Minggu, 24 Juli 2016

Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat yang Selalu Berubah


Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia (PKKI) XI, baru saja dilaksanakan di Makassar, 29 Agustus - 02 September 2016. Pertemuan dihadiri oleh seratus lebih utusan (Para Ketua/Pengurus Komisi Kateketik) Keuskupan dan Wakil Lembaga Gereja  dari seluruh Indonesia. Ada 37 Keuskupan, namun ada dua keuskupan yang tidak sempat mengirimkan wakil/utusannya.
Tema yang diusung oleh PKKI XI ini ialah “Iman Keluarga: Fondasi Masyarakat yang Selalu Berubah”. Dengan Subtema : “Melalui Sarana Digital, Gereja mengembangkan Pembinaan Iman Keluarga dalam Masyarakat Majemuk.” Tema ini melanjutkan tema PKKI sebelumnya tahun 2012 di Bandung tentang “Katekese Digital”, dan kemudian diramu dengan tema Keluarga yang diusung oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2015. Tema Keluarga di SAGKI 2015 ini ditindaklanjuti oleh Komisi-Komisi yang ada di KWI, untuk diimplementasikan atau diwujudkan dalam karya dan pewartaan Gereja di lapangan pelayanan (paroki dan stasi-stasi).
Komisi Kateketik pun menindaklanjuti tema keluarga tersebut dan karena itu keluarga menjadi fokus atau sorotan pewartaan iman (katekese) dalam konteks era digital masa kini, untuk 4 tahun ke depan. Bagaimana keluarga sebagai unit basis kehidupan bersama, yang merupakan sel dasar masyarakat, bisa semakin dialami dan dirasakan oleh para anggotanya sebagai tempat perjumpaan dengan Allah, menjadi keluarga plus, yang mengalami proses transformasi menjadi paguyuban iman, kasih, kemesraan (persaudaraan) dan damai sejahtera, yang bersaksi dan mewartakan imannya. Inilah yang menjadi tujuan atau sasaran karya katekese terkait keluarga 4 tahun ke depan.
Pelaksanaan acara Pertemuan Kateketik se-Indonesia ini syukur telah berlangsung dengan sangat baik, lacar dan menggembirakan. Para peserta yang datang dari berbagai keuskupan merasa gembira, puas dan kiranya semua pulang dengan sukacita. Terlaksananya PKKI ini tentu merupakan hasil kerjasama berbagai pihak, antara Komisi Katekektik KWI dengan tim dan para mitranya, serta para narasumber yang dibawa serta. Juga berkat dukungan dan peran Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar dengan tim Panitianya yang sangat bersemangat, dinamis, kompak dan solid. Berkat kesiapan dan kesigapan Panitia Pelaksana (OC) Makassar, yang dikomandani oleh Edy Charlie, seluruh proses baik persiapan maupun pelaksanaan dapat diatur, berjalan dengan lancar dan terlaksana sesuai dengan arah, target dan rancangan yang ditetapkan.
Pertemuan Kateketik Nasional ini berlangsung selama kurang lebih 5 hari (4 hari penuh). Acara dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. John Liku Ada’, sebagai uskup tuan rumah, didampingi enam imam koordinator/penghubung Komisi Kateketik di enam regio gerejawi (Sumatera, Jawa, Kalimantan, MAM, Nusra dan Papua). Perayaan Ekaristi pembuka ini tentu merupakan bagian dari keseluruhan acara pertemuan. Karena itu perayaan misa sendiri sudah disiapkan sejak awal untuk menyambut para peserta, dengan menampilkan suasana liturgis bermotif etnik (Sulawesi, Toraja & Manado), dengan dekorasi, iringan dan lagu-lagu liturgi yang dinyanyikan. Para petugas liturgi dari paroki Katedral sementara iringan dan lagu oleh Kelompok Paduan Suara Epifania dari paroki Mariso. Paduan suara Epifania berhasil membawakan dengan sangat baik lagu-lagu liturgi motif Toraja (Hasil Lokakarya Musik Liturgi PML-Yogyakarta dengan KAMS) sehingga dapat menyemarakkan perayaan dan menambah semangat para peserta yang masih kelelahan dengan perjalanan jauh dan baru tiba di Makassar. Acara pembukaan kemudian dilanjutkan aula keuskupan, dengan sambutan-sambutan dari Uskup tuan rumah, Uskup Ketua Komisi dan Bapak Dirjen Bimas Katolik. Siswa-siswi dari SMA Katolik Rajawali juga ikut menyemarakkan acara awal ini dengan iringan musik dan tari-tarian, untuk menyambut para peserta. Awal acara (pembukaan) yang berhasil dan menyenangkan boleh dikatakan sebagian atau 30% dari keseluruhan acara sudah berhasil. Awal yang baik tentu dapat merupakan kekuatan pendorong bagi peserta untuk menjalani acara-acara selanjutnya. 
Selanjutnya acara pertemuan di Hotel Kenari Tower, selama tiga hari diisi dengan presentasi oleh 4 narasumber utama. Adapun materi-materi yang dibahas adalah “Arah dan Wawasan Pertemuan Kateketik” dipandu oleh Dwinarmiyadi (staf Ahli Harian Kompas), “Problematik Keluarga Masa Kini”, oleh Rm. Hibertus Hartono MSF (Sekretaris Komisi Keluarga KWI), “Katekese Umat: Antara Katekese Doktriner dan Katekese Antropologis” oleh Rm. DR. Agustinus Manfred Harbur, Pr (Dosen Kateketik STFT Ledalero, Ende), dan “Sekitar Keluarga dan Dunia Digital” oleh Prof. DR. Eko Indrajit (Ahli Teknologi Informasi). Selain penyajian materi oleh para narasumber, ada juga presentasi “Sharing Keluarga” yang dibawakan oleh 4 pasang pasutri dari Makassar, yang tidak kurang seru dan sangat menarik bagi para peserta.
Presentasi-presentasi yang ditampilkan juga diwarnai dengan selingan, gerak dan lagu yang menghibur serta menyegarkan. Umumnya acara penyegaran telah dipersiapkan oleh tim kreatif OC, namun ada juga yang diprakarsai oleh pembawa materi atau narasumber sendiri. Misalnya Prof. DR. Eko Indrajit sebagai pakar IT, yang tampil sharing dan membawakan materi tentang dunia digital dan keluarga, beliau selalu ditemani sang istri yang juga adalah seorang penyanyi (artis), Lisa A. Riyanto. Dalam membawakan presentasi, sang istri selalu didaulat menyanyi dan Prof. Eko sendiri yang mengiringi (memainkan piano/keyboard). Akibatnya suasana seminar menjadi sangat hidup, ramai dan menghibur. Tambahan lagi ditingkahi obrolan atau cerita sang prof. yang lucu dan menggelitik, membuat para peserta seminar tertawa, terhibur dan makin bersemangat. Karena itu tidak mengherankan, sampai hari terakhir acara, para peserta masih tetap segar bugar dan bersemangat.
Hari terakhir pertemuan ditutup dengan misa penutupan di Gereja Katedral Makassar yang dipimpin oleh Mgr. Paskalis Bruno Syukur (uskup Bogor), sebagai Ketua Komisi Kateketik KWI. Acara misa penutupan ini pun tidak kurang menarik, dibantu petugas liturgi dan Paduan Suara SMA Katolik Rajawali, Makassar, membuat perayaan Ekaristi menjadi khidmat dan mengesankan. Uskup Ketua Komisi pun sangat senang dan sangat berterima kasih atas terlaksananya PKKI XI dengan sangat baik.
Adapun maksud atau tujuan PKKI XI ini mencoba membuat arah katekese Indonesia 4 tahun ke depan. Katekese (katekein) artinya gema Sabda. Sabda yang dimaksud adalah Sabda dari suatu pribadi, yaitu Allah. Maka sesungguhnya tujuan katekese adalah perjumpaan pribadi dengan Allah, mengantar atau membantu orang berjumpa, mengalami dan mencintai Allah. Bagaimana katekese dibuat dan dilaksanakan agar orang sampai pada pengalaman religius?
PKKI ini memilih keluarga sebagai fokus dan locus katekese umat, dengan melihat situasi dan konteks masa kini yaitu Era Budaya Digital. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya digital ini telah mengubah tatanan waktu dan tempat sehingga menjadi semakin singkat dan sempit. Situasi baru yang tidak bisa dihindari ini, mempengaruhi pola pikir, cara hidup, cara berada, berelasi dan berkomunikasi umat beriman. Karena itu cara berkatekese perlu merangkul Dunia Digital untuk mendewasakan pribadi umat beriman. Apakah dengan media dan budaya digital itu, Gereja bisa mengembangkan pembinaan iman umat/keluarga dalam masyarakat yang semakin majemuk dewasa ini? Keluarga-keluarga dewasa ini dilanda persoalan atau menjadi persoalan. Maka yang harus berubah adalah keluarga, bukan sarana atau penambahan sarana atau media digital. Namun, bagaimana dalam era budaya digital orang masih tetap mendengarkan suara Tuhan, masih tetap memiliki kerinduan, mengalami perjumpaan dengan Tuhan, sebagai sumber dan tujuan keselamatan?
Menurut Prof. Eko Indrajit, Dunia Digital (IT) adalah kebudayaan, peradaban, hasil perkembangan (evolusi) ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap zaman memiliki karateristiknya masing-masing, zaman berbeda, budaya berbeda, lingkungan berbeda, dan situasi itulah yang menyebabkan cara orang memahami sesuatu atau mencapai sesuatu, juga berbeda. Dunia dan segala perangkatnya akan terus berubah dan berkembang. Apa yang harus menjadi ukuran dan pegangan ialah SUARA HATI, sebagai Self-Censorship atau kendali terampuh untuk mengatur dan mengembangkan kehidupan. Menurut Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, “di zaman seperti apa pun, termasuk di era digital, manusia tetaplah pribadi yang memiliki hati. Bahkan harus dikatakan bahwa pusat manusia adalah HATI-nya. Maka tantangan paling besar di era digital adalah menemukan bahasa yang dapat menyentuh hati pribadi-pribadi zaman ini” (PKKI X, Bandung 2012, Komunikasi, Majalah Keuskupan Bandung, edisi 384, Oktober 2012).
Karena itu menyikapi dan menggunakan pelbagai sarana teknologi digital, yang sekarang kita alami dan rasakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan keluarga, betapa pun memukau dan memudahkan kita, tetaplah yang paling penting ialah The Man behind the Gun. *** (penulis: RD. Victor Patabang, Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar) 

Tidak ada komentar: