Rabu, 02 Maret 2016

MENGENAL DAN MENDUKUNG GERAKAN-GERAKAN PEMBAHARUAN HIDUP KELUARGA

Pendahuluan
Rubrik “Dari Meja Uskup Agung” KOINONIA kita, vol. 10, no. 4, saya isi dengan tulisan berjudul “Roh Kudus Sumber Pembaharuan Keluarga”. Hal yang menarik, tetapi sekaligus meresahkan, ialah pada akhir-akhir ini kontroversi tentang masalah LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender), dan berkaitan dengan itu isu perkawinan sejenis, dengan tiba-tiba menghangat di negara kita. Isu yang sampai beberapa saat berselang hanya merupakan berita sayup-sayup dari belahan dunia lain, seakan dengan mendadak sontak merebak di tengah-tengah masyarakat kita. Isu ini, dalam arti tertentu, menegaskan bahwa lembaga perkawinan dan keluarga di mana pun pada dewasa ini sedang terguncang sampai ke akarnya. Oleh karena itu, kita di Indonesia juga harus dapat memahami sungguh-sungguh mengapa Paus Fransiskus menjadikan tema “keluarga” sebagai salah satu fokus keprihatinan pastoral beliau. Sebagaimana kita tahu, beliau telah mengundang dua Sinode para Uskup berturut-turut (Oktober 2014 dan Oktober 2015) untuk membahas tema yang sama sekitar “keluarga”. Dan Gereja Katolik Indonesia memberi    tanggapan positif melalui SAGKI 2015, yang memilih tema “Keluarga Katolik: Sukacita Injil”. Tidak itu saja. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) secara bersama-sama mendukung kuat. Dua tahun berturut-turut Pesan Natal Bersama berkisar pada “keluarga”: “Berjumpa dengan Allah dalam Keluarga” (2014), dan “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” (2015).

Kita semua harus menyadari betapa pentingnya upaya memulihkan dan meneguhkan lembaga keluarga. Keluarga adalah sel masyarakat; jika sel itu sehat maka masyarakat akan sehat. Itulah dalil sosiologis. Dan Sto. Johannes Paulus II pernah menegaskan: “Jika keluarga-keluarga Katolik baik, maka Gereja akan baik”. Karena itulah, dalam Surat Edaran tentang “Tahun Suci Kerahiman Ilahi” kepada para Pastor se-KAMS, saya antara lain menulis: “Adalah harapan saya, Tahun Suci Kerahiman Ilahi dan segala kegiatannya tidak mengalihkan fokus perhatian kita dari program pastoral keluarga; sebaliknya kehadiran Tahun Kerahiman Ilahi seharusnya menjadi landasan dan pedoman imani untuk semakin menggiatkan program dan aksi pastoral keluarga. Penghayatan kerahiman ilahi dalam keluarga akan menjadi sumber kekuatan memulihkan dan meneguhkan hidup keluarga”.

Tiga Rumpun Masalah Utama
Perubahan antropologis dan budaya, yang disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pada zaman kita mempengaruhi segala aspek kehidupan. Di satu pihak, ada aspek-aspek positif, seperti kebebasan berekspresi yang lebih besar dan pengakuan yang lebih baik atas hak-hak perempuan dan anak-anak. Namun, di lain pihak, “berkembangnya bahaya individualisme yang mengubah kodrat ikatan perkawinan dan akhirnya menganggap setiap komponen keluarga sebagai kesatuan yang terpisah, dengan, dalam beberapa kasus, mengarah ke pemikiran bahwa seseorang dibentuk menurut keinginannya sendiri, yang dianggap mutlak. Masalah ini ditambah dengan krisis iman, yang menimpa begitu banyak orang Katolik” (Lineamenta Sinode Uskup XIV, no. 5). “Juga ada perasaan umum ketidakmampuan menghadapi kenyataan sosio-ekonomi yang kerap kali berakhir pada kehancuran keluarga” (Ibid, no. 6).

Dalam artikel yang sudah saya sebut pada awal tulisan ini, saya mencoba menginventarisir berbagai masalah dan tantangan berat yang menggoncang lembaga keluarga pada dewasa ini. Tetapi pernyataan Lineamenta Sinode para Uskup di atas menolong kita melihat masalah-masalah itu dalam tiga kelompok mendasar:

(1) Masalah Relasi: Tren individualisme mengubah secara hakiki relasi antara suami-isteri dan antara orang tua-anak. Kita mengetahui dan mengakui, bahwa satu-satunya dasar sah ikatan perkawinan ialah cinta. Apa hakekat cinta? Pemberian diri dengan sukarela. “Tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”, sabda Yesus (Yoh. 15:13). Tetapi individualisme memutar-balikkan prinsip cinta yang benar itu: dari berpusat pada yang lain beralih ke berpusat pada diri sendiri; dari “merelakan diri dimiliki” beralih ke “menuntut memiliki”. Relasi suami-isteri (dan orang tua-anak) yang didasarkan pada kepentingan diri sendiri ini jelas sangat rawan konflik. Isu perselingkuhan, WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), tidak jarang akarnya adalah masalah ketidak-harmonisan relasi suami-isteri dalam keluarga. Tren individualisme yang berkombinasi dengan hedonisme akan menjadi kekuatan dahsyat dalam menggoncang sendi-sendi lembaga keluarga. Kiranya isu perkawinan sejenis merupakan salah satu ungkapan sedang berubahnya secara mendasar pola relasi intim antar manusia.

(2) Masalah Sosio-Ekonomi: Pernyataan Lineamenta Sinode Uskup, yang dikutip di atas, dalam hal ini sangat kuat. Paus Johannes Paulus II dalam Anjuran Apostolik “Familiaris Consortio” (1981) telah menulis: “Layak pula diperhatikan kenyataan, bahwa di negara-negara ‘Dunia Ketiga’ keluarga-keluarga sering tidak mempunyai upaya-upaya yang sungguh dibutuhkan untuk mempertahankan hidup, misalnya: nafkah, pekerjaan, perumahan dan obat-obatan, serta kebebasan-kebebasan yang elementer” (FC,6). Memang, di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, kemiskinan masih tetap mendera sekian banyak keluarga. Indonesia, ironi sebuah negeri nan subur dan kaya sumber daya alam, tetapi yang sebagian besar rakyatnya masih menderita kemiskinan, akibat ketidak-adilan sosial yang ditulangpunggungi oleh hantu raksasa bernama ‘korupsi’.

Kalimat terakhir itu membawa kita melihat sisi lain dampak masalah sosio-ekonomi pada keluarga-keluarga, tidak terkecuali keluarga-keluarga kaya. Para ahli mengatakan, mayoritas penduduk bumi menderita kemiskinan bukan karena bumi ini tidak mampu lagi memberi makan kepada penduduknya. Persoalannya ialah karena ada pembagian tidak adil kekayaan bumi ini: Hanya 20% penduduk bumi memiliki 80% kekayaan bumi, sementara yang 80% penduduk bumi memiliki hanya 20% kekayaan bumi. Segelintir orang menjadi kaya raya dan tidak pernah puas dalam mengumpulkan harta lebih banyak lagi. Itulah semangat materialisme. Mereka mengembangkan sistem pasar bebas, yang berorientasi pada mencari keuntungan sebesar-besarnya. Mereka terus-menerus menciptakan dan menawarkan produk-produk baru, yang lama-kelamaan membentuk pola hidup konsumtif di tengah masyarakat. Lahirlah apa yang dinamakan konsumerisme. Tetapi pendewaan materi tak akan mampu menjamin tegaknya lembaga perkawinan dan kebahagiaan keluarga-keluarga kaya itu.

(3) Krisis Iman: Inilah rumpun masalah mendasar ketiga, yang dalam pernyataan Lineamenta Sinode Uskup, yang dikutip di atas, disebut kedua. Saya memandang rumpun masalah ini lebih mendasar, dan kiranya melandasi pula dua rumpun masalah yang disebut terdahulu. Dalam Nota Pastoral KWI 2003, tentang “Keadilan Sosial bagi Semua”, kita membaca: “Menurut pendapat kami, akar yang terdalam (dari masalah yang sedang dihadapi bangsa) ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan” (no. 11). Tahun berikutnya, dalam Nota Pastoral 2004 berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa; Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”, hal itu dipertegas lagi dengan kata-kata: “Semakin disadari bersama bahwa hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama” (no. 3).   

Parahnya krisis iman ini telah membawa ke keadaan, yang oleh Paus Johannes Paulus II disebut ‘budaya kematian’. Di negeri kita ini saja, sebagaimana sudah seringkali diberitakan, terjadi pengguguran tidak kurang dari dua setengah juta setiap tahun. Janin dan bayi-bayi tak berdosa yang harus dilindungi justru dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri. Dari segi moral, kejahatan ini jauh lebih besar daripada membunuh seorang yang sudah mampu membela dirinya sendiri. Wilayah ‘budaya kematian’ meliputi pula mentalitas penolakan terhadap datangnya kehidupan baru, seperti terungkap dalam maraknya sterilisasi dan tindakan kontraseptif. Semua ini menyiratkan citra egoisme manusia modern.

  Kita perlu secara khusus di sini      menyinggung isu perkawinan sejenis. Pater Franz Magnis-Suseno menyebut dua alasan hakiki, mengapa “Perkawinan Sejenis Tak Berdasar”: Pertama, “evolusi mengajarkan bahwa spesies yang tidak memberi prioritas tertinggi pada penjaminan keturunannya akan punah. Umat manusia sejak ribuan tahun memberikan perlindungan khusus terhadap persatuan intim laki-laki dan perempuan karena berkepentingan vital akan keturunannya”. Kedua, “agar bayi bisa menjadi orang dewasa yang utuh, dia memerlukan suatu ruang sosial terlindung selama sekitar 20 tahun pertama hidupnya, dengan acuan baik pada manusia laki-laki maupun pada manusia perempuan. Ruang sosial itulah keluarga. Karena alasan yang sama, harapan banyak pasangan homo agar diizinkan mengapdosi anak sebaiknya tidak dipenuhi. Betapapun pasangan homo mencintai anak angkat mereka, tetapi menjadi besar dalam ‘keluarga’ dua ayah atau dua ibu bisa menyebabkan gangguan dalam perkembangan kesosialan anak tersebut” (KOMPAS, 23 Februari 2016).

Dengan menggunakan kacamata ketiga rumpun masalah utama di atas, berikut ini kita akan mengamati gerakan-gerakan yang lahir untuk mengupayakan pemulihan dan peneguhan lembaga keluarga.

Gerakan ME
ME adalah singkatan dari Marriage Encounter (“Pertemuan Perkawinan”). Ini adalah suatu kegiatan positif dan pengalaman pribadi pasangan suami-isteri (pasutri) yang mempelajari dan mengalami: (1) Teknik berkomunikasi atau dasar cinta kasih; (2) Masing-masing pasutri diberi kesempatan untuk melihat lebih dalam pribadi pasangan anda terhadap diri anda, orang lain dan Tuhan; (3) Memberi motivasi untuk memperbaiki relasi dan kehidupan sebagai pasutri.
ME merupakan saat yang tepat untuk berbagi perasaan, harapan, kekhawatiran, keputusasaan serta kebahagiaan, dan merancang masa depan yang lebih baik secara bersama-sama.

Program ME berupa kegiatan “Week-End” diperuntukkan pasutri yang ingin meningkatkan kualitas hubungan dalam kehidupan mereka. Week-End ME dirancang untuk memperluas dan mendalami kebahagiaan sebagai pasutri dan sebagai orang tua. Week-End terbuka pula bagi para Imam, Bruder dan Suster yang ingin meningkatkan relasi dengan umatnya/komunitasnya dan mengembangkan apresiasi terhadap keteguhan mereka secara lebih mendalam, agar tetap setiap mengemban panggilan Tuhan.

Khusus untuk para pasutri, dalam hidup perkawinan sering dapat muncul saat ketika masing-masing menganggap bahwa hubungan mereka sebagai suami-isteri adalah hal yang serba biasa. Dalam Week-End ME pasutri akan menemukan waktu yang tepat untuk mendapatkan sesuatu yang lebih mendalam menyangkut makna perkawinan yang sebenarnya: (1) Kesempatan untuk lepas dari rutinitas; (2) Kesempatan untuk melihat lebih dekat prioritas dalam perkawinan; (3) Suasana diciptakan bagi pasutri untuk lebih menggali masa-masa penting dalam menjalani kehidupan bersama dengan rasa cinta dan penuh pengertian; (4) Pasutri diberi  pandangan, alat dan kepercayaan diri untuk meningkatkan kualitas perkawinan dan mempererat cinta terhadap pasangan.

Gerakan ME dipelopori seorang imam muda, RD Gabriel Calvo. Ketika bertugas di Spanyol, ia menemukan bahwa kesulitan-kesulitan anak-anak remaja yang dibimbingnya ternyata berhubungan erat dengan keadaan orang tua mereka sebagai suami-isteri. Tahun 1962, Pastor Calvo mengadakan pertemuan sebagai rekoleksi akhir minggu untuk para pasutri di Barcelona, yang berlangsung dengan sukses. Sejak gerakan itu berdiri secara resmi tahun 1968 di Amerika, para pasutri dan imam-imam dari berbagai negara telah menghabiskan waktu dan tenaga mereka untuk memperkenalkan Week-End ME di seluruh dunia. Di Indonesia ME diperkenalkan pertama kali oleh Sr. Patricia dari Gembala Baik kepada Uskup Agung Jakarta, Mgr. Leo Soekoto, SJ, sepulangnya dari mengikuti Week-End ME di Amerika. Tanggal 25-27 Juli 1975 untuk pertama kali diselenggarakan Week-End ME di Evergreen, Tugu-Puncak. Tanggal bersejarah itu dicatat sebagai tanggal mulainya ME di Indonesia. Di Makassar sendiri Week-End ME pertama kali diadakan pada tahun 1980. Saya sendiri menjadi peserta Angkatan ke-44 Week-End ME yang diselenggarakan di Keuskupan Agung Makassar. Hingga kini tercatat lebih dari 2 juta pasutri, ribuan Imam, Bruder dan Suster telah mendapatkan manfaat dari Week-End ME yang telah mereka ikuti di seluruh dunia. Mereka ingin berbagi pengalaman, sebab mereka telah benar-benar menemukan sesuatu yang berharga dalam kehidupan perkawinan dan selibat mereka. Bagi saya pribadi, Week-End ME merupakan salah satu    pengalaman sangat berkesan dalam hidup imamat dan episkopat saya.

Menilik apa yang sudah dikemukakan di atas, menjadi jelas Gerakan ME merupakan jawaban terhadap problem relasi dalam hidup perkawinan/keluarga.

Gerakan CU-Kolping
Jika Gerakan ME menjawab problem relasi dalam hidup keluarga, maka Gerakan CU (Credit Union) dan Gerakan Kolping menanggapi masalah sosio-ekonomi yang menerpa keluarga-keluarga. CU dipelopori oleh seorang berkebangsaan Jerman, F.W. Raiffeisen (1818-1888). Lahirnya CU dilatar-belakangi oleh hal-hal berikut: (1) Kemiskinan yang menimpa sebagian besar penduduk, sebagai salah satu efek negatif kemajuan industri; (2) Masih berlakunya paradigma bahwa si miskin harus ditolong dengan mendapatkan bantuan agar dapat keluar dari lingkaran kemiskinan; (3) Perilaku konsumtif yang semakin berkembang; (4) Ancaman kondisi alam; dan (5) Ancaman sistem ekonomi yang menekankan hasil produksi.

Maka Raiffeisen, seorang dengan multi talenta yang berpandangan jauh ke depan, dan didorong oleh keyakinan kristen-nya, tampil memulai Gerakan CU. Adapun inti ajarannya: (a) Setiap orang harus menolong diri sendiri dengan merobah pola pikir, bersikap dan berperilaku hemat serta tekun/rajin; (b) Pendidikan harus terus-menerus dilakukan untuk perubahan berkelanjutan; (c) Setiap orang harus membebaskan diri dari keinginan semata dan memberi prioritas pada kebutuhan hidup; (d) Komunitas harus saling percaya dan bekerja bersama untuk hal yang baik demi memperbaiki kesejahteraan jasmani; lalu kesejahteraan spiritual, dan juga meningkatkan keuntungan bersama; (e) Komunitas harus memampukan dirinya untuk mandiri, daripada bekerja untuk kepentingan para lintah darat; komunitas tidak mengandalkan berbagai bentuk pertolongan dari luar, yang hanya dapat mengurangi kemiskinan mereka sementara saja.

CU mulai hadir di Indonesia 1960-an, diperkenalkan oleh RP Karl Albrecht Karim Arbie SJ, RP John Dijkstra SJ, RP Frans Lubbers OSC, Bpk. FX Bambang Ismawan. Sejak itu CU berkembang dalam lingkungan Gereja, khususnya melalui K-PSE, di hampir semua keuskupan di Indonesia. Di wilayah Keuskupan Agung Makassar, sejak 1970 sejumlah Paroki, Yayasan dan Kelompok Kategorial mendirikan CU, yang sampai sekarang masih hidup, antara lain: CU Fatima Parepare (18 Juli 1976), CU Fatima Makale (26 Mei 1981), CU Stella Maris (1 Juni 1981), CU Siporannu Palopo (18 April 1985), CU Yayasan Paulus (1 Oktober 1985), CU Kesuma Lamasi (29 Januari 1987), CU Marendeng Nonongan (1 Juli 1988). Yang berkembang cukup pesat ialah CU Marendeng, yang kini berganti nama menjadi “KSP Marendeng”, dari hanya 25 anggota waktu didirikan, kini memiliki 18.853 anggota.

Selanjutnya, pada 7 Desember 2006 berdirilah CU Sauan Sibarrung (CUSS). Perkembangan jumlah anggota CUSS termasuk luar biasa. Dari hanya 83 orang waktu didirikan, pada akhir 2015 sudah mencapai 30.901. Wilayah pelayanan CUSS meliputi Toraja dan Luwu Raya serta Parepare. Sementara CU Mekar Kasih (CUMK) yang waktu didirikan pada 29 Juli 2007 hanya beranggotakan 102 orang, kini     mempunyai anggota 11.236 orang. Wilayah      pelayanan CUMK meliputi Kevikepan Makassar minus Parepare, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat.

Gerakan Kolping membawa nama pendirinya, Beato Adolf Kolping, yang juga berkebangsaan Jerman dan bahkan hidup pada abad yang sama dengan pendiri CU, F.W. Reiffeisen; tepatnya 1813-1865. Berarti Gerakan Kolping lahir dari latar belakang yang sama  dengan lahirnya CU, khususnya situasi kemiskinan yang mendera masyarakat kebanyakan. Adolf tidak hanya menyaksikan, tetapi mengalami sendiri apa kemiskinan itu. Kondisi ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan membuatnya terbiasa bekerja keras. Ia terkejut mendapati kenyataan banyak orang mengabaikan imannya. Keprihatinannya itu akhirnya bermuara pada panggilan imamat. Ia ditahbiskan imam pada 13 April 1845. Tahun 1847 ia terpilih menjadi ketua Asosiasi Pekerja Katolik, yang beberapa tahun sebelumnya didirikan Johann Gregor Breuer. Ia berjuang gigih untuk memperbaiki kondisi hidup kaum buruh. Tahun 1850 ia mempersatukan komunitas-komunitas pekerja menjadi “Federasi Pekerja Regio Rhein”. Fusi komunitas-komunitas inilah yang kemudian dikenal sebagai Kölpingwerk (“Karya Kolping”). Tahun 1856 cabangnya berdiri di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. Sembilan tahun kemudian telah berdiri lebih dari 400 cabang di seluruh dunia. Di Jerman sendiri kini Kölpingwerk beranggotakan lebih dari 275.000 cabang, merupakan federasi sosial terbesar di sana. Berbasis di Köln, organisasi ini memiliki cabang di 54 negara. Patut dicatat, Pater-Noldus-Aktion (PNA), yang sudah lebih 50 tahun membantu        Keuskupan kita, didirikan oleh 5 pasutri komunitas Gerakan Kolping pada tahun 1965.

Ciri lain yang perlu diperhatikan, ialah Gerakan Kolping memberi tekanan pada       pengudusan Keluarga. Kita kutip beberapa ucapan Adolf Kolping: “Hal pertama yang ditemukan seseorang dalam hidupnya dan menjadi hal terakhir yang ia jaga, hal paling berharga yang pernah ia miliki, bahkan ketika ia tak mampu menyadarinya, adalah hidup keluarga”. Kedua, “Keluarga seharusnya menjadi tempat di mana proses penyembuhan atau pemulihan setiap insan terjadi – dan harus terjadi – karena keluarga adalah ‘neraca kemanusiaan’; karena keluarga pendidik kemanusiaan”. Ketiga, “Adalah merupakan kebenaran mendasar, bahwa ukuran kesejahteraan umum dan moralitas tidak dapat ditemukan di tempat lain, selain di dalam keluarga. Bila keluarga terpecah-pecah, maka muncullah kehancuran karakter dan kebobrokan moralitas. Akibatnya pondasi masyarakat goyah”.

Fakta perkembangan cepat kedua Credit Union baru, CUSS dan CUMK, sungguh mengagumkan. Dalam kurun waktu hanya 8-9 tahun, keduanya mampu menghimpun bukan hanya belasan ribu melainkan puluhan ribu anggota. Ini menandakan, bahwa masalah ekonomi masih menimpa sekian banyak keluarga di tengah masyarakat kita. Maka saya bermimpi, sekiranya spiritualitas Kolping dapat diintegrasikan menjadi jiwa Gerakan CU! Seandainya saja misi pemberdayaan dan pengudusan keluarga dari Gerakan Kolping dapat diintegrasikan ke dalam Gerakan CU! Dan betapa saya gembira, karena harapan ini disambut baik oleh K-PSE dan Komkel KAMS. Langkah-langkah konkret telah mereka ambil. Misalnya, atas prakarsa dan koordinasi kedua Komisi ini, pada tanggal 10 Oktober 2015 telah dilangsungkan seminar bertema “Pengudusan Hidup Keluarga dan Martabat Pekerja”. Tujuannya antara lain: (1) Mensosialisasikan visi, misi dan nilai-nilai Gerakan Kolping agar dipahami, sehingga tercipta persamaan persepsi dalam gerakan selanjutnya; (2) Diharapkan peserta, setelah memperoleh wawasan tentang Gerakan Kolping, dapat menyebarluaskan informasi tentang Gerakan Kolping di wilayah masing-masing. Peserta seminar terdiri dari: Tim PSE-Caritas dari 5 Kevikepan, Kuria KAMS, Ketua Komisi-Komisi KAMS, Pastor Paroki dalam Kota Makassar, WKRI DPD Sulsel, Kelompok-Kelompok dalam Reksa Pastoral Komkel dalam Kota Makassar (Sie Kerasulan Keluarga, Tim Pendamping KPP, ME, Fidei, Choice, STSM, dll). Kemudian, pada 4 Februari 2016 CU Mekar Kasih  mengadakan seminar dengan tema “Menggali Spiritualitas CU Mekar Kasih dalam Pemberdayaan Sosial Ekonomi Umat KAMS”. Salah satu tujuan seminar tersebut berbunyi: “Menggali spiritualitas gerakan Credit Union dalam wilayah KAMS yang terintegrasi dengan kearifan lokal dan nilai-nilai yang    dibangun dalam keluarga”. Di seminar tersebut saya menyampaikan masukan berjudul “Menggali Spiritualitas CU Mekar Kasih”; sementara prasaran P. Fredy Rante Taruk bertema “Credit Union adalah salah satu pilihan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat berbasis keluarga dan komunitas”. Hal yang sama telah dibuat oleh CU Sauan Sibarrung melalui dua seminar berturut-turut (2012 dan 2013), yang hasilnya masing-masing telah diterbitkan dalam dua buku.

Apabila kita berhasil membangun     Gerakan CU berlandaskan spiritualitas yang handal, kita akan membebaskannya dari bahaya berkembang ke posisi ekstrim yang sama di mana apa yang disebut “Teologi Sukses” berada. Kita tidak pernah boleh lupa pernyataan tegas Yesus: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada mamon (Mat. 6:24).

Harap sekarang apa yang saya cita-citakan sudah jelas. Saya tidak berharap kita mendirikan lagi sebuah gerakan baru bernama Gerakan Kolping, di samping Gerakan CU. Gerakan CU yang sudah ada (CUSS, CUMK, dll) yang dibangun berlandaskan spiritualitas handal berbasis keluarga, itulah Gerakan Kolping kita! Lalu apa yang secara konkret harus dibuat? Menurut saya sederhana saja: Menyisipkan ke dalam program pendidikan/pelatihan terus-menerus, yang sudah dimiliki CU, acara-acara seminar sekitar spiritualitas serta acara-acara rekoleksi atau retret. Untuk acara-acara tersebut, tenaga fasilitator dapat diminta dari lingkungan Komisi Keluarga.

Gerakan CFM dan CFC      
CFM adalah singkatan dari “Catholic Family Ministry”, sedangkan CFC kepanjangannya ialah “Couple For Christ”. Sejauh saya pahami, kedua gerakan ini mempunyai keprihatinan dan sasaran yang sama: pembaharuan iman keluarga sebagai tanggapan terhadap gejala krisis iman yang melanda keluarga-keluarga. Saya ingin memulai dengan mengamati terlebih dahulu secara singkat Gerakan CFC, dengan alasan CFC lebih tua usianya dari CFM.

CFC mulai tahun 1981 di Manila, ketika sebuah komunitas Katolik setempat mencoba suatu pendekatan baru dalam penginjilan para pasutri/keluarga. Segera saja CFC menjadi program pembaharuan hidup keluarga Kristiani yang disediakan untuk paroki-paroki dan kelompok-kelompok pasutri yang ingin menghayati hidup Kristiani mereka dalam hubungan aktif dan saling mendukung satu sama lain. Dari tahun ke tahun sejak didirikan, CFC telah berkembang menjadi suatu pelayanan mendunia dan menjadi suatu kekuatan besar untuk pembaharuan hidup keluarga Kristiani dan juga untuk Gereja sendiri. Tahun 1999 diakui resmi oleh Vatikan sebagai Komunitas Basis Keluarga Katolik. Dan tahun 2005 dikukuhkan sebagai “Asosiasi Awam Internasional untuk Kaum Beriman” (Tarekat Awam). Tahun 1990 CFC masuk ke Indonesia atas restu Uskup Agung Jakarta. Di Indonesia CFC dikenal juga dengan sebutan PASUKRIS (Pasangan untuk Kristus), dan kini sudah hadir di 18       keuskupan di seluruh Indonesia.

Adapun visi CFC ialah: “Keluarga dalam Roh Kudus memperbaharui muka bumi”. Misi-nya: “Memulai hubungan yang lebih baik dengan Allah melalui interaksi harmonis dalam keluarga sehari-hari; dari keluarga yang harmonis berbagai masalah sosial bermasyarakat dapat diperbaiki”. Kegiatan-kegiatan CFC, antara lain: (1) Pertemuan Household: Pertemuan doa mingguan dalam kelompok kecil (5-7 pasangan) yang disebut Household. Pertemuan dilakukan di rumah anggota kelompok secara bergiliran; formatnya: pujian, doa, sharing dan fellowship; (2) Seminar Program Hidup Kristiani: Ini seminar pembaharuan hidup yang terdiri dari 13 kali pertemuan atau 8 kali pertemuan. Pengajaran mencakup: dasar-dasar kebenaran Kristiani, panggilan hidup Kristiani, dan pertumbuhan dalam Roh. Seminar ini merupakan pintu masuk ke dalam komunitas CFC; (3) Pengajaran Lanjutan: Diadakan secara periodik 3 bulan sekali. Materi pengajaran mencakup bahan untuk pembentukan dan pertumbuhan, antara lain: orientasi janji, pelatihan evangelisasi, pelatihan CLP, pelatihan pemimpin Household, dasar kehidupan Kristiani, hidup sebagai umat Allah, dll; (4) Assembly Bulanan: Pertemuan besar untuk seluruh anggota Chapter, yang bertujuan untuk semakin meningkatkan persatuan dan persaudaraan. Diadakan setiap bulan di aula Gereja; formatnya: pujian, doa, ekshortasi, sharing, pengumuman; (5) Retret Pengayaan Perkawinan: Penghayatan akan sakramen perkawinan dan membangun relasi suami-isteri sebagai tim pastoral dalam Retret Pengayaan Perkawinan 1 dan Retret Pengayaan Perkawinan 2; (6) Pelayanan Sosial.

Marilah sekarang kita beralih ke Gerakan CFM. Saya mendapatkan kesempatan penuh rahmat mengikuti Pertemuan Nasional 3-tahunan CFM di Surabaya, 14-17 Januari 2016. Di situlah saya mulai belajar mengenal apa itu CFM. Gerakan CFM resmi berdiri lewat Konsensus Temu Nasional di Trawas, Jatim, 29 November – 1 Desember 2013. CFM merupakan gabungan dari beberapa kelompok gerakan. Cikal-bakalnya adalah kelompok yang semula disebut “Pria Sejati” dan “Wanita Bijak”. Kedua kelompok      gerakan ini asal-mulanya didirikan dan bergerak di lingkungan denominasi non-Katolik. Tetapi kemudian dengan seizin pendirinya, kelompok Katolik mulai mengembangkan “Pria Sejati” dan “Wanita Bijak” yang khas Katolik. Maka “Pria Sejati” berubah nama menjadi “Pria Sejati Katolik” (disingkat: Priskat), dan “Wanita Bijak” menjadi “Wanita Berhikmat Katolik” (disingkat: Waberkat). Dan karena sasarannya adalah keluarga Katolik, dengan misi renewal iman dalam hidup keluarga, maka keduanya bergabung menjadi Gerakan CFM. Selanjutnya disadari bahwa kebutuhan pembaharuan iman dalam keluarga tidak dapat hanya menyangkut suami dan isteri, tetapi seluruh keluarga, termasuk anak. Maka dibentuklah pula kelompok “Young Men” (OMK) dan “Patriot” (Kelompok Kader Militan Katolik). Kecuali itu tidak dilupakan pula kelompok binaan anak/remaja.

CFM memiliki logo, visi, misi dan motto. Logo-nya mengungkapkan cita-cita luhur CFM untuk membangun keluarga Katolik yang kudus (dilambangkan dengan gambar orang berwarna biru-merah-putih = Keluarga Kudus Nazaret) yang berlandaskan terang Kristus (salib bercahaya) dan Kitab Suci (yang terbuka). Adapun visi CFM berbunyi: “Membawa setiap keluarga, yang dipercayakan Tuhan, mencapai kemaksimalannya, yaitu menjadi serupa dengan Kristus (Rom. 8:29) dan setia pada Gereja Katolik”. Sedangkan misi-nya: “Melakukan pemuridan keluarga secara berkesinambungan supaya hidupnya berpusat pada Yesus Kristus, untuk membangun keluarga dan komunitas persaudaraan yang kudus di setiap paroki dalam terang Kitab Suci, tradisi suci dan magisterium”. CFM akan terus berupaya memuridkan hingga keluarga yang terakhir, sebagaimana terungkap dalam motto-nya: “Rescue last family out”. Wadah kegiatan/pembinaan dalam CFM disebut ”Camp”

Dua keistimewaan sangat mengesan yang saya temukan di CFM. Pertama, suasana persaudaraan sangat kental dalam Roh, yang membawa sukacita dari awal hingga akhir. Kedua, proses pemuridan melalui sistem pembinaan berjenjang yang berkesinambungan: anak/remaja – Young Men/ Patriot-Priskat/Waberkat. Konon, model kegiatan/pembinaan di kelompok anak/ remaja CFM dikemas sedemikian rupa sehingga sangat menarik bagi anak/ remaja; anak/remaja merengek kepada orang tua untuk diizinkan bergabung. Ketika anak-anak/remaja itu sudah menanjak menjadi orang muda, mereka didorong bergabung ke Young Men/Patriot. Dan kemudian setelah mereka menikah, sang suami ditampung di Priskat dan isteri di Waberkat. Selama ini di keuskupan-keuskupan ada wadah pembinaan berjenjang: Sekami (untuk anak/remaja) – OMK – sekian banyak wadah/organisasi orang dewasa internal gerejawi. Tetapi sistem berjenjang itu terputus-putus, tidak berkesinambungan. Akibatnya terkesan mubazir, hasilnya tidak banyak terasa.

Penutup: Seruan kepada Para Pastor
  Sebagai para gembala (pastores), kita harus peka membaca “tanda-tanda zaman” (bdk. GS,4) dan mampu menempatkan diri pada posisi yang tepat dalam tahap sejarah karya penyelamatan Tuhan melalui Roh-Nya. Konon, Paus Benedictus XVI, yang kini sudah emeritus, pernah meramalkan bahwa masa depan Gereja ada di tangan gerakan-gerakan pembaharuan kaum awam yang lahir dalam Gereja itu sendiri. Semakin menjadi jelas, bahwa Roh yang berembus dalam dan melalui Konsili Vatikan II, terus bekerja sampai sekarang dan selalu dalam Gereja, umat Allah. Dalam hal ini, kita tidak pernah boleh melupakan nasehat Paulus ini: “Janganlah padamkan Roh … Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tes. 5:19.21).

Maka sebagai penutup tulisan ini, dengan ini saya menyampaikan seruan kepada para Pastor untuk mendukung dan mendampingi gerakan-gerakan pemulihan dan peneguhan lembaga keluarga, sebagaimana terpapar di atas. Selain itu, hendaknya para pastor menjaga agar tidak terjadi persaingan tidak sehat dan benturan di antara gerakan-gerakan tersebut; tugas sebagai gembala / pemimpin ialah mempersatukan. Khusus menyangkut Gerakan CU, yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi umat, para pastor harus mengetahui fungsi khasnya. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa tugas-kewajiban atau kegiatan keduniaan – termasuk di dalamnya upaya pemberdayaan ekonomi umat – secara khas adalah kewenangan kaum awam. Lalu apa yang diharapkan dari para pastor dalam bidang ini? “Dari para imam kaum awam hendaknya mengharapkan penyuluhan (animasi dan pengawasan) dan kekuatan rohani (spiritualitas)” (GS,43).

Makassar, Awal Maret 2016

+ John Liku-Ada’