Jumat, 24 Juni 2016

Dari Meja Uskup Agung: SEMAKIN MEMANTAPKAN SISTEM PELAYANAN PASTORAL BERBASIS EKKLESIOLOGI VATIKAN II


I. EKKLESIOLOGI VATIKAN II

Konsili Vatikan II, 1962-1965, disebut Konsili    mengenai Gereja. Memang, ke-16 dokumen (4 konstitusi, 9 dekrit, dan 3 deklarasi) yang dihasilkan Konsili ini semuanya pada hakekatnya bermuara pada Gereja. Dengan semangat aggiornamento, penyesuaian dengan zaman sekarang, Konsili Vatikan II membawa pembaharuan yang sungguh luas dan mendalam dalam hidup Gereja Katolik. “Gereja, yang sampai saat itu sering membanggakan sifatnya yang tetap tak berubah, menjalani evaluasi diri yang mendalam dan bersikap kritis terhadap dirinya. Banyak sikap-sikap dan strategi-strateginya ditinjau kembali dan ditantang dalam terang Injil dan dalam konfrontasi dengan kebutuhan-kebutuhan zaman sekarang” (Robert Hardawiryana, SJ).
      Ajaran Konsili Vatikan II tentang hakekat Gereja (ad intra) dirumuskan dalam Konstitusi Dogmatis ‘Lumen Gentium’ tentang Gereja (disingkat LG). LG dibagi dalam 8 Bab, yang keseluruhannya terdiri dari 69 artikel: Bab 1 tentang “Misteri Gereja” (aa. 1-8); Bab 2 tentang “Umat Allah” (aa. 9-17); Bab 3 tentang “Susunan Hirarkis Gereja, Khususnya Episkopat” (aa. 18-29); Bab 4 tentang “Para Awam” (aa. 30-38); Bab 5 tentang “Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja” (aa. 39-42); Bab 6 tentang “Para Religius” (aa. 43-47); Bab 7 tentang “Sifat Eskatologis Gereja Musafir dan Persatuannya dengan Gereja di Surga” (aa. 48-51); dan Bab 8 tentang “Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja” (aa. 52-69).
Susunan LG di mana, sebelum berbicara mengenai struktur hirarkis Gereja dalam Bab 3, lebih dahulu dikemukakan tentang Gereja sebagai Misteri dan umat Allah (Bab 1-2), memperlihatkan adanya pergeseran paham yang sungguh penting, dibandingkan dengan paham yang berlaku sebelumnya. Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja dipahami dalam pola piramidal, bersusun empat tingkat. Di puncak ada Paus; lalu di bawahnya ada para Uskup; di bawahnya lagi para Imam, dan de facto juga para Religius; dan di tingkat paling dasar para Awam. Dan kalau orang berbicara mengenai Gereja, pada umumnya yang dimaksudkan ialah hirarki (Paus-Uskup-Imam). LG mengubah paham berpola piramidal ini. Gereja pertama-tama dipahami sebagai MISTERI. Gereja ada karena iman kepada Kristus. Yesus datang dan mewartakan Kerajaan Allah. Itulah Kabar Gembira (Injil). Kemudian ternyata bahwa Kerajaan Allah itu terlaksana dalam hidup dan karya Yesus Kristus sendiri, khususnya dalam sengsara-wafat dan kebangkitan-Nya. Roh Kudus yang diutus Bapa dan Putera (lih. Yoh. 14:16-17 dan 16:7) pada hari Pentakosta memungkinkan sekelompok orang mengaku iman akan Yesus Kristus (Kis. 2:1-41). Dan dengan demikian lahirlah Gereja.
Jadi hakekat paling dalam dari Gereja ialah iman kepada Kristus. Tetapi yang beriman itu adalah manusia-manusia kongkrit, yang disatukan karena iman yang sama itu. Karenanya Gereja itu rohani (misteri, tak kelihatan) dan sekaligus kelihatan (LG,8). Dipandang dari segi kelihatan, Gereja disebut SAKRAMEN, ”yakni tanda dan sarana persatuan mesra (communio/koinonia) dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG, 1). Sebagai sakramen persatuan dengan Allah, Gereja merupakan sebuah paguyuban relasional yang mencerminkan kehidupan komunitas Allah Tritunggal sendiri (lih. LG, 2-4). Itu berarti apa yang berlaku dalam Allah Tritunggal semestinya juga diwujudkan dalam kehidupan Gereja, seperti ciri pribadi dan relasional, kesetaraan antar pribadi, ketimbalbalikan dan kesalingan (mutuality and reciprocity).
Dari tema ”Gereja sebagai misteri” kemudian LG beralih fokus pada ”Gereja sebagai umat Allah”. Dengan menggunakan istilah biblis ini Konsili ingin menekankan kembali bahwa Gereja itu terbentuk karena panggilan dan perjanjian Allah untuk menjadikan Gereja sebagai umat-Nya (LG, 9). Sekaligus mau ditandaskan segi historis Gereja. Maksudnya, Gereja merupakan bagian dari sejarah seluruh umat manusia dan mempunyai tanggungjawab untuk menjadi sakramen kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam sejarah umat manusia tersebut (LG, 13-16). Lewat cara hidup kita sebagai Gereja dan apa yang kita lakukan, diharapkan orang-orang di sekitar kita dapat mengalami kehadiran Allah yang menyelamatkan itu dalam hidup mereka sehari-hari (LG, 17).
Panggilan Allah kepada kita untuk menjadi umat-Nya kita tanggapi dalam iman dan kita ungkapkan dalam penerimaan sakramen pembaptisan dan krisma (LG, 10). Dengan menerima kedua sakramen ini, kita semua sebagai anggota Gereja memiliki kesetaraan martabat maupun hak dan tanggungjawab untuk terlibat dalam kehidupan Gereja maupun tugas pelayanannya (LG, 32). Dalam LG, 32 muncul istilah ”keluarga Allah” sebagai padanan ”umat Allah”. Istilah ”keluarga Allah” untuk menunjuk umat Allah lebih banyak digunakan dalam Konstitusi Pastoral ’Gaudium et Spes’ tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini (GS). Istilah ini tentu mempunyai dasar biblis pula (bdk. doa ”Bapa Kami”). Yesus mengajar kita menyapa Allah sebagai Bapa kita. Kalau Allah adalah Bapa kita, maka kita adalah anak-anak Allah, dan kita satu sama lain adalah saudari-saudara. Dengan istilah ”umat Allah” lebih ditampilkan ciri komuniter Gereja; sedangkan dengan ungkapan ”keluarga Allah” lebih ditekankan unsur kasih yang melandasi realitas Gereja yang sama.
Ketika Gereja di mengerti pertama-tama sebagai misteri dan sebagai umat Allah, maka struktur piramidal sebagaimana yang berlaku sebelumnya telah berubah. Dan itu nyata dari alinea pertama LG, 18 sebagai artikel pembuka Bab 3 tentang susunan hirarkis Gereja: ”Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh. Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan”. Kutipan ini dengan cukup jelas mengungkapkan bahwa hirarki dalam Gereja adalah suatu fungsi: fungsi pelayanan untuk membangun umat Allah; sifatnya mempersatukan. Tujuannya ialah ”kesejahteraan seluruh Tubuh”. Gambaran Gereja sebagai ”Tubuh mistik Kristus” sudah dikemukakan dalam LG, 7: ”Adapun seperti semua anggota tubuh manusia, biarpun banyak jumlahnya, membentuk hanya satu tubuh, begitu pula para beriman dalam Kristus (lih. 1 Kor. 12:12). Juga dalam pembangunan Tubuh Kristus terdapat aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugerah-Nya sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (lih. 1 Kor. 12:1-11). Di antara kurnia-kurnia itu rahmat para Rasul mendapat tempat istimewa. Sebab Roh sendiri menaruh juga para pengemban karisma di bawah kewibawaan mereka (lih. 1 Kor. 14). Roh itu juga secara langsung menyatukan Tubuh dengan daya-kekuatan-Nya dan melalui hubungan batin antara para anggota. Ia menumbuhkan cinta kasih di antara umat beriman dan mendorong mereka untuk mencintai. Maka, bila ada satu anggota yang menderita, semua anggota ikut menderita; atau bila satu anggota dihormati, semua anggota ikut bergembira (lih. 1 Kor. 12:26)”.

II. SISTEM SINODAL-KOLEGIAL
Pergeseran paham dari Gereja sebagai ’lembaga/institusi piramidal’ ke Gereja sebagai ’misteri umat Allah yang berziarah’, dan karenanya sebagai komunio atau koinonia iman, dengan sendirinya membawa pula perubahan sistem kepemimpinan dalam Gereja itu sendiri. Sebelum Konsili Vatikan II terdapat sistem kepemimpinan tunggal dalam Gereja: pada tingkat Gereja Semesta ada Paus, pada tingkat Keuskupan ada Uskup, dan pada tingkat Paroki ada Pastor Paroki. Waktu itu tidak ada Dewan Pastoral dalam Gereja. Dengan memahami Gereja pertama-tama sebagai persekutuan paguyuban-paguyuban persaudaraan kristiani (communion of communities), Konsili Vatikan II memperbaharui sistem kepemimpinan dalam Gereja. Lahirlah sistem sinodal. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani syn-’odos, yang artinya berjalan bersama (journeying together). Yang dimaksudkan ialah Gereja yang bermusyawarah. Tentu saja tidak mungkinlah bahwa setiap anggota Gereja, sebagai saudara-saudara se-martabat dalam iman, dapat ikutserta dalam setiap musyawarah untuk mengambil keputusan. Yang mungkin ialah sistem perwakilan yang membentuk Dewan-Dewan dengan ciri kolegial (bersifat kerekanan, keakraban sebagai saudara sejawat). Gereja kolegial berarti Gereja yang dipimpin dalam pelayanan oleh Dewan-Dewan Uskup-imam-umat awam bersama. Pada tingkat Gereja Semesta secara kongkrit itu mewujud dalam antara lain Dewan para Uskup, dengan ketuanya Sri Paus; pada tingkat Keuskupan antara lain dalam Dewan Pastoral Keuskupan, dengan ketuanya Uskup; dan pada tingkat Paroki dalam Dewan Pastoral Paroki, dengan ketuanya Pastor Paroki. Selanjutnya, patut dicatat bahwa di kalangan Gereja di Asia istilah yang lebih populer digunakan ialah Gereja partisipatif. Menurut dokumen-dokumen Federasi Konferensi-Konferensi Waligereja Asia (FABC), di dalam Gereja partisipatif, semua talenta yang dimiliki oleh para anggotanya diterima, dikembangkan, serta dipergunakan demi perkembangan Gereja dan tugas perutusannya (FABC V, 1990, art. 8.1. 2.2). Dijelaskan pula bahwa Gereja partisipatif adalah Gereja di mana para anggotanya memiliki tanggungjawab bersama yang otentik dan tulus, belajar saling mendengarkan dan melakukan dialog, mampu melakukan discernment, berani memberikan kesaksian atas iman mereka (FABC III, 1982, art. 7.6), serta mampu dan mau bekerjasama dengan berbagai macam komunitas yang memiliki iman lain demi diwujudkannya Kerajaan Allah di tengah-tengah masyarakat kita (BIRA IV/12, art. 55). Memang, Konsili Vatikan II menampilkan pula Gereja sebagai ”Gereja yang memasyarakat” (bdk. Konstitusi Pastoral ’Gaudium et Spes’ tentang Gereja dalam Dunia Dewasa Ini).
Apa yang dikemukakan di atas kuat menggaungkan demokratisasi. Tetapi agar tidak timbul salah paham, harus segera ditambahkan bahwa proses demokratisasi dalam Gereja tidak persis sama dengan demokrasi yang berlaku dalam negara. Negara ’dibentuk’ oleh individu-individu yang menjadi rakyatnya seturut pandangan politik modern, demi mengejar kesejahteraan bersama (bonum publicum). Untuk itu disusun UUD negara. Karena ’didirikan’ oleh rakyat, maka kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyat mendirikan partai-partai untuk memperjuangkan kepentingan kelompok atau golongannya dalam kerangka bonum publicum berdasarkan UUD. Lewat partai-partai itu rakyat memilih wakil-wakilnya untuk lembaga legislatif; rakyat juga memilih pimpinan eksekutif negara (Presiden-Wapres). Cara pengambilan keputusan ialah lewat pemungutan suara mayoritas (voting).  Sistem di negara Indonesia, yang sampai batas tertentu masih tetap ingin mempertahankan warisan asli Indonesia, dimungkinkan dua tahap pengambilan keputusan. Pertama-tama diusahakan konsensus (mufakat). Tetapi kalau mufakat tidak dapat dicapai, lalu ditempuh sistem voting.
Berbeda dengan negara, Gereja tidak dibentuk oleh individu-individu yang menjadi anggotanya. Gereja terbentuk karena kehendak Allah yang menyelamatkan dalam Kristus, yang diterima individu-individu dalam iman. Oleh karena itu dalam pengambilan keputusan yang menjadi norma bukanlah kehendak rakyat (baca: anggota Gereja), melainkan kehendak Allah. Proses mencari kehendak Allah itulah yang disebut discernment. Karena yang dicari ialah kehendak Allah, maka proses pencarian itu harus dilaksanakan dalam suasana doa. Pedoman dasar dalam mencari kehendak Allah ialah Kitab Suci (Sabda Allah), yang dapat disebut ’UUD’ Gereja. Berbeda dengan UUD negara yang dapat diubah bila rakyat menghendaki, Kitab Suci tidak pernah boleh diubah. Demokratisasi dalam Gereja bukanlah soal membagi kuasa, melainkan soal memperluas visi Injili (baca: kehendak Allah) agar semakin menjadi dasar kehidupan gerejawi sambil mengakui peranserta dan tanggungjawab setiap anggota Tubuh Kristus itu. Oleh karena itu dalam Gereja tidak pernah ada ’partai-partai’ yang memperjuangkan kepentingan kelompok atau golongannya di Dewan-Dewan Pastoral. Dewan Pastoral harus menjalankan discernment itu khususnya lewat rapat-rapat atau musyawarah yang diadakan dalam semangat persaudaraan, sehati sejiwa dalam iman (bdk. cara hidup umat Kristen perdana: Kis. 2:41-47; 4:32-35).
Demi mewujudkan dan mengembangkan sosok Gereja yang bermusyawarah (sinodal) secara kolegial, Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang baru dari 1983 menetapkan berbagai struktur/wadah perangkat baru. Selama ini Gereja partikular Keuskupan Agung Makassar secara tahap demi tahap berupaya melaksanakan hal-hal itu, sebagaimana dicoba disajikan secara singkat di bawah ini.

III. STRUKTUR / WADAH / PERANGKAT
A. Tingkat Keuskupan
1. Sinode Diosesan
     Dalam KHK ketentuan hukum menyangkut Sinode Keuskupan meliputi 9 kanon (kan. 460-468). Kan. 460 menjelaskan apa itu Sinode Keuskupan: “Sidang imam-imam dan orang-orang beriman kristiani yang terpilih dari Gereja partikular, untuk membantu Uskup diosesan demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan”. Sesungguhnya penyelenggaraan sinode keuskupan menurut hukum bukanlah suatu keharusan, sebagaimana ditegaskan dalam kan. 461 §1: “Hendaknya sinode keuskupan diselenggarakan di setiap Gereja partikular, bila menurut pandangan Uskup diosesan dan pendapat dewan imam, keadaan menganjurkannya”.

    De facto, sepanjang sejarahnya, Keuskupan Agung Makassar baru dua kali menyelenggarakan sinode diosesan kanonik. Yang pertama pada bulan Oktober 1999, dan yang kedua 27-31 Mei 2012. Sinode yang kedua ini diadakan dalam rangka perayaan 75 tahun usia Gereja partikular ini. Dibandingkan dengan sinode yang pertama, sinode yang kedua ini jauh lebih baik. Disadari bahwa jumlah peserta yang dapat hadir dalam   persidangan sangatlah terbatas. Tetapi supaya kegiatan akbar ini sungguh merupakan upaya berjalan bersama seluruh umat Katolik Keuskupan Agung Makassar, perlu diusahakan melibatkan sebanyak mungkin umat pada tahap persiapan. Maka sejak awal tahun 2010 Panitia Pengarah sudah mulai bekerja dengan mengirimkan daftar pertanyaan ke lapangan untuk dibahas di basis, baik teritorial (rukun/stasi, paroki, kevikepan) maupun kategorial (organisasi internal gerejawi, ormas, komunitas, termasuk komunitas religius, dst.). Hasil-hasil pergumulan dari basis ini dirangkumkan secara tahap demi tahap, baik teritorial (rukun/stasi→paroki→kevikepan) maupun kategorial (organisasi/ komunitas). Selanjutnya, Panitia Pengarah menyusun rangkuman menyeluruh, dan menemukan enam bidang yang tampil ke depan: Keluarga, Pendidikan, Kesehatan, Sosial-Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Sosial-Politik. Bila dicermati, ke-6 bidang ini menyangkut misi Gereja ke luar (ad extra). Sedemikian itu, dan karena ini merupakan hasil pergumulan umat mulai dari basis, disini terungkap kesadaran diri Gereja partikular KAMS sebagai Gereja yang melayani. Kemudian rangkuman ini dikirimkan lagi ke lapangan untuk mendapatkan tanggapan, berupa tambahan/pengembangan atau koreksi. Dalam proses selanjutnya ditemukan lagi dua bidang pokok lainnya, yang dirumuskan di bawah judul: Re-evangelisasi dan Sarana-Prasarana. Akhirnya Panitia Pengarah menyusun rangkuman final dari ke-8 bidang pokok tersebut, yang dimaksudkan menjadi instrumentum laboris (alat kerja) dalam persidangan Sinode.
Sesuai dengan ketentuan KHK kan. 460, Sinode Keuskupan adalah alat bantu bagi Uskup diosesan dalam mengembangkan pelayanan pastoral di keuskupannya. Suatu perencanaan pastoral yang tepat arah dan berdaya guna memprasyaratkan lima tahap penting berurutan, yaitu: visi-misi-strategi-program-aksi. Di Sinode yang lalu disepakati bahwa tugas Sinode ialah menemukan dan merumuskan visi-misi-strategi, sedangkan program dan aksi dipercayakan kepada masing-masing kevikepan untuk menyusun dan melaksanakannya. Demikianlah, di Sinode digumuli tiga pertanyaan utama yang berkaitan. Pertama, kemanakah Gereja partikular KAMS mengarah dalam kurun waktu sekurang-kurangnya lima tahun ke depan (visi)? Setelah mengetahui tujuan, pertanyaan berikutnya ialah: Apa saja yang harus dikerjakan, agar tujuan tersebut dapat tercapai (misi)? Setelah mengetahui tujuan dan apa yang harus dibuat agar tujuan tersebut dapat terwujud, maka pertanyaan ke-3 adalah: Bagaimana semua itu harus dilakukan tahap demi tahap demi tercapainya tujuan (strategis)? Adapun visi-misi-strategi Gereja partikular KAMS hasil Sinode Keuskupan 2012, telah disahkan Uskup diosesan KAMS pada Juli 2012. Dan melalui Surat Gembala “Tindaklanjut Hasil Sinode KAMS 2012” tertanggal 16 Desember 2012 diumumkan bahwa hasil Sinode tersebut resmi diberlakukan sejak 1 Januari 2013. Tentu saja, tindaklanjut hasil Sinode tersebut membutuhkan biaya. Dan agar roh Sinode, yaitu berjalan bersama seluruh umat KAMS, tetap hidup, diputuskan mengadakan Gerakan Seribu (disingkat Gerbu), di mana setiap anggota Gereja lokal KAMS menyumbang Rp 1.000,-/bulan. Setelah diadakan evaluasi dalam rapat Dewan Imam baru-baru ini, diputuskan melanjutkan Gerakan tersebut.
        
2. Dewan-Dewan
       Agar visi-misi Keuskupan dapat ditindaklanjuti, dibutuhkan alat atau perangkat, termasuk struktur. Maka kita berupaya semakin memberdayakan struktur yang sudah ada dan membentuk yang baru sesuai dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik (KHK):

a. Dewan Pastoral Diosesan
KHK kan. 511 berbunyi: “Di setiap keuskupan, sejauh keadaan pastoral menganjurkannya, hendaknya dibentuk dewan pastoral, yang di bawah otoritas Uskup bertugas meneliti, mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut karya-karya pastoral di keuskupan, dan mengajukan kesimpulan-kesimpulan praktis mengenai hal-hal tersebut”.
Sampai sekarang “Dewan Pastoral” sebagaimana dimaksudkan oleh kan. 511 itu belum dimiliki Keuskupan Agung Makassar. Tetapi jelas dari bunyi kanon sendiri, bahwa “Dewan Pastoral” bukanlah suatu keharusan. Kanon menegaskan, “sejauh keadaan pastoral menganjurkannya”. Adapun tugas Dewan Pastoral diosesan itu ialah, “meneliti, mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut karya-karya pastoral di keuskupan, dan mengajukan kesimpulan-kesimpulan praktis mengenai hal-hal tersebut”. Itu berarti tugas Dewan Pastoral sudah tercakup dalam tugas Komisi-Komisi tingkat keuskupan KAMS (lih. Pedoman Dasar Komisi-Komisi KAMS: Visi, Misi & Strategi). Kini KAMS mempunyai tidak kurang dari 18 komisi, yang dikelompokkan ke dalam 4 rumpun, sebagai berikut: I. Rumpun Pewartaan: (01) Komisi Kerasulan Kitab Suci; (2) Komisi Katekese; (03) Komisi Liturgi; (04) Komisi Komunikasi Sosial; II. Rumpun Pembinaan: (05) Komisi Keluarga; (06) Komisi Pendidikan; (07) Komisi Karya Kepausan Indonesia (tingkat keuskupan); (08) Komisi Kepemudaan; (09) Komisi Seminari; III. Rumpun Sosial-Kemasyarakatan: (10) Komisi Hubungan antar Agama dan Kepercayaan; (11) Komisi Kerasulan Awam; (12) Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi; (13) Komisi Aksi Puasa Pembangunan; (14) Komisi Keadilan dan Perdamaian; (15) Komisi Migran dan Perantau; IV. Rumpun Sarana-Prasarana: (16) Komisi Kendaraan; (17) Pengurus Gereja dan Papa Miskin (PGPM): dan (18) Badan Pengembangan Prasarana Pastoral (BP3). Ke-18 Komisi/Badan ini ditempatkan di bawah satu koordinasi yang diketuai Vikjen. Rapat koordinasi lintas Komisi diadakan setiap dua bulan.

b. Dewan Konsultor
KHK menetapkan: “Dari antara para anggota dewan imam oleh Uskup Diosesan diangkat dengan bebas beberapa imam, sekurang-kurangnya enam dan sebanyak-banyaknya duabelas orang, untuk membentuk dewan penasehat dengan jangka waktu lima tahun dengan tugas-tugas yang ditentukan hukum; tetapi meskipun telah lewat lima tahun dewan penasehat tetap menjalankan tugas sampai terbentuk dewan yang baru” (kan. 502 §1).
Saya mengalami Dewan Penasehat atau Dewan Konsultor dapat sangat membantu Uskup diosesan dalam memimpin keuskupan. Oleh karena itu, saya berupaya lebih memberdayakan dan memanfaatkan Dewan Konsultor ini. Pertama-tama, menyangkut keanggotaan, selain anggota yang dengan bebas diangkat Uskup dari anggota Dewan Imam, Vikjen dan para Vikep ditetapkan sebagai anggota ex officio (NB. Menurut Statuta Dewan Imam KAMS, pasal 5, Vikjen dan para Vikep adalah juga anggota ex officio Dewan Imam). Pertimbangannya, Vikjen dan para Vikep diandaikan paling mengetahui situasi dan kondisi pastoral wilayah masing-masing. Kedua, materi yang dikonsultasikan/dibicarakan tidak dibatasi hanya pada hal-hal yang secara jelas “ditentukan hukum”, melainkan praktis pada apa saja yang dianggap perlu oleh Uskup. Karena itu, ketiga, frekwensi rapat Dewan Konsultor ditetapkan sekali dalam dua bulan; dapat pula diadakan di luar ketentuan itu bila ada hal penting mendesak. Uskup juga sangat dibantu oleh rapat mingguan Kuria.

c. Dewan Imam
Tentang Dewan Imam KHK menggariskannya sebagai berikut: “Di setiap keuskupan hendaknya dibentuk dewan imam, yakni himpunan para imam, yang hendaknya merupakan suatu senat Uskup dan mewakili presbiterium; ada pun dewan imam itu bertugas membantu Uskup dalam kepemimpinan keuskupan menurut norma hukum, agar kesejahteraan pastoral bagian dari umat Allah yang dipercayakan kepadanya dikembangkan sebaik-baiknya” (kan. 495 §1).
Surat Keputusan mendirikan Dewan Imam KAMS dikeluarkan pada 20 Desember 2001. Adapun rincian tanggungjawab dan wewenang Dewan Imam digariskan dalam Statuta Dewan Imam KAMS, pasal 1-2. Dewan Imam, yang masa baktinya berlangsung lima tahun, mengadakan rapat dua kali dalam setahun, yaitu dalam bulan Mei dan November.

d. Dewan Keuangan dan Ekonomat
“Di setiap keuskupan hendaknya didirikan dewan keuangan yang diketuai oleh Uskup diosesan sendiri atau delegatusnya dan yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang beriman kristiani yang sungguh ahli dalam hal ekonomi serta hukum negara dan sungguh jujur; mereka diangkat oleh Uskup”, demikian bunyi kan. 492 §1. Selanjutnya ditentukan masa bakti dewan keuangan lima tahun, dan dapat diangkat lagi untuk satu masa bakti. Juga ditegaskan bahwa “orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah atau semenda dengan Uskup sampai tingkat keempat dilarang menjadi anggota dewan keuangan”. Adapun tugas dewan keuangan dirumuskan dalam kan. 493: “Di samping tugas-tugas yang dalam Buku V (tentang) Harta Benda Gereja diserahkan kepadanya, dewan keuangan setiap tahun, menurut petunjuk-petunjuk Uskup diosesan, mempersiapkan anggaran pendapatan dan pengeluaran yang direncanakan untuk seluruh kepemimpinan keuskupan tahun mendatang, dan juga, pada akhir tahun, menyetujui pertanggunganjawaban pendapatan dan pengeluaran”. Kesemuanya itu lebih diperinci dalam Pedoman Dasar Dewan Keuangan KAMS.
Perihal ekonom diatur dalam kan. 494. Di situ dikatakan, “di setiap keuskupan setelah mendengarkan dewan penasihat dan dewan keuangan, hendaknya diangkat oleh Uskup seorang ekonom, yang sungguh ahli di bidang ekonomi serta benar-benar jujur”. Masa bakti ekonom juga lima tahun, dan dapat diangkat kembali untuk lima tahun. Ekonom bertugas menurut cara yang ditentukan dewan keuangan, mengelola harta benda keuskupan di bawah otoritas Uskup dan dari pendapatan yang telah ditetapkan mengadakan pengeluaran-pengeluaran yang diperintahkan Uskup atau orang-orang lain yang ditugaskan dengan legitim olehnya. Pada peralihan tahun haruslah ekonom memberikan pertanggung-jawaban pendapatan dan pengeluaran kepada dewan keuangan.
        Patut dicatat bahwa dari tahun ke tahun kinerja dewan keuangan dan ekonom makin baik. Di kantor ekonomat, ekonom dibantu oleh pegawai/karyawan yang terus berupaya bekerja tekun, rajin, penuh dedikasi, jujur dan profesional. Ekonom bekerja dituntun oleh aturan yang tegas dan jelas. Ia hanya boleh mencairkan dana dari bank dengan cek yang ditandatangani “dua dari tiga (Uskup, Vikjen, Sekretaris)”. Setiap tahun diadakan audit oleh orang yang ditunjuk oleh Dewan Keuangan. Setiap tahun juga Ekonom harus membuat laporan tahunan ke Roma yang ditandatangani Uskup dan Ketua Dewan Keuangan. Demi mencegah kinerja yang tumpang-tindih, maka Ekonom sekaligus menjadi Ketua Komisi Kendaraan dan PGPM tingkat Keuskupan. Sementara itu kerjasama yang lebih lancar antara Dewan Keuangan, Ekonom dan BP3-KAMS terus-menerus diupayakan.
         Saya merasa perlu mengakui dengan terus terang, bahwa salah satu pos yang terus-menerus memusingkan karena setiap tahun mengalami defisit sangat besar ialah pos pendidikan calon imam (seminari). Kita bersyukur bahwa dalam tahun-tahun terakhir jumlah calon imam diosesan kita meningkat tajam. Tetapi biaya hidup dan biaya studi yang terus-menerus naik menjadi beban yang sungguh tidak ringan. Subsidi dari Roma yang memang terus berkurang dan hasil Dana Mgr. Lumanauw jauh dari memadai. Aksi “Dana Mgr. Lumanauw” didirikan Mgr. Frans van Roessel CICM pada HUT ke-40 Imamat beliau, 4 Agustus 1983. Maksudnya, mengumpulkan sumbangan dari umat untuk membantu pembiayaan pendidikan calon imam kita. Rapat Dewan Imam dan Dewan Konsultor baru-baru ini merekomendasikan lebih menggiatkan lagi aksi ini.

e. Sekretariat Keuskupan
Tentu saja sekretariat keuskupan berperan menentukan dalam terus berputarnya roda pelayanan pastoral secara baik dan lancar. Dalam KHK sekretaris (keuskupan) lebih dikenal dengan nama kanselir: “Dalam setiap kuria (keuskupan) hendaknya diangkat seorang kanselir yang tugas utamanya,  kecuali jika ditentukan lain oleh hukum partikular, ialah mengusahakan agar akta kuria diatur serta dibuat siap, dan disimpan dalam arsip kuria” (kan. 482 §1). Ketentuan kanon jelas, tugas utama seorang kanselir (sekretaris) ialah mengatur, membuat siap setiap akta kuria keuskupan, dan juga menyimpannya dalam arsip kuria. Tetapi kanon yang sama secara bijaksana memberi kemungkinan untuk adaptasi lokal dalam melaksanakan tanggungjawab: “Kecuali jika ditentukan lain oleh hukum partikular”. Kiranya pada umumnya di Indonesia sekretariat keuskupan menjalankan fungsi yang lebih luas daripada tugas-tugas yang secara eksplisit disebutkan dalam kanon.
 Patut dicatat, sebagaimana halnya ekonomat, sekretariat keuskupan juga terus-menerus berupaya berbenah diri demi peningkatan kinerja. Pertama-tama, upaya pembenahan internal Kantor Keuskupan dengan membentuk Direksi Kantor yang diketuai Vikjen, dengan anggota Sekretaris dan Ekonom Keuskupan. Pada tanggal 1 Juli 2009 dikeluarkan Pokok-Pokok Peraturan Kepegawaian Kantor Keuskupan Agung Makassar, dilengkapi dengan Petunjuk Pelaksanaan dan naskah Perjanjian Kerja. Sementara itu personalia sekretariat diberi job descriptions yang jelas dan terus-menerus berupaya bekerja dengan tekun, rajin, penuh dedikasi dan profesional.
  Pada tanggal 1 Januari 2015 dikeluarkan Pedoman Kesejahteraan Imam Diosesan Keuskupan Agung Makassar, baik kesejahteraan jasmani maupun, dan terlebih kesejahteraan rohani. Dalam kaitan dengan kesejahteraan rohani para imam dibentuk Tim OF (Ongoing Formation). Sedangkan menyangkut kesehatan jasmani para imam, setelah dibicarakan dalam rapat Dewan Imam dan rapat Dewan Konsultor diputuskan membentuk Tim Kesehatan Imam. Sekretariat juga sedang berupaya melengkapi data base imam, dengan mengirimkan formulir kepada masing-masing imam untuk diisi dan dikembalikan pada kesempatan pertama ke Sekretariat Keuskupan. Setiap neomis (tahbisan baru) dan imam baru yang mau berkarya di KAMS diperkenalkan pada peraturan, kebijakan dan sistem pastoral yang berlaku di KAMS. Sekretariat juga mengkoordinir tugas pendataan umat di setiap paroki di seluruh keuskupan. Baru-baru juga dikeluarkan SK Tim Supervisi ke paroki dan umat kategorial, dan diharapkan segera berfungsi tahap demi tahap.
        
f. Vikaris Yudisial dan Tribunal Diosesan
Setiap Uskup diosesan wajib   mengangkat seorang Vikaris Yudisial atau Ofisial, yang bukan Vikaris Jenderal, dengan kuasa jabatan untuk mengadili…”, demikian bunyi kan. 1420 §1. Selanjutnya ditegaskan: “Vikaris Yudisial bersama Uskup merupakan satu        pengadilan, akan tetapi tidak dapat    mengadili perkara-perkara yang direservasi oleh Uskup bagi dirinya sendiri” (kan. 1420 §2). Keuskupan Agung Makassar berusaha serius tahap demi tahap memenuhi ketentuan KHK ini, antara lain memberi tugas belajar kepada beberapa imam di bidang hukum Gereja. Sayanglah bahwa ada yang kemudian mengundurkan diri dari imamat. Kita sedang menstudikan lagi seorang imam kita di bidang Hukum Gereja. Baru-baru berhasil menyelesaikan program lisensiat dengan sukses, dan saat ini sedang bersiap-siap melanjutkan ke program doktorat. Memang, sebagai Gereja yang masih muda pada umumnya keuskupan-keuskupan di Indonesia belum memiliki personil/perangkat Tribunal memadai, sebagaimana dituntut KHK. Bertahun-tahun KAMS berupaya mendapatkan “Tribunal banding”, tetapi ternyata tidak mudah. Untunglah, akhirnya Uskup Denpasar (Mgr. Benyamin Bria, alm.), selaku    Moderator Tribunal Nusra memberi signal positif, dengan meminta Tribunal KAMS mengirim kasus-kasus perkawinan yang sudah diproses di KAMS untuk selanjutnya diratifikasi. Selanjutnya, lama-kelamaan Tribunal Regio Nusra dikembangkan sampai akhirnya semua Keuskupan se-Indonesia Timur plus Keuskupan Agung Samarinda menjadi anggota. Adapun tujuannya: pertama, sebagai wadah pembelajaran bersama (frekwensi pertemuan dua kali setahun di Mei dan Oktober, dengan tempat secara bergilir); dan, kedua, menjadi ”Tribunal Banding” untuk meratifikasi kasus perkawinan yang sudah diproses pada Tribunal Instansi Pertama.
Kendati masih banyak keterbatasan, khususnya keterbatasan personil, Tribunal KAMS senantiasa berupaya bekerja sebaik-baiknya. Dalam rangka memenuhi persyaratan, Pastor Willi Welle dan Pastor Frans Arring sudah dimohonkan dispensasi sebagai Defensor Vinculi ke Signatura Apostolik di Roma. Kita berharap mendapatkan jawaban positif dalam waktu tidak terlalu lama. Kita berupaya menambah personalia Tribunal, khususnya Assesor dan Notaris. Idealnya akhirnya dapat diangkat Hakim Kolegial. Statistik menunjukkan dari tahun ke tahun jumlah kasus perkawinan yang sampai ke Tribunal terus meningkat. Diperkirakan masih lebih banyak lagi kasus       perkawinan yang tidak/belum sampai ke Tribunal. Oleh karena itu Tribunal KAMS memandang perlunya sosialisasi pelayanan Tribunal ke paroki-paroki secara bertahap. Kecuali itu dipandang perlu pula merancang pedoman kerja Tribunal.
Memang menghadapi makin rapuhnya lembaga perkawinan/ keluarga, penggembalaan pra dan pasca pemberkatan nikah perlu menjadi prioritas    gerakan bersama. Ajakan Apostolik Postsinodal “Amoris Laetitia” harus menjadi bingkai dan roh penggembalaan tersebut. Teknis manajemen dan strategi penggembalaan di lapangan sebaiknya dirancang dan dikawal oleh Tim Komkel KAMS. Penting dan urgen membuka posko konseling masalah perkawinan/keluarga di tempat-tempat tertentu di setiap kevikepan, dengan personil yang terampil.
 Prestasi lain di Tribunal KAMS yang patut dicatat, ialah penanganan urusan laisasi para mantan imam. Berkat usaha serius Tribunal KAMS, dari 18 imam diosesan yang telah mundur dari imamat sampai sekarang, 14 sudah memperoleh kemurahan laisasi dari Paus. Tiga lainnya berkas permohonannya sudah dikirim ke Roma. Diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama sudah ada jawaban positif. Tinggal seorang yang belum dapat diproses karena belum sampai lima tahun meninggalkan imamat, jangka waktu minimal yang ditetapkan Roma untuk dapat     mengajukan permohonan laisasi.

g. Kerjasama dengan Tarekat Religius
Konon, ketika Mgr. N.M. Schneiders CICM, mendirikan seminari di wilayahnya, beliau menetapkan suatu kebijakan visioner dan bersejarah yang disetujui Tarekat CICM. Isi kebijakan tersebut ialah bahwa seminari tersebut pertama-tama bertujuan untuk melahirkan imam-imam diosesan; Tarekat CICM tidak akan berusaha mendapatkan calon untuk CICM dari seminari tersebut sebelum korps imam diosesan menjadi cukup besar. Hasilnya, dari 113 imam yang saat ini berkarya di KAMS, 96 adalah imam diosesan (termasuk Uskup tentunya).
  Tetapi, selaku Uskup diosesan, saya selalu mempunyai keyakinan bahwa kehadiran rekan-rekan imam dari Tarekat Religius sungguh diperlukan demi saling memperkaya, baik di bidang rohani maupun dalam karya pastoral. KAMS harus tetap terbuka menerima Tarekat Imam yang ingin berkarya di wilayah KAMS. De facto, saat ini ada 8 imam CICM dan 4 imam MSC yang berkarya di KAMS. Sejak tahun silam masuk 3 imam CMF dan 2 imam SVD. Sementara itu ada 7 Tarekat Suster, baik yang sudah dari dulu maupun yang baru datang: Sr. JMJ (105 anggota), Sr. BKK (3 anggota), Sr. CIJ (10 anggota), Sr. SFIC (10 anggota) Sr. RMI (3 anggota), Sr. MC (3 anggota), dan Sr. FMM (3 anggota). Sedangkan Tarekat Frater Religius ada dua, yaitu Fr. HHK (85 anggota) dan CMM (9 anggota).
Demi lancarnya dan efektifnya kerjasama antara Gereja lokal dan Tarekat Religius, KHK menetapkan sebagai berikut (kan. 681): “§1. Karya-karya yang oleh Uskup diosesan diserahkan kepada para biarawan tetap berada di bawah otoritas dan pimpinan Uskup itu juga, dengan tetap berlaku hak para Pemimpin religius sesuai dengan norma kan. 678 §2 dan 3. §2. Dalam hal-hal demikian hendaknya dibuat suatu perjanjian tertulis antara Uskup diosesan dan Pemimpin yang berwenang dari tarekat tersebut. Dalam perjanjian itu antara lain ditentukan dengan tegas dan teliti hal-hal yang menyangkut karya-karya yang harus dilaksanakan anggota-anggota yang diperbantukan padanya dan hal-hal keuangan”. Perjanjian termaksud ini belum ada dengan semua Tarekat tersebut di atas, sementara ada yang perlu diperbaharui. Karena itu baru-baru dikeluarkan SK Pembentukan Tim Perumus, yang sekarang sudah mulai bekerja.

B. Kevikepan
Gereja lokal KAMS dapat dikatakan memiliki sosok Gereja diaspora, suatu kawanan kecil tersebar. Walaupun pendataan umat belum seluruhnya rampung di semua paroki, diperkirakan jumlah umat Katolik KAMS saat ini sekitar 160.000 jiwa. Itu berarti hanya sekitar 1,3% dari keseluruhan penduduk wilayah KAMS, yang meliputi tiga propinsi (Sulsel, Sultra dan Sulbar). Jumlah penduduk ke-3 propinsi tersebut kini diperkirakan 12 juta. Tetapi jumlah sekecil itu tersebar di wilayah seluas 100.623 km2. Kini ada 46 paroki, 2 quasi-paroki, dan tidak kurang dari 545 stasi. Kecuali itu dari tempat yang satu ke tempat yang lain terdapat banyak perbedaan.
Oleh karena itu, untuk dapat melayani kawanan kecil yang begitu tersebar ini secara lebih baik, kita memutuskan membentuk beberapa Kevikepan yang dipimpin seorang Vikaris Episkopal (Vikep) atau Wakil Uskup. Sekitar jabatan dan fungsi seorang Vikep, silakan baca tulisan “Sekitar Jabatan dan Fungsi Vikjen/Vikep dalam Gereja”, KOINONIA, vol. 11 no. 1, Desember 2015 – Februari 2016: 1-6. Yang pertama dibentuk adalah Kevikepan Sulawesi Tenggara, pada 2002. Kini terdapat 5 Kevikepan, yaitu: (1) Kevikepan Sulawesi Tenggara; (2) Kevikepan Makassar; (3) Kevikepan Luwu Raya; (4) Kevikepan Sulawesi Barat, dan (5) Kevikepan Toraja. Tentu saja diharapkan ke-5 Kevikepan ini dapat berfungsi semakin baik. Tetapi harus diakui, sebagai struktur yang baru dengan perangkat yang masih serba minim, membutuhkan waktu yang lama dalam mencari-cari bentuk yang sesuai.

C. Paroki
1. Dewan Pastoral Paroki
      Pada tanggal 1 April 2016 yang lalu dikeluarkan Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Makassar yang definitif, menggantikan Pedoman Dasar sebelumnya yang masih berstatus “ad experimentum”. Sebenarnya menurut ketentuan KHK, keberadaan Dewan Pastoral Paroki bersifat fakultatif: Kan. 536 §1. Jika menurut pandangan Uskup diosesan setelah mendengarkan Dewan Imam, dianggap baik, maka hendaknya di setiap paroki didirikan dewan pastoral yang diketuai pastor-paroki; dalam dewan pastoral itu kaum beriman kristiani bersama dengan mereka yang berdasarkan jabatannya mengambil bagian dalam reksa pastoral di paroki, hendaknya memberikan bantuannya untuk mengembangkan kegiatan pastoral; §2. Dewan pastoral mempunyai suara konsultatif saja dan diatur oleh norma-norma yang ditentukan Uskup diosesan”.
     Berdasarkan pengalaman sampai sekarang, ada paroki di mana Dewan Pastoral berjalan baik sesuai ketentuan KHK di atas, ada paroki di mana belum berjalan baik, bahkan ada pula paroki di mana Dewan Pastoral terkesan mandek. Yang biasanya dituding sebagai penyebab kemandekan tersebut ialah pasal 5 ayat 2 Pedoman Dasar tersebut. Ayat tersebut tepatnya berbunyi: “Pada prinsipnya Depas Paroki bersifat konsultatif pada Pastor Paroki. Keputusan Depas Paroki hanya mengikat secara hukum bilamana disetujui Pastor Paroki”. Pemahaman umum mengenai sifat “konsultatif” membuat Depas pasif, hanya menunggu komando dari Pastor Paroki. Bila tak ada inisiatif dari Pastor Paroki, maka tak pernah akan ada rapat Depas. Bahkan ada yang berpikir sangat pesimis, kalau segala sesuatunya akhirnya ditentukan oleh Pastor Paroki, untuk apa bersusah-susah menghabiskan waktu, pikiran dalam rapat Depas?
      Tentu saja pikiran dan pemahaman seperti itu keliru, dan harus dikoreksi. Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa, pasal 5 ayat 2 Pedoman Dasar tersebut tidak boleh dibaca dan dimengerti terlepas dari konteks keseluruhan Pedoman Dasar itu sendiri. Kedua, harus diperhatikan bahwa bunyi pasal 5 ayat 2 tersebut merupakan interpretasi atas ketentuan kan. 536 §2 tentang sifat konsultatif Depas Paroki “dan diatur oleh norma-norma yang ditentukan Uskup Diosesan”. Oleh karena itu amat penting membaca dan memahami Lampiran dalam Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki Keuskupan Agung Makassar, 2006 itu, dengan judul “Diskursus Sifat Konsultatif Depas Paroki (Pasal 5,2): Sistem Sinodal Kolegial”.   Sangat diharapkan Depas Paroki semakin dapat berfungsi aktif demi “mengembangkan kegiatan pastoral” di tingkat paroki.

2. Dewan Keuangan Paroki
      Mengenai Dewan Keuangan Paroki, kan. 537 menetapkan sebagai berikut: “Di setiap paroki hendaknya ada dewan keuangan yang diatur selain oleh hukum universal juga oleh norma-norma yang dikeluarkan Uskup diosesan; dalam dewan keuangan itu kaum beriman kristiani yang dipilih menurut norma-norma itu, hendaknya membantu pastor-paroki dalam mengurus harta benda paroki, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 532”. Demi menindaklanjuti ketentuan ini, sudah lama diputuskan supaya di masing-masing paroki dalam wilayah KAMS dibentuk Dewan Keuangan tingkat paroki. Sejak 2004 sudah dikeluarkan Pedoman Dasar Dewan Keuangan Paroki KAMS. Guna melengkapi Pedoman Dasar itu, pada 29 Juni 2013, telah dikeluarkan Pedoman    Keuangan dan Akuntansi Paroki (PKAP) Keuskupan Agung Makassar. Pasal 6 PKAP tersebut berbicara mengenai Supervisi Keuangan oleh Tim yang diangkat melalui SK Uskup.
 Sebagai sebuah struktur yang relatif baru dalam Gereja, Dewan Keuangan Paroki mengalami situasi yang kurang-lebih sama dengan Dewan Pastoral Paroki. Ada paroki di mana Dewan Keuangan sudah mulai berfungsi dengan baik, ada pula yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. Sangat diharapkan supaya di setiap Paroki, Dewan      Keuangan semakin dapat berfungsi    dengan baik.

3. PGPM
     Tahun 1967 Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan nama-nama Lembaga Agama Katolik melalui Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi No. 1/Dd.AT/Agr/67 tertanggal 13 Februari 1967 tentang Penunjukan Badan-Badan Gereja Roma Katolik sebagai Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Tanah    dengan Hak Milik. Adapun Lembaga Agama Katolik yang termasuk Badan Hukum demikian, antara lain disebut Keuskupan Agung dan Paroki. Selanjutnya, Menteri Agama telah menetapkan Hirarki Gereja Katolik Indonesia lewat Keputusan Menteri Agama No. 66 Tahun 2006 tentang susunan Hirarki Gereja Katolik Indonesia; dalam Keputusan tersebut semua nama Keuskupan telah disebut dengan rinci.
 KAMS berusaha memanfaatkan peluang status hukum yang diberikan oleh masing-masing Keputusan tersebut. Baik Keuskupan Agung Makassar maupun setiap Paroki dalam KAMS telah memiliki Akta Pendirian/Anggaran Dasar sebagai Badan Gereja, yang disusun atas bantuan seorang Notaris yang baik hati,  dengan nama: “Pengurus Gereja dan Papa Miskin Roma Katolik”, disingkat PGPM. Pada tingkat Keuskupan bernama PGPM Keuskupan Agung Makassar, sementara di tingkat Paroki: “Pengurus Gereja dan Papa Miskin Roma Katolik (PGPM) ditambah nama Paroki yang bersangkutan. Baik PGPM      Keuskupan maupun PGPM Paroki diangkat oleh Uskup dengan Surat Keputusan. Adapun tugas khusus PGPM ialah mengurus sertifikasi tanah-tanah Gereja, demi mengamankan aset-aset Gereja tersebut. PGPM menggantikan apa yang dulu dikenal dengan nama “Dewan Gereja”.
Satu hal amat penting yang tidak pernah boleh dilupakan atau diabaikan, ialah: Walaupun secara hukum PGPM tercatat sebagai pemilik aset tanah Gereja, ia tidak mempunyai hak untuk mengalih-milikkannya tanpa izin dari Uskup diosesan. Aset-aset tanah Gereja baik yang atas nama PGPM Keuskupan maupun atas nama PGPM Paroki adalah milik Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar. Menurut ketentuan KHK, hanya Uskup diosesan yang memiliki hak sah mengalih-milikkan aset tanah Gereja lokal, setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Konsultor dan Dewan Keuangan      Keuskupan.  

PENUTUP
  Tulisan ini sudah terlalu panjang untuk sebuah rubrik. Tetapi masih jauh dari memadai untuk mengungkapkan secara lebih rinci apa yang telah diupayakan tahap demi tahap guna mengembangkan sebuah sistem pelayanan pastoral berbasis ajaran Vatikan II tentang Gereja. Membangun sebuah sistem pastoral tidak dapat sekali jadi. Ia membutuhkan waktu yang panjang. Adalah menggembirakan dan patut disyukuri bahwa, sistem yang telah kita coba kembangkan tahap demi tahap, dalam batas tertentu mulai menampakkan hasil-hasil positif.
Dalam kaitan itu harus diingat bahwa yang menentukan bukanlah sistem itu  sendiri, melainkan manusia yang menjalankan sistem tersebut, “the man behind the gun”! Dan itulah secara khusus kita para gembala umat, para Pastor! Di pundak kitalah terutama terletak tanggungjawab untuk menindaklanjuti porsi tugas yang dipercayakan Sinode Diosesan ke lapangan, berupa penyusunan program dan aksi berdasarkan visi-misi-strategi hasil Sinode Diosesan 2012 itu. Mari kita bekerja dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga “demi kemuliaan Tuhan … dan kebahagiaan manusia” (LG,17; AG,9).

Makassar, Juni 2016 

+John Liku-Ada’