Selasa, 02 Juli 2013

KENANGAN SYUKUR 75 TAHUN BAPTISAN DAN EKARISTI PERTAMA DI TORAJA: “MENEMUKAN DAN MENAMPILKAN WAJAH YESUS DI TORAJA”


Pelaksanaan Perayaan Yubileum 75 tahun ini, didasarkan pada pembaptisan 4 orang anak suku Toraja asli di kampung halamannya sendiri. Penerima Baptisan itu dipersiapkan oleh seorang guru awam, Petrus Pemba asal kampung tampo Makale, yang sudah dibaptis ketika belajar di Tomohon Sulawesi Utara. Pembaptisan itu dilaksanakan oleh P. Charles Dekkers CICM di Tampo, Makale.“Walaupun ayah angkatnya sendiri beragama Protestan, so’ Pemba menjadi katolik dengan nama Baptis Petrus. Ia kemudian menikah dengan seorang gadis Manado,  Margaretha Datu. Setelah tamat, beliau pulang ke Makassar. Di kota itu, guru muda P. Pemba diminta oleh Mgr. G. Martens untuk berkarya di Sepang dimana sudah ada sebuah VS Katolik. Pada tahun 1938,  atas permintaan prefek apostolik pula, beliau pulang ke Tampo, Makale, kampung kelahirannya. Di situ ia mulai mengumpulkan anak-anak di kolong rumah dan  memberi pelajaran agama,  belajar menyanyi dan bermain” (Gereja Katolik di Toraja dan Luwu, G. van Schie CICM, hal. 37).

Pada bulan Maret 1938, P. Chr. Eykemans CICM berkunjung ke Toraja. Ia dijemput guru P. Pemba di kota (Makale) dan dibawa ke rumahnya di Tampo. “Di situ ada 48 orang anak sekolah menyambut pastor dengan nyanyian-nyanyian gembira. Pada kesempatan itu, putera sulung puang Makale yang beragama Protestan meminta agar pastor segera mendirikan gereja dan sekolah di kampung itu. Tetapi karena belum diizinkan menetap di Tana Toraja, P. Chr. Eykemans merasa belum waktunya untuk mengabulkan permintaan itu. Pada 11 Maret 1938, P. Chr. Eykemans kembali ke Makassar.

Kurang lebih dua bulan kemudian, P. Ch. Dekkers berkunjung ke Tampo. Pada  6 Mei 1938, beliau membaptis empat orang anak (balita) suku asli Toraja. Keempat anak suku asli Toraja itu adalah (diurutkan seusai dengan nomor register Baptis): 1. Antonius Tambing, 3 tahun; 2. Nathaniel Taruk Allo, 2 tahun (Puang Andi’lolo, purna bakti sebagai Camat Makale); 3. Theresia Minggu, 3 tahun; 4. Maria Tibe, 1 tahun. Petrus Pemba dan Margaretha Datu bertindak sebagai wali baptisnya. Inilah titik awal penerimaan Sakramen Baptis pertama bagi Orang Toraja asli di Toraja. Momen inilah yang dijadikan sebagai dasar dari perayaan Yubileum 75 Tahun Gereja Katolik di Toraja.

PERINGATAN YUBELIUM 75 TAHUN
Menandai  dan memaknai peristiwa karya keselamatan Tuhan ini, atas prakarsa dan inisiatif Pastor Lucas Paliling, salah seorang imam Diosesan Keuskupan Agung Makassar, merancang dan membuat sebuah monumen tempat pelaksanaan Pembaptisan pertama  dan tempat perayan Ekaristi dengan altar darurat saat itu. Tempat pelaksanaan kedua sakramen itu adalah lemba (lumbung) asli Toraja. Sekarang, persis di tempat lumbung  itu berdiri dulu,  sementara dibangun sebuah monumen dengan motif lumbung 8 tiang (karua bangana). Dalam lokasi bangunan monumen itu, juga direncanakan sebuah bangunan gereja yang represantatif  untuk menampung umat setempat  dan para peziarah kelak; serta  tempat persiapan untuk perjalanan ziarah  menuju puncak (pambo’bok) .   

PERAYAAN SYUKUR
Perayaan syukur atas karya keselamatan Allah hadir dan berkembang di Kevikepan Toraja, dengan tulang punggung Depas Paroki Makale, dibantu oleh Panitia Yubileum Kevikepan di bawah tanggung jawab Vikep Toraja diadakanlah beberapa kegiatan:

A. Perayaan Penerimaan Baptisan dan Misa Syukur,  Senin, 6 Mei 2013. 
Dalam acara ini dilaksanakan penerimaan baptisan bayi, balita, anak, remaja, taruna, muda dewasa dan orang tua sebanyak 39 orang. Peringatan dan perayaan dilaksanakan di area monumen, tempat Pembaptisan dan Perayaan Ekaristi pertama. Perayaan  syukur yang dimulai pukul 10.00 itu, dihadiri sekitar 500 orang. Tokoh-tokoh umat khususnya guru-guru purnakarya dari paroki-paroki banyak hadir. Usia lanjut, 70 tahun ke atas, dan fisik lemah tetapi karena kenangan masa lalu mereka hadir dengan penuh kegembiraan. Sesudah perayaan Ekaristi, dilanjutkan dengan ramah tamah, santap siang bersama.

B. Lomba Paduan Suara antar-paroki se-kevikepan Toraja
Paroki Deri dalam nada dan gerak tari.

C. Festival budaya antar-paroki se-kevikepan Toraja
Penampilan Paroki St. Petrus Pangli pada acara Festival Budaya.
keso’-keso’ (Paroki Rembon)
Passuling Todolo (Paroki Makale)
D. Parade Drumband antar-Sekolah Katolik di Kevikepan Toraja dari tingkat SD-SLTA. Dimulai dari halaman kantor Bupati Tana Toraja menuju bundaran Kolam Makale sebagai akhir, disambut oleh Uskup Agung KAMS dan undangan. Pembukaan dan pelepasan Parade Drumband dilaksanakan oleh Vikep Toraja, P. Natan Runtung, Pr.
Grup drumband Roger Leleu, SPP Pala’pala’, Makale.

Grup band SD Regna Rosari, Paku, Makale

E. Pemberkatan Tempat Ziarah baru: SANCTUARIUM RANO di Stasi Rano, Pennaran.
Bapa Uskup memberkati tempat ziarah baru di Stasi Rano
F. Perayaan Puncak, Ekaristi dengan nuansa inkulturasi khas Toraja.
Misa inkulturasi Toraja dimeriahkan dengan 500 gadis penari.
Secara istimewa dimeriahkan dengan 500 gadis penari, gabungan dari sekolah katolik yang ada di Kevikepan Toraja; Perayaan lettoan dan tarian seni budaya yang khas dari masing-masing paroki.


BACK TO BASIC
Dari 4 orang balita pertama dipilih Tuhan, dengan diberi meterai/cap yang tak terhapuskan dalam iman kepada Allah Tritunggal Mahakudus: “Aku membaptis Engkau dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”, kini telah berkembang menjadi  12 Paroki, dan 242 stasi.  Dari pa’rapuan yang 4 orang balita kini menjadi pa’rapuan yang beranggotakan kira-kira 100 ribu jiwa lebih.  Dari 4 jiwa yang belum berdaya karena usia balita, kini mejadi Gereja yang melayani,  tersebar ke pelosok nusantara Indonesia dan bahkan ke mancanegara. 
Merefleksikan proses sejarah hadirnya Gereja Katolik di Toraja, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan praktis. 1. Yang diutus datang memperkenalkan iman katolik, pelaksana persiapan penerimaan sakramen dan pembinaan lanjutan adalah awam sekaligus keluarga (suami–istri). Tenaga awam ini adalah orang yang telah meraih sukses dalam cita-cita pendidikannya. 2. Penerimaan Sakramen Baptis dan Perayaan Ekaristi dengan altar darurat di laksanakan di dalam keluarga atau di rumah umat, tentu saja belum semuanya katolik. 3. Kelompok anak binaan Petrus Pemba dinyatakan sebagai VS Katolik (sekolah katolik) pertama di Toraja.  Iman diperkenalkan, ditumbuhkan lewat pelajaran/pendidikan (non formal dan formal).  Pendidikan (kelompok binaan selanjudnya sekolah) dan Gereja hadir secara serentak. 4. Kunjungan Pastoral Uskup dan imam pertama-tama adalah kunjungan keluarga dan perayaan sakramen (Baptisan dan Ekaristi).

Keempat poin kesimpulan praktis di atas kiranya dapat menjadi dasar dan inspirasi hidup penuh keberanian (untuk terus bersaksi)  dalam  berpastoral ke depan, khususnya di kevikepan Toraja. 
1. Dasar dan inspirasi pertama bahwa  tenaga awam berpendidikan  adalah rasul andalan dan terdepan dalam proses  beriman.  Maka Guru Laki dan Perempuan (yang dari dulu sampai sekarang  banyak menjadi pengantar, pemimpin doa, pembina sekolah minggu dan OMK) dan khususnya lulusan STIKPAR TORAJA  tetap menjadi prioritas dalam menampilkan Wajah Yesus di Toraja sebagaimana yang diajarkan Gereja Katolik.  Sejalan dengan Misi Keluarga hasil sinode KAMS 2012, maka Keluarga-keluarga katolik menjadi saksi yang andal dalam menghadirkan cinta, harapan dan Iman dalam masyarakat. Keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk perubahan ke arah yang lebih baik, dinamis dan kreatif membahagiakan.
2. Penerimaan Sakramen khususnya Baptis, Ekaristi, juga Tobat, substansinya adalah pelaksanaan di tengah-tengah keluarga. Teristimewa perayaan Ekaristi adalah peristiwa cinta, persaudaraan-kesatuan–kekeluargaan, maka substansi dasarnya adalah terjadi di tengah-tengah keluarga beriman. Patut disyukuri, Imam Diosesan KAMS saat ini  kebanyakan berasal dari kalangan keluarga katolik Toraja. Ketika MUNAS UNIO Indonesia 2008 sesi kedua mengambil tempat di Toraja, para Uskup, dan Imam peserta  Munas tinggal di tengah-tengah keluarga, dalam rumah-rumah umat dengan metode Live-in. Imam dan Ekaristi (dan sakramen pada umumnya) saling mengandaikan keberadaannya. Tanpa imam tidak ada Ekaristi (dan sakramen lainnya) sebaliknya Ekaristi (dan keenam skaramen lainnya) tidak dapat dilaksanakan tanpa imam. Demikaian pula Imam dan keluarga beriman katolik saling mengandaikan. Tanpa keluarga beriman  katolik tidak ada imam, sebaliknya tanpa imam keluarga katolik tidak dapat tumbuh dalam kekudusan Sakramen. Kiranya setelah perayaan 75 tahun, sakaramen-sakramen tersebut, terutama Baptis dan Ekaristi, serta Tobat semakin akrab dengan pelaksanaannya di dalam keluarga, baik sebagai Gereja mini maupun sebagai suatu komunitas basis.
3. Pendidikan (formal: sekolah dan nonformal: bina sekami, OMK, bina doa dsb) adalah kunci  pertumbuhan dan perkembangan iman baik dalam kuantitas maupun dalam kualitas. Gereja (keluarga-keluarga katolik) baik sebagai paroki, stasi, rukun  dan sekolah khususnya penyelenggara, pengelola dan pelaksana penting membangun keakraban dan kerjasama. Misi Pendidikan hasil sinode KAMS 2012 telah memberikan arah untuk itu.
4. Kunjungan Pastoral baik uskup, imam dan tenaga pastoral awam lapangan pada hakekatnya adalah pertemuan tatap muka sebagai satu keluarga (insani dan imani). Pelaksanaan iman keluarga (baptis, Ekaristi, minyak suci dan tobat) sedianya adalah kebutuhan pokok keluarga. Mari kita membangun keluarga-keluarga katolik di atas dasar iman yang benar (kenal dan cinta Allah di atas segala-galanya) dan dengan demikian setiap anggota keluarga akan hidup  sebagai orang beriman yang sejati (mengandalkan Allah dalam seluruh hidupnya, penyerahan utuh, bulat hanya kepada Allah saja).

Setiap generasi memiliki cita dan rasa tersendiri sesuai dengan perkembangan dan penemuan zamannya. Setiap angkatan memiliki cita-cita, impian, daya imajinasi yang berusaha diwujudkan pada masa depan. Demikan pula setiap anak bangsa merasakan  gejolak  batin, keprihatinan, kecemasan, akan masa depan mereka.  Semua cita dan rasa itu oleh kita komunitas Gereja Lokal KAMS telah tersirat dan tertulis dalam VISI–MISI KAMS hasil sinode KAMS  Mei 2012. Menjadi  GEREJA YANG MELAYANI dalam setiap lini atau bidang kehidupan, kapan dan di mana pun kita berada. Cita-cita, impian, visi dan misi tanpa aksi dan gerakan akan menjadi khayalan belaka. 

Maka seusai peringatan dan perayaan 75 Tahun baptisan pertama di Toraja sebagai aksi dan gerakan bersama pertama  dan utama adalah mengembalikan dan melaksanakan perayaan-perayaan sakramental  utamanya Ekaristi di tengah-tengah keluarga katolik.

Ekaristi adalah sumber, pusat dan puncak kehidupan rohani umat. Di kala gembira dan teristimewa di saat gersang, jiwa umat harus mendapat penyembuhan dan penyempurnaannya dalam Ekaristi. Para Pastor yang kepadaNya Sang Gembala utama, Yesus Kristus, dalam GerejaNya  memberikan amanat,  wibawa, kuasa dan wewenang itu, hendaknya bermurah hati memberikanya kepada umat yang membutuhkannya dengan pelayanan prima penuh cinta kasih.

Melalui Perayaan Ekaristi pelayan dan umat memperoleh secara cuma-cuma: pengampunan dari dosa-dosa, penyembuhan luka-luka batin akibat berbuat dosa, pelepasan dari gangguan setani/roh-roh jahat, pengudusan sebagai anak-anak Allah, kesegaran hidup yang mengakrabkan dan mempersatukan, bela rasa dan solidaritas bagai sesama yang lemah/menderita, kekuatan baru untuk  terus bersaksi total, ketaatan dan kesatiaan dalam tugas dan pada pimpinan, kesuburan dan kreativitas dalam karya, dsb. Sungguh Yesus adalah “Roti dan air hidup”. IA bersabda:  "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi” (Yoh 6,35). “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup." (Yoh. 7:38) *** Penulis: Pastor Natan Runtung Pr, Vikep Toraja

Sharing 50 Tahun Kaul Pastor Ernesto Amigleo CICM, Vikaris Jenderal KAMS


“Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya.”  Mazmur 89:2

Lima puluh tahun yang lalu, tgl. 31 Mei 1963, ketika, untuk pertama kalinya,  saya mengucapkan kaul kemiskinan, kaul kemurnian, dan kaul ketaatan kepada Tuhan di hadapan Pater Provinsial CICM, para konfrater saya dan umat, saya ingat bahwa saya agak gemetar. Gemetar karena saya bertanya-tanya dalam diriku: “apakah aku mampu memenuhi janjiku ini kepada Tuhan?”  Dalam perjalanan waktu hingga pada saat ini – 50 tahun kemudian, saya disadarkan bahwa bukan atas kemampuan saya sendiri, bukan atas kekuatan dan jasa saya sendiri, melainkan atas kasih karunia Tuhan saya dapat bertahan sebagai biarawan dalam Tarekat CICM. Oleh karena itu, “saya hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya.” 


Saya yakin dan percaya bahwa karena kasih Allah kepada Gereja, Tuhan memilih salah satu anaknya yang hina ini di antara banyak pria di dunia ini, untuk mengikuti jalanNya secara radikal untuk bersaksi kepadaNya di dunia sebagai seorang religius atau biarawan dalam Tarekat Hati Maria Tak Bernoda (CICM). Sabda Yesus: “Bukan engkau yang memilih Aku, melainkan Aku memilih kamu… supaya kamu pergi dan menghasilkan buah-buah dan buahmu itu tetap….” (Yoh. 15:16) Saya juga sadari dan bersyukur kepada Tuhan  atas panggilan saya sebagai seorang religius yang adalah anugerah dari Tuhan.

Lima puluh tahun kaul sebagai seorang religius bukan hanya suatu perjalanan yang panjang, melainkan pula dan terutama suatu perjalanan iman. Pertama-tama saya yakin dan percaya bahwa hidup religius adalah anugerah besar Allah kepada GerejaNya. Suatu anugerah yang diberikanNya kepada Gereja dan secara khusus kepada saya. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan mengasihi aku, sekalipun aku ini lemah dan rapuh. Dalam perjalanan ini, saya harus selalu mengandalkan Tuhan. Seperti bejana tanah liat, Dia membentuk aku menurut kehendakNya. Saya yakin dan percaya pula bahwa karena Dia yang memilih aku, maka Dia juga akan memelihara dan menolong aku.

Lima puluh tahun hidup religius sebagai CICM seperti yang saya alami adalah suatu petualangan-petualangan yang penuh resiko dan tantangan sebagai imam religius misionaris. Di mana saja saya ditugaskan khususnya di luar negeri seperti di Roma, Amerika Serikat dan akhirnya di Indonesia ini saya selalu menikmati pengalaman-pengalaman saya baik yang menggembirakan maupun yang tidak. Terus terang, lebih banyak pengalaman yang menggembirakan saya daripada yang tidak. Seperti St. Paulus berkata: “harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami” (2 Kor.4:7). Oleh karena itu saya bergembira dan bersyukur sekali kepada Allah yang mahabaik dan mahapenyayang  karena memilih aku menjadi pelayannya di ladang Tuhan.

Saya bersyukur kepada Tuhan karena melalui hidup religius ini saya menemukan makna hidup yang sebetulnya yakni: melayani Tuhan dan sesama manusia, menjadi pewarta Kabar Gembira Keselamatan Tuhan demi kemuliaanNya. Bayangan saya, mungkin jika saya tidak jadi seorang biarawan, saya sudah mempunyai keluarga (isteri yang cantik dan andal), anak-anak dan cucu-cucu. Mungkin juga saya sudah menjadi seorang pengusaha yang banyak duit. Akan tetapi, Tuhan memilih aku menjadi pelayanNya dan seperti Dia sabdakan kepada nabi Yeremia: “Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yer. 29, 11).

Saya berharap bahwa selama hidup saya ini dan dimana saja saya pernah bertugas saya pernah menyentuh kehidupan orang-orang yang dipertemukan dan dipercayakan Allah kepada saya yakni: pertama-tama, umat di paroki-paroki di mana saya pernah bertugas seperti di Ifugao, Pulau Talim, dan San Pedro Laguna, di Filipina;  di Makale, Tana Toraja, dan di Koya-Arso, Jayapura, dan sekarang, sekalipun baru 2 bulan,  Pjs. Pastor Paroki di Paroki Sto. Fransiskus Assisi; saya berharap pula bahwa saya pernah menyentuh dan membawa sukacita kepada frater-frater CICM yang dipercayakan kepada saya sebagai formator atau pembimbing dan dosen baik waktu di Filipina maupun sebagai Magister Novis di Sang Tunas, Makassar. Saya bersyukur sekali bahwa ada di beberapa antara mereka menjadi imam dan misionaris CICM. Demikian pula saya berharap pernah menyentuh dan membawa sukacita kepada para dosen dan mahasiswa di mana saya pernah bertugas seperti di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Abepura, Papua, dan di Universitas Atma Jaya Makassar; demikian pula kepada umat di keuskupan Agung Makassar ini sebagai Vikaris Jenderal.

Saya sadari sekali bahwa tidak mungkin saya menjadi seorang biarawan dan misionaris CICM tanpa menyebut peran serta positif dari para konfrater dan komunitas CICM internasional, khususnya para Pemimpin Tarekat, baik yang mantan maupun yang sekarang ini, ke dalam hidupku. Tarekat CICM yang telah memelihara baik hidup rohani maupun hidup jasmani saya. Lewat komunitas CICM – para konfrater dan lewat hidup komunitas, iman saya diperteguh dan diperkaya. Ketika saya mengalami kesulitan, ada konfrater yang menguatkan saya; ketika saya bergumul dengan panggilan saya, ada pembimbing CICM yang menasihati saya untuk maju terus, pantang menyerah. Lewat hidup komunitas, rasa kesepian dan kesendirian hilang; lewat doa komunitas, panggilan dan iman saya diperkuat. Mereka menerima saya apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan saya itu semua berkat Tarekat CICM.

Tidak mungkin juga bahwa saya jadi seorang CICM tanpa dukungan doa  dari keluarga dan sanak saudara saya. Sekalipun mereka jauh di mata, namun mereka dekat di hatiku dan sebaliknya. Saya tahu mereka selalu mendoakan saya, khususnya ibu saya yang tahun ini berumur 98 tahun.
Saya bersyukur juga kepada banyak rekan imam, para Frater dan Suster, khususnya di Keuskupan Agung Makassar ini yang menerima saya sebagai teman seperjalanan  dan seperjuangan. Mereka juga membantu saya dalam pertumbuhan panggilan saya.

Saya  juga  sadari tanpa bantuan dan dukungan melalui doa, nasihat dan persahabatan dari umat dan sahabat-sahabat seperti anda sekalian, saya tidak jadi seperti saya sekarang ini.
Bahwa tidak mungkin saya bisa bertahan tanpa hubungan yang baik dengan rekan-rekan imam, para frater dan Suster, khususnya di Keuskupan Agung Makassar ini.  Saya juga sadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan melalui doa atau nasihat  dari banyak umat dan sahabat-sahabat dan donatur seperti anda sekalian, saya tidak jadi seperti saya sekarang ini.

Secara khusus pada perayaan ini saya mau mengucap banyak terima kasih kepada Pater Provinsial CICM Asia, P. Sylvester Asa CICM atas kerelaannya untuk datang dari Jakarta untuk membawa kotbah yang bagus. Saya juga mengucap banyak terima kasih kepada para pastor, frater, Suster dan umat baik yang hadir di sini ikut berdoa dan bergembira dengan kami maupun yang tidak sempat hadir tetapi mengirim ucapan selamat lewat sms seperti Bapa Uskup kita yang sekarang ada di Toraja dalam rangka 75 Tahun Gereja Katolik masuk Toraja, dan mereka yang menelpon baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Akhirnya saya bersyukur kepada Tuhan karena Dia telah memanjakan saya selama 50 tahun kaul sebagai seorang biarawan dengan berlimpah-limpah berkat. Maka, saya hendak menyanyikan kasih-setiaNya selama-lamanya. Saya juga bersyukur kepada Bunda Maria, murid yang paling setia, karena perlindungannya selama perjalanan hidup saya ini.
Bunda Maria, Bunda Gereja, doakanlah kami anak-anakmu. Amin. ***

KOMUNITAS BASIS: Harapan dan Cita-cita yang tak kunjung menggeliat


Komunitas Basis sudah cukup lama didengungkan di Indonesia. Komunitas Basis didengungkan dengan maksud bisa menjadi gerakan atau membuka jalan bagi umat Katolik untuk hidup menggereja di Indonesia. Paus Yohanes Paulus II sendiri mengatakan bahwa Komunitas Basis adalah cara hidup menggereja di abad ke-21. Namun cara hidup yang dimaksudkan bukanlah sesuatu yang baru ditemukan atau baru dibuat sekarang, melainkan cara hidup tersebut sudah ada dalam jemaat perdana dan sudah dipraktekkan sebagai cara hidup  mereka bersama (Kis 2:42-47; 4:32-37; 5:12-16). Dengan demikian Komunitas Basis sesungguhnya adalah cara hidup menggereja yang otentik (asli).

Di tingkat Asia, Komunitas Basis ini mulai diekspose dalam pertemuan FABC di Bandung pada tahun 1990 dengan istilah communion of communities. Kemudian FABC membentuk  desk yang dinamakan AsIPA (Asian Integral Pastoral Approach) untuk mensupport dan mengembangkan Komnitas Basis ini. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) melihatnya sebagai “mutiara yang sangat berharga” dan karena itu mengamanatkan Komunitas Basis sebagai cara hidup menggereja menuju Indonesia baru. Gereja di Indonesia melihat model Komunitas Basis ini sebagai harapan dan sarana amat yang prospektif dan berdaya guna untuk evangelisasi baru, untuk bisa membentuk Indonesia baru.

Namun apa daya semangat dan harapan itu pupus sendiri, Komunitas Basis tak kunjung bertumbuh dan berkembang seperti yang dicita-citakan atau diharapkan, sehingga semangat dan harapan itu memudar, layu sebelum berkembang. Akhirnya pada tahun 2005 gerakan Komunitas Basis tidak lagi menjadi prioritas, sehingga lembaga yang dibentuk (LPKB) untuk mensupport dan memfasilitasi perkembangan Komunitas Basis malah dibubarkan. Komunitas Basis dilihat dan dirasakan tak kunjung memberikan greget untuk bagi gerakan dan harapan Indonesia baru, karena itu Sidang Para Uskup KWI tahun 2005 memaklumkan gerakan baru dengan tema “Bangkit dan Bergeraklah” menuju Habitus Baru. Mungkin dimaksudkan sebagai pengganti gerakan Komunitas Basis yang mati suri itu.

Setelah hampir 13 tahun berlalu, perkembangan Komunitas Basis boleh dikatakan stagnan dan di tingkat nasional tidak lagi terkoordinasi dengan baik. Walaupun demikian, satu dua keuskupan tetap berjuang dan konsisten untuk mewujudkan gerakan komunitas sebagai pilihan pendekatan untuk mengembangkan karya-karya pastoral dan meningkatkan cara hidup menggereja umat. Namun secara umum Komunitas Basis masih tetap belum dikenal dan diketahui sebagai gerakan yang signifikan dan menarik perhatian.

Di Keuskupan Agung Makassar sendiri selama ini Komunitas Basis masih lebih banyak didengungkan sebagai wacana, masih lebih merupakan himbauan umum untuk dilaksanakan, tetapi juga tidak begitu jelas siapa yang harus memulai mewujudkannya, memulainya dari mana dan bagaimana memulainya? Apakah keuskupan, komisi-komisi atau paroki-paroki atau kelompok kategorial? Selama ini rupanya sudah seringkali diadakan seminar atau pelatihan atas nama Komunitas Basis itu, bahkan dibuat desk khusus Komunitas Basis yang diketuai oleh Vikjen sendiri, juga dibuatkan alokasi dana yang khusus gerakan Komunitas Basis, namun perwujudan Komunitas Basis (seperti yang didefinisikan dan diamanatkan oleh FABC 1990 dan SAGKI 2000) belum pernah kelihatan. Rupanya memang Komunitas Basis belum menarik perhatian kita.

Memahami Komunitas Basis Jemaat Perdana
Petunjuk dan gambaran tentang komunitas basis model jemaat perdana dapat kita baca dalam Kis 2:41-47; 4:32-37; 5:12-26. Bila kita betul-betul mau membangun Gereja, melakukan evangelisasi baru atau mengembangkan cara baru hidup menggereja di abad ini, kiranya kita harus bercermin pada model atau cara hidup jemaat perdana itu. Model itu kiranya tidak boleh semata-mata dimengerti atau dimaksudkan untuk hanya kelompok kecil umat saja, tetapi sesungguhnya model hidup (gaya hidup) jemaat perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model atau cara hidup Gereja (umat beriman) sepanjang waktu, partikular maupun universal. Dengan kata lain, cara hidup jemat perdana itu juga tetap merupakan cita-cita yang terus-menerus diupayakan, diperjuangkan dan diwujudkan oleh umat beriman sepanjang waktu. Model itu sesungguhnya merupakan gambaran atau prototipe dari cara berada atau cara hidup umat beriman di mana pun dan kapan pun.

Ciri-ciri utama cara hidup jemaat perdana itu nampak sangat menonjol dalam 5 hal yaitu adanya 1) Persaudaraan/persekutuan, 2) Mendengarkan Sabda/pengajaran, 3) Pelayanan terhadap sesama/solidaritas, 4) Perayaan iman/pemecahan roti/doa 5). Memberi kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka. Karena cara hidup mereka itu, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak.

Mengapa mereka membentuk cara hidup seperti itu? Kiranya harus dipahami bahwa cara hidup berkomunitas seperti yang mereka miliki itu lahir atau muncul karena tuntutan situasi dan lingkungan yang mengharuskan mereka untuk menemukan cara berada baru sebagai orang-orang yang telah dibaptis, yang percaya kepada Tuhan. Bisa dimengerti pada waktu itu, sekitar awal-awal abad pertama mereka masih merupakan kelompok kecil di tengah kelompok (lingkungan) lain yang jauh lebih besar yang bahkan mungkin mengancam mereka juga. Sebagai kelompok kecil, yang baru memiliki identitas sendiri sebagai orang beriman, yang berbeda dari orang-orang lain di sekitar mereka, mau tidak mau mereka harus bersekutu, bersaudara, saling memperhatikan, saling membantu dan harus memberikan kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang yang baik (sebagai orang yang percaya), agar mereka dapat diterima dan dihargai oleh orang-orang lain yang di sekitar mereka. Itu semua mereka lakukan demi iman mereka akan Tuhan Yesus. Iman mereka menjadi penggerak utama dan sekaligus menjadi sumber kekuatan bagi mereka, untuk melakukan apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri dan juga bagi orang lain di sekitar mereka.

Apa yang mereka lakukan sebetulnya merupakan suatu proses pemahaman akan jati diri mereka sebagai orang beriman. Kiranya karena keadaan lingkungan yang menuntut, mereka berusaha mengenal diri mereka sendiri, sesungguhnya siapa mereka atau apa ciri khas mereka sebagai orang beriman, bagaimana mereka harus berada di tengah lingkungan masyarakat dan apa yang harus mereka lakukan? Juga cara mereka mengatur persekutuan (paguyuban) dan melayani kebutuhan sesama warga komunitas sejauh kita bisa amati dalam Kisah Para Rasul itu, lebih bersifat spontan dan sukarela, muncul dari dorongan hati nurani, dengan kerendahan hati  dan ketulusan masing-masing. Kiranya tidak bisa dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas yang sudah jadi atau sudah mapan. Kegiatan mereka pastilah belum berdasarkan rumusan visi, misi, strategi dan program kerja serta anggaran dana operasional seperti yang kita mau lakukan. Mereka belum mengenal ilmu manajemen yang sangat menekankan sistim, struktur serta mekanisme kerja yang jelas dan rapi, dengan aturan main dan batasan-batasan kewenangan yang jelas. Kiranya cara mereka mengatur kebersamaan jauh dari kecanggihan sistim dan metode-metode seperti yang kita gulati sekarang.

Namun nampak sekali dari cerita seperti yang dipaparkan dalam Kisah para rasul itu bahwa mereka merupakan komunitas yang sangat hidup, sangat terbuka, sangat aktif  dan sangat dinamis. Dan yang  paling menarik ialah cara hidup mereka, cara berada mereka sangat efektif, berdampak sangat positif bagi orang-orang lain di sekitar mereka, sehingga mereka disukai semua orang (Kis 2:47), jumlah orang yang percaya kepada Tuhan makin hari makin bertambah (Kis.2:47; Kis. 5:14), dan mereka sangat dihargai oleh orang banyak (Kis. 5:13).

Harus digarisbawahi disini bahwa iman mereka akan Tuhan adalah landasan atau sokoguru atau tulang pungggung dari segala upaya yang mereka lakukan untuk meneguhkan keberadaan mereka di tengah lingkungan (di tengah dunia), dan untuk mewartakan atau memberikan kesaksian tentang apa yang mereka percaya. Adapun hal-hal lain yang pada permukaan tampak dalam wujud tindakan sosial dan ekonomi, aksi solidaritas, kepedulian kepada sesama, menolong dan menyembuhkan orang sakit (Kis. 5:16) adalah merupakan buah, hasil atau dampak dari iman mereka kepada Tuhan, merupakan hasil dari upaya meneguhkan dan mewartakan iman mereka sendiri. Maka komunitas jemaat perdana adalah komunitas iman, komunitas spiritual, komunitas yang digerakkan oleh Roh Kudus, komunitas orang-orang yang bertobat (mau berubah), bukan komunitas yang terbentuk pertama-tama karena alasan-alasan (kepentingan) sosial, ekonomi atau kekuasaan. Tatanan duniawi, urusan sosial-ekonomi justru diresapi, dijiwai, digerakkan, oleh/karena iman mereka akan Tuhan itu dan bukan sebaliknya.

Mengapa Pengembangan Komunitas Basis Stagnan?
Orang Amerika mengatakan “What you see is what you get!” Ungkapan atau adagium ini bisa menjadi ‘pisau bedah’ untuk memahami mengapa Komunitas Basis tak kunjung bisa menggeliat menjadi modus baru hidup menggereja sebagaimana diharapkan, termasuk dalam keuskupan kita. Seseorang yang melihat atau memahami benar apa yang diinginkan atau dicita-citakannya, biasa juga tahu atau berupaya untuk tahu bagaimana cara mencapai atau mewujudkan cita-citanya itu. Karena ia betul-betul memahami/mengerti apa yang hendak ia wujudkan, ia juga memiliki gambaran konkret dan jelas tentang tentang keadaan atau situasi yang ingin ia ciptakan atau ubah. Ia juga memiliki tekad atau komitmen serta konsisten berjuang dan bahkan bekeja keras untuk mewujudkan cita-cita itu. Bagi orang yang sungguh “melihat” tidak ada istilah coba-coba atau setengah hati. Pikiran dan hatinya seakan-akan diserap oleh kekuatan untuk mewujudkan impiannya itu (bahasa iman, dorongan Roh Kudus). Maka tidak mungkin ia akan berpangku tangan dan sekedar berangan-angan akan hal itu. Dia juga tidak akan membiarkan atau mengharapkan orang lain saja yang melakukan hal itu baginya. Sekurang-kurangnya ia akan terlibat, mensupport, mendorong bahkan memfasilitasi sendiri segala upaya ke arah perwujudan cita-cita itu, kalau ia mampu atau memiliki perangkat untuk melaksanakannya. Orang yang memiliki visi (insight) yang benar pada umumnya juga adalah orang yang bertanggungjawab dan berani, berani mengambil tindakan dan menanggung risiko, namun tentu dia tidak akan bertindak gegabah.

Seorang pelaku bisnis yang baik dan bertanggungjawab, biasanya termasuk dalam kelompok manusia seperti itu. Visi atau insight seorang business man ialah profit atau keuntungan, tidak mungkin kerugian, karena itu dia tidak akan gegabah melakukan investasi. Seorang pengembang property misalnya, apabila melihat suatu lahan luas berupa padang kering kerontang atau rawa-rawa yang tidak terurus, tidak berbentuk dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, alias lahan nganggur, lahan tidak berguna itu bisa menjadi sesuatu yang lain (baru), bisa menjadi lingkungan hunian yang indah, menarik dan menyenangkan. Untuk mewujudkan impian itu, ia tidak sekedar berangan-angan melainkan mengupayakan dan menyiapkan segala potensi, daya dan perangkat penunjang yang dibutuhkan (mengkaji dan men-design potensi dan kelayakan lingkungan, pinjam kredit dari bank, membeli lahan, menyewa peralatan berat, memobilisasi dukungan dan menyiapkan tenaga kerja dst.). Pengembang itu tidak hanya mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, namun ia juga menciptakan lingkungan baru (mengubah keadaan) dan membuka akses bagi banyak orang lain untuk memiliki rumah yang baik dan hidup yang menyenangkan. Dengan usaha bisnisnya, ia membuat banyak orang lain bahagia.

Dalam zaman modern ini ada banyak orang yang memiliki impian (insight) yang jelas dan bisa mewujudkannya. Sebutlah misalnya yang terkemuka atau menonjol seperti Bill Gates, Steve Jobs, Warren Buffett, Ibu Teresa dari Calcutta, Paus Yohanes Paulus II, dst. Dalam sejarah Gereja kita kenal para santo dan santa dan banyak tokoh pembaharu Gereja lainnya. Mereka adalah orang-orang yang betul-betul melihat apa yang mereka kehendaki sehingga bisa memengaruhi orang lain, memberi contoh dan inspirasi bagi orang lain untuk berubah dan ikut merubah keadaan.

Analog dengan gambaran di atas, kita kiranya harus mengerti jati diri Komunitas Basis (baca: cara hidup jemaat perdana) dan seharusnya cara kita melihat dan memahami implementasi atau perwujudannya adalah seperti para pebisnis, para petani dan contoh orang-orang yang betul mengerti apa yang dia mau lakukan. Nampaknya kita belum melihat ada apa dalam Komunitas Basis itu? Apa yang kita impikan atau cita-citakan dengan Gereja? Apa betul Gereja akan tampil dengan cara hidup baru, dengan wajah baru, dengan dinamika/gerak baru, apabila Komunitas Basis diwujudkan, bila sungguh menjadi sentrum dan medium dari aktivitas dan pelayanan umat (Gereja)?

Kalau bertanya saja seperti ini tentang Komunitas Basis tidak sampai (muncul), maka bisa dipastikan gagasan dan gerakan Komunitas Basis hanya akan menjadi pelipur lara belaka, sekedar ramai berwacana tentang cara hidup menggereja yang kita angan-angankan. Barangkali karena kita sesungguhnya sudah terjebak jauh dalam kemampanan yang ada dan kita tidak berani mengubah apalagi meninggalkan kemampanan itu. Nampaknya kita tidak berani (tidak mau) melakukan terobosan untuk menggerakkan umat, merintis dan menciptakan cara-cara baru dalam hidup menggereja. Memang perwujudan Komunitas Basis merupakan tanggungjawab seluruh umat beriman, uskup, para imam, para pejabat, fasilitator dan penggerak kegiatan pelayanan umat, namun secara faktual – riil, gerakan Komunitas Basis adalah gerakan dari akar rumput, digerakkan dari bawah. Apakah gerakan itu sungguh dipahami dan mau difasilitasi?

Walaupun gerakan Komunitas Basis merupakan gerakan yang berbasis di akar rumput, namun peran dan tanggungjawab pemimpin umat, terutama uskup dan para imam, khususnya para pastor paroki yang menangani wilayah pelayanan teritorial, tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Mereka yang memiliki otoritas dalam pelayanan justru harus membuka peluang, menciptakan kemungkinan dan gerak serta fasilitas untuk mewujudnya Komunitas Basis itu di akar rumput, dalam lingkungan-lingkungan. Mereka justru yang pertama-tama harus memiliki visi dan insight tentang  komunitas Basis, sehingga bisa betul-betul mendorong dan mensupport pergerakannya dari akar rumput.

Pergerakan perwujudan Komunitas Basis stagnan, kiranya karena kita belum melihat Gereja (kita) mau menjadi apa dengan gerakan Komunitas Basis itu. Otomatis segala daya upaya yang perlu untuk gerakan itu, semuanya menjadi melempem, dan tinggal di tempat. *** Penulis: Pastor Victor Patabang Pr

Aksi Panggilan di Bumi Lakipadada, Toraja: “Panggilan Sebagai Suatu Tanda Pengharapan Berdasarkan Iman”


Baik bila kaum beriman menyelami makna dari kata Panggilan, Perutusan, dan Pewartaan. Sesungguhnya ketiga kata memiliki keterkaitan satu sama lain yaitu Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan yang mengutus, sabda Tuhan yang diwartakan. Maka itu, diperlukan sikap umat Allah yang terlibat langsung dalam karya dan karsa. Sehingga, untuk memenuhi dahaga kaum beriman akan Kabar Keselamatan dari Allah, diperlukan banyak pekerja di ladang Tuhan. Dalam rangka itu, aksi panggilan menjadi jalan yang ditempuh oleh Gereja Universal dari waktu ke waktu hingga saat ini, tak terkecuali Gereja di tingkat kevikepan.

Adapun Gereja Katolik Kevikepan Toraja yang bernaung di bawah bendera KAMS, kembali menggelar kegiatan akbar yang dimaksud dan kali ini yang menjadi tuan rumah dari kegiatan Aksi Panggilan tahun 2013 ialah Paroki Santo Paulus Rasul Minanga. Tim Animasi Aksi Panggilan Tahun 2013 pun mengklasifikasikan kegiatan menjadi dua bagian, yakni Temu Akrab bagi Para Remaja dan OMK Se-kevikepan Toraja (tanggal 28 April 2013) dan Temu Akrab bagi Keluarga Uskup, Imam, Frater, dan Suster Se-kevikepan Toraja (tanggal 9 Mei 2013).

Temu Akrab Remaja dan OMK se-Kevikepan Toraja (28 April 2013)
Kegiatan Temu Akrab ini diawali dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin Pastor Vikep Toraja, P.Natanael Runtung, Pr sebagai selebran utama dan didampingi oleh beberapa orang pastor lain, yaitu: P.Filipus Kala’ Pr, P.Barto Pararak Pr, P.Agustinus Sem Pr, P.Hendrik Palimbo Pr, serta Diakon Joni Salama’. Misa pembukaan itu tak hanya dihadiri oleh umat paroki tuan rumah (Paroki Minanga), namun juga komunitas-komunitas suster dan frater yang secara khusus berkarya di Bumi Lakipadada, yakni: Komunitas Suster JMJ, SFIC, Komunitas Frater CMM, dan HHK. Tak terkecuali para mahasiswa(i) dari STIKPAR (Sekolah Tinggi Ilmu Kateketik dan Pastoral Rantepao) dan Para Calon Imam KAMS dari Seminari TOR Sangalla’.

Dalam homilinya, Pastor Vikep Toraja mengatakan bahwa Gereja Katolik sesungguhnya patut berbangga karena hanya Gereja Katolik saja yang mengenal dan mengakui adanya PANGGILAN KHUSUS sebagai salah satu “warisan” dari Sang Guru, Kristus Tuhan, kepada para rasul dan diteruskan kepada kita hingga saat ini. Maka agar “warisan” itu tetap lestari, tak cukuplah jika umat, khususnya kaum muda, jika sebatas berbangga saja. Untuk itu harapan Gereja, terutama di KAMS sendiri, dengan adanya kegiatan ini semakin banyak kawula muda yang mau bergerak dan mengusahakan penumbuh-kembangan benih panggilan Tuhan dalam dirinya. Singkatnya, kaum muda secara sukarela menyerahkan dirinya kepada Gereja untuk menjadi pelayan-pelayan Tuhan demi keselamatan orang banyak.
“OMK Kevikepan Toraja ???”
“Epen-kah? Cupen toh!... Dahsyat.... Ajaib.... Wow!!!”

Sorak-sorai yel-yel OMK se-Kevikepan Toraja itu membahana di langit Paroki Minanga setelah sang komandan acara, P.Hendrik Palimbo, Pr bersama asistennya Diakon Joni Salama’ maju ke depan untuk memimpin para laskar Kristus muda yang berkumpul di halaman SMP Katolik Minanga. Mentari yang semakin meninggi di siang itu justru semakin meningkatkan atmosfer animo 657 OMK yang hadir, yang berasal dari 12 paroki di Kevikepan Toraja. Mereka inilah yang menurut Pastor Vikep Toraja, menjadi anak, cucu-cicit dari Baptisan Pertama di Tampo, Makale 75 tahun silam.

Dalam sharing, tersingkap bahwa cukup banyak orang muda kita yang berhasrat untuk menanggapi bisikan Tuhan namun ada beberapa kendala yang dihadapi, misalnya: kurangnya informasi  mengenai hidup panggilan dan keterbatasan biaya. Tak sedikit pula yang mengakui bahwa peran serta keluarga, khususnya orang tua selaku sponsor utama, sangatlah vital. Tanpanya (orang tua), proses penumbuh-kembangan bibit panggilan akan tersendat dan akhirnya mati! Maka sepatutnyalah keprihatinan di atas menjadi sorotan utama lensa kamera umat dan para pemerhati Gereja KAMS serta semua elemen yang terkait di dalamnya.

Acara Temu Akrab ini juga diisi dengan berbagai hiburan menarik, yakni nyanyi-nyanyian dari STIKPAR dan KTM Makale, serta puisi berantai yang mengocok perut dari para Frater TOR KAMS. Kegiatan ini pun dimeriahkan oleh gerak dan lagu dari para Pastor, Suster, dan Frater yang hadir. Akhirnya, kegiatan Temu Akrab pun ditutup dengan makan siang bersama agar makin mempererat tali persahabatan dan persaudaraan di kalangan OMK sendiri. Sayonara..!!!

Temu Akrab Keluarga Para Uskup, Imam, Suster, dan Frater (9 Mei 2013)
Temu Akrab ini menjadi kegiatan kedua yang diselenggarakan oleh Tim Animasi Panggilan Kevikepan Toraja Tahun 2013 pasca kegiatan Temu Akrab Remaja dan OMK pada 28 April yang lalu. Kegiatan yang masih dilaksanakan di Pusat Paroki Sto. Paulus Rasul Minanga ini, dihadiri oleh puluhan peserta yang merupakan keluarga dari para Uskup, Imam, Suster, dan Frater yang berasal dari 12 paroki dalam Kevikepan Toraja. Acara yang dipimpin oleh Diakon Joni Salama’ ini dimulai jam 8 pagi dan dibuka dengan doa singkat oleh salah seorang suster Kongregasi JMJ. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Ketua Tim Animasi Panggilan Kevikepan Toraja, P. Bartolomeus Pararak, Pr.

Tim Animasi Panggilan pun menyediakan dua pertanyaan refleksi bagi para peserta yang hadir: Apa saja tantangan yang dihadapi oleh kaum muda dalam menanggapi panggilan Tuhan? dan  Apa saja tantangan para kaum berjubah dalam menghayati panggilan dan tugas perutusannya? Jawaban demi jawaban dari para peserta pun bermunculan ketika sesi sharing dibuka. Sebagian besar berpendapat bahwa tantangan bagi kawula muda dalam menjawab panggilan Tuhan terletak pada perkembangan zaman kini “yang menjanjikan”. Hasil sharing bersama OMK pun memperlihatkan sebagian kecil saja dari mereka yang menyatakan kesediaannya menanggapi Panggilan Tuhan, dan selebihnya menyatakan TIDAK terhadap “jalur khusus”. Sedangkan tantangan bagi para kaum berjubah - menurut para peserta, ada dua macam yaitu internal dan eksternal. Internal berarti berasal dari dalam diri kaum berjubah sendiri: jika mereka masih memiliki pengendalian dan pengusaan diri mereka akan mampu menahan berbagai godaan/tantangan dari luar. Sedangkan yang eksternal bersumber dari luar diri para rohaniawan/wati yang tak lain adalah umat sendiri. Menurut pengamatan umat sendiri, tak sedikit kaum religius yang pada akhirnya meninggalkan sumpah setia mereka pada Gereja, karena umat sendiri yang menjadi batu sandungannya. Dalam bagian akhir kegiatan disimpulkan bahwa minimnya tanggapan kaum muda terhadap panggilan Tuhan disebabkan kurangnya pembinaan iman sejak dini dalam keluarga. Maka peran orang tua dalam keluarga sangatlah penting demi perkembangan benih panggilan dalam diri kaum muda. Perhatian yang sama pun perlu diberikan oleh para orang tua kepada para imam, suster, dan frater, baik itu berupa motivasi maupun kritik dan saran agar mereka yang mengemban tugas suci selalu disadarkan olehnya.

Rangkaian kegiatan Aksi Panggilan dalam rangka Minggu Panggilan Sedunia ke-50 pun ditutup dengan Perayaan Ekaristi. Misa konselebrasi itu dihadiri oleh beberapa imam diosesan KAMS yang bertugas di Kevikepan Toraja (P. Filipus Kala’ Pr, P. Bartolomeus Pararak Pr, P. Stanis Dammen Pr, P. Hendrik Palimbo Pr, P. Petrus Rimba Pr) serta P. Ruben, MSA (berkarya di Keuskupan Pontianak).  Pastor Vikep Toraja, yang menjadi selebran utama, kembali menggarisbawahi peranan orang tua dalam keluarga sebagai motivator utama anak dalam menjawab panggilan Tuhan. Beliau mengutip pesan Hari Panggilan Sedunia: “Daerah-daerah yang di dalamnya berasal banyak imam, suster, dan frater menandakan bahwa pembinaan iman dalam daerah itu sangatlah subur!” Beliau juga tak lupa mengingatkan umat, khususnya para orang tua untuk selalu mendoakan anak-anak mereka yang kini menjadi pelayan Tuhan. *** Penulis: Eliud Edward, TOR-er Sangalla’ 2012/2013