Rabu, 02 Maret 2016

MEWUJUDKAN PERDAMAIAN MELALUI DIALOG

Artikel ini diangkat dari makalah penulis sewaktu menjadi narasumber pada acara dialog antarumat beragama yang diselenggarakan Kanwil Kementerian Agama RI, Provinsi Sulsel bersama FKUB Provinsi Sulsel, akhir tahun 2015. Pokok-pokok pikiran yang disampaikan  pada kesempatan tersebut diuraikan dalam artikel ini.

Misi utama semua agama yakni    membimbing manusia meraih kebahagiaan dalam hidup  di dunia dan akhirat. Selain itu, unsur dominan setiap agama dan Kitab Suci adalah kemanusiaan, kedamaian dan pencerahan (Hamka Haq, 2004). Agama Islam mengajarkan kedamaian, dan Islam membawa “rahmatan lil alamin” (rahmat bagi semesta alam). Agama Hindu mengajarkan kerukunan dan harmonis penuh keintiman dengan sesama. Agama Buddha mengajarkan cinta kasih dan kebijaksanaan. Demikian pun agama Konghuchu mengajarkan cinta kasih dan hidup harmoni, Nabi Kongzi bersabda, “Bila berlainan jalan suci (agama) jangan berdebat”. 

SEMANGAT  PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF KATOLIK
Dalam pandangan Gereja Katolik, semangat perdamaian diatur  dalam Gaudium et Spes (GS), Bab V artikel 78-82, dengan sub judul “Usaha demi Perdamaian dan Pembentukan Persekutuan Bangsa-Bangsa”. Damai di dunia ini yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Dasarnya adalah peristiwa salib. Yesus Kristus, Putera Allah, telah mendamaikan semua orang dengan Allah melalui salib-Nya. Karenanya, semangat perdamaian dalam teologi Katolik tidak pernah bisa dilepaskan dari peristiwa salib Kristus. Umat Kristiani dipanggil dan diutus untuk memohon dan mewujudkan perdamaian di dunia.  Selain itu,  perang adalah ancaman serius terhadap tegak dan terwujudnya perdamaian. Karenanya, semangat perdamaian mesti diwujudkan dalam sikap tegas mencegah dan menghindari perang. Oleh karena itu, tidak ada gunanya bersusah-payah membangun perdamaian, selama (masih ada) permusuhan, penghinaan, sikap curiga, kebencian rasial dan ideologi yang memecah-belah rakyat (Aloysius Budi Purnomo, 2009). 

Paus Yohanes XXIII dalam Ensikliknya berjudul ”Pacem in Terris" (PT), sebagaimana dikutip Aloysius Budi Purnomo,Pr (2009), mengemukakan  bahwa  perdamaian bukan hanya perkara tidak ada perang, melainkan erat terkait dengan keadilan. Apabila masalah kemiskinan dan ketidakadilan tidak diatasi, mustahillah dunia ini dapat mengalami hidup secara damai. Selanjutnya, atas dasar hukum kodrat yang tertulis dalam hati manusia, Paus Yohanes XXIII memikirkan dan mengembangkan tatanan moral untuk menuntun kehidupan manusia menuju perdamaian dalam empat segmen, yakni ketertiban antara manusia, hubungan antara individu dan negara, hubungan antarnegara dan komunitas dunia.

Sehubungan dengan itu, Aloysius Budi Purnomo,Pr (2009) menegaskan, semangat perdamaian dalam perspektif teologi Katolik merupakan bentuk tanggung jawab iman yang berdimensi sosial. Iman bukan hanya soal menjawab wahyu Allah secara individual, melainkan bergerak dalam kebersamaan. Iman bukan soal gerak-naik takwa kepada Allah secara vertikal, melainkan dihayati secara horizontal gerak-menyamping kepada sesama.

PRINSIP-PRINSIP DALAM MEMBANGUN PERDAMAIAN
Paus Fransiskus dalam    Seruan      Apostoliknya (24/11/2013) berjudul, “Evangelii Gaudium” (Sukacita Injil), secara khusus dalam Bab III dibahas tentang Kesejahteraan Umum dan Perdamaian dalam Masyarakat. Ditegaskan, dalam pembangunan suatu bangsa dalam perdamaian, keadilan dan persaudaraan, ada 4 prinsip yang dapat menjadi pegangan berkaitan dengan ketegangan-ketegangan yang selalu hadir dalam setiap realitas.  Keempat prinsip tersebut berasal dari pilar-pilar Ajaran Sosial Gereja, sebagai parameter rujukan yang utama dan fundamental untuk menafsir dan menilai gejala sosial. Sri Paus  meyakini, penerapan keempat prinsip tersebut bisa menjadi jalan sejati menuju perdamaian setiap bangsa dan seluruh dunia.

Pertama, Waktu lebih besar daripada ruang. Prinsip ini memampukan kita untuk bekerja dalam jangka panjang tanpa terobsesi dengan hasil segera. Prinsip ini membantu kita  agar sabar bertahan dalam situasi yang sulit dan merugikan. Kita diundang untuk menerima  ketegangan antara kepenuhan dan keterbatasan, dan memberikan prioritas kepada waktu. Memberikan prioritas pada waktu berarti melibatkan diri dalam memulai proses dari pada memiliki ruang.

Kedua, Kesatuan menang atas pertentangan. Prinsip ini sangat diperlukan dalam membangun persahabatan bahwa persatuan lebih unggul dari pada pertentangan. Hal ini telah diajarkan oleh para Uskup Kongo: “Keragaman  etnis kita adalah kekayaan kita.... hanya dalam kesatuan, melalui pertobatan hati dan rekonsiliasi kita akan mampu memajukan negara kita”.

Ketiga, Kenyataan lebih penting daripada gagasan. Fakta bahwa ada tegangan antara gagasan dan kenyataan. Dalam situasi tersebut, prinsip kenyataan lebih penting daripada gagasan perlu diberlakukan, yakni untuk menghindari berbagai bentuk menyembunyikan realitas: konsep-konsep yang hanya menerangkan tanpa esensi, sistem etika tanpa kebaikan, wacana intelektual tanpa kebijaksanaan. Gagasan yang terlepas dari realitas menimbulkan bentuk idealisme yang tidak efektif, yang paling mampu  mengidentifikasikan sesuatu tetapi tidak untuk bertindak.

Keempat, Keseluruhan lebih besar daripada bagian. Juga ada ketegangan antara keglobalan dan kelokalan. Kita perlu memperhatikan dimensi global untuk menghindari kepicikan. Namun kita pun perlu melihat yang lokal untuk menjaga kaki kita tetap berpijak di tanah. Dalam situasi seperti ini, prinsip keseluruhan lebih besar daripada bagian atau melebihi jumlah bagian-bagiannya dapat dijadikan pegangan.

MEWUJUDKAN   PERDAMAIAN MELALUI DIALOG

Dasar
Dalam perspektif Gereja Katolik, upaya membangun dialog dengan agama-agama lain sejalan  dengan semangat Konsili Vatikan II (KV II, 1962-1965).  Setelah KV II,  Gereja Katolik menjadi sedemikian terbuka dan mengemukakan pandangan yang progresif. Misalnya, paradigma yang terungkap dalam dokumen  Nostra Aetate (NA), Pernyataan tentang   Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan Kristiani. Dalam dokumen tersebut dirumuskan, Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang (NA 2, alinea 2). Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerja sama   dengan para penganut agama lain, sambil memberi kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta-kekayaan rohani, moral dan nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka" (NA 2, alinea 3).

Bentuk-bentuk Dialog
Dialog antarumat beragama dapat dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain: Pertama, dialog kehidupan. Dilakukan  melalui pendekatan dan hubungan-hubungan pribadi dengan saudara-saudara yang berbeda agama entah melalui kehadiran, kesaksian, pelayanan dan perawatan langsung. Kedua, dialog karya. Dilakukan melalui kerja sama dengan orang lain untuk kemanusiaan, sosial, ekonomi dan politik demi pembebasan dan kemajuan umat manusia. Ketiga, dialog pakar. Dilakukan melalui pertukaran-pertukaran tentang hal-hal teologis untuk memperdalam dan memperkaya warisan religius masing-masing. Keempat, dialog pengalaman religius. Orang-orang yang berakar pada tradisi keagamaan masing-masing dapat saling membagi pengalaman rohani agama yang dianut (doa, kontemplasi, iman). 

Tantangan dalam Membangun Dialog Antaragama
Dialog antaraumat beragama di Indonesia  dihadapkan pada berbagai macam tantangan  yakni: pertama, dialog hanya terjadi  pada  level atas (pemerintah, tokoh agama dan masyarakat) dan belum menyentuh akar rumput. Kedua, muncul sikap yang menganggap diri paling benar dan  kurang meberi ruang bagi pandangan yang berbeda. Ketiga, munculnya perilaku fanatisme sempit yakni haram hukumnya berdialog dengan orang  berbeda agama. Keempat, rendahnya pemahaman umat tentang ajaran agamanya dan minimnya pengetahuan tentang agama lain. Kelima, masih ada orang yang kurang terbuka terhadap agama dan kepercayaan lain. Keenam, ada yang  menganggap dialog sebagai sarana mempertahankan kebenaran ajaran agamanya  dan  mencari kelemahan pada agama lain.
     
AGENDA KE DEPAN
Tidak dapat dipungkiri, suasana perdamaian adalah dambaan setiap orang. Karenanya tugas mewujudkan perdamaian bukan hanya tanggung jawab negara melainkan juga segenap komponen dalam masyarakat: keluarga, lembaga pendidikan, lembaga agama dan Ormas. Untuk itu, dalam konteks Gereja Katolik, direkomendasikan beberapa hal berikut.  Pertama, bagi keluarga Katolik diharapkan: (1) anak-anak dididik sesuai dengan nilai-nilai Kristiani (kasih, jujur, murah hati, terbuka, disiplin dan bertanggungjawab); (2) Orang tua memberikan keteladanan yang baik kepada anak-anak dalam menjalin kerukunan antarumat beragama, misalnya tidak perlu mematikan TV jika  adzan sedang dikumandangkan di TV.
Kedua, buat Lembaga Pendidikan Katolik dianjurkan agar: (1) peserta didik dibimbing dan dididik sesuai nilai-nilai kristiani; (2) di tingkat pendidikan tinggi  Katolik  perlu  digalakkan dialog antarmahasiswa beda agama seperti yang dipraktikkan di Universitas Atma Jaya Makassar; sedangkan tingkat SMA Katolik ke bawah dianjurkan untuk melakukan kunjungan persahabatan ke sekolah-sekolah non Katolik; (3) para pendidik  (dosen/guru)  perlu memberikan keteladanan yang baik kepada peserta didik dalam membina kerukunan antarumat beragama. Pepatah menyatakan jika guru kencing berdiri, muridnya akan kencing berlari. 
Ketiga, bagi Lembaga Gereja Katolik khususnya Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (HAK) diharapkan: (1) mengadakan "Training of Trainers" (TOT) bagi penggiat dialog antarumat beragama; (2) Menggalakkan dialog lintas agama  dengan  melibatkan   tokoh-tokoh  agama dan   umat di tingkat akar rumput; (3) Membuat panduan dialog antaragama, dilengkapi dengan dokumen Gereja Katolik terkait; (4) Mengadakan kunjungan kepada tokoh agama dan pemimpin masyarakat pada hari besar keagamaan dan hajatan lainnya; (5) Mendorong umat Katolik menjalin kerja sama yang harmonis dengan agama lain. 
Keempat, bagi Pengurus Ormas dalam Gereja Katolik  (PMKRI, Pemuda Katolik, WKRI,  ISKA) diharapkan: (1) mendorong para kader untuk terlibat aktif dalam  dialog dengan umat beragama lain; (2) mengadakan pembekalan para kader tentang ajaran agama (pemahaman dan penghayatan serta pengamalannya), dan ajaran sosial Gereja.*** Penulis: Antonius Sudirman, Sekretaris Komisi HAK-KAMS

Tidak ada komentar: