Senin, 26 September 2011

Sarasehan Liturgi Kevikepan


Setelah tertunda beberapa kali, akhirnya Komisi Liturgi (Komlit) KWI bisa datang juga ke Keuskupan Agung Makassar (KAMS). Sebenarnya sejak tiga tahun yang lalu, Komlit KAMS telah mengundang Komlit KWI untuk memberikan masukan berkaitan dengan pedoman perayaan dan pelaksanaan Liturgi yang baru. Kesepakatan tema dan agenda pertemuan sudah beberapa kali pula dijadualkan, tetapi pelaksanaan selalu gagal karena adanya kegiatan "tak terduga" di KAMS sendiri. 
    Syukurlah, akhirnya pada tgl.19 -  27 Juni 2011 yang lalu acara Sarasehan Liturgi bisa dilangsungkan di tiga Kevikepan KAMS, yakni Kevikepan Makassar, Kevikepan Tana Toraja, dan Kevikepan Luwu. Dua Kevikepan lainnya, yakni Kevikepan Sulawesi Tenggara dan
Kevikepan Sulawesi Barat, belum terjadualkan karena keterbatasan waktu pemateri.
    Sarasehan Liturgi KAMS ini didampingi oleh Rm. Bosco da Cunha O.Carm (Sekretaris Eksekutif Komlit KWI) dan Pst. Petrus Bine Saramae, Pr (Anggota Komlit KAMS yang juga anggota Staf Seminari Anging Mamiri di Jogjakarta).
    Bahan materi dan peserta Sarasehan Liturgi ini sama untuk semua Kevikepan dengan penekanan yang agak berbeda sesuai situasi masing-masing Kevikepan.   

Kevikepan Makassar
    Sarasehan Liturgi di Kevikepan Makassar dilaksanakan di Aula Keuskupan pada tgl. 19 Juni untuk para Asisten Imam (prodiakon) dan Seksi Liturgi Paroki.  Acara ini dihadiri oleh 170 peserta sebagai utusan dari 13 Paroki yang tersebar di Kevikepan ini.
   Persoalan yang cukup ramai dibicarakan yakni berkaitan dengan sikap dan tata-gerak para Asisten Imam yang tidak sama di setiap Paroki ketika mereka sedang bertugas membantu imam. Persoalan lainnya yang diketemukan dalam sharing dan diskusi kelompok adalah banyak Paroki yang belum mengikuti aturan Pedoman Umum Missale Romanum (PUMR), khususnya dalam pemilihan lagu-lagu liturgis.
     Untuk para Imam, Sarasehan Liturgi dilaksanakan di Aula
Keuskupan juga pada tgl.20 - 21 Juni. Hadir dalam acara ini 24 imam pada hari I, dan 19 imam pada hari II. Persoalan yang cukup ramai dibicarakan adalah komuni  dua rupa dengan cara umat sendiri mencelupkan Hosti yang telah diterimanya ke dalam piala yang berisi Air Anggur. Persoalan lainnya, yakni berkaitan dengan sapaan imam kepada umat beriman, "Tuhan bersamamu" dan jawaban umat , "dan bersama roh-mu".

Kevikepan Tana-Toraja
    Sarasehan Liturgi dilaksanakan pada tgl. 23 - 24 Juni di Aula Stikpar (Sekolah Tinggi Ilmu Kateketik dan Pastoral Rantepao) untuk para Imam, dan 25 Juni di Gereja Nonongan untuk para Pengantar (Pemandu Perayaan Sabda Hari Minggu).
    Selama 2 hari Sarasehan tersebut hadir. 17 imam. Tidak semua rekan imam bisa hadir pada saat itu karena di sana sini sedang ada upacara pemakaman secara adat. Selain persoalan sapaan "Tuhan bersamamu" dan jawabannya "dan bersama roh-mu", persoalan yang cukup hangat dibicarakan adalah "penyisipan unsur budaya lokal" dalam liturgi. Disinyalir bahwa penyisipan itu menjadi masaalah karena kurangnya pemahaman akan makna baik atas ritus liturgi maupun
atas unsur budaya lokal tersebut. Selain itu, yang juga hangat dibicarakan adalah masalah Perayaan Misa di rumah-rumah umat. Ada kebijakan bersama agar Perayaan Ekaristi, khususnya Misa Requiem tidak dibuat di rumah-rumah umat yang berduka tetapi di Gereja demi menciptakan suasana kesakralan dan keheningan. Hal ini dibuat mengingat pada saat itu di rumah duka senantiasa dilaksanakan acara pemotongan kerbau serta hadirnya banyak orang yang sangat sulit untuk menciptakan suasana doa.
    Tgl. 25 Juni, Sarasehan dikhususkan bagi para Pengantar dan Seksi Liturgi Paroki, namun banyak umat yang juga ingin hadir. Lebih dari 400 orang hadir pada acara ini sehingga bagian konsumsi
sangat kewalahan karena hanya menyediakan 250 nasi bungkus (nasi rames). Untunglah masalah ini bisa teratasi dengan memesan makanan di warung-warung yang berdekatan dengan Gereja, meskipun ada juga yang terpaksa makan "satu bungkus berdua".
    Persoalan yang muncul yakni berkaitan dengan Perayaan Sabda Hari Minggu. Hal ini bisa dipahami mengingat Kevikepan Tana Toraja yang terdiri dari 11 Paroki dengan 285 Stasi dan dilayani hanya oleh 21 imam termasuk mereka yang ada di kategorial. Persoalan yang muncul a.l., pakaian para pengantar ketika bertugas belum seragam bahkan ada yang masih memakai pakaian biasa, tata-gerak yang persis meniru tata-gerak imam dalam Perayaan Ekaristi, mazmur
tanggapan yang diganti dengan lagu antar bacaan, ketidak-siapan membawakan Bacaan Injil dan kotbah.
Hal lain yang juga dimunculkan yakni bahwa ada Stasi-stasi yang mendapatkan pelayanan Ekaristi hanya 1 kali dalam 4 bulan, bahkan ada yang 1 kali dalam 1 tahun.

Kevikepan Luwu
    Acara Sarasehan Liturgi di Kevikepan Luwu dilaksanakan di Pusat Pastoral Kevikepan, yakni di Paroki Saluampak pada tgl. 27 Juni. Acara ini dihadiri oleh 6 imam, 1 frater diakon, 3 suster, 1 frater Hamba-hamba Kristus, dan 3 orang muda. Seksi Liturgi dan Pengantar lainnya tidak bisa hadir, karena sedang mempersiapkan Camping Rohani Sekami. Selain itu, pada awalnya acara ini dikhususkan untuk para imam.
    Persoalan yang banyak disinggung yakni ketidak-jelasan panduan dan pelaksanaan tata cara peribadatan di Kevikepan dan di Keuskupan. Misalnya, di Kevikepan dan paroki-paroki sudah dilaksanakan suatu kebijakan pastoral berkaitan dengan tata cara peribadatan, tetapi menjadi mentah lagi karena ada
pejabat gerejani dari keuskupan yang melakukan tata cara peribadatan yang berbeda. Hal ini membuat umat menjadi bingung.
Diusulkan agar ada kesepakatan umum di seluruh keuskupan berkaitan dengan tata cara peribadatan yang harus ditaati bukan hanya para pastor paroki tetapi juga uskup dan jajarannya.
    Masalah lain yang dibicarakan yakni komuni dua rupa, kemungkinan misa requiem bukan hanya di Gereja, perlunya buku panduan tata cara peribadatan yang diberlakukan untuk seluruh keuskupan.

Beberapa gagasan bersama
    Liturgi merupakan tindakan keselamatan Allah Tritunggal yang dirayakan dan dikenangkan oleh umat beriman dalam dan melalui kata dan simbol yang bermakna. Dalam perkembangannya, karena kesepadanannya dengan ajaran Kitab Suci, Tradisi, Bapa Gereja, ke dua unsur tersebut, kata dan simbol, diinstitusikan demi kesatuan. Meskipun demikian, Liturgi sebagai ungkapan iman umat beriman atas tindakan Allah Tritunggal, tetap terbuka terhadap gagasan dan ungkapan-ungkapan iman umat setempat. Dalam konteks ini, kita berbicara soal penyesuaian.
    Perlu diperhatikan ketika kita berbicara soal penyesuaian, bahwa penyesuaian ini bukanlah bergantung pada selera atau pemikiran atau devosi pribadi, tetapi ungkapan iman umat beriman lokal.
Dalam hal ini pentinglah memperhatikan kesatuan umat beriman pula.
    Tata Liturgi bukanlah hanya sekedar rangkaian aturan-aturan baku. Karena itu, katekese liturgi bagi umat beriman masih sangat dibutuhkan, agar liturgi bisa menjadi "sumber dan puncak kegiatan umat beriman". *** Penulis: P. Sani Saliwardaya MSC

Tidak ada komentar: