Senin, 30 Juni 2008

Perjumpaan Injil dan Budaya: Inkulturasi Iman


Redaksi KOINONIA kita meminta saya mengisi rubrik “Dari Meja Uskup Agung” kali ini dengan judul di atas. Ini, demikian alasan yang dikemukakan, dimaksudkan untuk ‘mengantar’ para imam dan umat memasuki Munas IX UNIO Indonesia. Munas IX paguyuban yang mempersatukan dalam persaudaraan para imam diosesan seluruh Indonesia ini adalah Munas pertama yang diadakan di luar Jawa-Bali. Keuskupan Agung Makassar mendapat kehormatan terpilih sebagai tempat penyelenggaraan, dan akan berlangsung di Makassar dan Tana Toraja, 4-10 Agustus 2008 y.a.d. Tema yang dipilih ialah “Menemukan Benih-Benih Sabda di Tana Toraja”. Berdasarkan tugas perutusannya imam diosesan berada di garis depan, hidup dan berkarya di tengah umat dan masyarakat pada umumnya. Karena itu mereka harus dapat hidup dan berkarya dalam kebudayaan setempat. Demikianlah maka salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui Munas ini ialah “Merumuskan pengembangan misi imam diosesan dalam konteks budaya”. Dan konteks budaya Toraja dipilih sebagai sample. Ini menyangkut apa yang dewasa ini lazim disebut inkulturasi. Intinya adalah bagaimana menghayati dan mengungkapkan iman dalam budaya setempat, tentu saja dimaksudkan budaya yang hidup. Karena itu ada yang lebih suka menggunakan istilah kontekstualisasi (iman).

Mengenai tema inkulturasi itu, sesungguhnya Gereja lokal Keuskupan Agung kita telah pernah memiliki pedoman dasar. Pedoman Umun Pelayanan Keuskupan Agung Ujung Pandang (disingkat: PUP-KAUP), hasil Pertemuan Pleno Imam-Imam 1989, memuat antara lain visi dasar, tugas pokok (“misi”) yang disusun menurut urutan prioritas. Adapun visi Gereja lokal KAUP menurut PUP-KAUP ialah “terwujudnya Gereja lokal KAUP sebagai sakramen keselamatan total dalam Kristus”. Selanjutnya, terdapat 4 tugas pokok yang disusun menurut prioritas: (1) Membangun Gereja yang sungguh-sungguh lokal; (2) Berpartisipasi dalam membangun dunia/masyarakat yang lebih baik; (3) Penginjilan (dalam arti sempit); (4) Memajukan hubungan dengan umat Gereja/Agama lain. Bidang pelayanan prioritas pertama (Membangun Gereja yang sungguh-sungguh lokal) terdiri dari 5 bab, di mana bab ke-4 berjudul “Inkulturasi”. Setelah membaca kembali bab ke-4 itu, saya berpendapat apa yang dirumuskan di sana sangat memadai sebagai jawaban terhadap permintaan Redaksi KOINONIA tersebut di atas. Maka daripada menulis baru, di bawah ini saya akan menyajikan apa yang telah dirumuskan dalam PUP-KAUP itu, yang sebenarnya secara formal berlaku sampai 1 Januari 2000, ketika Ardas (arah dasar, red.) hasil Sinode Diosesan 1999 mulai resmi diberlakukan. (Sangat kebetulan pula bahwa pada pergantian tahun, 31 Desember 1999 ke 1 Januari 2000, ditandai dengan dikembalikannya nama “Makassar” menggantikan “Ujung Pandang”). Namun, sesuai dengan judul tulisan ini, hanya akan dikutip 8 nomor pertama dari 13 nomor dalam bab ke-4 tentang Inkulturasi itu. Lima nomor terakhir (no. 9-13) bicara mengenai langkah-langkah kongkrit yang perlu diambil.

Inkulturasi Iman Kristiani
Sebelum menyajikan apa yang dirumuskan dalam PUP-KAUP tentang inkulturasi, baiklah diberikan keterangan pengantar ini: Secara sangat singkat padat dalam no. 1 diberikan landasan teologis-doktriner (Magisterium), juga dengan merujuk pada dasar biblis, untuk inkulturasi. Apa itu inkulturasi? Pertanyaan ini dijawab dalam no. 2, yang memberikan pengertian inkulturasi secara komprehensif. Inkulturasi sesungguhnya adalah suatu proses integrasi pengalaman iman sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat, yang berujung pada terciptanya sebuah “Communio” baru, yang sekaligus memperkaya Gereja semesta. No. 3 kembali mempertegas landasan teologis-doktriner dalam no. 1, sambil menarik kesimpulan menyangkut pola hubungan hakiki antara tradisi budaya/keagamaan setempat dan Injil, berupa persiapan-pemenuhan. Selanjutnya, sebagai suatu proses, dalam inkulturasi dapat diperbedakan 3 tahap utama, yaitu: terjemahan, asimilasi dan transformasi. Inilah yang diterangkan dalam no. 4. Lalu no. 5 menggambarkan hasil akhir dari proses inkulturasi, yaitu terbentuknya sebuah komunitas Kristiani baru dalam pelbagai dimensi dasar kehidupan iman.

Dalam proses inkulturasi, tahap kedua (asimilasi) merupakan tahap yang kritis. Pada tahap ini Gereja semakin mengadaptasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Di sini tertuntut sikap hati-hati, agar dicegah “semua bentuk sinkretisme dan partikularisme palsu” (AG, 22). Karena itu dibutuhkan suatu pedoman umum dan praktis. Itulah yang dikemukakan dalam no. 6. Pedoman praktis tersebut memprasyaratkan diadakannya studi antropologis dan sosiologis setempat (no. 7), yang dibarengi pula dengan penelaahan teologis (no. 8).

1. Sejak permulaan, Gereja secara resmi mengambil sikap positif terhadap masalah inkulturasi1). Konsili Vatikan II bahkan mengetengahkan tema inkulturasi sebagai suatu tugas bagi Gereja2). Dalam surat Ajakan Apostolik Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI secara tegas kembali lagi menekankan mandat ini3).

2. Inkulturasi di sini dimengerti secara utuh sebagai pengintegrasian pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat, sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan “communio” baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai sesuatu yang memperkaya Gereja universal.

3. Usaha inkulturasi ini ditopang oleh ajaran bahwa “benih-benih sabda” telah ada dan bertumbuh dengan penuh misteri dalam nilai-nilai budaya dan keagamaan setempat4), dan yang benar-benar dapat melandaskan suatu “persiapan untuk Injil”5). Dengan demikian antara tradisi-tradisi budaya dan keagamaan setempat dengan Injil/Kekristenan, terdapat secara hakiki suatu pola hubungan persiapan-pemenuhan.

4. Kegiatan inkulturasi merupakan suatu proses menuju integrasi yang, sebagaimana nyata dari pengertian di atas (no. 2), terjadi pada dua segi, yaitu: integrasi iman dan hidup Kristiani ke dalam suatu kebudayaan tertentu, dan integrasi suatu ekspresi baru pengalaman Kristiani ke dalam hidup Gereja universal. Dalam proses menuju integrasi ini dapat diperbedakan tiga tahap utama, yaitu: tahap terjemahan, tahap asimilasi, dan tahap transformasi. Dengan tahap terjemahan dimaksudkan tahap permulaan, di mana Gereja berkontak dengan suatu kebudayaan baru sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani yang sudah terdapat dalam wujud kebudayaan lain. Pesan dan hidup Kristiani itu diterjemahkan ke dalam bahasa setempat, dengan adaptasi terbatas di sana-sini. Pada tahap selanjutnya berlangsunglah proses asimilasi. Di sini Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Apabila proses ini berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru terhadap kebudayaan bersangkutan. Inilah tahap ketiga, tahap transformasi.

5. Pada tahap ketiga ini kita akan menemukan terbentuknya suatu Komunitas Kristiani baru; sebuah “communio” yang memiliki kekhasan dinamis, terus-menerus berkembang, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi atau ibadat), melainkan juga pada bidang refleksi iman (yi. teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (yi. spiritualitas).

6. Proses asimilasi dalam usaha inkulturasi menuju terbentuknya “communio” baru itu haruslah dijalankan sedemikian rupa, agar dicegah “semua bentuk sinkretisme dan partikularisme palsu” (AG a. 22)6). Untuk itu hendaklah diperhatikan pedoman umum dan praktis berikut: “Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi, perlulah (a) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (b) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (c) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani”7).

7. Dalam rangka itulah maka perlu diadakan penelaahan antropologis dan sosiologis yang lebih mendalam, dalam kerja sama yang erat, khususnya dengan tokoh-tokoh adat setempat. Nilai-nilai pokok budaya setempat, seperti ritme hidup berazaskan musyawarah-mufakat-gotongroyong, hidup kemasyarakatan yang ditandai oleh semangat keagamaan, kesatuan kosmis dan kekeluargaan yang kuat, hendaknya menjadi obyek penelitian dalam Keuskupan. Hendaknya diteliti pula seberapa jauh nilai-nilai dasar asli itu masih menjiwai hidup masyarakat sekarang ini, dan bagaimana melestarikannya dan membuatnya tetap relevan di tengah-tengah arus perubahan dan perkembangan teknologis yang semakin cepat.

8. Penelaahan antropologis dan sosiologis tersebut perlu dibarengi dengan penelaahan teologis. Dalam terang tradisi Gereja universal, penelaahan teologis itu meneliti kembali kejadian dan perkataan yang diwahyukan Allah, serta direkam di dalam Kitab Suci dan diterangkan oleh “Wewenang Mengajar” (Magisterium). Dengan demikian akan lebih jelas dipahami lewat jalan-jalan mana iman dapat diinkarnasikan dalam filsafat dan kebijaksanaan masyarakat setempat, dan atas cara mana adat-kebiasaan, paham hidup serta tata masyarakat setempat dapat diserasikan dengan patokan yang ditunjukkan Wahyu Ilahi. Maka akan terbukalah jalan untuk penyesuaian yang lebih mendalam yang mencakup seluruh lingkup kehidupan Kristiani (Lih. AG a. 22).

Sekedar Contoh
Sebuah contoh klasik inkulturasi iman Kristiani ke dalam budaya religius Romawi ialah perayaan Natal pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus tidak diketahui. Kitab Suci, yang memang bukan buku sejarah melainkan buku iman, tidak mencatat hal itu. Lalu mengapa kelahiran Yesus dirayakan pada tanggal 25 Desember? Dalam tradisi religius Romawi tanggal 25 Desember dirayakan sebagai hari Mahadewa Terang, Dewa Matahari (Sol Invictus). Setelah agama Kristiani semakin berkembang dalam wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristiani tidak mau mengakui Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus, Firman yang telah menjadi manusia (inkarnasi): “Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya” (Yoh. 1:4-5). Maka melalui metode tiga langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang dunia, yang kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).

Dalam surat permintaannya untuk tulisan ini, Redaksi KOINONIA menyebut secara khusus studi sample “inkulturasi iman Kristiani dalam budaya Toraja”. Karena keterbatasan ruang, di sini saya hanya ingin menyebut dua tulisan saya berkaitan dengan usaha inkulturasi di bidang teologis dalam budaya Toraja. Yang pertama berjudul “Menurut Kamu, Siapakah Aku Ini? Menemukan Kembali Wajah-Wajah Asia Yesus”, yang mengisi rubrik “Dari Meja Uskup Agung”, KOINONIA, vol. 1 no. 3, Juni-Agustus 2006. Yang kedua berjudul “Manusia dan Lingkungannya dalam Falsafah Religius Toraja”. Artikel ini dimuat dalam buku Komisi Teologi KWI tentang ekologi yang sedang dalam percetakan. Studi lebih mendalam dan lebih luas yang membawa ke sejumlah perspektif praktis inkulturasi dalam budaya Toraja terdapat dalam disertasi saya TOWARDS A SPIRITUALITY OF SOLIDARITY; a Study of Sa’dan-Torajan Solidarity in the Light of ‘Gaudium et Spes’, with a View to an Inculturated Authentic Christian Spirituality of Solidarity (Pontificia Universitas Gregoriana, Romae, 1986).

Makassar, akhir Mei 2008

+ John Liku-Ada’
_____________________
Catatan:
1 ) Bdk. Keputusan yang diambil rasul-rasul dan para penatua pada Konsili di Yerusalem (Kis. 15).
2) Lih. AG a. 22; juga LG a. 17; SC a. 37-40; AG a. 9.
3) EN a. 63
4) Lih. AG a. 11; EN a. 53; Bdk. LG a. 17; AG a. 9.
5) Eusebius dari Caesarea, Preparatio Evangelica, I, 1: PG 21, 26-28; LG a. 16; EN a. 53.
6) Sinkretisme ialah pencampuradukan macam-macam unsur paham dan kebiasaan sedangkan partikularisme ialah kecenderungan mempertahankan ciri khas secara picik dan berat sebelah.
7) Lih. AG a. 9; Annuario 1976 (1) dari S.C. de Prop. Fide (Roma, 1977) 1172; Bdk. LG a. 17.

Tidak ada komentar: