Senin, 27 Juni 2011

Dari Meja Uskup Agung: Mencoba Memahami Misteri Allah Tritunggal


Hari Minggu sesudah Hari Raya Pentakosta dirayakan sebagai Hari Raya Tritunggal Mahakudus, yang tahun ini jatuh pada 19 Juni. Kekristenan selalu mengklaim diri sebagai agama monoteis. Pengakuan iman akan keesaan Allah itu berdasarkan Kitab Suci (lih. Mrk. 12:29, yang diambil alih dari Ul. 6:4; 1 Tes. 1:9; 1 Kor. 8:4-6; Gal. 3:20; Rom. 3:30; 16:27; 1 Tim. 1:17; 2:5; Ef. 4:6; Yudas 25; Kis. 26:18-20; 20:21; 17:24-29). Tetapi monoteisme Kristen itu khas, diungkapkan dengan sangat padat dalam rumusan teologis: “satu kodrat (natura) dan tiga diri/pribadi (personae) ilahi”, Allah Trinitas, Tritunggal Mahakudus. Suatu ajaran iman yang sungguh sulit dipahami, bukan saja oleh orang-orang non-Kristiani melainkan juga oleh orang-orang Kristiani sendiri. Maka Bpk. Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, pernah menantang para teolog Katolik Indonesia agar berupaya menemukan cara pemaparan baru ajaran Trinitas itu, supaya lebih mudah dipahami oleh manusia modern.
Dalam rangka lebih memaknai Hari Raya Tritunggal Mahakudus, di bawah ini dicoba meretas suatu pendekatan baru, yang moga-moga dapat membantu kita lebih memahami, dan karenanya dapat lebih mudah menerima ajaran iman yang muskil tersebut. Namun, sekaligus harus segera ditambahkan catatan, bahwa realita Allah Tritunggal adalah suatu misteri maha besar yang tak pernah bisa diselami secara tuntas. Hal ini dijelaskan dalam kisah visiun Sto. Agustinus, salah seorang pujangga besar Gereja, yang hidup tahun 354-430 di Afrika Utara. Agustinus menulis buku klasik De Trinitate (Tentang Trinitas) dalam kurun waktu cukup panjang (399-419). Suatu saat dia mengalami pengelihatan ini: Sementara ia mondar-mandir di tepi pantai dengan pikiran terpusat pada pertanyaan, bagaimana menjelaskan ajaran iman bahwa Allah yang esa itu adalah Tritunggal, dia hampir saja menginjak seorang anak kecil yang sedang bermain-main di pantai itu. Untung saja Agustinus sempat melihatnya sebelum melangkahkan kaki di atas anak itu. Terperanjat, Agustinus bertanya: “Nak, apa yang sedang kau buat di sini?” “Saya sedang menggali sumur-sumuran dan setelah itu saya akan memasukkan seluruh air laut ke dalamnya!” jawab anak itu. “Nak, itu mustahil! Bagaimana mungkin sumurmu yang kecil dapat menampung seluruh air laut yang begitu banyak?” “He hee …!” jawab anak itu menyindir, “dan itulah yang bapak sedang buat. Bagaimana mungkin bapak dapat memahami misteri Tritunggal yang begitu besar dengan pikiran bapak yang terbatas?” Lalu anak kecil itu lenyap. Dia seorang malaikat.

TRANSENDENSI MUTLAK ALLAH: TAK TERBATAS
Allah harus diterima sebagai Transendensi Mutlak. Dia adalah asal, prinsip pertama dan terakhir dari segala sesuatu yang ada. Karena itu Dia harus hanya satu, esa. Sebagai Transendensi Mutlak sesungguhnya tiada satu nama pun yang memadai untuk  Dia. Maka ketika Musa bertanya kepada-Nya, siapa nama-Nya, Ia menjawab: “Aku adalah yang Aku ada” (Kel. 3:14).

Transendensi Allah itu tidak boleh dikurangi, karena kalau begitu Dia bukan Allah lagi. Transendensi Allah itu harus Mahabesar, Mahaakbar, Mahamutlak, Tak Terbatas. Karena itu Dia ‘tidak dapat’ terlibat dalam ruang dan waktu, dalam sejarah. Sebab itu akan berarti Dia menjadi terbatas, dan bukan lagi Tak Terbatas, bukan Allah lagi!   

MANUSIA: MAHLUK TERBATAS
Sebaliknya manusia adalah mahluk terbatas. Dua komponen utama keterbatasan ialah: ruang dan waktu. Sebagai mahluk yang terbatas, manusia terikat pada ruang dan waktu. Ia itu nisbi, tidak mutlak; pernah tidak ada (sebelum dilahirkan) dan pernah tidak akan ada lagi (mati). Sering dikatakan, bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti. Tetapi sekurang-kurangnya ada satu kepastian: Sekali seorang anak manusia dilahirkan ke dunia ini, maka di tangannya yang mungil ia menggenggam suatu kepastian. Kepastian apa itu? Bahwa sekali kelak ia akan hilang dari dunia ini. Ia akan mati.

Manusia memang mahluk aneh. Dibandingkan dengan mahluk lainnya (hewan, tumbuh-tumbuhan, apalagi benda mati), manusia istimewa. Dengan akal budinya, manusia mampu mengatasi ruang dan waktu. Ia mampu membayangkan ruang yang jauh lebih luas daripada yang dia dapat lihat dengan mata kepala sendiri. Ia dapat mengenang masa lampau dan memandang jauh ke masa depan. Namun hal itu tidak membebaskan dia dari kenyataan bahwa dia tetap terikat pada saat ini (waktu) di sini (tempat/ruang tertentu). Ia adalah mahluk menyejarah.

MASALAH KEMUNGKINAN AGAMA
  Apa itu ‘agama’? Walau terdapat sekian banyak definisi mengenai ‘agama’, tentu setiap definisi memuat unsur hakiki yang sama. Kita memilih di sini  definisi umum berikut: “Agama adalah hubungan manusia dengan sesuatu kekuasaan suci yang lebih tinggi daripada dia, dari mana ia merasa tergantung dan berusaha mendekatinya. Kekuasaan itu menurut agama masing-masing disebut Allah, Tuhan, Budi Sempurna, Brakhma, Dewa-Dewi, Pencipta, Pusat Dunia, dll. Perasaan ketergantungan disebut kepercayaan dan usaha-usaha mendekati kekuasaan suci itu berwujud doa, upacara keagamaan lain seperti persembahan, kebaktian” (Dähler, 1970:11).

Menurut definisi di atas, agama menerangkan diri sebagai hubungan antara manusia dengan Allah. Itu berarti antara yang terbatas dan Yang Tak Terbatas! Apakah hal itu mungkin? Dikatakan manusia berusaha mendekati Allah, antara lain lewat doa. Apakah doa manusia yang dipanjatkan pada saat tertentu (waktu) di tempat tertentu (ruang) dapat sampai kepada Allah yang Tak Terbatas? Misalnya, seseorang yang sedang sakit berdoa agar Allah sudi menyembuhkan dia. Apa isi doa itu? Isinya, orang itu pada saat tertentu di tempat tertentu meminta Allah bertindak menyembuhkan dia. Bukankah itu berarti meminta Allah terlibat dalam ruang dan waktu? Dan itu sama dengan meminta Allah menjadi bukan Allah lagi, dalam arti bukan lagi sebagai Transenden Mutlak, sebagai yang Tak Terbatas.
Sebuah contoh lain, seorang siswa atau mahasiswa yang mau menempuh ujian, berdoa supaya ia dapat lulus. Secara konkrit itu berarti siswa atau mahasiswa itu meminta Allah bertindak membantu dia mengerjakan soal-soal ujian secara benar pada waktu ujian tersebut berlangsung di ruangan tertentu. Dengan kata lain, siswa atau mahasiswa itu meminta Allah, yang Tak Terbatas (Transenden Mutlak) terlibat dalam keterbatasan waktu dan ruang. Itu berarti Allah menjadi terbatas.
Demikianlah, maka kalau Allah tetap Allah (=Transenden Mutlak/Tak Terbatas) dan manusia tetap manusia (=terbatas), tiada hubungan riil apapun yang dapat terwujud antara manusia dan Allah. Doa dan upacara keagamaan apapun, seperti persembahan, kebaktian, tidak mungkin sampai pada Allah (lih. Heijden, 1974:57-62). Dengan kata lain, agama tidak mungkin!
Lalu dalam hal ini terdapat tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, ya agama hapus. Namun pada kenyataannya, juga sampai sekarang sekian banyak umat manusia yang tetap teguh beragama. Kemungkinan kedua, manusia diangkat ke wilayah tak terbatas (dalam ruang dan waktu). Kalau demikian, maka hubungan riil antara manusia dan Allah menjadi mungkin. Tetapi alternatif ini disangkal oleh kenyataan. Sebab pada kenyataannya, manusia masih tetap dalam keterbatasan ruang dan waktu, dalam sejarah. Kemungkinan ketiga, Allah memang masuk dalam ruang dan waktu, dalam sejarah. Tetapi kalau demikian, Ia bukan Allah lagi (dalam arti Allah yang transenden mutlak). Jadi tampaknya di sini kita diperhadapkan pada jalan buntu (lih. Liku-Ada’, 2009:167-168).

WAHYU KITAB SUCI
Hanya Allah sendirilah yang dapat mendobrak kebuntuan itu. “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk. 1:37; lih. juga Kej. 18:14; Mat. 19:26 // Mrk. 10:27). Dan Allah memang menerobos kebuntuan itu. Menurut kesaksian Alkitab, Allah memang masuk dan berkarya menyelamatkan manusia dalam ruang dan waktu, menjadi imanen dalam sejarah. Prolog Injil Yohanes menegaskan hal itu (1:1-18). “Pada mulanya adalah Firman… dan Firman itu adalah Allah. …Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemulian-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:1.14). Ia menjadi Imanuel, yang berarti: Allah menyertai kita (Mat. 1:23). “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).

Selain mengenai Bapa dan Anak, Kitab Suci juga bicara mengenai Roh Kudus yang memenuhi Yesus dari Nazaret (lih. Mrk. 1:10; Luk. 4:18-21). Dalam hidup dan karya-Nya, Yesus membiarkan diri dituntun oleh Roh, yang tak lain adalah Roh Bapa. Selanjutnya, Kitab Suci menegaskan: “Tidak ada seorang pun yang dapat mengakui Yesus adalah Tuhan, selain oleh Roh Kudus” (1 Kor. 12:3). Artinya berkat kehadiran kasih Allah sendiri dalam diri kitalah (bdk. 1 Kor. 14:16; Gal. 4:4), pengakuan iman akan pewahyuan diri Allah dalam Yesus Kristus menjadi mungkin. “Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dikaruniakan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rom. 5:5).
Sedemikian itu, maka dalam Kitab Suci kita menemukan rumus-rumus trinitaris. Misalnya, “Pergilah, jadikanlah segala bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Mat. 28:19); “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian” (2 Kor. 13:13).
Jadi menurut wahyu Kitab Suci, Allah yang Transenden itu menjadi Imanen. Namun pada waktu yang sama tetap Transenden. Ini hanya mungkin apabila adanya Allah itu ‘bersifat’ triniter: Allah yang Esa adalah asal-usul transenden segala sesuatu (dalam tata penciptaan dan tata penyelamatan). Itulah Allah-Bapa. Tetapi Allah yang transenden itu, sebagai keselamatan manusia, menjadi imanen pada Yesus dari Nazaret, dan itu begitu rupa sehingga Yesus Kristus benar-benar Allah yang menyatakan diri dengan menjadi manusia. Itulah Allah-Putera. Tetapi berdasarkan Yesus Kristus, Allah juga menjadi imanen pada manusia lain (yang tetap manusia), sehingga manusia itu benar-benar bersatu dengan Allah. Itulah Allah-Roh Kudus. Landasan dan dasar ketiga macam ‘adanya’ Allah itu tetap adalah Allah yang tertuju kepada manusia (lih. Groenen, 1974:133).
Ada bahaya kesaksian Kitab Suci di atas dimengerti sebagai paham triteisme. Oleh karena itu, pada pihak lain harus ditegaskan bahwa bila Yesus sendiri berbicara tentang Allah, maka yang dimaksudkan tidak lain adalah Allah Yang Esa yang diimani orang Israel: “Akulah Tuhan Allahmu, yang membawa engkau ke luar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Ketika digoda setan di padang gurun, Yesus menjawab: “Ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” (Luk. 4:8). Demikian pula ketika menjawab pertanyaan tentang perintah yang paling utama, Yesus mengacu pada pengakuan iman dasar Israel, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa” (Mrk. 12:29).
Demikianlah, dalam paham tentang Allah Tritunggal, Allah yang dimaksud tetaplah Allah Yang Esa. Di sini tidak tersedia cukup ruang untuk menjelaskan hal ini lebih lanjut. Rm. A. Sunarko, OFM, dalam tulisannya berjudul “Trinitas: Monoteisme Radikal” menjelaskan hal ini dengan gamblang (Sunarko, 2009).
PENEMUAN KAREN ARMSTRONG
Yang menarik ialah Karen Armstrong, melalui sebuah studi yang cermat, telah menemukan bahwa baik mistik Yudaisme (Kabbalah) maupun Islam (sufisme) ternyata mengembangkan gagasan keilahian yang sangat serupa dengan doktrin Trinitas (lih. Armstrong, 2007: 281-338). Ia menulis: “Doktrin Trinitas telah sering disalahpahami di dunia Barat. Orang-orang cenderung membayangkan adanya tiga figur suci atau sama sekali mengabaikan doktrin itu dan mengidentifikasikan “Allah” dengan Tuhan Bapa dan memandang Yesus sebagai pendamping ilahi – tidak lagi dalam peringkat yang setara. Umat Islam dan Yahudi menganggap doktrin itu membingungkan dan bahkan menghujat. Sungguhpun demikian, akan kita lihat nanti bahwa ternyata baik mistik Yudaisme maupun Islam telah mengembangkan konsepsi keilahian yang teramat mirip. Gagasan tentang kenosis, ekstasi pengosongan diri, misalnya, akan menjadi krusial dalam Kabbalah maupun sufisme. Dalam Trinitas, Bapa menyalurkan segala yang ada pada dirinya kepada Putera, menyerahkan segala sesuatu – bahkan kemungkinan untuk mengungkapkan diri dalam Firman yang lain. Begitu Firman telah diucapkan, Tuhan Bapa menjadi hening: tak ada yang bisa kita katakan tentang dia sebab satu-satunya Tuhan yang bisa kita ketahui hanyalah logos atau Putera. Karena itu, Bapa tidak memiliki identitas, tak ada “Aku” dalam pengertian biasa, dan membingungkan pengertian kita tentang kepribadian. Sumber asal Ada adalah Tiada yang telah diungkap tidak hanya oleh Denys, tetapi juga oleh Plotinus, Philo, dan bahkan Buddha. Karena Bapa biasanya ditampilkan sebagai pencarian Akhir dari Kristen, perjalanan Kristen menjadi gerakan maju yang tak berujung. Gagasan tentang suatu Tuhan yang personal atau personalisasi Yang Mutlak telah menjadi bagian penting dari umat manusia: orang Hindu dan Buddha telah memberikan konsesi kepada peribadatan bhakti yang bersifat personalistik. Namun, paradigma atau simbol Trinitas menyarankan bahwa personalisme mesti ditransendensikan dan bahwa tidaklah cukup untuk membayangkan Tuhan sebagai manusia yang diperluas, berperilaku dan bereaksi dengan cara yang sama seperti kita” (Armstrong, 2007:184).

Selanjutnya, ia menulis: “Doktrin Inkarnasi dapat dipandang sebagai usaha lain untuk menetralkan bahaya keberhalaan. Begitu “Tuhan” dilihat sebagai realitas yang sama sekali lain “di luar sana”, dia dengan mudah akan menjadi sekadar berhala dan proyeksi, yang membuat manusia mengeksternalisasi dan menyembah praduga dan hasrat mereka sendiri. Tradisi-tradisi keagamaan yang lain telah berupaya mencegah hal ini dengan menekankan bahwa Yang Mutlak itu bagaimanapun terjalin dengan kondisi manusia, seperti dalam paradigma Brahman-Atman. Arius – kemudian Nestorius dan Eutyches – kesemuanya ingin membuat Yesus entah manusia atau ilahi, dan mereka berkeras sebagiannya karena kecenderungan untuk tetap memisahkan kemanusiaan dan keilahian dalam tataran terpisah. Benar, jalan ke luar yang mereka tempuh lebih bersifat rasional, namun dogma – sebagai lawan dari kerygma – tidak mesti terbatas pada apa-apa yang bisa diungkapkan sepenuhnya, seperti puisi atau musik. Doktrin Inkarnasi – seperti yang secara gamblang dikemukakan oleh Athanasius dan Maximus – merupakan upaya yang mengartikulasikan pandangan universal bahwa “Tuhan” dan manusia haruslah tak terpisah. Di Barat, di mana Inkarnasi tidak diformulasikan dengan cara ini, terdapat kecenderungan untuk memandang Tuhan tetap bersifat eksternal terhadap manusia dan sebagai realitas alternatif bagi dunia yang kita kenal. Akibatnya, sangat mudah untuk menjadikan “Tuhan” ini sekadar sebagai sebuah proyeksi – yang belakangan malah sudah ditinggalkan” (Armstrong, 2007: 184-185).

AKHIRULKALAM
Doktrin Allah Tritunggal merupakan satu-satunya jawaban terhadap pertanyaan mendasar ini: Bagaimana Allah Yang Esa tetap Allah dan toh agama mungkin? Dengan pertanyaan lain, bagaimana Allah yang transenden itu sekaligus pula imanen pada manusia dalam dunia, dalam ruang dan waktu, dalam sejarah? Selama Allah tetap sebagai yang Transenden Mutlak (Tak Terbatas) dan manusia tetap sebagai manusia (terbatas), tiada hubungan riil apapun yang dapat terwujud antara manusia dan Allah. Penemuan Karen Armstrong, bahwa baik mistik Yahudi (Kabbalah) maupun mistik Islam (Sufisme) ternyata mengembangkan gagasan keilahian yang sangat serupa dengan doktrin Trinitas, memperkuat paham keesaan Allah Triniter itu.
       Makassar, 19 Juni 2011
       Hari Raya Tritunggal Mahakudus,
             + John Liku-Ada’

SUMBER
ARMSTRONG, Karen
2007 Sejarah Tuhan; Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun, Cetakan XII, diterjemahkan oleh Zainul Am, (Penerbit Mizan - Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, Bandung).

DÄHLER, Franz, DR.
1970 Masalah Agama, (Penerbit Kanisius, Yogyakarta).

GROENEN, C., OFM
1974 Kemuliaan kepada Allah, yaitu Bapa dengan Perantaraan Putera dalam Rohulkudus; Dasar Alkitabiah Dogma Allah Tritunggal, (Pro Manuscripto, Yogyakarta).

HEIJDEN, Bert van der, SCJ
1974 Allah Tritunggal; Refleksi Teologis, (Pro Manuscripto, Yogyakarta).

LIKU-ADA’, John
2009 “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo dalam Konteks Pancasila”, dlm. ed. Mateus Mali, CSsR, Perjumpaan Pancasila dan Kristianitas; Reposisi Negara dan Agama dalam Masyarakat Plural, Cetakan ke-2, Penerbit Lamalera, Yogyakarta – Komisi Teologi KWI, Jakarta): 103-174.

SUNARKO, A., OFM
2009 “Trinitas: Monoteisme Radikal”, dlm. ed. Mateus Mali, CSsR, Ibid.: 25-60.      

Tidak ada komentar: