Rabu, 20 Juni 2007

Memahami Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki KAMS 2004


Dalam rubrik Dari Meja Uskup Agung, Edisi I Tahun II, KOINONIA kita, dengan judul “Sekilas Kunjungan Pastoral Tahunan”, telah disinggung sepintas lalu salah satu kesulitan dan kritik tajam dari lapangan, menyangkut Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Makassar 2004 (di sini disingkat: Pedoman Dasar DPP-KAMS 2004). Pedoman Dasar tersebut dituding mengacaukan bahkan mematikan aktivitas Depas Paroki itu sendiri. Mengapa? Jawabnya ialah karena pasal 5 ayat 2 Pedoman tersebut menegaskan sifat konsultatif Depas Paroki terhadap Pastor Paroki. Ada pula yang mengeluhkan bahwa Pastor Paroki ditempatkan pada posisi maha kuasa, sebab dia adalah Ketua ex officio DPP dan sekaligus pula Ketua Dewan Keuangan Paroki (Pedoman Dasar DKP-KAMS 2004, pasal 9 ayat 1). Perlu dicatat bahwa ketentuan Pastor Paroki sebagai Ketua Dewan dan sifat konsultatif Dewan itu sejalan dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik (Gereja). Tentu saja ini menyangkut persoalan mendasar dan serius, yang membutuhkan pembahasan secukupnya.

BERDASARKAN PAHAM GEREJA VATIKAN II
Membaca pasal 5 ayat 2 Pedoman Dasar DPP-KAMS 2004 itu secara terisolir, tentulah keliru. Ayat tersebut harus ditafsirkan dalam konteks keseluruhan Pedoman tersebut, khususnya dalam terang apa yang dikemukakan dalam Mukadimah. Mukadimah itu secara sangat singkat menyajikan paham Konsili Vatikan II mengenai Gereja, yang harus menjadi landasan teologis-ekklesiologis Pedoman Dasar DPP-KAMS tersebut. Ajaran resmi Vatikan II mengenai Gereja dirumuskan dalam Konstitusi Dogmatis ‘Lumen Gentium’ tentang Gereja (disingkat LG). LG dibagi dalam 8 bab, yang keseluruhannya terdiri dari 69 artikel: Bab 1 tentang “Misteri Gereja” (aa. 1-8); Bab 2 tentang “Umat Allah” (aa. 9-17); Bab 3 tentang “Susunan Hirarkis Gereja, Khususnya Episkopat (aa. 18-29); Bab 4 tentang “Para Awam” (aa. 30-38); Bab 5 tentang “Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja” (aa. 39-42); Bab 6 tentang “Para Religius” (aa. 43-47); Bab 7 tentang “Sifat Eskatologis Gereja Musafir dan Persatuannya dengan Gereja di Sorga” (aa. 48-51); dan Bab 8 tentang “Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja” (aa. 52-69).

Susunan LG di mana, sebelum berbicara mengenai struktur hirarkis Gereja dalam Bab 3, lebih dahulu dikemukakan tentang Gereja sebagai Misteri dan umat Allah (Bab 1-2), memperlihatkan adanya pergeseran paham yang sungguh penting, dibandingkan dengan paham yang berlaku sebelumnya. Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja dipahami dalam pola piramidal, bersusun empat tingkat. Di puncak ada Paus; lalu di bawahnya ada para Uskup; di bawahnya lagi para Imam, dan de facto juga para Religius; dan di tingkat paling dasar para Awam. Dan kalau orang berbicara mengenai Gereja, pada umumnya yang dimaksudkan ialah hirarki (Paus-Uskup-Imam). LG mengubah paham berpola piramidal ini. Gereja pertama-tama dipahami sebagai MISTERI. Gereja ada karena iman kepada Kristus. Yesus datang dan mewartakan Kerajaan Allah. Itulah Kabar Gembira (Injil). Kemudian ternyata bahwa Kerajaan Allah itu terlaksana dalam hidup dan karya Yesus Kristus sendiri, khususnya dalam sengsara-wafat dan kebangkitan-Nya. Roh Kudus yang diutus Bapa dan Putera (lih. Yoh. 14:16-17 dan 16:7) pada hari Pentakosta memungkinkan sekelompok orang mengaku iman akan Yesus Kristus (Kis. 2:1-41). Dan dengan demikian lahirlah Gereja.

Jadi hakekat paling dalam dari Gereja ialah iman kepada Kristus. Tetapi yang beriman itu adalah manusia-manusia kongkrit, yang disatukan karena iman yang sama itu. Karenanya Gereja itu rohani (misteri, tak kelihatan) dan sekaligus kelihatan (LG,8). Dipandang dari segi kelihatan, Gereja disebut SAKRAMEN, ”yakni tanda dan sarana persatuan mesra (communio/koinonia) dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG, 1). Sebagai sakramen persatuan dengan Allah, Gereja merupakan sebuah paguyuban relasional yang mencerminkan kehidupan komunitas Allah Tritunggal sendiri (lih. LG, 2-4). Dengan mengutip apa yang dikemukakan Sto. Siprianus, Sto. Agustinus dan Sto. Yohanes dari Damsyik, LG artikel 4 ditutup dengan kata-kata ini: ”Demikianlah seluruh Gereja nampak sebagai ’umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus’”. Itu berarti apa yang berlaku dalam Allah Tritunggal semestinya juga diwujudkan dalam kehidupan Gereja, seperti ciri pribadi dan relasional, kesetaraan antar pribadi, ketimbalbalikan dan kesalingan (mutuality and reciprocity).

Dari tema ”Gereja sebagai misteri” kemudian LG beralih fokus pada ”Gereja sebagai umat Allah”. Dengan menggunakan istilah biblis ini Konsili ingin menekankan kembali bahwa Gereja itu terbentuk karena panggilan dan perjanjian Allah untuk menjadikan Gereja sebagai umatNya (LG, 9). Sekaligus mau ditandaskan segi historis Gereja. Maksudnya, Gereja merupakan bagian dari sejarah seluruh umat manusia dan mempunyai tanggungjawab untuk menjadi sakramen kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam sejarah umat manusia tersebut (LG, 13-16). Lewat cara hidup kita sebagai Gereja dan apa yang kita lakukan, diharapkan orang-orang di sekitar kita dapat mengalami kehadiran Allah yang menyelamatkan itu dalam hidup mereka sehari-hari (LG, 17).

Panggilan Allah kepada kita untuk menjadi umatNya kita tanggapi dalam iman dan kita ungkapkan dalam penerimaan sakramen pembaptisan dan krisma (LG, 10). Dengan menerima kedua sakramen ini, kita semua sebagai anggota Gereja memiliki kesetaraan martabat maupun hak dan tanggungjawab untuk terlibat dalam kehidupan Gereja maupun tugas pelayanannya (LG, 32). Dalam LG, 32 muncul istilah ”keluarga Allah” sebagai padanan ”umat Allah”. Istilah ”keluarga Allah” untuk menunjuk umat Allah lebih banyak digunakan dalam Konstitusi Pastoral ’Gaudium et Spes’ tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini (GS). Istilah ini tentu mempunyai dasar biblis pula (bdk. doa ”Bapa Kami”). Yesus mengajar kita menyapa Allah sebagai Bapa kita. Kalau Allah adalah Bapa kita, maka kita adalah anak-anak Allah, dan kita satu sama lain adalah saudari-saudara (bdk. visi PERSAUDARAAN Ardas KAMS kita). Dengan istilah ”umat Allah” lebih ditampilkan ciri komuniter Gereja; sedangkan dengan ungkapan ”keluarga Allah” lebih ditekankan unsur kasih yang melandasi realitas Gereja yang sama.

Ketika Gereja di mengerti pertama-tama sebagai misteri dan sebagai umat Allah, maka struktur piramidal sebagaimana yang berlaku sebelumnya telah berubah. Dan itu nyata dari alinea pertama LG, 18 sebagai artikel pembuka Bab 3 tentang susunan hirarkis Gereja: ”Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan”. Kutipan ini dengan cukup jelas mengungkapkan bahwa hirarki dalam Gereja adalah suatu fungsi: fungsi pelayanan untuk membangun umat Allah; sifatnya mempersatukan. Tujuannya ialah ”kesejahteraan seluruh Tubuh”. Gambaran Gereja sebagai ”Tubuh mistik Kristus” sudah dikemukakan dalam LG, 7: ”Adapun seperti semua anggota tubuh manusia, biarpun banyak jumlahnya, membentuk hanya satu tubuh, begitu pula para beriman dalam Kristus (lih. 1 Kor. 12:12). Juga dalam pembangunan Tubuh Kristus terdapat aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugerah-Nya sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (lih. 1 Kor. 12:1-11). Di antara kurnia-kurnia itu rahmat para Rasul mendapat tempat istimewa. Sebab Roh sendiri menaruh juga para pengemban karisma di bawah kewibawaan mereka (lih. 1 Kor. 14). Roh itu juga secara langsung menyatukan Tubuh dengan daya-kekuatan-Nya dan melalui hubungan batin antara para anggota. Ia menumbuhkan cinta kasih di antara umat beriman dan mendorong mereka untuk mencintai. Maka, bila ada satu anggota yang menderita, semua anggota ikut menderita; atau bila satu anggota dihormati, semua anggota ikut bergembira (lih. 1 Kor. 12:26)”.

SISTEM SINODAL-KOLEGIAL: DISCERNMENT, BUKAN VOTING
Pergeseran paham dari Gereja sebagai ’lembaga/institusi piramidal’ ke Gereja sebagai ’misteri umat Allah yang berziarah’, dan karenanya sebagai komunio atau koinonia iman, dengan sendirinya membawa pula perubahan sistem kepemimpinan dalam Gereja itu sendiri. Sebelum Konsili Vatikan II terdapat sistem kepemimpinan tunggal dalam Gereja: pada tingkat Gereja Semesta ada Paus, pada tingkat Keuskupan ada Uskup, dan pada tingkat Paroki ada Pastor Paroki. Waktu itu tidak ada Dewan Pastoral Paroki dalam Gereja. Dengan memahami Gereja pertama-tama sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban persaudaraan kristiani (communion of communities), Konsili Vatikan II memperbaharui sistem kepemimpinan dalam Gereja. Lahirlah sistem sinodal. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani syn-’odos, yang artinya ber-jalan bersama (journeying together). Yang dimaksudkan ialah Gereja yang bermusyawarah. Tentu saja tidak mungkinlah bahwa setiap anggota Gereja, sebagai saudara-saudara se-martabat dalam iman, dapat ikutserta dalam setiap musyawarah untuk mengambil keputusan. Yang mungkin ialah sistem perwakilan yang membentuk Dewan-Dewan dengan ciri kolegial (bersifat kerekanan, keakraban sebagai saudara sejawat). Gereja kolegial berarti Gereja yang dipimpin dalam pelayanan oleh Dewan-Dewan Uskup-imam-umat awam bersama. Pada tingkat Gereja Semesta secara kongkrit itu mewujud dalam Dewan para Uskup, dengan ketuanya Sri Paus; pada tingkat Keuskupan dalam Dewan Pastoral Keuskupan, dengan ketuanya Uskup; dan pada tingkat Paroki dalam Dewan Pastoral Paroki, dengan ketuanya Pastor Paroki. Selanjutnya, patut dicatat bahwa di kalangan Gereja di Asia istilah yang lebih populer digunakan ialah Gereja partisipatif. Menurut dokumen-dokumen Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC), di dalam Gereja partisipatif, semua talenta yang dimiliki oleh para anggotanya diterima, dikembangkan, serta dipergunakan demi perkembangan Gereja dan tugas perutusannya (FABC V, 1990, art. 8.1. 2.2). Dijelaskan pula bahwa Gereja partisipatif adalah Gereja di mana para anggotanya memiliki tanggungjawab bersama yang otentik dan tulus, belajar saling mendengarkan dan melakukan dialog, mampu melakukan discernment, berani memberikan kesaksian atas iman mereka (FABC III, 1982, art. 7.6), serta mampu dan mau bekerjasama dengan berbagai macam komunitas yang memiliki iman lain demi diwujudkannya Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat kita (BIRA IV/12, art. 55).

Apa yang dikemukakan di atas kuat menggaungkan demokratisasi. Tetapi agar tidak timbul salah paham, harus segera ditambahkan bahwa proses demokratisasi dalam Gereja tidak persis sama dengan demokrasi yang berlaku dalam Negara. Negara ’dibentuk’ oleh individu-individu yang menjadi rakyatnya seturut pandangan politik modern, demi mengejar kesejahteraan bersama (bonum publicum). Untuk itu disusun UUD Negara. Karena ’didirikan’ oleh rakyat, maka kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat mendirikan partai-partai untuk memperjuangkan kepentingan kelompok atau golongannya dalam kerangka bonum publicum berdasarkan UUD. Lewat partai-partai itu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk lembaga legislatif; rakyat juga memilih pimpinan eksekutif Negara (Presiden-Wapres). Cara pengambilan keputusan ialah lewat pemungutan suara mayoritas (voting). Sistem di Negara Indonesia, yang sampai batas tertentu masih tetap ingin mempertahankan warisan asli Indonesia, dimungkinkan dua tahap pengambilan keputusan. Pertama-tama diusahakan konsensus (mufakat). Tetapi kalau mufakat tidak dapat dicapai, lalu ditempuh sistem voting.

Berbeda dengan Negara, Gereja tidak dibentuk oleh individu-individu yang menjadi anggotanya. Gereja terbentuk karena kehendak Allah yang menyelamatkan dalam Kristus, yang diterima individu-individu dalam iman. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan yang menjadi norma bukanlah kehendak rakyat (baca: anggota Gereja), melainkan kehendak Allah. Proses mencari kehendak Allah itulah yang disebut discernment. Karena yang dicari ialah kehendak Allah, maka proses pencarian itu harus dilaksanakan dalam suasana doa. Pedoman dasar dalam mencari kehendak Allah ialah Kitab Suci (Sabda Allah), yang dapat disebut UUD Gereja. Berbeda dengan UUD Negara yang dapat diubah bila rakyat menghendaki, Kitab Suci tidak pernah boleh diubah. Demokratisasi dalam Gereja bukanlah soal membagi kuasa, melainkan soal memperluas visi Injili (baca: kehendak Allah) agar semakin menjadi dasar kehidupan gerejawi sambil mengakui peranserta dan tanggungjawab setiap anggota Tubuh Kristus itu. Oleh karena itu dalam Gereja tidak pernah ada ’partai-partai’ yang memperjuangkan kepentingan kelompok atau golongannya di Dewan-Dewan Pastoral. Dewan Pastoral Paroki (DPP) harus menjalankan discernment itu khususnya lewat rapat-rapat yang diadakan. Pada tahap akhir proses pembicaraan mengenai sesuatu pokok, rapat harus menentukan pilihan (mengambil keputusan). Ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu: (1) rapat menerima pilihan itu dengan mufakat penuh; (2) rapat menolak pilihan yang diajukan itu dengan mufakat penuh; atau (3) sebagian menerima, sebagian lagi menolak. Yang ke-3 inilah yang problematis. Dapatkah diambil keputusan lewat pemungutan suara mayoritas (voting)? Tetapi apa yang menjamin bahwa suara mayoritas itulah yang sesuai dengan kehendak Allah? Kalau selalu benar bahwa suara mayoritas itu kehendak Allah, benarkah suara massa rakyat yang menolak Yesus dan berteriak-teriak ”salibkan Dia!”, adalah suara Allah? Oleh karena itulah pasal 28 DPP-KAMS 2004 tentang ketentuan pengambilan keputusan memberi jalan lain dari voting: ”Keputusan dalam rapat diambil berdasarkan musyawarah, tetapi jika tidak dapat dicapai mufakat, maka pengambilan keputusan diserahkan kepada Pastor Paroki selaku representasi (wakil) Uskup KAMS di Paroki, atau kepada Uskup KAMS bilamana dipandang perlu dan prinsipil oleh Pastor Paroki”. Ketentuan ini tentu tidak mengesampingkan hal ini, bahwa kalau masih memungkinkan sebaiknya keputusan ditunda; dan proses discernment berjalan terus sampai halnya menjadi lebih matang untuk mengambil keputusan. Apabila toh rapat sudah menyepakati menyerahkan kepada Pastor Paroki untuk mengambil keputusan, tentu saja dia tidak dapat begitu saja mengambil keputusan. Dia harus terus menjalankan discernment pribadi, termasuk meminta pertimbangan orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam pokok yang bersangkutan, sejauh waktu masih memungkinkan, sebelum mengambil keputusan. Tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil Pastor Paroki itu tidak keliru. Tetapi secara obyektif itu masih lebih baik daripada cara voting yang potensial menciptakan keretakan di antara para anggota Tubuh Kristus di tingkat paroki. Itulah nasib yang harus ditanggung seorang pemimpin-pelayan umat Allah, yang adalah saudara-saudaranya sendiri. Bagus sekali hal ini dikatakan oleh Sto. Agustinus, dan yang dikutip dalam LG, 32: ”Bila saya merasa takut karena saya ini untuk kamu, saya merasa terhibur karena saya bersama kamu. Sebab bagi kamu saya ini uskup, bersama kamu saya orang kristiani. Uskup itu nama jabatan, kristiani nama rahmat; yang pertama merupakan risiko, yang lain keselamatan”. Dengan mengganti kata ”uskup” dengan ”pastor”, seorang Pastor Paroki dapat mengatakan hal yang sama (karena mengalami dan merasakannya) kepada umatnya se-paroki, saudari-saudaranya se-iman dalam Kristus!

Berdasarkan dan dalam terang apa yang sudah diuraikan di atas, pasal 5 ayat 2 Pedoman Dasar DPP-KAMS 2004 itu harus dibaca dan dipahami. Ayat tersebut tepatnya berbunyi: ”Pada prinsipnya, DePas Paroki bersifat konsultatif pada Pastor Paroki. Keputusan DePas Paroki hanya mengikat secara hukum bilamana disetujui Pastor Paroki (KHK, kan. 536)”. Ayat ini dirasakan sangat melemahkan peran DPP itu sendiri. Sebab dengan sifatnya hanya konsultatif, Pastor Paroki dapat saja dengan bebas menolak setiap keputusan DPP. Kekhawatiran itu memang dapat menjadi kenyataan apabila Pastor Paroki menjalankan tugasnya sebagai seorang penguasa dari dirinya sendiri. Tetapi sebagai seorang yang dipanggil dan dipilih Allah menjadi pemimpin-pelayan dalam Gereja, umat Allah yang adalah Tubuh Kristus, seorang Pastor Paroki berwajib mencari dan melaksanakan kehendak Allah lewat discernment yang terus-menerus. Dapat terjadi bahwa lewat discernment berkelanjutan Pastor Paroki sampai pada suatu keyakinan dalam nurani yang bening bahwa keputusan DPP itu tidak sesuai dengan kehendak Allah (baca: keliru, tidak dapat dipertanggungjawabkan). Untuk itu ia harus mempunyai alasan-alasan yang kuat. Ketika itu ia tidak hanya boleh melainkan wajib menolak keputusan DPP tersebut. Tetapi selama ia tidak mempunyai alasan-alasan yang kuat untuk menyimpulkan bahwa keputusan DPP itu tidak sesuai dengan ”kehendak Allah”, maka ia tidak dapat begitu saja menolak keputusan tersebut. Dipandang dari pihak DPP, sifat konsultatif itu mau menegaskan bahwa keputusan DPP tidak mempunyai jaminan pasti bahwa itulah kehendak Allah, dan karena itu tidak mempunyai daya ikat yang mutlak. Selanjutnya, bagian kedua ayat 2 pasal 5 DPP-KAMS 2004 itu (”Keputusan DePas Paroki hanya mengikat secara hukum bilamana disetujui Pastor Paroki”), sesungguhnya bukanlah suatu ketentuan yang luar biasa. Itu jelas merupakan konsekwensi dari sifat konsultatif DPP. Tetapi secara yuridis itu ketentuan yang berlaku umum. Juga dalam Negara, sebuah UU misalnya, walaupun sudah disetujui DPR, belum dapat berlaku resmi sebelum disahkan/ditandatangani Presiden. Pada tingkat Daerah, sebuah Perda, walaupun sudah disetujui DPRD, belum mengikat secara hukum sebelum dibubuhi persetujuan (disahkan) Gubernur atau Walikota/Bupati yang bersangkutan.

DEKAT DENGAN SISTEM ASLI INDONESIA: MUSYAWARAH-MUFAKAT
Pola sinodal-kolegial (’berjalan bersama dalam keakraban sebagai kolega’) sebagai sistem yang lahir dari paham Vatikan II mengenai Gereja sebagai umat Allah, Tubuh mistik Kristus, sesungguhnya dekat dengan sistem asli Indonesia: musyawarah-mufakat-gotongroyong. Warisan budaya asli ini sampai sekarang masih dikenal di desa-desa, dan yang oleh Soekarno muda di tahun 1950-an diidealkan sebagai sistem politik nasional, dengan nama demokrasi ala Indonesia. Ciri utama komunitas desa asli Indonesia adalah hidup dan bekerja bersama di bawah panduan tua-tua desa, termasuk kepala-desa yang menduduki tempat khusus. Tujuan fundamental para anggota masyarakat desa ialah hidup dalam kerukunan dan harmoni di antara mereka. Praktek mengerjakan segala sesuatunya secara bersama-sama (gotongroyong) itu juga berlaku dalam proses mengambil keputusan (musyawarah). Dalam musyarawah setiap peserta diperbolehkan mengajukan pendapatnya, setiap orang mempunyai hak untuk didengarkan dan pendapatnya dipertimbangkan oleh yang lain-lain. Sesudah pembicaraan berkepanjangan melalui proses ’give and take’ dan pertimbangan segala pro dan kontra, akhirnya dicapai suatu keputusan. Proses berunding, mempertimbangkan dan memutuskan secara bersama ini dilangsungkan di bawah pimpinan kepala-desa. Keputusan akhir itu disebut mufakat, konsensus. Jadi mufakat adalah fase terakhir dari sebuah musyawarah yang biasanya panjang. Selama proses pembicaraan sampai dicapai persetujuan, pimpinan musyawarah (kepala-desa) tidak diperkenankan bertindak secara otoriter sebagai seorang diktator, melainkan sebagai pemimpin masyarakat sebuah keluarga besar, seorang bapa bagi seluruh komunitas; dia adalah pemelihara hukum adat.

AKHIRULKALAM
Pedoman Dasar DPP-KAMS 2004 sekarang sudah lebih 3 tahun resmi diberlakukan (sejak 27 Mei 2004). Tetapi sebagaimana disinggung dalam KOINONIA kita, Edisi no. 1 Tahun 2, di rubrik Dari Meja Uskup Agung dengan judul ”Sekilas Kunjungan Pastoral Tahunan”, ternyata di lapangan di banyak paroki Pedoman Dasar itu belum berjalan seperti yang diharapkan. Terdapat sejumlah kendala yang dihadapi, termasuk dan khususnya yang menyangkut hal mendasar, yang dibahas dalam tulisan ini. Karena dianggap penting disajikan pembahasan cukup panjang, walaupun sesungguhnya sudah jauh melampaui kapasitas normal sebuah ”rubrik”.

Kecuali itu, harus diakui bahwa sistem sinodal-kolegial itu relatif baru dalam Gereja. Sistem kepemimpinan tunggal yang begitu lama berlaku dalam Gereja (pra-Vatikan II) diganti dengan sistem partisipatif. Tentu dibutuhkan suatu proses panjang untuk mengintegrasikan sistem baru, menggantikan sistem lama. Terutama dibutuhkan kemauan kuat untuk berubah khususnya, maaf, di kalangan kita para Pastor dan anggota Depas! Di samping spiritualitas (iman) yang semakin mendalam dan mantap, dibutuhkan pula profesionalisme dalam melaksanakan tugas perutusan kita sebagai Gereja. Perlu diperhatikan bahwa wewenang Depas Paroki (Pedoman Dasar, pasal 5 ayat 1) dan tugasnya (pasal 6-9) dilaksanakan melalui rapat-rapat atau musyawarah (pasal 26). Dan kita perlu belajar semakin profesional dalam mengadakan rapat-rapat, sebagai perwujudan sistem sinodal-kolegial berdasarkan paham Gereja sebagai umat Allah, Tubuh mistik Kristus. Dan semestinya untuk kita orang Indonesia sistem itu bukan sesuatu yang serba asing, karena dekat dengan sistem asli Indonesia, musyawarah-mufakat.

Tuhan memberkati kita!

Makassar, Medio Juni 2007

+John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: