Rabu, 02 Maret 2016

40 Tahun Imamat Pastor Frans Arring, Pr.: Aku Bersyukur Kepada-Mu, Tuhan

"Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib, ajaib apa yang Kaubuat,dan jiwaku benar-benar menyadarinya”. [ Mzm.139:14]

              Doa pemazmur kepada Allah yang mahatahu yang terurai dan tersirat dalam Mazmur 139 benar-benar menyentuh dan menggugah saya. Mengapa? Saya dilahirkan dari pasangan P.Minna’- Maria Sampe di Sangalla’, 21 Juli 1948  sebagai anak ke-8 [anak bungsu ]:    6 perempuan dan 2 laki-laki. Konon, ketika masa bayi, keadaan fisik saya kerdil dan kurang sehat karena tidak cukup ASI. Pada saat yang tepat bibinda [adik ibunda ] sedang memberi ASI kepada buah kasihnya, saya pun mendapat bantuan ASI. Kurre sumanga’, passakkena Puang [Terima kasih, Berkat Tuhan].
Begitu  waktu bergulir terus, saya pun bertumbuh berubah karenanya. Saya bangga dengan orang tua dan kakakku. Orang tua dan lingkungan keluarga menganut agama asli ‘Alukta’ yang taat. Bilamana ada perayaan ritual penyembahan kepada ‘penguasa’ alam dan segala isinya, saya berusaha hadir karena seusai doa ada ‘sesuatu’ yang bisa dinikmati.
  Pada medio 1955, saya menjadi murid di Sekolah Rakyat [SR] Leatung II, Sangalla’. Saya senang dan bertumbuh berkembang dengan baik dalam beberapa hal seperti pengetahuan umum, pendidikan agama Kristen dan keterampilan bersosialisasi dan musik bambu. Para guru yang mengajar di SR. Leatung II, sebagai Sekolah Rakyat tertua di Sangalla’ pada waktu itu sudah berpengalaman dan terampil. Saya tamat pada  01 Agustus 1961.
Selanjutnya saya mendaftarkan diri di SMP Katolik Sangalla’ pada Agustus 1961.  Proses kegiatan belajar mengajar di sekolah tersebut berlangsung dengan lancar dan baik. Para guru berdisiplin tinggi dan menguasai baik mata pelajaran yang diampunya. Di sekolah itulah saya mulai mengenal sosok seorang pastor yang mengajarkan agama katolik. Ketika dibuka kesempatan untuk mengikuti masa katekumenat, saya segera mendaftarkan diri. Masa pembinaan secara intensif berlangsung kurang lebih 6 bulan. Pada perayaan malam Paskah, 21 April 1962, saya bersama dengan para teman katekumen dinyatakan layak menerima Sakramen Baptis di gereja Kristus Imam Agung Abadi,  Sangalla’. Luar biasa sentuhan Roh Tuhan terasakan pada malam Paskah waktu itu. Setahun kemudian, pada 26 April 1963 saya bersama dengan para calon krismawan/wati menerima Sakramen Krisma dari tangan yang mulia Bapak Uskup N.M.Schneiders,CICM di gereja Buntu Salombe’, Sangalla’. Lengkaplah sudah rahmat kekuatan dan keberanian  dari Tuhan yang diterima menjadi warga gereja yang dewasa untuk hidup baik dan bersaksi. Saya bahagia dan bangga menjadi katolik. Pantaslah saya dengan tulus mau mengaturkan banyak terima kasih kepada para guru-pendidik yang mengantar kepada jalan keselamatan dan membukakan pintu pengetahuan untuk hidup. Saya tamat pada 29 Juni 1964.

Quo Vado? [Kemana saya melangkah selanjutnya?]
 Saya teringat pada suatu malam menjelang mau tidur, kakak saya, JP.Arring menyarankan dalam bentuk pertanyaan, ’Bagaimana kalau adik Arring mencoba ke seminari di Makassar?’ Saran inilah ternyata menjadi arah langkah saya ke depan. Tidak lama kemudian Pastor L.de Vos,CICM, parokus Sangalla’  pada waktu itu menghubungi saya agar segera ke Makale untuk mengikuti tes masuk  Seminari. Saya berangkat  dengan membawa berkas Surat Baptis , Ijazah dan Rapor terakhir. Saya langsung menemui Pastor A.Raskin,CICM di kamarnya. Beliau menanyakan banyak hal dan saya serahkan berkas yang diminta. Akhirnya Pastor A.Raskin, yang ternyata beliaulah Pater Rektor SPC,   menyampaikan kepada saya bahwa saya diterima tanpa tes. Disampaikan pula jadwal      keberangkatan dan segala keperluan disiapkan untuk dibawa ke Makassar.
  Saya masuk di SPC, Makassar sekitar minggu ke-3 Juli 1964. Suasana hidup bersama di seminari serba tertib. Saya ikut berproses menyesuaikan diri dengan situasi hidup yang menjadi komitmen bersama. Untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu belajar, berdoa, berolah-raga, berkarya-tangan, berolah seni musik, berambulasi, bersosialisai, dll. Segala aktivitas tersebut sedapatnya diusahakan untuk dilaksanakan pada waktunya. Memang porsi belajar dan belajar mendapatkan prioritas waktu paling banyak. Suatu pengalaman yang mengesan bagi saya selama menata hidup di SPC, yaitu ketika di kelas VII, Pater Rektor memilih saya sebagai Senior. Tugasnya: bertanggung jawab  memerhatikan dan menjaga suasana tatanan hidup bersama, a.l.: tertib studi, doa, kecukupan makan-minum di refter, kebersihan lingkungan, jaga ketenangan dan cipta kedamaian, dll. Waktu bergulir terus, saya pun berubah, bertumbuh berkembang karenanya. Ibarat air sungai mengalir kemana terarah, begitulah Roh Tuhan berhembus kemana dikehendakiNya.
  Saya mengikuti saja hembusan RohNya kemana Ia arahkan dan tuntun. Pada bulan Desember 1968, saya bersama dengan 2 teman seperjalanan tiba di Seminari Tinggi St.Paulus, Kentungan, Yogyakarta. Mulailah saya menata  dan menyesuaikan diri dengan  pola hidup calon imam yang menjadi komitmen bersama. Di Seminari Tinggi inilah saya mengenal banyak teman calon imam dari keuskupan-keuskupan dan beberapa tarekat religius di Indonesia. Saya bersyukur boleh diberi kesempatan untuk berproses  bersama dengan sesama calon imam se-Indonesia yang bervariasi budaya, bahasa dan karakter. Tantangan, kesulitan tidak lepas dari suatu perjuangan hidup. Ketika di tingkat II filosofan, saya diminta Romo Rektor menjadi sub-bidel umum. Selama kurun waktu 1969-1975,saya tinggal dan hidup terproses dan terbentuk menjadi  calon imam KAMS di Seminari Tinggi St.Paulus. Saya menerima tahbisan Diakon dari yang mulia Kardinal Justinus Darmoyuwono di Kapel St.Paulus, Kentungan, 17 September 1975.    Syukur kepada Tuhan dan     terima kasih kepada Alma Mater.
  Pada 10 Desember 1975, saya menerima tahbisan Imam dari yang mulia Bapak Uskup Theodorus Lumanauw di Gereja Buntu Salombe’,Sangalla’. Tak terasakan waktu bergulir , saya boleh mencapai peziarahan  pelayanan hidup imamat 40 tahun bersama dengan umat KAMS pada 10 Desember 2015. Perayaan kenangan penuh syukur itu  dilaksanakan di Gereja Katedral dalam  Ekaristi yang dipimpin oleh Bapak Uskup John Liku Ada’ dengan misa konselebrasi bersama semua imam, yang dhadiri oleh perwakilan paroki-paroki di kota, komunitas religius, umat dan keluarga. Perayaan Ekaristi berlangsung dengan lancar, meriah dan khidmat.  Seusai perayaan Ekaristi di Gereja Katedral, dilanjutkan dengan acara ramah tamah yang sederhana dan berkesan di Aula keuskupan. Format perayaan kenangan syukur itu diinisiasi oleh Kuria KAMS, yang dikemas oleh P.Paulus Tongli, Pr.,Sekretaris. Perkenankan saya dari lubuk hati yang tulus mau mengucapkan terima kasih kepada Bapak Uskup, Kuria, Semua rekan Imam, Perwakilan Paroki, Komunitas Religius, Kom.’Anging Mammiri’, Kom.’Magnificat’, Kom.Kasih Anak Pangamaseang, Umat, Donatur,Handai-taulan dan Keluarga. The last but not least, terima kasih kepada sahabat P.Fredy Rantetaruk,Pr dengan Staf PSE, dan Saudara Hendrik Panggalo dengan Percetakan Alinea Baru telah menginisiasi, menghubungi sahabat penulis, memberi desain yang bagus sebuah buku ‘Ad Omnia Semper Paratus’: Kenangan Syukur 40 Thn Imamat P.Frans Arring, Pr.yang terbit tepat waktu.
  Refleksi tentang panggilan menjadi Imam. Bagi saya, proses menjadi Imam berlangsung melalui banyak peristiwa iman yang bersentuhan dengan lingkungan sosial dan alam. Pengalaman akan peristiwa iman itu tidak selalu dimengerti. Penuh misteri. Banyak sumber dan metode dicari dan dipakai untuk pencerahan dan peneguhan. Refleksi biblis, teologis, dogmatis, dll. Kata kunci bagi saya, ’siap sedia’. Siap diutus untuk ‘melayani’. Kemana saya diutus, pasti akan bertemu banyak orang dan mengalami  lingkungan alam dengan segala keindahannya. Hidup imamat saya semakin diperkaya dan dimaknai oleh semangat dan nuansa hidup umat-masyarakat setempat. Proses adaptasi, ’menjadi gembala berbau domba’? Medan pelayanan yang berat? Sarana transportasi sulit? Medsos tidak terjangkau? Refleksi menjadi Pastor yang baik tidak pernah berhenti mencari, mencari terus! Pengutusan ke karya pelayanan parokial, kategorial dan wadah fungsional saya rela menerima dan siap melaksanakan. Mengapa? Saya yakin bahwa saya tidak sendirian, saya bisa tinggal bersama dan bekerja sama. Mungkin saja pemahaman teologi partisipatif semakin diumatkan.
  Akhirulkalam, saya mohon dengan rendah hati dan penuh harapan kepada Anda semua kiranya berkenan tetap mendoakan hambaNya yang rapuh, kawanan lansia. Tuhan memberkati! ***

Tidak ada komentar: