Senin, 26 September 2011

Sarasehan Liturgi untuk Pengantar, Prodiakon dan Sie Liturgi Sekevikepan Toraja


Kita patut bersyukur bahwa Komisi Liturgi KWI (diwakili oleh Rm.Bosco da Cunha, O.Carm)  memberikan waktunya secara khusus untuk mengadakan Sarasehan Liturgi di Kevikepan Toraja yang diadakan di Paroki Nonongan, 26 Juni 2011, yang diprakarsai oleh Komisi Liturgi KAMS. Kegiatan ini sangat menarik minat umat, dan menurut Rm. Bosco, jumlah peserta yang mengikuti Sarasehan ini adalah yang terbanyak selama beliau mengadakan Sarasehan serupa. Antusiasme para Pengantar, Prodiakon dan Sie Liturgi se-Kevikepan untuk menghadiri kegiatan ini terbukti dengan membludaknya peserta yg hadir, diperkirakan sekitar 500an orang. Kegiatan serupa juga dilaksanakan untuk para imam yang berkarya di Kevikepan Toraja. Bahkan kegiatan untuk imam dilaksanakan selama 2 hari, 23-24 Juni 2011 di IKAR/STIKPAR Rantepao. Pananggungjawab utama pelaksanaan Liturgi Gereja adalah para imam maka juga dirasa perlu untuk dibekali/disegarkan kembali pemahamannya mengenai aturan Liturgi resmi Gereja.
Menganalisa sejenak antusiasme umat untuk menghadiri kegiatan Sarasehan Liturgi ini, ternyata umat sangat merindukan siraman rohani mengenai Liturgi Gereja yang benar sesuai dengan aturan Gereja Universal. Di satu pihak, ada kekhawatiran umat akan begitu banyaknya praktek “Liturgi” yang membingungkan, tetapi di lain pihak, mereka sangat ingin mengetahui bentuk-bentuk kesalehan umat yang  boleh dikembangkan sesuai dengan aturan Liturgi yang benar. Tarik-menarik kedua kutub inilah yang menurut hemat kami membuat kegiatan ini sangat menarik minat umat untuk menghadirinya, dan terutama untuk mendapatkan penerangan mengenai aturan-aturan Gereja mengenai Liturgi.

APA YANG DIBICARAKAN DALAM SARASEHAN INI? 
Dalam kerangka mengembangkan  segala kegiatan devosional secara baik, benar dan berdaya guna bagi umat beriman Katolik, Komisi Liturgi KAMS menghadirkan Komisi Liturgi KWI untuk menjelaskan aturan-aturan Gereja Universal yang berlaku secara umum.  Tentu maksud baik ini diperlukan agar begitu banyak bentuk kesalehan umat tidak diremehkan begitu saja, tetapi juga tidak begitu saja mengambilnya seolah-olah bisa menggantikan Liturgi resmi Gereja. Kegiatan ini dimaksudkan agar sumbangan berharga dari kesalehan umat untuk Liturgi yang hidup tetap diperhatikan demi memupuk dan membina kesatuan dengan Kristus dalam Gereja.
Konsili Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Liturgi  (SC) no.12 mengungkapkan kesadaran bahwa hidup rohani tidak tercakup seluruhnya hanya dengan  ikut serta dalam perayaan Liturgi.  Oleh karena itu,  perlu mengadakan banyak kegiatan personal dan komunal sehingga seluruh hidup kita merupakan ungkapan persembahan korban rohani yang berkenan pada Allah. Selanjutnya, pada No.13 kegiatan ulah kesalehan umat Kristiani sangat dianjurkan, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja. Dan sangat dianjurkan supaya diselaraskan dengan Liturgi kudus sebab menurut hakikatnya, Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu. “Liturgi adalah Puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja... dan sumber segala daya kekuatannya.” (SC 10).
Ada begitu banyak variasi kesalehan umat berkembang sesuai dengan daerahnya. Di Kevikepan Toraja juga terdapat begitu banyak bentuk kesalehan umat yang layak dicermati bersama untuk mengembangkan dan memajukan Liturgi. Terhadap bentuk-bentuk kesalehan umat, ada banyak sikap yang muncul. Ada yang begitu mudah meninggalkan bentuk lama dan mencari bentuk baru-terutama setelah pertemuan dengan kekristenan, kadang-kadang tidak sempurna atau bahkan sesat,  dan ini mengakibatkan kekosongan yang sulit diisi. Kebiasaan baru yang diikuti yang diikuti bahkan kadang-kadang tidak sesui lagi dgn  wahyu biblis yang asli dan bertentangan dengan tata sakramen.  Sikap yang lain adalah dengan “keras” mempertahankan aturan Gereja tanpa mau ambil pusing dengan bentuk-bentuk kesalehan umat, sehingga kadang-kadang liturgi tidak menyentuh hati. Tanggapan lain lagi adalah mencampur-adukkan kesalehan umat dengan Liturgi resmi sehingga membingungkan umat. Terhadap hal ini, tetap harus dijaga bentuk-bentuk sinkretisme, yang kadang-kadang hanya mau menjembatani hubungan antara bentuk kesalehan umat dan Liturgi resmi Gereja. Hal ini semua dipertanyakan oleh peserta yang hadir mengikuti sarasehan Liturgi ini.
Penegasan yang disampaikan oleh Komisi Liturgi KWI tetap menjadikan Liturgi sebagai patokan untuk menilai bentuk-bentuk kesalehan umat. Tidak cukup kreatifitas pribadi atau tafsiran pribadi dijadikan tolok ukur untuk begitu saja mengambil praktek-praktek kesalehan umat digabungkan dengan Liturgi resmi Gereja. Perlu dibicarakan bersama secara mendalam dengan umat yang sungguh-sungguh mengalami dan menghidupi kesalehannya di satu pihak, tetapi juga umat yang sama merayakan Liturgi resmi Gereja Katolik. Tantangan inilah yang begitu terasa untuk ditindaklanjuti dengan penyadaran Liturgi melalui Sarasehan Sehari tentang Liturgi di Kevikepan Toraja waktu itu. Para penanggungjawab Liturgi diajak untuk bekerjasama (Imam dan awam) mendalami peluang-peluang inkulturasi Liturgi agar gereja merayakan liturgi yang hidup. Karena itu juga, Komisi Liturgi KWI memberikan rambu-rambu bagaimana mengadakan inkulturasi Liturgi.

APA YANG HARUS DIBUAT OLEH UMAT KATOLIK DI TORAJA (KAMS)
Menurut  Direktorium Kesalehan Umat dan Liturgi  Pengertian Ulah Kesalehan adalah ungkapan-ungkapan kesalehan Kristiani, baik publik maupun perorangan; meskipun bukan bagian dari liturgi, tetapi dinilai selaras dengan jiwa, kaidah, dan irama liturgi. Ulah kesalehan seperti ini, dalam batas tertentu, diilhami oleh liturgi dan mengantar umat Kristiani kepada liturgi. (bdk SC 13). Sejumlah besar ulah kesalehan ini adalah bagian dari warisan rohani Gereja-Gereja partikular atau tarekat-tarekat religius. Ulah kesalehan selalu mengacu pada Wahyu Ilahi publik dan memiliki latar belakang gerejawi. Mereka sering dikaitkan dengan rahmat yang diwahyukan Allah dalam Yesus Kristus yang selaras dengan hukum Gereja, dan dilaksanakan “selaras dengan kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan”. (DKUL hal.7)
Menyadari pengertian di atas, mestinya pembaharuan-pembaharuan liturgi oleh Imam dan umat harus secara bijak dan tulus mematuhi asas-asas yang berlaku. Di lain pihak, mengabaikan begitu saja bentuk-bentuk kesalehan umat hanya akan membuahkan ketidakpedulian dan kekacauan yang merugikan, serta  polemik yang tidak pernah berakhir. Tantangan besar kita di Kevikepan Toraja sangat terasa karena seringkali belum dinilai secara bijak, bentuk kesalehan umat sudah dicampuradukkan dengan Liturgi resmi gereja yang hasilnya ternyata banyak membingungkan umat. Gerakan inkulturasi seolah-olah hanya keprihatinan orang-orang tertentu, belum menjadi gerakan bersama, sehingga di lapangan sangat terasa polemik yang berkepanjangan itu.
Ditegaskan dalam Direktorium Kesalehan umat dan Liturgi, bahwa direktorium ini diperuntukkan terutama kepada para Uskup yang bertugas mengetuai jemaat keuskupan yang sedang beribadat, memajukan kehidupan liturgi, dan mengoordinasi bentuk-bentuk ibadat lain.  ...juga kepada rekan-rekan terdekat dari para Uskup, yakni para Vikaris episkopalis (Vikep), imam, diakon, dan khususnya para penanggung jawab tempat-tempat kudus. Saran-saran ini juga dialamatkan kepada para pemimpin lembaga hidup bakti....(Direktorium hal.5-6). Mau dikatakan bahwa gerakan pembaharuan Liturgi dalam Gereja Latin terutama ritus Romawi tidak cukup hanya menjadi praktek atau gerakan pribadi atau sekelompok kecil saja, karena ternyata ada begitu banyak pihak yang bertanggungjawab, tetapi harus menjadi gerakan bersama semua pihak terkait. Mengapa terjadi begitu banyak pertanyaan pada sarasehan ini mengenai praktek-praktek  “liturgi” karena sangat terasa bahwa hal ini belum menjadi gerakan bersama. Ditegaskan dalam Sarasehan ini bahwa imam dan kaum beriman dididik untuk lebih mengunggulkan doa liturgis dan Tahun Liturgi di atas setiap bentuk devosi sebagaimana martabat Liturgi ... tanpa menolak dan meminggirkan kesalehan umat.
Tetap ditegaskan dalam sarasehan itu bahwa perlu ada penghargaan yang tepat dan bijaksana terhadap kekayaan kesalehan umat untuk menyuburkan kehidupan Kristiani. Tentu patokan utama yang ditegaskan lagi adalah Injil untuk menjamin bahwa kesalehan itu memiliki hubungan yang tepat dengan misteri kristiani. Apakah praktek itu semakin memperjelas realitas Injil, atau semakin mengaburkannya bahkan bertentangan selalu menjadi asas utama pembaharuan ini.... “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks” (Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi IV   Varietates Legitimae,48).
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutipkan semangat yang seharusnya menjadi patokan pembaharuan liturgi yang dikehendaki Konsili Vatikan II yang harus mengilhami evaluasi yang tepat dan pembaharuan ulah kesalehan dan praktek-praktek devosional: (DKUL. 11)
1. Semangat Biblis: kesalehan umat hendaknya diresapi oleh semangat biblis karena tidak mungkin membayangkan doa Kristiani tanpa terkait langsung atau tidak langsung dengan  Kitab Suci.
2. Semangat Liturgis: agar kesalehan umat dapat menjadi persiapan dan gema yang tepat untuk misteri-misteri yang dirayakan dalam liturgi.
3. Semangat Ekumenis: dengan mempertimbangkan kepekaan dan tradisi-tradisi umat kristiani lain tanpa dibatasi oleh rintangan-rintangan yang tidak semestinya ada.
4. Semangat Antropolgis: yang melestarikan simbol maupun ungkapan-ungkapan yang penting  bagi bangsa tertentu sambil menjauhkan diri dari arkaisme yang hambar, dan semangat antropologis yang giat mengupayakan dialog yang bersahabat dengan kepekaan masa kini.
Semua hal ini hanya bisa berhasil kalau diilhami kesadaran pedagogis dan dilaksanakan secara bertahap, dengan selalu mempertimbangkan waktu dan situasi-situasi khusus. *** Penulis: P. Simon Tunreng Malatta Pr, Pastor Paroki Nonongan

Tidak ada komentar: