Tahun 2013 ini dirayakan 50 tahun Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (SC). SC telah ditetapkan dan diumumkan oleh Paus Paulus VI bersama para Bapa Konsili Vatikan II (KV II), 4 Desember 1963.
Para Bapa Konsili sepakat agar kaum awam lebih aktif berpartisipasi (dan berbuah) dalam liturgi, khususnya Ekaristi; serta penataan liturgi hendaknya berdasarkan Kitab Suci dan sumbersumber liturgi.
Pasca KV II hingga kini, masih timbul banyak ketegangan dalam ranah pastoral dan pelaksanaannya. Perdebatan antar umat yang konservatif dan progresif sering terjadi. Misal, meski sudah lazim imam menghadap umat saat Ekaristi, tapi kaum konservatif masih bernostalgia agar imam menghadap altar (atau matahari), dan membelakangi umat.
Tentu saja dua kelompok ini punya argumentasi teologis kuat. Kendati nyanyian dalam Ekaristi dibawakan dalam bahasa Indonesia, tapi kadang muncul kerinduan akan lagu-lagu Gregorian berbahasa Latin, terutama bagi mereka yang sudah Katolik sebelum KV II. Kerinduan ini tak boleh disepelekan, karena menyangkut “perasaan iman”.
Kita bersyukur, dalam liturgi pasca KV II, umat memperoleh bacaan Kitab Suci yang kaya dan berlimpah. Gereja hidup dari Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis dalam Alkitab. Jika Gereja mewartakan Sabda dalam liturgi, ia menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus. “Kristus sendirilah yang berbicara kalau Kitab Suci dibacakan dalam gereja” (SC art.7).
Teks-teks liturgi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa lain. Nyanyian liturgi menjadi bagian integral liturgi. Kaum awam terlibat sebagai petugas liturgi, seperti: prodiakon, lektor, termasuk perempuan dilibatkan. Pada zaman pra KV II, hanya pelayan liturgi yang boleh naik ke panti imam.
Keterbukaan akan pembaruan memberi peluang kebebasan yang salah kaprah. Ketika menyampaikan homili, imam turun dari panti imam, berdialog dengan umat. Homili menjadi tanya-jawab bak guru Taman Kanak-Kanak bersama para muridnya.
Kadang homili diganti dengan semacam sandiwara kecil yang murahan. Kurang persiapan dari segi seni, apalagi dari segi liturgi, pastoral dan teologi. Koor tak hanya membantu partisipasi umat, melainkan justru membawakan lagu-lagu yang cenderung menjadi show dan entertainment. Akibatnya, bukan umat memuji Allah, tapi bertepuk tangan memuji koor.
Semangat dan jiwa triumphalisme masa lampau masih muncul dalam liturgi meski sudah 50 tahun Konstitusi Liturgi SC diterbitkan. Itulah yang menyebabkan ibadah yang seharusnya menjadi perayaan liturgi, terjebak menjadi upacara. Dilupakan bahwa liturgi hendaknya sederhana, tapi luhur; userfriendly dan tak muluk-muluk.
Pembaruan Liturgi oleh KV II bertujuan untuk meningkatkan kehidupan kristiani, mendorong penyesuaian dengan tuntutan zaman dan tak kalah penting, meneguhkan persatuan persaudaraan antarumat beriman.
Kecuali menyangkut iman dan hal-hal utama, KV II memberi kebebasan untuk kreatif dalam penyesuaian dengan budaya setempat. Kita tak perlu secara ketat terpaku pada patokan-patokan yuridis – rubrikisme. Namun diingatkan agar bentuk-bentuk baru hendaknya bertumbuh secara organis dengan bentuk yang sudah ada.
Namun apa yang terjadi? Karena aspek kebersamaan begitu ditekankan, aspek keheningan dilupakan. Pemakaian bahasa lokal menggantikan bahasa Latin cenderung menghilangkan aspek misteri. Diciptakan pembaruan di sana-sini tanpa memahami tradisi. Kita terjebak dalam rasionalisme dangkal. Yang terjadi justru perubahan luar, bukan perubahan dari dalam. Liturgi cenderung menjadi ritual kosong. Allah tak lagi menjadi subyek liturgi. Demi pragmatisme pastoral, kita menciptakan tambahan upacara non liturgis, terjebak dalam salah kaprah. Marilah kita renungkan kembali maksud utama dari Konstitusi Liturgi SC. Secara kritis, kita memilah mana yang sesuai, dan mana yang salah kaprah. Kita perlu bertobat karena sering menyalahgunakan kebebasan yang diberikan.
Pastor RD Jacobus Tarigan - sumber: http://www.hidupkatolik.com/2013/09/10/konstitusi-liturgi-kembali-ke-semangat-awal
Kamis, 07 November 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar