Selasa, 02 Juli 2013

KOMUNITAS BASIS: Harapan dan Cita-cita yang tak kunjung menggeliat


Komunitas Basis sudah cukup lama didengungkan di Indonesia. Komunitas Basis didengungkan dengan maksud bisa menjadi gerakan atau membuka jalan bagi umat Katolik untuk hidup menggereja di Indonesia. Paus Yohanes Paulus II sendiri mengatakan bahwa Komunitas Basis adalah cara hidup menggereja di abad ke-21. Namun cara hidup yang dimaksudkan bukanlah sesuatu yang baru ditemukan atau baru dibuat sekarang, melainkan cara hidup tersebut sudah ada dalam jemaat perdana dan sudah dipraktekkan sebagai cara hidup  mereka bersama (Kis 2:42-47; 4:32-37; 5:12-16). Dengan demikian Komunitas Basis sesungguhnya adalah cara hidup menggereja yang otentik (asli).

Di tingkat Asia, Komunitas Basis ini mulai diekspose dalam pertemuan FABC di Bandung pada tahun 1990 dengan istilah communion of communities. Kemudian FABC membentuk  desk yang dinamakan AsIPA (Asian Integral Pastoral Approach) untuk mensupport dan mengembangkan Komnitas Basis ini. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) melihatnya sebagai “mutiara yang sangat berharga” dan karena itu mengamanatkan Komunitas Basis sebagai cara hidup menggereja menuju Indonesia baru. Gereja di Indonesia melihat model Komunitas Basis ini sebagai harapan dan sarana amat yang prospektif dan berdaya guna untuk evangelisasi baru, untuk bisa membentuk Indonesia baru.

Namun apa daya semangat dan harapan itu pupus sendiri, Komunitas Basis tak kunjung bertumbuh dan berkembang seperti yang dicita-citakan atau diharapkan, sehingga semangat dan harapan itu memudar, layu sebelum berkembang. Akhirnya pada tahun 2005 gerakan Komunitas Basis tidak lagi menjadi prioritas, sehingga lembaga yang dibentuk (LPKB) untuk mensupport dan memfasilitasi perkembangan Komunitas Basis malah dibubarkan. Komunitas Basis dilihat dan dirasakan tak kunjung memberikan greget untuk bagi gerakan dan harapan Indonesia baru, karena itu Sidang Para Uskup KWI tahun 2005 memaklumkan gerakan baru dengan tema “Bangkit dan Bergeraklah” menuju Habitus Baru. Mungkin dimaksudkan sebagai pengganti gerakan Komunitas Basis yang mati suri itu.

Setelah hampir 13 tahun berlalu, perkembangan Komunitas Basis boleh dikatakan stagnan dan di tingkat nasional tidak lagi terkoordinasi dengan baik. Walaupun demikian, satu dua keuskupan tetap berjuang dan konsisten untuk mewujudkan gerakan komunitas sebagai pilihan pendekatan untuk mengembangkan karya-karya pastoral dan meningkatkan cara hidup menggereja umat. Namun secara umum Komunitas Basis masih tetap belum dikenal dan diketahui sebagai gerakan yang signifikan dan menarik perhatian.

Di Keuskupan Agung Makassar sendiri selama ini Komunitas Basis masih lebih banyak didengungkan sebagai wacana, masih lebih merupakan himbauan umum untuk dilaksanakan, tetapi juga tidak begitu jelas siapa yang harus memulai mewujudkannya, memulainya dari mana dan bagaimana memulainya? Apakah keuskupan, komisi-komisi atau paroki-paroki atau kelompok kategorial? Selama ini rupanya sudah seringkali diadakan seminar atau pelatihan atas nama Komunitas Basis itu, bahkan dibuat desk khusus Komunitas Basis yang diketuai oleh Vikjen sendiri, juga dibuatkan alokasi dana yang khusus gerakan Komunitas Basis, namun perwujudan Komunitas Basis (seperti yang didefinisikan dan diamanatkan oleh FABC 1990 dan SAGKI 2000) belum pernah kelihatan. Rupanya memang Komunitas Basis belum menarik perhatian kita.

Memahami Komunitas Basis Jemaat Perdana
Petunjuk dan gambaran tentang komunitas basis model jemaat perdana dapat kita baca dalam Kis 2:41-47; 4:32-37; 5:12-26. Bila kita betul-betul mau membangun Gereja, melakukan evangelisasi baru atau mengembangkan cara baru hidup menggereja di abad ini, kiranya kita harus bercermin pada model atau cara hidup jemaat perdana itu. Model itu kiranya tidak boleh semata-mata dimengerti atau dimaksudkan untuk hanya kelompok kecil umat saja, tetapi sesungguhnya model hidup (gaya hidup) jemaat perdana itu juga merupakan patron dan acuan untuk model atau cara hidup Gereja (umat beriman) sepanjang waktu, partikular maupun universal. Dengan kata lain, cara hidup jemat perdana itu juga tetap merupakan cita-cita yang terus-menerus diupayakan, diperjuangkan dan diwujudkan oleh umat beriman sepanjang waktu. Model itu sesungguhnya merupakan gambaran atau prototipe dari cara berada atau cara hidup umat beriman di mana pun dan kapan pun.

Ciri-ciri utama cara hidup jemaat perdana itu nampak sangat menonjol dalam 5 hal yaitu adanya 1) Persaudaraan/persekutuan, 2) Mendengarkan Sabda/pengajaran, 3) Pelayanan terhadap sesama/solidaritas, 4) Perayaan iman/pemecahan roti/doa 5). Memberi kesaksian iman (tentang Tuhan) melalui cara hidup mereka. Karena cara hidup mereka itu, mereka disukai semua orang, jumlah mereka makin lama makin bertambah dan mereka sangat dihormati orang banyak.

Mengapa mereka membentuk cara hidup seperti itu? Kiranya harus dipahami bahwa cara hidup berkomunitas seperti yang mereka miliki itu lahir atau muncul karena tuntutan situasi dan lingkungan yang mengharuskan mereka untuk menemukan cara berada baru sebagai orang-orang yang telah dibaptis, yang percaya kepada Tuhan. Bisa dimengerti pada waktu itu, sekitar awal-awal abad pertama mereka masih merupakan kelompok kecil di tengah kelompok (lingkungan) lain yang jauh lebih besar yang bahkan mungkin mengancam mereka juga. Sebagai kelompok kecil, yang baru memiliki identitas sendiri sebagai orang beriman, yang berbeda dari orang-orang lain di sekitar mereka, mau tidak mau mereka harus bersekutu, bersaudara, saling memperhatikan, saling membantu dan harus memberikan kesaksian bahwa mereka adalah orang-orang yang baik (sebagai orang yang percaya), agar mereka dapat diterima dan dihargai oleh orang-orang lain yang di sekitar mereka. Itu semua mereka lakukan demi iman mereka akan Tuhan Yesus. Iman mereka menjadi penggerak utama dan sekaligus menjadi sumber kekuatan bagi mereka, untuk melakukan apa yang terbaik bagi diri mereka sendiri dan juga bagi orang lain di sekitar mereka.

Apa yang mereka lakukan sebetulnya merupakan suatu proses pemahaman akan jati diri mereka sebagai orang beriman. Kiranya karena keadaan lingkungan yang menuntut, mereka berusaha mengenal diri mereka sendiri, sesungguhnya siapa mereka atau apa ciri khas mereka sebagai orang beriman, bagaimana mereka harus berada di tengah lingkungan masyarakat dan apa yang harus mereka lakukan? Juga cara mereka mengatur persekutuan (paguyuban) dan melayani kebutuhan sesama warga komunitas sejauh kita bisa amati dalam Kisah Para Rasul itu, lebih bersifat spontan dan sukarela, muncul dari dorongan hati nurani, dengan kerendahan hati  dan ketulusan masing-masing. Kiranya tidak bisa dikatakan bahwa mereka merupakan komunitas yang sudah jadi atau sudah mapan. Kegiatan mereka pastilah belum berdasarkan rumusan visi, misi, strategi dan program kerja serta anggaran dana operasional seperti yang kita mau lakukan. Mereka belum mengenal ilmu manajemen yang sangat menekankan sistim, struktur serta mekanisme kerja yang jelas dan rapi, dengan aturan main dan batasan-batasan kewenangan yang jelas. Kiranya cara mereka mengatur kebersamaan jauh dari kecanggihan sistim dan metode-metode seperti yang kita gulati sekarang.

Namun nampak sekali dari cerita seperti yang dipaparkan dalam Kisah para rasul itu bahwa mereka merupakan komunitas yang sangat hidup, sangat terbuka, sangat aktif  dan sangat dinamis. Dan yang  paling menarik ialah cara hidup mereka, cara berada mereka sangat efektif, berdampak sangat positif bagi orang-orang lain di sekitar mereka, sehingga mereka disukai semua orang (Kis 2:47), jumlah orang yang percaya kepada Tuhan makin hari makin bertambah (Kis.2:47; Kis. 5:14), dan mereka sangat dihargai oleh orang banyak (Kis. 5:13).

Harus digarisbawahi disini bahwa iman mereka akan Tuhan adalah landasan atau sokoguru atau tulang pungggung dari segala upaya yang mereka lakukan untuk meneguhkan keberadaan mereka di tengah lingkungan (di tengah dunia), dan untuk mewartakan atau memberikan kesaksian tentang apa yang mereka percaya. Adapun hal-hal lain yang pada permukaan tampak dalam wujud tindakan sosial dan ekonomi, aksi solidaritas, kepedulian kepada sesama, menolong dan menyembuhkan orang sakit (Kis. 5:16) adalah merupakan buah, hasil atau dampak dari iman mereka kepada Tuhan, merupakan hasil dari upaya meneguhkan dan mewartakan iman mereka sendiri. Maka komunitas jemaat perdana adalah komunitas iman, komunitas spiritual, komunitas yang digerakkan oleh Roh Kudus, komunitas orang-orang yang bertobat (mau berubah), bukan komunitas yang terbentuk pertama-tama karena alasan-alasan (kepentingan) sosial, ekonomi atau kekuasaan. Tatanan duniawi, urusan sosial-ekonomi justru diresapi, dijiwai, digerakkan, oleh/karena iman mereka akan Tuhan itu dan bukan sebaliknya.

Mengapa Pengembangan Komunitas Basis Stagnan?
Orang Amerika mengatakan “What you see is what you get!” Ungkapan atau adagium ini bisa menjadi ‘pisau bedah’ untuk memahami mengapa Komunitas Basis tak kunjung bisa menggeliat menjadi modus baru hidup menggereja sebagaimana diharapkan, termasuk dalam keuskupan kita. Seseorang yang melihat atau memahami benar apa yang diinginkan atau dicita-citakannya, biasa juga tahu atau berupaya untuk tahu bagaimana cara mencapai atau mewujudkan cita-citanya itu. Karena ia betul-betul memahami/mengerti apa yang hendak ia wujudkan, ia juga memiliki gambaran konkret dan jelas tentang tentang keadaan atau situasi yang ingin ia ciptakan atau ubah. Ia juga memiliki tekad atau komitmen serta konsisten berjuang dan bahkan bekeja keras untuk mewujudkan cita-cita itu. Bagi orang yang sungguh “melihat” tidak ada istilah coba-coba atau setengah hati. Pikiran dan hatinya seakan-akan diserap oleh kekuatan untuk mewujudkan impiannya itu (bahasa iman, dorongan Roh Kudus). Maka tidak mungkin ia akan berpangku tangan dan sekedar berangan-angan akan hal itu. Dia juga tidak akan membiarkan atau mengharapkan orang lain saja yang melakukan hal itu baginya. Sekurang-kurangnya ia akan terlibat, mensupport, mendorong bahkan memfasilitasi sendiri segala upaya ke arah perwujudan cita-cita itu, kalau ia mampu atau memiliki perangkat untuk melaksanakannya. Orang yang memiliki visi (insight) yang benar pada umumnya juga adalah orang yang bertanggungjawab dan berani, berani mengambil tindakan dan menanggung risiko, namun tentu dia tidak akan bertindak gegabah.

Seorang pelaku bisnis yang baik dan bertanggungjawab, biasanya termasuk dalam kelompok manusia seperti itu. Visi atau insight seorang business man ialah profit atau keuntungan, tidak mungkin kerugian, karena itu dia tidak akan gegabah melakukan investasi. Seorang pengembang property misalnya, apabila melihat suatu lahan luas berupa padang kering kerontang atau rawa-rawa yang tidak terurus, tidak berbentuk dan sama sekali tidak menghasilkan apa-apa, alias lahan nganggur, lahan tidak berguna itu bisa menjadi sesuatu yang lain (baru), bisa menjadi lingkungan hunian yang indah, menarik dan menyenangkan. Untuk mewujudkan impian itu, ia tidak sekedar berangan-angan melainkan mengupayakan dan menyiapkan segala potensi, daya dan perangkat penunjang yang dibutuhkan (mengkaji dan men-design potensi dan kelayakan lingkungan, pinjam kredit dari bank, membeli lahan, menyewa peralatan berat, memobilisasi dukungan dan menyiapkan tenaga kerja dst.). Pengembang itu tidak hanya mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, namun ia juga menciptakan lingkungan baru (mengubah keadaan) dan membuka akses bagi banyak orang lain untuk memiliki rumah yang baik dan hidup yang menyenangkan. Dengan usaha bisnisnya, ia membuat banyak orang lain bahagia.

Dalam zaman modern ini ada banyak orang yang memiliki impian (insight) yang jelas dan bisa mewujudkannya. Sebutlah misalnya yang terkemuka atau menonjol seperti Bill Gates, Steve Jobs, Warren Buffett, Ibu Teresa dari Calcutta, Paus Yohanes Paulus II, dst. Dalam sejarah Gereja kita kenal para santo dan santa dan banyak tokoh pembaharu Gereja lainnya. Mereka adalah orang-orang yang betul-betul melihat apa yang mereka kehendaki sehingga bisa memengaruhi orang lain, memberi contoh dan inspirasi bagi orang lain untuk berubah dan ikut merubah keadaan.

Analog dengan gambaran di atas, kita kiranya harus mengerti jati diri Komunitas Basis (baca: cara hidup jemaat perdana) dan seharusnya cara kita melihat dan memahami implementasi atau perwujudannya adalah seperti para pebisnis, para petani dan contoh orang-orang yang betul mengerti apa yang dia mau lakukan. Nampaknya kita belum melihat ada apa dalam Komunitas Basis itu? Apa yang kita impikan atau cita-citakan dengan Gereja? Apa betul Gereja akan tampil dengan cara hidup baru, dengan wajah baru, dengan dinamika/gerak baru, apabila Komunitas Basis diwujudkan, bila sungguh menjadi sentrum dan medium dari aktivitas dan pelayanan umat (Gereja)?

Kalau bertanya saja seperti ini tentang Komunitas Basis tidak sampai (muncul), maka bisa dipastikan gagasan dan gerakan Komunitas Basis hanya akan menjadi pelipur lara belaka, sekedar ramai berwacana tentang cara hidup menggereja yang kita angan-angankan. Barangkali karena kita sesungguhnya sudah terjebak jauh dalam kemampanan yang ada dan kita tidak berani mengubah apalagi meninggalkan kemampanan itu. Nampaknya kita tidak berani (tidak mau) melakukan terobosan untuk menggerakkan umat, merintis dan menciptakan cara-cara baru dalam hidup menggereja. Memang perwujudan Komunitas Basis merupakan tanggungjawab seluruh umat beriman, uskup, para imam, para pejabat, fasilitator dan penggerak kegiatan pelayanan umat, namun secara faktual – riil, gerakan Komunitas Basis adalah gerakan dari akar rumput, digerakkan dari bawah. Apakah gerakan itu sungguh dipahami dan mau difasilitasi?

Walaupun gerakan Komunitas Basis merupakan gerakan yang berbasis di akar rumput, namun peran dan tanggungjawab pemimpin umat, terutama uskup dan para imam, khususnya para pastor paroki yang menangani wilayah pelayanan teritorial, tidak bisa dianggap biasa-biasa saja. Mereka yang memiliki otoritas dalam pelayanan justru harus membuka peluang, menciptakan kemungkinan dan gerak serta fasilitas untuk mewujudnya Komunitas Basis itu di akar rumput, dalam lingkungan-lingkungan. Mereka justru yang pertama-tama harus memiliki visi dan insight tentang  komunitas Basis, sehingga bisa betul-betul mendorong dan mensupport pergerakannya dari akar rumput.

Pergerakan perwujudan Komunitas Basis stagnan, kiranya karena kita belum melihat Gereja (kita) mau menjadi apa dengan gerakan Komunitas Basis itu. Otomatis segala daya upaya yang perlu untuk gerakan itu, semuanya menjadi melempem, dan tinggal di tempat. *** Penulis: Pastor Victor Patabang Pr

Tidak ada komentar: