memberi kepada semua anggota keluarga gairah dan semangat untuk hidup dan bekerja dengan sungguh-sungguh dan dengan rasa tanggung jawab yang semakin besar. Dan tak lupa saya tekankan, dengan kerelaan untuk menomorduakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama sebagai satu kesatuan yang dilandasi cinta kasih.

Memang benar, kesempurnaan bukan dari dunia ini, yang berarti bahwa hidup keluarga pun tidak sempurna adanya dan mungkin dapat dikatakan belum seperti terlihat pada Keluarga Kudus di Nazareth. Bahkan keluarga di Nazareth akan hancur sebelum terbentuk apabila tidak ada bantuan dari atas (Tuhan, red.). Bukankah Santo Yoseph dengan diam-diam mau meninggalkan calon isterinya pada saat dia diberitahukan bahwa calon isterinya sudah hamil dan bahwa anak yang dkandung oleh calon isterinya itu bukan anaknya. Reaksi yang sangat manusiawi dan mudah dipahami bahkan sering terjadi dalam masyarakat kita.
Di situ pun kita bisa melihat dan menyadari arti cinta yang sesungguhnya. Tidak ada cinta tanpa pengorbanan.

Pasti semua akan setuju pula kalau saya katakan bahwa suatu perkawinan yang bahagia dan bertahan tidak tercipta dengan begitu saja dan tidak datang jatuh dari langit tanpa usaha keras dari suami-isteri sendiri dan dibantu oleh rahmat serta pendampingan Allah. Dalam bahasa Inggris dikatakan ”A Family that Prays Together, Stays Together” (keluarga yang berdoa bersama tetap akan bersama).

Ada pepatah yang mengatakan: ”Kota Roma tidak dibangun dalam satu hari, begitu juga suatu keluarga yang baik tidak dibangun dalam satu hari”. Kalau survei di beberapa Keuskupan di Jawa memperlihatkan bahwa sekitar 30% dari pernikahan katolik berakhir dengan perceraian, dan di Keuskupan Agung Makassar tidak akan jauh berbeda, maka timbul pertanyaan: MENGAPA? DI MANA PENYEBABNYA?

Terlalu gampang orang mengatakan bahwa media massa seperti koran, majalah-majalah, dan TV sering memainkan peran yang negatif dengan pemberitaan tentang hidup keluarga para selebritis yang nampaknya dengan gampang saja kawin-cerai. Namun hal itu sesungguhnya tidak boleh dijadikan alasan karena dua orang yang memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga, kan pasti atas dasar cinta yang diharapkan bertahan untuk seumur hidup, baik dalam untung maupun dalam malang. Suatu keputusan yang menuntut kedewasaan kedua belah pihak. Dan masing-masing seharusnya sudah memutuskan sendiri bahwa akan mencintai pasangannya untuk selamanya apa pun yang akan terjadi.

Di situlah mungkin terdapat sesuatu yang kurang. Mencintai kalau segalanya berjalan dengan baik dan lancar, tidak sulit, tetapi pada saat salah satu membiarkan kekecewaan memenuhi hatinya karena pasangannya tidak 100% memenuhi harapannya, maka tidak jarang terjadi bahwa tercipta jurang antara pasutri apabila tidak ditangani dengan baik.

Dalam keadaan yang demikian mutlak perlu adanya komunikasi dan dialog yang mendalam dan terbuka yang pasti mampu menjembatani jurang selebar apapun. Karena itu pula pembinaan calon suami-isteri harus berfokus pada komunikasi dalam cinta itu karena dengan pasti dapat dikatakan KOMUNIKASI YANG BAIK ANTARA SUAMI ISTERI = KELUARGA YANG BAIK.

Kesulitan yang timbul dalam hidup keluarga paling sering karena tidak ada keterbukaan dalam beberapa hal, yang dianggap tidak terlalu penting tetapi yang sesungguhnya sangat berpengaruh karena akan menimbulkan kecurigaan, dan kecurigaan itu adalah salah satu pembunuh cinta. Tidak mungkin orang saling mencintai apabila tidak ada kepercayaan satu terhadap yang lain. Satu bidang yang sangat rawan adalah bidang keuangan. Masih sering terjadi bahwa seorang calon isteri tidak mengetahui berapa gaji (pendapatan) calon suaminya sebelum menikah. Jadi kalau demikian, bagaimana bisa merencanakan bersama hidup berkeluarga nanti.

Hal yang lain adalah penampilan sehingga tetap menarik bagi pasangan. Seorang wanita harus tampil lebih menarik dan cantik setelah menikah daripada pada masa pacaran. Untuk itu tidak perlu hal-hal dan usaha yang luar biasa dan mahal-mahal. Pakai bedak sedikit dan mungkin lipstik sedikit, tidak perlu yang mahal buatan luar negeri, dalam negeri ada cukup yang bisa dijangkau setiap keluarga umpamanya merek Viva . Pokoknya yang penting sang isteri tampil cerah dan menarik saat suaminya pulang kerja.

Sesungguhnya semua yang dikatakan di atas telah diberi perhatian dalam Pembinaan Calon Suami-Isteri. Oleh karena itu diharapkan agar semua pasangan yang merencanakan mengikuti program pembinaan 7 kali itu, tanpa discount. Salah satu kesulitan yang sering dialami di Paroki-paroki adalah bahwa ada pasangan datang mendaftar untuk melangsungkan pernikahan tetapi tidak ada waktu untuk mengikuti secara penuh Pembinaan tersebut. Kiranya orangtua turut menyadarkan anak-anaknya akan pentingnya persiapan yang matang, karena dari persiapan itu akan banyak tergantung bagaimana kehidupan bersama nanti.

Sampai di sini sekadar ungkapan berdasarkan pengalaman dalam pembinaan calon suami-isteri dan Rekoleksi Pasutri yang oleh banyak pasangan sangat diharapkan namun sering tidak cukup mendapat perhatian di Paroki-paroki, seperti juga terungkap dalam Survei baru-baru ini.

Semoga bermanfaat.*** Penulis: P. A. van Rooy CICM

Tidak ada komentar: