Senin, 26 September 2011

Belajar dari Empat Tahap Pembinaan Iman Gereja Perdana

PENDAHULUAN
              Sinode Diosesan ke-2  Keuskupan Agung kita, yang direncanakan berlangsung 27-31 Mei 2012, semakin mendekat. Sebagaimana sudah disampaikan, Sinode Diosesan II ini diadakan bertepatan dengan momen historis 75 tahun usia Gereja lokal KAMS, yang sekaligus juga berarti 75 tahun CICM berkarya di Indonesia. Karena itu disepakati untuk mengadakan perayaan syukur bersama Gereja lokal KAMS dan Tarekat CICM. Panitia Penyelenggara (OC) dan Panitia Pengarah (SC-Sinode) sudah dibentuk dan sudah mulai bekerja. Khususnya SC-Sinode sedang bekerja merumuskan hasil-hasil dari basis, yang sudah melalui pengolahan di tingkat paroki/unit kategorial dan di kevikepan. Sesungguhnya pertanyaan mendasar yang harus digumuli dalam sebuah Sinode Diosesan ialah, bagaimana kita sebagai Gereja lokal menjadi semakin dewasa dalam iman kepada Kristus, sehingga semakin mantap pula dalam mengamalkannya secara kontekstual ke depan. Dan ini adalah sebuah   pertanyaan kateketis.
Kebetulan juga Sidang Pleno Tahunan KWI, bulan November 2011 yang akan datang, mengambil tema: katekese. Ini kiranya menandakan bahwa para Waligereja Indonesia tetap    menyadari katekese sebagai salah satu bidang teramat penting yang harus selalu mendapat perhatian memadai dalam hidup Gereja. Ini menyegarkan lagi ingatan kita pada Sinode para Uskup di Roma tahun 1977, yang mengambil tema: Katekese. Sinode tersebut menggarisbawahi perlunya pembinaan iman Kristiani yang sistematis dan berkelanjutan. Pembinaan semacam itu tidak hanya terbatas pada anak-anak dan pada Komuni Pertama mereka. Sebaliknya, pembinaan tersebut meliputi seluruh pengalaman kehidupan Kristiani, mulai dari persiapan untuk Pembaptisan sampai kedewasaan Kristiani.
Dalam hal ini perlulah kita belajar dari sistematika pembinaan iman pada umat Kristiani awal, sebagaimana diuraikan oleh Kardinal Carlo Martini. Sebelum diangkat menjadi Uskup Agung Milano, Italia, pada Desember 1979, Pater Carlo Martini SJ, menjabat sebagai Rektor Universitas Kepausan Gregoriana, Roma; dan sebelum itu beliau adalah Rektor Institut Biblicum yang terkenal itu. Beliau dipandang banyak orang sebagai salah satu otoritas terkemuka dalam bidang Kitab Suci. Beliau mengajukan hipotese bahwa ke-4 Injil itu (Markus, Mateus, Lukas, dan Yohanes) merupakan buku pedoman pembinaan iman Kristen dalam empat tahap yang berkesinambungan: 
MARKUS, INJIL KATEKUMEN
Injil Markus memuat unsur-unsur yang hakiki untuk mengintrodusir seorang calon, yang berasal dari suatu lingkungan kafir, ke dalam katekumenat. Markus mengajar calon apa yang perlu untuk mengambil langkah pertama: langkah pertobatan. Calon dibimbing ke ambang pertobatan dengan apa yang dapat disebut sebagai “katekese pra-baptis”. Dalam Mrk. 4:11, misalnya, kita membaca: “Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan”. Di sini kita menemukan proses yang digariskan injil Markus untuk dilalui katekumen. Pada kenyataannya katekumen sudah mengetahui sesuatu mengenai Gereja, sesuatu mengenai kelompok sosial ini yang menyebut diri orang-orang Kristen; dia telah mendengar pembicaraan mengenai orang-orang ini, tetapi apa yang dia tahu hanya dalam “perumpamaan”. Semua itu sedikit mengandung teka-teki dan menimbulkan rasa ingin tahu. Apa yang dia harus buat? Mengapa orang-orang ini begitu antusias? Hidup macam apa yang mereka hayati?
Nah, injil Markus bermaksud membimbing katekumen masuk ke dalam “inti” pengalaman Kristiani: “Kepadamu diberikan rahasia (atau misteri)”. Dengan lain kata, injil Markus membimbing calon melalui suatu proses yang dimulai dengan mengetahui sesuatu tentang Kekristenan, dan kehidupan Kristen, “dari luar”. Ini selanjutnya menimbulkan dalam dirinya rasa ingin tahu dan memancing banyak pertanyaan. Dan akhirnya membawa calon ke dalam kontak langsung dengan misteri Kristus yang memanggil dia ke pertobatan.
Calon lalu memulai peziarahannya, dan demikian lahirlah “jalan katekumen”. Sedangkan kita yang ada di dalam Gereja terkadang menemukannya sebagai sebuah teka-teki. Kita kurang-lebih berada di dalam Gereja, tetapi kita menghayati hidupnya separuh di luar habitus-nya. Maka “jalan katekumen” berarti beralih dari pengetahuan tanpa habitus, yang  mengaburkan makna sejati dari sesuatu, ke suatu perjumpaan langsung. Dan perlu diingat, “jalan katekumen” itu tidak hanya berlaku bagi mereka yang belum menerima air pembaptisan. Ini juga berlaku bagi mereka yang belum mengalami peralihan “dari sisi luar” ke “inti”. Selain itu, kita tidak boleh lupa bahwa, dalam injilnya Markus menekankan kesendirian total yang dialami Kristus: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34c). Ini mengingatkan kita semua akan kesukaran-kesukaran kehidupan Kristiani kita: tidak hanya peralihan itu, dengan jalan Salib, melainkan juga kenyataan bahwa Kristus yang telah menyembuhkan begitu banyak orang sakit selalu mampu menyembuhkan dan menolong kita.
Bagaimana kita mewujudkan jalan lintasan, peralihan ini? Melalui perjumpaan dengan Allah Tuhan kita Yesus Kristus. Sebagaimana ditulis Paulus, orang kafir mengenal sekian banyak allah dan dewa-dewi. Ia hidup dalam sebuah dunia di mana “agama” merupakan sesuatu yang agak bersifat eksternal bagi dia, tidak menyentuh hati. Kini dia diundang untuk beralih dari dunia macam ini, di mana Gereja tampaknya merupakan salah satu sekte keagamaan tambahan di antara sekian banyak lainnya. Dia diundang untuk beralih dari semua ini kepada Allah Yesus Kristus, seorang Allah yang sama sekali unik.
Perjumpaan dengan Allah Yesus Kristus adalah perjumpaan dengan Yesus Kristus, Putera Allah. Karena itulah injil Markus berjudul: “Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Putera Allah” (1:1). Yesus Kristus, Putera Allah, ditampilkan dalam dua jalan berbeda dalam Markus. Pertama, Dia ditampilkan sebagai Guru yang harus diikuti dengan antusias, dan kedua sebagai Injil yang harus diterima. Calon baptis harus mencapai tahap pengetahuan sebagai pengalaman hidup, “Yesus adalah Injil”. Dalam cara Dia hidup dan mati Yesus menampakkan kepada kita wajah sejati Allah. Dan perlu kita catat di sini bahwa bagian terakhir injil Markus, itu seruan kepala pasukan, mewakili seruan katekumen pada ambang pembaptisan: “Sungguh, orang ini adalah Putera Allah” (15:39).
Demikianlah injil Markus menapaki perjalanan yang mengantar orang dari seorang Allah kafir yang dapat kita kendalikan, dari seorang Allah kafir yang diciptakan dalam gambar dan rupa saya sendiri, dari suatu “berhala”, ke seorang Allah yang tak dapat kita kendalikan, seorang Allah yang sama sekali “lain”. Inilah Allah yang mendatangi kita, yang memanggil kita, yang menarik kita kepada DiriNya dan yang membantu kita membuka diri, dalam Putera-Nya, pada kehidupan sejati Injil.
Begitulah, secara sangat umum, jalan yang digambarkan Markus sebagai jalan katekumen. Sebagaimana dapat kita lihat, itu memuat semua yang hakiki bagi suatu pengantar sangat praktis ke dalam tahap persiapan untuk pembaptisan. Ini bukanlah sebuah “katekismus”, sebuah ringkasan dari apa yang harus dipelajari dan diketahui. Ia lebih merupakan sebuah pedoman praktis bagi seseorang yang bertugas mempersiapkan sekelompok katekumen menuju pembaptisan, dengan memperlengkapi dia dengan bahan yang perlu disampaikan kepada mereka.
MATIUS, INJIL KATEKIS
Injil Matius dapat dinamakan demikian, karena berdasarkan pembagiannya yang jelas dan praktis, injil ini memuat bahan yang sangat membantu bagi seorang katekis yang bertugas membimbing mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja. Injil Matius juga cocok disebut “Injil Gereja”, karena dalam mengantar mereka yang sudah dibaptis ke dalam hidup Gereja, kita menemukan di dalamnya banyak hal yang oleh Markus dilewatkan diam-diam. Mereka yang sudah dibaptis diantar ke dalam berbagai tahapan misteri Kerajaan, yang diungkapkan dalam 5 khotbah besar dalam injil Matius (bab-bab 5,10,13,18 dan 24). Cukuplah kita mengambil satu dua bagian yang jelas memperkuat anggapan injil Matius sebagai sebuah katekismus.
“Bacaan kunci” pertama ialah Mat. 28:20: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Bertitik tolak dari sini, kita dapat membaca ulang seluruh injil Matius dan menjelaskan kepada seorang yang telah dibaptis bagaimana Yesus menyertai kita sekarang ini. Inilah suatu cara mendekati teks yang memungkinkan kita melihat bagaimana janji Kristus ini dipenuhi, diaktualisasikan, dalam hidup orang yang sudah dibaptis, dan dalam hidup Gereja.
Sebuah “bacaan kunci” lain, sejajar dengan yang baru saja dikutip, diberikan dalam bagian yang khas Matius: 25:30.31-46, khususnya ayat 35-36: “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku”. Dan orang-orang benar menjawab, katanya: “Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?” Dan Raja itu menjawab: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”. Kita harus dengan teliti memperhatikan kata ganti yang digunakan” “Bilamanakah kami melihat Engkau … Kamu telah membuatnya untuk Aku…”
Nah, membaca teks ini sebagai bagian dari sebuah pengajaran kateketis, apa yang kita lihat adalah suatu penjelasan yang diberikan kepada orang-orang yang telah dibaptis mengenai bagaimana mereka melihat Tuhan dalam saudari-saudara mereka, di tengah kehidupan mereka bersama dalam Gereja. “Mengetrapkan” penemuan akan Tuhan di dalam sesama ini, dalam hubungan dengan kehidupan bersama dalam Gereja, seseorang perlu dihantar untuk mengenali Tuhan dalam sabda dan dalam sakramen, dalam saudaranya, dalam orang kecil, dalam seseorang yang harus dimaafkan.
Banyak bagian injil Matius dapat dibaca dalam terang ini, sebagai inisiasi praktis ke dalam cara mengenali terus-menerus kehadiran Kristus dalam sejarah, khususnya dalam kehidupan Gereja. Dengan lain kata, Matius memperkenalkan kita dengan sebuah tatanan yang agak kompleks. Ia menyajikan kita semua kriteria, prasyarat yang perlu untuk mengenal Tuhan dalam sesama. Dalam arti ini, ia mengantar kita secara sangat konkrit ke dalam kehidupan Gereja.
LUKAS, INJIL TEOLOG
Lukas mendedikasikan baik injilnya maupun Kisah Para Rasul kepada seorang Theophilus tertentu. Siapa gerangan orang ini? Siapapun dia secara historis (“Theophilus” berarti seorang yang mencintai Allah), jelas kiranya bahwa Theophilus adalah orang Kristen yang mulai menyadari betapa jauh dan luas jangkauan komunitas Kristiani serta dampak komunitas tersebut pada dunia “luar” -sebuah dunia yang boleh jadi adalah Yahudi, Yunani atau Romawi. Tiga dunia ini semua muncul dalam Kisah Para Rasul.
Orang Kristen tersebut menyadari bahwa pengalamannya mengenai Gereja tidak hanya berupa pengalaman akan sebuah kelompok kecil orang yang saling mengerti satu sama lain dan yang mengenal Kristus. Itu juga adalah pengalaman menjadi bagian dari sebuah realitas yang membawa dampak pada dunia sekitar, yang kadangkala bereaksi positif, kadangkala tidak. Dan dengan demikian mulailah penganiayaan dan tuduhan-tuduhan, keperluan untuk membela diri dan menjelaskan diri. Dan kita tidak dapat menerangkan diri kepada orang lain kecuali, pertama, kita dapat menjelaskannya kepada diri kita sendiri serta mengisahkan sejarah kita sendiri. Lalu, secara khusus, sebuah krisis sangat berat menerpa komunitas baru yang mungil itu, persis pada akar ke-Yahudian-nya: bagaimana ia melihat dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Yudaisme, pada janji-janji Allah dan dalam hubungannya dengan seluruh kerumitan sejarah dunia? Sedemikian itu muncullah pertanyaan bagi orang Kristen ini: Apa hubungan antara pengalaman iman yang saya miliki dalam komunitas kecil saya dengan berpegang pada aturan moral dan spiritual yang saya temukan dalam injil Matius, dan sejarah dunia yang di dalamnya saya hidup dan terlibat? Dan dunia tersebut sedemikian kompleks, ada sejarah masa lampau, agama-agama kafir, Yudaisme, janji-janji Allah; ada sejarah masa kini, dunia Yunani, dunia Romawi; ada persoalan-persoalan filsafat, sastra; dan terdapat sekian banyak masalah dan isyu-isyu kontroversial yang harus dipecahkan.
Pertanyaan-pertanyaan ini membawa ke kesadaran mendalam dan jelas bahwa terdapat sebuah Sejarah Keselamatan dan menampilkan suatu problem yang berciri khas teologis. Ini seluruhnya menyangkut persoalan memahami akar, yang tiada lain daripada soal kemungkinan agama baru itu, dan konteks yang di dalamnya ia menemukan diri. Lalu apa hubungan antara Sejarah Keselamatan itu dan sejarah dunia? “Teologi”, demikian Lonergan menegaskan, “mempertemukan antara sebuah acuan (matriks) budaya dan makna serta peran suatu agama dalam acuan tersebut” (Method in Theology, p.xi).
Kiranya inilah persis masalah yang menyebabkan penulisan injil Lukas. Injil Lukas merupakan sebuah karya yang cukup berbeda dari injil-injil lainnya. Ia mempunyai tujuan khas sendiri.
YOHANES, INJIL IMAM (PRESBYTER)
Dengan istilah “imam” di sini tidak pertama-tama dimaksudkan imam tertahbis. Kata ini di sini lebih menunjuk pada suatu keadaan senioritas, kematangan. Injil Yohanes adalah injil manusia Kristen yang sudah matang, orang Kristen yang sudah tercerahkan, penganut Kristen yang “sempurna” (“teleios”, sebagaimana dikatakan Paulus). Orang sedemikian adalah “sempurna”, bukan karena ia tidak mempunyai kesalahan-kesalahan, melainkan karena ia telah mencapai “tujuan” (“telos”), “sasaran” dari perjalanan setiap orang Kristen. Jadi ini menyangkut persoalan manusia Kristen yang telah mencapai suatu sosok tertentu. Semua gambaran ini menunjukkan bahwa orang seperti itu telah melalui banyak pengalaman pembinaan Kristiani. Ini merupakan realitas kompleks yang meliputi “pengakuan iman”, dan pengetahuan akan perintah-perintah, yang berarti orang tersebut tahu bagaimana mencintai, berdoa dan terbiasa dengan ritus-ritus peribadatan. Tidak saja bahwa manusia Kristen dewasa itu telah menapaki pengalaman-pengalaman ini. Ia juga telah menggabungkan semua itu, dan menyaringnya bagai sopi manis nan enak. Kematangan Kristiani yang kita bicarakan ini meringkaskan semua yang telah dilalui sebelumnya, membawanya berbuah, melalui pengalaman iman.
Injil Yohanes adalah persis injil yang membangkitkan dan mempersatukan semua pengalaman terdahulu manusia Kristen. Ini sebuah injil kontemplasi. Ia hampir tak memuat perintah-perintah; tidak berbicara mengenai upacara atau ritus-ritus. Ia tidak mengutip begitu banyak pengakuan (iman). “Pengakuan iman”-nya hanyalah: “Bapa memberi kita Putera”. “Pistis”, tanggapan iman, adalah imbangannya. Siapa saja yang memiliki anugerah ini mulai mencintai seperti Kristus mencintai.
Demikianlah maka kita dapat memahami mengapa Yohanes memberi kita hanya satu perintah: Kasih. Tetapi ini harus dimengerti sebagai sebuah sintese menyeluruh kehidupan. Kasih yang dimaksudkan Yohanes persis sama dengan kasih yang diberikan dalam Khotbah di Bukit dalam Matius, dengan contoh-contoh konkrit yang begitu banyak. Ini bukanlah sebuah prinsip abstrak yang daripadanya kita dapat menarik semua kesimpulan praktis. Prinsip Yohanes, “kasih”, adalah sebuah sintese – sebuah sintese kehidupan. Karena itu, ketika ia berkata: “Satu-satunya hal yang harus kita buat, anak-anakku, ialah mengasihi”, ia tahu sungguh-sungguh bahwa Gereja (umat) mengerti apa yang ia maksudkan, karena ia telah mempunyai pengalaman panjang tentang itu.
Mengambil perintah injil Yohanes – sintesis – dalam rumusan sesederhana mungkin berarti mempersatukan eksistensi Kristiani dan sejarah dunia, pada tarafnya yang paling dalam. Injil Yohanes pada hakekatnya bersifat kontemplatif, dengan mengandaikan semua taraf inisiasi yang telah dilalui sebelumnya. Ia mengundang manusia Kristen melangkah lebih lanjut dan menggapai titik akhir “pencapaian”, yang merupakan inti sari Kekristenan. Pada tahap akhir ini, kasih telah menjadi sedemikian mendalam, sedemikian penuh makna, sehingga dapat dianjurkan kepada manusia Kristen sebagai satu-satunya perintah.
   
RANGKUMAN PENUTUP
Apabila kita mempertimbangkan injil-injil sebagai buku-buku pedoman pembinaan Kristen, kita melihat bahwa mereka menampilkan tahap-tahap berurutan yang harus dilalui. Tahap-tahap tersebut sangat diperlukan bagi pengalaman Kristiani. Tahap terakhir, yang diwakili injil Yohanes, harus didahului oleh tahap-tahap yang ditampilkan dalam Markus, Matius dan Lukas. Jika tidak demikian, maka tahap terakhir itu tidak dipahami secara tepat. Kenyataannya, terdapat bahaya besar bahwa ia dapat merosot ke dalam suatu bentuk kontemplasi yang kabur, cukup menyenangkan dalam caranya sendiri, tetapi jauh menyimpang dari tujuan-tujuan konkrit injil Yohanes, seperti melayani orang sakit, perhatian terhadap sesama dan orang miskin.
Selanjutnya, tidak seorangpun dapat berkata, “Melayani saudari-saudaraku adalah cukup bagiku”. Tidak! Saya harus mengerti mengapa saya melayani saudari-saudaraku; visiku mengenai dunia dan tindakan amalku harus disatukan, diintegrasikan. Jika tidak demikian pelayanan seperti itu tidak pernah dapat menyentuh apa yang inti. Betapa heroiknya pun boleh jadi pelayanan sedemikian, ia tidak pernah dapat merupakan tindakan yang diilhami oleh kasih Bapa dan Putera, yang telah memberi sedemikian ikhlasnya kepada saya, dan kepadaNya saya memberikan tanggapan dalam kegembiraan dan kesederhanaan.
Demikianlah, upaya katekese, sebagai sarana pewartaan/pembinaan iman dalam tahapan-tahapan berkelanjutan, harus selalu memuat dua sisi: segi pengetahuan/pemahaman dan segi penghayatan/pengamalan.
Makassar, 12 September 2011
+ John Liku-Ada’
Sumber:  Carlo Martini, Archbishop of Milan, Christian Formation according to the Gospels,    PROGRESSIO, Supplement N.15, June 1980, Roma.

Tidak ada komentar: