Sabtu, 17 Desember 2011

“RISEN PRIEST”

Antara keingintahuan dan keheranan
              Rasa yang membuncah dalam diri beberapa rekan imam termasuk diriku tatkala membaca undangan mengikuti retret tahun ini adalah nama pembimbing yang tertera dalam undangan tersebut. Ini pastilah nama seorang perempuan yang nampaknya menarik dari ejaan katanya: Linda Wahyudi. Sontak ada tanya di hatiku tatkala membaca nama tersebut. Ada banyak pikiran bermain namun hal terdalam yang ada adalah “curiosity” rasa ingin tahu, mengapa retret kali ini dibawakan oleh seorang awam, ibu rumah tangga lagi. Apakah para pastor diajak untuk melihat perspektif lain dalam beriman atau mungkin mau diajak untuk menghayati kesederhanaan iman seorang ibu rumah tangga? Rasa ingin tahu inilah yang membuatku bersemangat mengikuti retret kali ini. Kebetulan gayung bersambut, aku ditunjuk untuk mengkoordinir retret gelombang kedua ini. Tatkala bertemu dengan ibu Linda pertama kali hanya terbetik sebuah impresi, “eehhhmmm, energik sekali…!”
Impresi ini justru mengundangku untuk makin merasa ingin tahu apa yang kiranya akan dibagikan oleh pembimbing retret. Aku bersyukur dikuasai oleh perasaan ini, bukankah Tuhan menghadirkan kebijaksanaan-Nya melalui siapa dan apa saja di dunia kita ini. “Aku ingin mendalami relasiku dengan Dia melalui ibu ini!” begitu celetuk hatiku saat hendak memulai retret.

Memberikan yang terbaik
Retret gelombang kedua dimulai dengan sebuah kegiatan yang unik namun menarik. Setiap pastor diminta membuat yel-yel yang mengekspresikan kecintaan mereka kepada panggilan imamat mereka. Yang menakjubkan pastor-pastor dalam gelombang kedua ini ternyata kreatif sekali mulai dari yang tua sampai yang muda sangat ekspresif. “Yel-yelnya pokoknya OK punya deh!” Begitu kata pembimbing saat itu. “Bagaimana pembimbingnya ndak kagum, semua pastor kan orang-orang pilihan dan terberkati, lihat saja semua pastor berusaha memberikan sisi entertainment terbaik yang mereka miliki!” Suasana rileks, riang namun tetap terkendali langsung terasa tatkala ekspresi yel-yel selesai dipresentasikan oleh pastor-pastor. Semua pastor juga nampak puas dengan tampilan yel-yel mereka.
Ajakan untuk memberikan yang terbaik dalam panggilan imamat juga disampaikan oleh pembimbing melalui cerita singkat tentang seorang penebang kayu. Para pastor diajak masuk ke dalam retret sebagai wadah untuk mengasah kapak hidup rohani mereka agar tetap tajam dan peka dalam pelayanan agar pemberian diri mereka sungguh-sungguh menghasilkan buah. Dengan cerdik pembimbing menuntun para pastor untuk memasrahkan dan memberikan diri total sebagai layaknya Habel yang mempersembahkan bagian terbaik dari hasil usahanya kepada Allah dan bukannya sebagian saja sebagaimana yang dilakukan Kain saudaranya kepada Allah (bdk. Kej 4:3-4). Dalam bahasa motivator yang kental, pembimbing membahasakan dengan tegas dan menarik. Baginya “derma adalah ungkapan kebaikan, korban adalah ungkapan kekristenan, sedangkan persembahan adalah kesaksian hidup imamat!” Sebuah pertanyaan retorik kemudian mengalir dalam diri semua imam saat itu, “Apakah aku telah memberikan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya?”

Ajakan bersukacita di tengah kegalauan
Retret hari kedua dimulai dengan sebuah kabar duka di pagi buta, P. Yulianus Liling telah berpulang kepada Bapa. Sontak suasana kelabu pagi itu dan hari-hari sesudahnya mewarnai retret. Ada kegalauan dan beberapa tanya mengemuka menanggapi situasi yang ada. Haruskah kami melanjutkan retret tersebut ataukah lebih baik kami balik ke Makassar untuk berbelasungkawa bersama dan mengungkapkan solidaritas kami sebagai sebuah kolegialitas. Pembimbing nampaknya dapat merasakan kegalauan hati para peserta retret dan dapat memaklumi situasi yang tiba-tiba berubah  tersebut. Dalam kegamangan tersebut sebuah keputusan rasional tercetus. Beberapa rekan kami yang mengikuti retret dipimpin oleh Sekretaris KAMS akan bertemu dengan beberapa rekan imam dan keluarga mendiang untuk memutuskan tindakan selanjutnya guna merawat almarhum.
Ini sebuah berita gembira karena keputusan yang diambil memperlihatkan kedewasaan para imam dalam memutuskan dan memilih. Pastor Yulianus pasti sangat mendukung bila relasi kami dengan Yesus makin akrab dan tentu dia sangat mengharapkan doa-doa kami yang khusyuk dan tulus. Retret ini adalah kesempatan bagi kami untuk makin mendalami relasi kami dengan-Nya dan mendoakan rekan kami tercinta P. Yulianus.
Setelah kegalauan teratasi kami melanjutkan retret dengan ajakan dari pembimbing untuk merayakan imamat yang kami terima dengan penuh sukacita. Aku mengamini ajakan tersebut bukankah kami yang dipilih oleh-Nya adalah manusia yang penuh dosa yang dianugerahi rahmat terbesar, imamat. Rahmat untuk menyalurkan kasih-Nya secara langsung kepada umat-Nya. Ketidaklayakan kami karena dosa dan kekurangan di satu sisi bertemu dengan rahmat dan kasih-Nya di sisi lain bukankah ini mukjizat terbesar. Kami, para pastor diajak untuk mengekspresikan sukacita atas keterpilihan kami tersebut. Kami diajak untuk mengejawantahkan keindahan keterpilihan tersebut dalam hidup kami. Sebagai manusia-manusia yang dilimpahi rahmat terbesar tersebut seharusnya hidup kami energik, penuh sukacita, selalu bergembira, optimis, positif dan terutama kreatif serta inspiratif bagi siapa saja yang bertemu dengan kami.
Dalam sejarah peradaban manusia tokoh-tokoh sukses yang mampu bertahan dan berkembang dalam hidupnya adalah manusia-manusia yang kreatif yang berani keluar dari textbook dan patron dunianya. Para pastor adalah pembawa rahmat kreativitas tersebut karena mendapat rahmat tersebut langsung dari “Sang Kreator”. Dalam perspektif pembimbing yang adalah seorang motivator, para pastor sebagai katalisator perubahan diajak untuk bertindak tepat. Tindakan tepat lahir dari keputusan yang tepat. Keputusan yang tepat hanya bisa diambil dari motivasi yang tepat. Maka akar dari perubahan adalah ketika seorang manusia diubah secara emosional untuk menjadi manusia yang termotivasi. Para imam dipanggil dalam situasi tersebut untuk menggugah emosi umat untuk melakukan perubahan. Pertanyaannya bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan dalam hidup seorang imam? Ada beberapa tips yang ditawarkan oleh pembimbing retret saat itu yang sungguh menarik, beberapa di antaranya dapat kita baca berikut ini…

Mengubah Pola Pikir
Seperti yang kita ketahui bersama secara global kesadaran pada otak manusia hanya 12% yang disadari sedangkan bagian terbesar yakni sekitar 88% berada di bawah sadar manusia. Ini pendapat dan kesimpulan Sigmund Freud dari abad lalu setelah penelitian panjangnya. Dengan kenyataan seperti ini kita dipanggil untuk meningkatkan daya kesadaran kita agar kita makin mampu untuk menyadari keberadaan kita dan dapat mengontrol sebagian besar kemampuan kita. Hal ini bertujuan agar kita menjadi tuan atas diri kita dan dapat dengan lebih baik bertanggungjawab atas segala tindakan kita. Ada empat tingkat perubahan yang perlu disasar oleh setiap manusia agar dia dapat menjalankan dan menguasai hidupnya yakni bergeser dari fase tidak sadar bahwa dia tidak mampu ke fase sadar bahwa dia tidak mampu kemudian ke fase sadar bahwa dia mampu dan akhirnya ke fase tidak sadar namun dia mampu melakukan sesuatu. Hal ini dapat dianalogikan seperti seseorang yang ingin menyetir mobil. Pada awalnya banyak orang yang tidak sadar bahwa dia tidak mampu menyetir mobil setelah diperhadapkan dengan realita menyetir mobil secara riil dia menjadi sadar bahwa dia tidak mampu menyetir mobil. Situasi ini membawa dia dengan sadar untuk belajar menyetir mobil dan pada tahap awal dia sadar akhirnya bahwa dia mampu menyetir mobil. Ketika menyetir mobil telah dikuasainya, dia dapat menyetir mobil tanpa harus memperhatikan hal-hal detail mengenai pemindahan perseneling karena menyetir mobil sudah menjadi “habit” (=kebiasaan) yang hidup dalam dirinya.

Mengarahkan Emosi
Kecenderungan manusia adalah mengikuti riak emosi yang berkembang dalam dirinya. Kalau lagi sedih maka segala sesuatunya akan dilihat suram dan menyedihkan sebaliknya kalau lagi gembira semuanya dilihat menyenangkan dan membahagiakan. Setiap manusia yang berhasil di bumi kita ini adalah manusia-manusia yang mampu mengatasi dan mengendalikan emosi mereka dan bukannya dikendalikan oleh emosi mereka. Salah satu cara untuk mengarahkan emosi adalah dengan bergerak,  bila kita lagi bersedih maka kita harus melakukan gerakan energik agar semua kelenjar dalam diri kita terstimulasi untuk menggaraikan kita. Bila kita lagi bersedih sebaiknya jangan mendengarkan lagu-lagu patah hati tetapi dengarkan lagu-lagu energik agar emosi kita terbangkitkan untuk keluar dari kumpulan emosi dan energi negatif tersebut. Sayangnya banyak manusia justru dengan praktek hidup yang salah malah memberi makan kepada emosi dan energi negatif mereka sehingga luput untuk merasakan kebahagiaan.

Switch Patron
Dalam hidup kita yang normal kita menyukai dan mengapresiasi keberhasilan dan berusaha menghindari bahkan mengutuki kegagalan. Itulah sebabnya kita mengapresiasi bila seseorang berhasil melakukan sesuatu tetapi mengacuhkan bahkan tidak memperhitungkan orang-orang yang gagal dalam hidup mereka. Banyak orang-orang yang gagal dalam hidup mereka justru makin terpuruk karena mereka dan juga lingkungannya membiarkan belenggu kegagalan menguasai mereka. Allah menciptakan kita baik adanya, bumi dan segala isinya baik adanya (bdk Kej 1:4.10.12.18.21.25.27) maka kelirulah kita bila lebih banyak memperhatikan kegagalan. Kita hanya dapat berhasil bila kita mulai menggali potensi yang dianugerahkan-Nya kepada kita, mengapresiasinya, mengembangkannya dan membagikannya sebagai berkat bagi dunia kita. Semua orang yang berhasil adalah orang-orang yang mampu mengatasi keterbatasan mereka dan menemukan potensi besar dalam diri mereka dan mengembangkannya guna menggapai sukses hidup.

Mengubah paradigma
Pembimbing menutup retret dengan satu sharing besar bila ingin berhasil para pastor diajak untuk mengubah paradigma pelayanan mereka. Dengan mengambil teks dari injil Lukas 5:1-11 yang mengisahkan panggilan para murid. Saat Yesus memanggil mereka, jala telah dirapikan karena mereka telah bekerja semalam-malaman. Mereka yang adalah nelayan-nelayan senior disuruh untuk kembali menebarkan jala mereka oleh seorang tukang kayu. Ada perlawanan dan protes tetapi mereka sadar butuh pembuktian untuk memperlihatkan bahwa asumsi mereka benar. Ketika mereka taat kepada Yesus mereka memperoleh hasil yang besar. Hasil yang besar hanya diperoleh ketika mereka bekerja lebih dan bahkan outstanding dari yang biasanya mereka lakukan. Dalam dunia kerja sekarang ini orang yang bekerja cukup akan mendapatkan hasil yang kurang, yang bekerja keras akan mendapatkan hasil yang cukup dan orang yang bekerja excellent akan mendapat hasil yang bagus dan orang yang bekerja outstanding akan mendapatkan hasil yang melimpah. Ciri orang yang bekerja cukup adalah orang yang bekerja tanpa target, seadanya tanpa program dan parameter untuk mengukur tingkat keberhasilannya. Ciri orang yang bekerja keras adalah orang yang selalu bekerja lembur, memberikan tenaga dan waktu lebih, membanting tulang dengan membuat banyak kegiatan, sibuk, tidak pernah mengatakan tidak untuk pelayanan dan di akhir hari selalu merasa capek. Ciri orang yang bekerja excellent adalah orang yang bekerja dengan arah, punya target dengan schedule yang jelas, manajemen yang jelas dan perencanaan yang profesional. Terakhir ciri orang yang bekerja outstanding adalah orang yang bekerja lebih dari yang orang lain lakukan dan melakukan sesuatu karena melihat nilai lebih dari yang orang lain lihat dan hayati. Contoh dari orang yang bekerja outstanding ada dalam diri Tuan Lim seorang tukang engsel dari Singapura yang bekerja melayani dan memperbaiki engsel hotel-hotel pencakar langit di Singapura hingga hari tuanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya akan kerjanya yang itu-itu saja dan cenderung membosankan dengan tangkas dia menjawab, “aku melakukan ini dan masih melakukan ini bukan untuk memperbaiki engsel-engsel pintu dan jendela saja tetapi untuk menyelamatkan manusia. Para pastor adalah perpanjangan tangan Yesus untuk membawa keselamatan-Nya kepada semua manusia bukan hanya “tukang sakramen” apalagi bila cuma “tukang misa”!

Impresi akhir
Ada kehangatan yang dalam ketika kami berjalan pulang setelah retret. Kami, para pastor, sepakat ada begitu banyak hal yang sebenarnya telah kami ketahui tetapi dengan bahasa seorang motivator kami lebih bersemangat lagi mengungkapkan diri sebagai imam. Tak ada kata lain selain “SYUKUR”, kami dianugerahi waktu yang sangat berharga ini untuk menyadari sekali lagi bahwa kami menerima anugerah teragung dari-Nya, IMAMAT.
Hidup Pastor, selamanya “bikin hidup lebih hidup!” *** Penulis: P. Stephanus Chandra Pr.

Tidak ada komentar: