Pada Minggu-Rabu, 24-27 Juli 2011 bertempat di Panti Samadi Susteran JMJ Malino diadakan pertemuan para staf Sekretariat Keuskupan Agung Makassar, Amboina dan Manado (MAM). Pertemuan ini dihadiri juga oleh Vikjen P. Ernesto Amigleo CICM dan para Sekretaris masing-masing Keuskupan (P. Frans Nipa dari KAMS, P. Christian Santie MSC dari Keuskupan Manado, dan P. Agustinus Ulahayanan dari Keuskupan Ambon), dimaksudkan sebagai sarana evaluasi dan kesempatan untuk sharing hasil pertemuan awal yang pernah diadakan di Keuskupan Amboina pada tahun 2010. Selain itu, untuk menelurkan gagasan-gagasan baru yang dapat dijadikan program Tim Kesekretariatan Propinsi Gerejawi MAM, serta dapat semakin memperkuat motivasi dan manajemen kerja kesekretariatan dan mendalami seluk-beluk pendataan umat.
Senin (25/7), Bpk. Artian Dasa Wijaya membawakan sesi Motivasi dan Manajemen Kerja untuk membangkitkan semangat para staf Sekretariat Keuskupan, juga diedarkan kuesioner untuk mengukur tingkat motivasi peserta (psikotest).
Selasa (26/7), Bpk. Simon Ro'son dari Dinas Kependudukan Kotamadya Makassar membawakan sesi Ilmu Data, dan membagikan pengalaman dalam pendataan kependudukan di kota Makassar.
Di akhir kegiatan ini menghasilkan tiga rekomendasi:
1. Optimalisasi sinergisitas Unit Sekretariat dengan semua unit di kantor keuskupan, khususnya unit ekonomat.
2. Penyeragaman Format Surat Baptis:
a. Dibuat dalam tiga bahasa (Indonesia-Inggris-Latin).
b. Format dikonsep oleh Keuskupan Agung Makassar kemudian dikirim ke Keuskupan Manado dan Keuskupan Amboina untuk disepakati.
3. Tahun 2012 difokuskan sebagai Tahun Statistik Umat Katolik Provinsi Gerejawi MAM:
a. Perlu sosialisasi urgensi Pendataan Umat, keterlibatan proaktif (optimalisasi peran) pihak-pihak terkait pendataan: vikep-pastor paroki-depas-pengurus rukun/wilayah rohani-stasi-keluarga.
b. Mengadakan Lokakarya Statistik/Teknis Pendataan Umat (inisiasi dilaksanakan di Keuskupan Manado).
c. Tim Teknis mempersiapkan format pendataan umat dengan sistem terotomasi.
d. Penyampaian kepada pihak Atma Jaya melalui KWI agar juga mengirimkan software statistik, selain blangko dalam bentuk lembaran.
e. Perlu personalia khusus di tingkat kevikepan/wilayah yang menangani pendataan umat. *** Penulis: Toni Sidjaya
Semangat... Semangat... SemangatOrang Muda!!! Sebuah ungkapan yang selalu didengungkan oleh seorang motivator ketika berhadapan dengan Orang Muda. Mengapa tidak?? Sebuah ungkapan pemberi harapan, pembangkit nyali, dan peyejuk jiwa persaudaraan Orang Muda. Manakala di satu sisi kita prihatin melihat geliat dan gelagat orang muda sekarang ini, tetapi di sisi lain kita menumpuk sejumlahharapan dan cita-cita yang besar di pundak orang muda. Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada Hari Orang Muda Sedunia ke-26 di Madrid, menekankan pentingnya menjalin relasi pribadi dalam kebenaran dan solidaritasuntuk membangun persahabatan yang tulus, dan untuk mengenal cinta sejati, untuk membangun keluarga yang utuh dan bersatu, untuk mencapai kepenuhan pribadi dan kemapanan hidup yang nyata serta semua hal yang menjamin masa depan yang damai, tenang dan bahagia. Pesan inilah yang menjadi inspirasi bagi panitia untuk mengambil tema: “OMK Berakar Dalam Kristus Menuju 100 tahun Gereja Katolik Wilayah Kepulauan Kevikepan Sulawesi Tenggara”
Tema tersebut di atas tentunya searah dengan tema WYD XXVI yang diselenggarakan di kota Madrid, Spanyol pada 16-21 Agustus 2011: "Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2:7). Bukan tanpa alasan, melihat situasi gereja lokal wilayah kepulauan pada khususnya dan Kevikepan Sultra pada umumnya, tema tersebut ditempatkan dalam konteks menyongsong 100 tahun Gereja Katolik wilayah kepulauan kevikepan Sulawesi Tenggara. Tema ini memacu orang muda untuk menggali dan menemukan makna keberadaan dan keterlibatannya di dalam gereja dan masyarakat dalam menyongsong perayaan 100 tahun tersebut. Dalam pencarian makna melalui kegiatan tersebut orang muda bukan menjadi pesaing, tetapi menjadikan diri sebagai perintis, penggagas, penggiat dan pendukung relasi persaudaraan dalam kepekaan solidaritas yang tinggi dan oleh karenanya orang muda diharapkan menjadi pelaku bagi gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan. Harapan ini sejalan pula dengan harapan Gereja Lokal bahwa orang muda harus memasyarakat. Itu berarti orang muda harus mampu berkomunikasi dan bersahabat dengan semua lapisan masyarakat.
Kegiatan orang muda ini dirancang dan dipersiapkan oleh P. Matius Patton, Pr(moderator OMK Kepulauan), Alexander Ernesto (pendamping OMK), dan Tomy Lacaden dkk (panitia). Kegiatan ini sebagai tindaklanjut dari Leadership Trainning I OMK Kepulauan pada bulan Februari 2010.
Adapun kegiatan ini dilaksanakan pada 31 Agustus – 3 September 2011 bertempat di Paroki St. Mikael Labasa, tepatnya di Stasi Lakapera yang melibatkan 3 paroki kepulauan (Bau-Bau, Labasa, dan Raha) dengan jumlah peserta 80 orang. Adapun metode pelaksanaannya berupa penyajian materi yang dikemas dalam beberapa sesi, yakni “Orang Muda Katolik Masa Kini” (oleh P. Cakra), “Orang Muda Katolik Membangun Spirit “Caritas” (oleh Emanuel Para’pak, Caritas Makassar/CaMar), “Orang Muda Katolik Menjadi RelawanTanggap Darurat ketika menghadapi bencana alam” (oleh Santos Marianus, CaMar),” Manajemen Organisasi Orang Muda” dan “Orang Muda, Tantangan dan Peluang” (oleh Yonathan Nau, LBH Kendari), serta materi outbound (oleh Tony Iwan, KOMKEP KAMS).
Penyajian materi-materi tersebut tidak hanya bersifat monolog/ceramah, tetapi lebih dialogis/komunikatif. Bahkan materi-materi tersebut lebih disajikan dalam bentuk dinamika kelompok dan simulasi yang bermanfaat untuk melatih orang muda bagaimana harus belajar untuk mengembangkan dirinya dan mental pribadi, khususnya dalam mengaktualkan dirinya melalui organisasi dan kepeduliannya di dalam masyarakat.
Selain materi-materi tersebut juga tak kalah menariknya disajikan pula materi-materi outbound yang menantang sekaligus melatih nyali dan keberanian orang muda berhadapan dengan “permainan alam”. Tujuannya untuk melatih nyali dan keberanian, juga melatih kerja sama dan kekompakan dalam kelompok sekalipun dalam keadaan sulit dan menantang. Setiap materi outbound yang dilakukan oleh para peserta selalu direfleksikan pada malam hari di penghujung acara sehingga permainan itu tidak tinggal sebatas permainan tetapi juga memiliki arti dan makna bagi para peserta terutama di dalam membangun kekompakan dalam kelompok.
Inilah sebuah proses pelatihan dan pembelajaran bagi orang muda yang baru dan sedang dalam pencarian jati dirinya tanpa terlepas dari akarnya sebagai dasar yang kokoh, tempat orang muda katolik membangun hidup, yakni di dalam Yesus Kristus. Hidup dengan dasar Yesus Kristus berarti sanggup dan mampu menanggapi setiap ajakan Tuhan dengan mendengarkan dan menghayati Sabda-Nya dan mengamalkannya dalam berbagai kegiatan yang nyata di tengah masyarakat. Dengan begitu, orang muda sedang merintis jalan menuju kesaksian hidupnya untuk menjadi rasul-rasul muda.
Kegiatan ini ditutup dengan Perayaan Ekaristi bersama dengan umat Stasi Lakapera dan sesudahnya dimeriahkan dengan penyalaan api unggun sebagai tanda pemersatu dan persaudaraan dengan semangat yang berkobar-kobar dalam jiwa orang muda. Gereja Katolik wilayah kepulauan melalui panitia pengarah dan pelaksana mengharapkan agar orang muda katolik kepulauan tetap berbaur dalam semangat persaudaraan dan kepedulian terhadap sesama, tanpa melihat perbedaan warna kulit, jenis rambut, orang kota maupun orang kampung, apalagi mau bersaing dengan tidak sehat.
Kita adalah orang muda yang sama berakar dari dan dalam Yesus Kristus. Semangat... semangat... smangat OMK Kepulauan!!! Sampai jumpa pada kegiatan orang muda berikutnya. *** Penulis: P. Cakra Arung Raya Pr
Telah terpilih kepengurusan baru Badan Pelayanan Keuskupan Pembaharuan Karismatik Katolik Keuskupan Agung Makassar (BPK-PKK KAMS) periode 2011 - 2014. Pelantikan Pengurus Baru ini dipimpin oleh Bapa Uskup Mgr.John Liku Ada’ dalam Misa Syukur yang diadakan di gereja Santo Yoseph Pekerja Gotong-Gotong yang dihadiri oleh Moderator Badan Pelayanan Keuskupan Pembaharuan Karismatik Katolik Keuskupan Agung Makassar, Pastor Hendrikus Njiolah, Pr, Sekretaris Keuskupan P. Fransiskus Nipa, Pr, Koordinator PDKK KAMS beserta anggota dan umat.
Badan Pelayanan Keuskupan Pembaharuan Karismatik Katolik adalah Tim Pelayanan di Keuskupan Agung Makassar yang membidangi karismatik bekerjasama dengan PDKK KAMS dalam meningkatkan mutu persekutuan serta memadukan kegiatan PDKK KAMS dengan arah Gereja yang lebih luas serta umat kebanyakan juga bekerjasama dengan PDKK dalam mempersiapkan kader-kader PKK yang berkualitas.
Adapun susunan pengurus baru terpilih Badan Pelayanan Keuskupan Pembaharuan Karismatik Katolik Keuskupan Agung Makassar (BPK. PKK. KAMS) periode 2011-2014 adalah sebagai berikut:
Penasehat Awam : Frans Hendra Wijaya (Paroki Tello)
Koordinator Umum : Charles Masui (Paroki Gotong-Gotong)
Persekutuan Doa Karismatik Katolik di Keuskupan Makassar saat ini mencakup :
1.PDKK.Santo Yoseph Pekerja- Gotong-Gotong
2.PDKK.Hati Kudus – Katedral
3.PDKK. Santa Maria di angkat ke surga – Mamajang
4.PDKK Santo Yakubus – Mariso
5.PDKK Santo Fransiskus Assisi – Assisi
6.PDKK Kristus Raja –Andalas
7.PDKK Santo Simon Petrus Gembala –Sungguminasa
8.PDKK Santo Paulus – Tello
9.PDKK El Shaddai
10.PDKK Santo Petrus Rasul – Pare-Pare
11.PDKK Santa Theresia – Rantepao
12.PDKK Hati Tak Bernoda Santa Perawan – Makale
13.Jeduthun Salvation Ministry
Mari kita semua doakan kiranya Gerakan Pembaharuan Karismatik Katolik di Keuskupan Agung Makassar dapat mencapai Visi-Misi nya terlebih lagi dapat membawa berkat bagi seluruh umat Keuskupan Agung Makassar. ***
Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 3 September 1986, kami berempat (Diakon Victor Patabang, Diakon Herman S. Panggalo dan 2 orang rekan yang lain) waktu itu mendapat tahbisan imamat dari Mgr. Yoseph Tethool, MSC di paroki Santo Paulus, Ge’tengan-Mengkendek, Tana Toraja. Kedua rekan kami seangkatan, ditahbiskan di parokinya masing-masing: Diakon Alex Lethe ditahbiskan di Palopo tanggal 31 Agustus 1986, sedang Diakon Jimmy Sattu ditahbiskan di Messawa, tanggal 7 September 1986. Sebagai imam-imam muda, tentu kami memiliki semangat yang tinggi dan siap diutus ke mana saja dalam rangka pelayanan pastoral.
Tahun berganti tahun, dan kami pun masing-masing, seturut kebijakan keuskupan, melaksanakan karya pastoral dan menjalani hidup imamat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Saya pada mulanya ditempatkan sebagai pastor bantu di wilayah pelayanan pulau Muna dan Buton. Bersama Pastor Willem Tee Daia, Pr, selaku Pastor Paroki untuk tiga paroki (Raha, Labasa, dan Bau-Bau), kami menjalankan tugas pelayanan. Saya diberi kepercayaan untuk secara khusus melayani paroki Santo Paulus Bau-Bau dengan beberapa stasinya a.l. Pasar Wajo dan Lawele. Sekali-sekali saya menyeberang ke Muna dan ambil bagian dalam pelayanan di paroki Labasa dan Raha. Sebenarnya saya hanya sebentar saja boleh menikmati masa-masa bulan madu saya di Sulawesi Tenggara. Pada pertengahan tahun 1987, Bapa Uskup (Mgr. Frans van Roessel, CICM) menugaskan saya di Seminari Santo Petrus Claver Ujung Pandang (waktu itu) menggantikan Pastor John Turing Datang, Pr., yang mendapat tugas belajar ke Roma. Di Seminari Petrus Claver, saya bergabung bersama P. John Liku-Ada’, Pr. (sebagai Rektor), P. Anton B. Sarunggaga, Pr. (sebagai Prefect Kedisiplinan), dan P. Victor Patabang, Pr. (sebagai Ekonom). Beberapa bulan kemudian, P. Anton B. Sarunggaga, Pr. berganti tempat dengan P. Willibrordus Welle, Pr. yang datang dari Palopo.
Selama kurang lebih 7 tahun saya hidup bersama rekan-rekan imam dan para seminaris. Setelah itu saya diperkenankan mencicipi kehidupan paroki, yaitu pada pertengahan tahun 1993, menemani P. Jan van Empel, CICM selama kurang lebih empat belas bulan di paroki Katedral. Ketika P. Jan van Empel, CICM diganti oleh P. Lucas Paliling, Pr., saya kembali ke Seminari Petrus Claver. Pada bulan Mei 1994, saya berangkat ke Yogyakarta untuk melaksanakan tugas belajar. Saya mencoba betah di Yogya sampai belajar saya dinyatakan tuntas, yaitu Desember 1999. Setelah beristirahat selama sebulan, saya mendapat tugas baru, yaitu kembali ke Seminari Menengah Santo Petrus Claver Makassar. Tugas tersebut saya lakoni hanya sampai pertengahan tahun 1996, karena tugas baru telah menanti: menjadi penanggung jawab utama di SMA Katolik Cenderawasih Makassar. Amanat itu masih dipercayakan kepada saya hingga hari ini. Mudah-mudahan segera ada pengganti supaya saya bisa menghirup udara baru di tempat yang baru pula.
Lakon-lakon di atas menjadikan saya telah berjalan selama 25 tahun sebagai seorang imam projo Keuskupan Agung Makassar bersama ketiga rekan saya. Sayang sekali dalam perjalanan itu kedua rekan kami tersandung, sehingga tidak dapat lagi berjalan beriringan dengan kami sekarang. Semoga mereka tetap mampu memaknai hidup mereka.
Dengan berjalan selama 25 tahun sebagai imam projo, saya menemukan beberapa hal yang menarik sekaligus menantang.
Pertama, sebagai imam projo, saya disadarkan bahwa seluruh hidup saya diperuntukkan bagi karya-karya pastoral dan reksa rohani umat di Keuskupan Agung Makassar, senang atau tidak senang. Membandingkan diri dengan rekan-rekan imam religius, saya sadar bahwa saya mendapat tugas perutusan di sini dan hanya di sini, sehingga mau tidak mau, tanggung jawab atas kelangsungan hidup menggereja, dengan sendirinya diletakkan di atas pundak saya.
Kedua, karena saya di hampir sepanjang karya imamat, menjadi pendamping kaum muda, terlebih lagi calon-calon imam dan pemimpin jemaat masa depan, saya berkesimpulan bahwa pendampingan terhadap mereka itu, perlu, bahkan sangat mendesak untuk dikondisikan sedemikian rupa sehingga setelah 10-20 tahun ke depan, mereka menjalankan perannya dengan lebih baik. Salah satu yang menurut saya mendesak untuk dilakukan sejak dini adalah membangun relasi dan jaringan yang tidak hanya terbatas di antara sesama rekan seiman, melainkan melintasi berbagai batas yang ada. Alangkah menyenangkannya menjalani hidup imamat yang didukung oleh ”teman-teman kelas” yang memiliki berbagai profesi yang dihormati masyarakat atau jabatan-jabatan penting yang menentukan roda kehidupan masyarakat. Untuk persoalan-persoalan yang harus melibatkan para penguasa dan pejabat masyarakat, kiranya urusan tidak akan serumit yang selama ini kita hadapi. Demikian pula dalam hal perolehan informasi tentang perkembangan masyarakat dan rencana-rencana pemerintah ke depan, termasuk bantuan-bantuan yang diperuntukkan bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat: “teman-teman kelas” akan banyak membantu.
Ketiga, sejumlah kekuatiran tentang gagalnya pendidikan seminari dalam “mencetak” imam apabila para seminaris terlalu banyak kena “angin-luar” barangkali dapat dikonfrontasikan dengan jumlah imam baru yang dapat ditahbiskan setiap tahun dalam kurun waktu 58 tahun Seminari Menengah St. Petrus Claver berdiri. Kiranya tidaklah benar apabila kegagalan dan keberhasilan itu semata-mata ditentukan oleh situasi dan kondisi, baik menyangkut tempat pesemaian bibit-bibit panggilan, maupun para pekerja di kebun anggur. Tak mungkinlah kita melupakan karya dan peran Roh Kudus sendiri. Artinya, terbuka juga peluang yang besar bagi tercapainya panggilan imamat kepada orang muda yang banyak diterpa angin (termasuk angin jahat) justru karena Roh Kudus tidak berpangku tangan. Ketika para pengambil keputusan memandang bijaksana menutup program KPB (Kelas Persiapan Bawah) di Seminari St. Petrus Claver, kami menangkap sebuah petunjuk: program KPB telah menekan sangat drastis jumlah peminat ke Seminari Petrus Claver (SPC). Ketika sedikit saja jumlah peminat, bagaimana melakukan seleksi yang ketat? Tidak hanya itu. Calon-calon yang menduduki ranking utama di sekolahnya, berpikir keras untuk masuk SPC, tidak hanya karena SPC hanya mengenal program IPS, melainkan juga karena mereka harus menahan “gengsi” untuk menempati posisi “bawah/rendah” dibandingkan teman-teman angkatannya dari SMP yang sekarang sudah menduduki kelas yang lebih tinggi dari mereka. Maka dengan dihilangkannya program KPB, para seminaris tidak lagi merasa ketinggalan dari teman-teman mereka di SMA lain. Akan semakin “pe-de”-lah kiranya apabila mereka diberi kesempatan untuk memilih program/jurusan, begitu mereka naik ke kelas XI (kelas 2). Namun hal ini sangat berkaitan erat dengan tersedianya sarana/prasarana belajar termasuk para pengajar dan dengan sendirinya, dana yang memadai. Apakah kendala-kendala ini bisa diatasi seandainya para pengambil keputusan berani melirik sebuah alternatif: SPC dan SMA Katolik Cenderawasih bergandengan tangan semakin mesra? Dan bagaimana para pembaca menyikapi ide ini? “Seminari adalah jantung keuskupan!”, begitu sering kita dengar. Kalau kita sadar akan fungsi dan peranan jantung bagi tubuh, seraya menyadari pula bahwa kita ini adalah anggota-anggota Tubuh Kristus dalam Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar, maka tentu kita akan terpanggil untuk turut menyumbang, apa pun bentuknya, termasuk ide dan saran, bagi kelangsungan kehidupan si “Jantung” itu. Mudah-mudahan, semakin banyak pihak yang memiliki cara pandang yang sama terhadap pendidikan calon-calon imam dan calon-calon pemimpin jemaat, sehingga menjadi rekomendasi yang kuat bagi pimpinan Gereja Lokal dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang tepat.
Ad Multos Annos. *** Penulis: P. Herman S. Panggalo Pr
Okto kecil (panggilan akrab P. Oktovianus Tandilolo, Pr) yang sangat nakal, dipanggil dan dipilih Allah sebagai alatNya. Kenakalannya bisa dilihat, saat dia marah maka rumahnya ditumbuk-tumbuk sampai dindingnya yang pada saat itu terbuat dari anyaman bambu dan papan seakan mau lepas. Ketika sedang marah juga sepedanya didorong tanpa dinaiki sehingga sepeda tersebut terjungkal.
Walaupun demikian sebenarnya dia sangat penyayang. Okto kecil begitu sayang kepada kakak-kakak dan adik-adiknya terlebih kepada kedua orang tuanya. Bahkan tidak hanya sayang kepada orang tua dan saudara-saudaranya, tetapi juga ketika diberi tugas untuk menggembalakan kerbau maka dia sangat sayang kepada kerbau gembalaannya. Setiap hari kerbaunya dimandikan dan dituntun ke rumput yang hijau.
Sebenarnya Okto kecil kalau ditanya apa cita-citanya maka jawabannya adalah mau jadi Artis Korea. Dalam kehidupan masa kecilnya tidak ada yang istimewa. Okto kecil sebagaimana anak kecil pada umumnya menjalani masa anak-anak dengan bermain, bekerja dan belajar.
Ketika selesai STM Rantelemo, Tana Toraja cita-cita jadi Artis ditinggalkan dan masuk ke Seminari Petrus Claver (SPC) Makassar untuk menjalani panggilan imamat. Setahun di SPC lalu melanjutkan cita-cita barunya ke Tahun Orientasi Rohani (TOR) yang saat itu di Dayak (tempat CICM). Saya ingat betul karena saat itu saya dan keluargaku sempat menjenguk dia dan juga bertemu dengan P. Simon Oscar Gausu, Pr pada sekitar Maret 2004. Setahun di TOR dia melanjutkan panggilannya ke Seminarium Anging Mammiri (SAM) Yogyakarta. Di SAM cita-cita Fr. Oktovianus Tandilolo untuk menjadi imam tidaklah berjalan dengan mulus, itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang dia ungkapkan. Terkadang keinginan hidup sebagai kaum awam terpikirkan olehnya. Namun demikian Fr. Oktovianus Tandilolo menyelesaikan S1 selama 4 tahun kemudian menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Mamasa Tajar 2008/2009 dibawah pendampingan P. Alex Maitimo, Pr sebagai pastor paroki saat itu.
Saat Fr. Oktovianus Tandilolo menjalani TOP di Mamasa, sempat saya mampir ke SAM (saya sedang dalam perjalanan dinas untuk studi banding ke Surakarta). Ketika saya bertanya kepada Romo Rektor SAM, Rm. Willem Tee Daia, Pr tentang perjalanan panggilan Fr. Oktovianus Tandilolo maka Rm. Rektor mengatakan bahwa Frater sedang ragu dan bimbang. Waktu sampai di Asmat, tempat tugas saya, sekembalinya dari Surakarta saya menerima telpon dari satu-satunya kakak perempuan saya yaitu Mama dari Fr. Oktovianus Tandilolo (kami 10 saudara hanya 1 perempuan). Dari nada suara kakak perempuan di seberang telpon terkesan ada kerisauan. Pada kesimpulannya yang menjadi pokok pembicaraan bahwa Fr. Oktovianus Tandilolo sedang ragu dan bimbang. Hal senada yang baru saya dengar dari Rm Rektor SAM. Kakak perempuan berharap agar saya memberi semangat kepada Frater. Beberapa waktu kemudian saya menelpon Frater dan menanyakan tentang hal panggilan imamatnya, menurut pengakuannya saat itu memang lagi sedang ragu dan bimbang. Saya selaku om yang sedikit tahu kehidupan di Seminari Tinggi memberi satu tantangan kepadanya dan saya katakan “kalau Frater tidak mampu atau tidak sanggup silahkan keluar saja”.
Setelah masa TOP selesai Fr. Oktovianus Tandilolo memilih untuk melanjutkan panggilan imamatnya dengan kembali ke SAM. Sesampainya di sana mereka berlima mengikuti test S2 Fr. Oktovianus Tandilolo termasuk tidak lulus karena nilai Bahasa Inggrisnya yang tidak memenuhi standard. Keraguan dan kebimbangannya semakin bertambah. Suatu ketika saya telpon dan menanyakan tentang panggilannya maka Frater mengatakan “fifty-fifty” mi om. Saya sampaikan kepadanya, “Frater hanyalah alat Tuhan, yang akan menentukan adalah Tuhan sendiri, Dia telah memanggilmu dan bila Ia berkehendak maka Dia pulalah yang akan memilihmu. Kalau Tuhan akan memakai engkau, maka engkau tidak akan mampu lari daripadaNya. Sebaliknya kalau Dia tidak menghendaki engkau menjadi imamnya maka usaha apapun yang kau tempuh untuk meraihnya engkau tidak akan bisa. Pasrahkan saja dirimu, minta selalu petunjukNya dalam doa dan meditasimu.”
Saya terkejut ketika pada bulan Januari 2011 saya mendapat berita bahwa Fr. Oktovianus Tandilolo bersama dengan 4 (empat) temannya dari SAM akan menerima Tahbisan Diakon di Kentungan Yogyakarta. Saya hanya mengatakan syukur kepada Tuhan karena Dia telah melaksanakan kehendakNya. Kemudia Diakon Oktovianus Tandilolo, Pr menjalani Diakonatnya di Paroki Mangkutana di bawah pendampingan P. Marinus Tellu, Pr. Dan pada hari ini (Kamis, 4 Agustus 2011) engkau telah sampai pada tahbisan imamat. Suatu panggilan yang kau perjuangkan dengan jatuh bangun dan susah payah (masussa, satu kata yang sering keluar dari mulutmu sendiri). Kami keluarga sangat terharu dan bangga atas perjuanganmu. Selamat... Proficiat Pastor Oktovianus Tandilolo, Pr. Tuhan telah memanggil dan memilihmu menjadi gembala umatNya.
Ini baru awal perjalananmu, oleh karena itu keluarga berpesan:
1.Kami keluarga bangga dan bahagia, oleh karena itu peliharalah kebanggaan keluarga sepanjang perjalanan hidupmu, jangan pernah kau kecewakan kebanggan kami ini.
2.Apabila engkau menemui riak atau bahkan ombak dalam hidup panggilan imamatmu mintalah petunjuk kepada Senior dan Uskupmu. Terlebih kepada Tuhan.
3.Peliharalah hidup imamatmu selalu dalam hubungan dengan Tuhan melalui Doa, Meditasi dan Perayaan Ekaristi setiap hari.
Keluarga menyadari bahwa P. Oktovianus Tandilolo, Pr boleh mencapai panggilan imamatnya karena dorongan, bantuan dan tuntunan dari berbagai pihak, oleh karena itu selayaknya kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1.Yang mulia Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. Johannes Liku-Ada’ yang telah berkenan mentahbiskan anak, saudara terkasih kami P. Oktovianus Tandilolo, Pr.
2.Vikep Toraja, P. Frans Arring, Pr.
3.Rektor dan Pembimbing Seminarium Anging Mammiri Yogyakarta, Rektor dan Pembimbing Tahun Orientasi Rohani, Rektor dan Pembimbing Seminari Petrus Claver Makassar.
4.Pastor Pendamping Tahun Orientasi Pastoral dan Pastor Pendamping Diakonat.
5.Para Pastor, Suster, Diakon dan Frater
6.Para Guru yang pernah mendidik dan mengajar anak, saudara terkasih kami P. Oktovianus Tandilolo, Pr.
7.Serta semua pihak yang tidak sempat kami sebut satu persatu yang telah mengambil bagian dalam hidup anak, saudara terkasih kami P. Oktovianus Tandilolo, Pr mulai dari dia ada sampai saat ini.
Disadur kembali dari Sambutan keluarga yang disampaikan pada saat pentahbisan P. Oktovianus Tandilolo, Pr pada Kamis, 4 Agustus 2011 oleh Yunus M. Tandilolo, S. Sos ***
Kita patut bersyukur bahwa Komisi Liturgi KWI (diwakili oleh Rm.Bosco da Cunha, O.Carm) memberikan waktunya secara khusus untuk mengadakan Sarasehan Liturgi di Kevikepan Toraja yang diadakan di Paroki Nonongan, 26 Juni 2011, yang diprakarsai oleh Komisi Liturgi KAMS. Kegiatan ini sangat menarik minat umat, dan menurut Rm.Bosco, jumlah peserta yang mengikuti Sarasehan ini adalah yang terbanyak selama beliau mengadakan Sarasehan serupa. Antusiasmepara Pengantar, Prodiakon dan Sie Liturgi se-Kevikepan untuk menghadiri kegiatan ini terbukti dengan membludaknya peserta yg hadir, diperkirakan sekitar 500an orang. Kegiatan serupa juga dilaksanakan untuk para imam yang berkarya di Kevikepan Toraja. Bahkan kegiatan untuk imam dilaksanakan selama 2 hari, 23-24 Juni 2011 di IKAR/STIKPAR Rantepao. Pananggungjawab utama pelaksanaan Liturgi Gereja adalah para imam maka juga dirasa perlu untuk dibekali/disegarkan kembali pemahamannya mengenai aturan Liturgi resmi Gereja.
Menganalisa sejenak antusiasme umat untuk menghadiri kegiatan Sarasehan Liturgi ini, ternyata umat sangat merindukan siraman rohani mengenai Liturgi Gereja yang benar sesuai dengan aturan Gereja Universal. Di satu pihak, ada kekhawatiran umat akan begitu banyaknya praktek “Liturgi” yang membingungkan, tetapi di lain pihak, mereka sangat ingin mengetahui bentuk-bentuk kesalehan umat yang boleh dikembangkan sesuai dengan aturan Liturgi yang benar. Tarik-menarik kedua kutub inilah yang menurut hemat kami membuat kegiatan ini sangat menarik minat umat untuk menghadirinya, dan terutama untuk mendapatkan penerangan mengenai aturan-aturan Gereja mengenai Liturgi.
APA YANG DIBICARAKAN DALAM SARASEHAN INI?
Dalam kerangka mengembangkan segala kegiatan devosional secara baik, benar dan berdaya guna bagi umat beriman Katolik, Komisi Liturgi KAMS menghadirkan Komisi Liturgi KWI untuk menjelaskan aturan-aturan Gereja Universal yang berlaku secara umum. Tentu maksud baik ini diperlukan agar begitu banyak bentuk kesalehan umat tidak diremehkan begitu saja, tetapi juga tidak begitu saja mengambilnya seolah-olah bisa menggantikan Liturgi resmi Gereja. Kegiatan ini dimaksudkan agar sumbangan berharga dari kesalehan umat untuk Liturgi yang hidup tetap diperhatikan demi memupuk dan membina kesatuan dengan Kristus dalam Gereja.
Konsili Vatikan II, khususnya dalam Konstitusi Liturgi (SC) no.12 mengungkapkan kesadaran bahwa hidup rohani tidak tercakup seluruhnya hanya dengan ikut serta dalam perayaan Liturgi. Oleh karena itu, perlu mengadakan banyak kegiatan personal dan komunal sehingga seluruh hidup kita merupakan ungkapan persembahan korban rohani yang berkenan pada Allah. Selanjutnya, pada No.13 kegiatan ulah kesalehan umat Kristiani sangat dianjurkan, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja. Dan sangat dianjurkan supaya diselaraskan dengan Liturgi kudus sebab menurut hakikatnya, Liturgi memang jauh lebih unggul dari semua ulah kesalehan itu. “Liturgi adalah Puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja... dan sumber segala daya kekuatannya.” (SC 10).
Ada begitu banyak variasi kesalehan umat berkembang sesuai dengan daerahnya. Di Kevikepan Toraja juga terdapat begitu banyak bentuk kesalehan umat yang layak dicermati bersama untuk mengembangkan dan memajukan Liturgi. Terhadap bentuk-bentuk kesalehan umat, ada banyak sikap yang muncul. Ada yang begitu mudah meninggalkan bentuk lama dan mencari bentuk baru-terutama setelah pertemuan dengan kekristenan, kadang-kadang tidak sempurna atau bahkan sesat, dan ini mengakibatkan kekosongan yang sulit diisi. Kebiasaan baru yang diikuti yang diikuti bahkan kadang-kadang tidak sesui lagi dgn wahyu biblis yang asli dan bertentangan dengan tata sakramen. Sikap yang lain adalah dengan “keras” mempertahankan aturan Gereja tanpa mau ambil pusing dengan bentuk-bentuk kesalehan umat, sehingga kadang-kadang liturgi tidak menyentuh hati. Tanggapan lain lagi adalah mencampur-adukkan kesalehan umat dengan Liturgi resmi sehingga membingungkan umat. Terhadap hal ini, tetap harus dijaga bentuk-bentuk sinkretisme, yang kadang-kadang hanya mau menjembatani hubungan antara bentuk kesalehan umat dan Liturgi resmi Gereja. Hal ini semua dipertanyakan oleh peserta yang hadir mengikuti sarasehan Liturgi ini.
Penegasan yang disampaikan oleh Komisi Liturgi KWI tetap menjadikan Liturgi sebagai patokan untuk menilai bentuk-bentuk kesalehan umat. Tidak cukup kreatifitas pribadi atau tafsiran pribadi dijadikan tolok ukur untuk begitu saja mengambil praktek-praktek kesalehan umat digabungkan dengan Liturgi resmi Gereja. Perlu dibicarakan bersama secara mendalam dengan umat yang sungguh-sungguh mengalami dan menghidupi kesalehannya di satu pihak, tetapi juga umat yang sama merayakan Liturgi resmi Gereja Katolik. Tantangan inilah yang begitu terasa untuk ditindaklanjuti dengan penyadaran Liturgi melalui Sarasehan Sehari tentang Liturgi di Kevikepan Toraja waktu itu. Para penanggungjawab Liturgi diajak untuk bekerjasama (Imam dan awam) mendalami peluang-peluang inkulturasi Liturgi agar gereja merayakan liturgi yang hidup. Karena itu juga, Komisi Liturgi KWI memberikan rambu-rambu bagaimana mengadakan inkulturasi Liturgi.
APA YANG HARUS DIBUAT OLEH UMAT KATOLIK DI TORAJA (KAMS)
Menurut Direktorium Kesalehan Umat dan Liturgi Pengertian Ulah Kesalehan adalah ungkapan-ungkapan kesalehan Kristiani, baik publik maupun perorangan; meskipun bukan bagian dari liturgi, tetapi dinilai selaras dengan jiwa, kaidah, dan irama liturgi. Ulah kesalehan seperti ini, dalam batas tertentu, diilhami oleh liturgi dan mengantar umat Kristiani kepada liturgi. (bdk SC 13). Sejumlah besar ulah kesalehan ini adalah bagian dari warisan rohani Gereja-Gereja partikular atau tarekat-tarekat religius. Ulah kesalehan selalu mengacu pada Wahyu Ilahi publik dan memiliki latar belakang gerejawi. Mereka sering dikaitkan dengan rahmat yang diwahyukan Allah dalam Yesus Kristus yang selaras dengan hukum Gereja, dan dilaksanakan “selaras dengan kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan”. (DKUL hal.7)
Menyadari pengertian di atas, mestinya pembaharuan-pembaharuan liturgi oleh Imam dan umat harus secara bijak dan tulus mematuhi asas-asas yang berlaku. Di lain pihak, mengabaikan begitu saja bentuk-bentuk kesalehan umat hanya akan membuahkan ketidakpedulian dan kekacauan yang merugikan, serta polemik yang tidak pernah berakhir. Tantangan besar kita di Kevikepan Toraja sangat terasa karena seringkali belum dinilai secara bijak, bentuk kesalehan umat sudah dicampuradukkan dengan Liturgi resmi gereja yang hasilnya ternyata banyak membingungkan umat. Gerakan inkulturasi seolah-olah hanya keprihatinan orang-orang tertentu, belum menjadi gerakan bersama, sehingga di lapangan sangat terasa polemik yang berkepanjangan itu.
Ditegaskan dalam Direktorium Kesalehan umat dan Liturgi, bahwa direktorium ini diperuntukkan terutama kepada para Uskup yang bertugas mengetuai jemaat keuskupan yang sedang beribadat, memajukan kehidupan liturgi, dan mengoordinasi bentuk-bentuk ibadat lain. ...juga kepada rekan-rekan terdekat dari para Uskup, yakni para Vikaris episkopalis (Vikep), imam, diakon, dan khususnya para penanggung jawab tempat-tempat kudus. Saran-saran ini juga dialamatkan kepada para pemimpin lembaga hidup bakti....(Direktorium hal.5-6). Mau dikatakan bahwa gerakan pembaharuan Liturgi dalam Gereja Latin terutama ritus Romawi tidak cukup hanya menjadi praktek atau gerakan pribadi atau sekelompok kecil saja, karena ternyata ada begitu banyak pihak yang bertanggungjawab, tetapi harus menjadi gerakan bersama semua pihak terkait. Mengapa terjadi begitu banyak pertanyaan pada sarasehan ini mengenai praktek-praktek “liturgi” karena sangat terasa bahwa hal ini belum menjadi gerakan bersama. Ditegaskan dalam Sarasehan ini bahwa imam dan kaum beriman dididik untuk lebih mengunggulkan doa liturgis dan Tahun Liturgi di atas setiap bentuk devosi sebagaimana martabat Liturgi ... tanpa menolak dan meminggirkan kesalehan umat.
Tetap ditegaskan dalam sarasehan itu bahwa perlu ada penghargaan yang tepat dan bijaksana terhadap kekayaan kesalehan umat untuk menyuburkan kehidupan Kristiani. Tentu patokan utama yang ditegaskan lagi adalah Injil untuk menjamin bahwa kesalehan itu memiliki hubungan yang tepat dengan misteri kristiani. Apakah praktek itu semakin memperjelas realitas Injil, atau semakin mengaburkannya bahkan bertentangan selalu menjadi asas utama pembaharuan ini.... “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks” (Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Instruksi IV Varietates Legitimae,48).
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutipkan semangat yang seharusnya menjadi patokan pembaharuan liturgi yang dikehendaki Konsili Vatikan II yang harus mengilhami evaluasi yang tepat dan pembaharuan ulah kesalehan dan praktek-praktek devosional: (DKUL. 11)
1.Semangat Biblis: kesalehan umat hendaknya diresapi oleh semangat biblis karena tidak mungkin membayangkan doa Kristiani tanpa terkait langsung atau tidak langsung dengan Kitab Suci.
2.Semangat Liturgis: agar kesalehan umat dapat menjadi persiapan dan gema yang tepat untuk misteri-misteri yang dirayakan dalam liturgi.
3.Semangat Ekumenis: dengan mempertimbangkan kepekaan dan tradisi-tradisi umat kristiani lain tanpa dibatasi oleh rintangan-rintangan yang tidak semestinya ada.
4.Semangat Antropolgis: yang melestarikan simbol maupun ungkapan-ungkapan yang penting bagi bangsa tertentu sambil menjauhkan diri dari arkaisme yang hambar, dan semangat antropologis yang giat mengupayakan dialog yang bersahabat dengan kepekaan masa kini.
Semua hal ini hanya bisa berhasil kalau diilhami kesadaran pedagogis dan dilaksanakan secara bertahap, dengan selalu mempertimbangkan waktu dan situasi-situasi khusus. *** Penulis: P. Simon Tunreng Malatta Pr, Pastor Paroki Nonongan
Rencanaku dan rencana Allah sungguh jauh berbeda. Aku bersyukur karena rancanganku dan rancangan Allah berbeda, rancangan-Nya sungguh membahagiakan aku, karena itu aku berkeyakinan bahwa seluruh kejadian pada diriku adalah anugerah dan rancangan-Nya. Oleh sebab itu motto hidup panggilan saya adalah: “bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk, 22:42).
Kisah hidup panggilan saya mengalami banyak tantangan dan cobaan serta masalah yang selalu hadir. Tantangan demi tantangan, masalah demi masalah, cobaan demi cobaan telah saya lewati.
Sembilan tahun yang silam saya meninggalkan orang tua saya, saudara-saudari saya serta kampung halaman saya, selama 9 tahun itu pula saya mengalami jatuh bangun, mengalami suka duka, senang bahagia menjadi seorang Frater dan selama 9 tahun itu pulalah saya belum pernah pulang kampung demi meraih cita-cita menjadi seorang Frater. Dan hari ini saya merasa sangat bahagia, diistimewakan, dengan kehadiran umat yang begitu banyak yang turut mendoakan dan mendukung saya sebagai seorang Frater HHK, segenap anggota koor, Bapa Uskup, beserta para Pastor yang juga memimpin misa pada hari ini, dan terlebih dengan kehadiran segenap anggota keluarga saya yang selalu mendoakan dan mendukung saya.
Saya mau menceritakan pengalaman bagaimana saya jatuh cinta pada kongregasi Frater HHK dan bagaimana Tuhan selalu mendampingi saya dalam setiap masalah atau tantangan yang saya hadapi. Tahun 2002, saya meninggalkan kampung halaman saya dengan tujuan kota Mamuju, Sulawesi Barat di sana saya tinggal dengan kakak saya dan bekerja. Satu tahun saya bekerja, cita-cita saya dulu ingin menjadi Pastor (ketika itu saya masih di Seminari) tidak muncul kembali, hilang dari pikiran saya, dan tidak berpikir lagi untuk masuk biara, sekarang saya ingin menatap masa depan saya dengan bekerja, namun Tuhan berkehendak lain, tahun 2003 saya dipanggil dari Makassar oleh kakak saya untuk melamar masuk Biara Kongregasi Hamba-Hamba Kristus, tanpa memikirkan lebih lama, saya mengambil keputusan untuk meninggalkan pekerjaan saya itu dan masuk biara. Pada tahun 2003 saya diterima dan mulai masa pendidikan di Postulat. Dan saya hampir kehilangan benih panggilan saat kakak saya yang sudah lama hidup bersama saya di Mamuju dan di Makassar telah pergi selamanya. Ia meninggal saat saya masuk Novisiat tahun 2004 pada bulan Desember, meninggalnya di kampung. Saat itulah saya kehilangan arah dan ingin pulang untuk melayat, namun karena mengikuti konstitusi kongregasi Frater HHK bahwa, masa novisiat tidak boleh pulang, maka saya tidak pulang, sampai saat ini belum pernah pulang.
Saya merasa sedih dan menangis. Kenapa saya begitu merasa sedih, karena dia saya anggap sebagai orangtua saya di tanah rantau dan dialah yang mengantar saya ke kongregasi ini dan di hari yang bahagia ini dia tidak ada. Satu hal yang membuat saya semakin merasa sedih dan sempat membuat saya ingin meninggalkan kongregasi adalah sebelum dia meninggal ia mengirim surat yang isinya adalah dia menyerahkan adik di bawah saya kepada saya untuk disekolahkan (kebetulan adik saya itu masih sekolah di sini) yang sebenarnya tanggung jawab dia. Aku ingin keluar untuk mencari pekerjaan sehingga dapat membantu adik ini untuk sekolah, namun ketika niat saya ini final (bulat) untuk keluar dari Kongregasi, saya teringat lagi akan pesan almarhum ini, saat dia pulang ke kampung dan pulang untuk selamanya karena sakit, pesannya adalah “jangan keluar dari biara, Frater”, pesan inilah yang menjadi kekuatan saya lagi untuk meneruskan hidup panggilan saya dan membatalkan niat saya untuk keluar dari biara.
Dan saya berterima kasih kepada Almarhum Fr. Zakarias, HHK, saat itu dia yang menjadi magister saya, dia senantiasa menguatkan dalam masa sulit seperti ini. Semoga beliau tersenyum. Kejadian tersebut sekitar 7 tahun yang lalu dan kejadian yang sama pula kakak saya meninggal lagi pada 8 Maret 2010, bertepatan dengan hari meninggalnya Fr. Zakarias, HHK. Dia kakak sulung saya dan meninggal di sini dan dikubur di Pekuburan Panaikang. Saya tidak bercerita bagaimana hidup panggilan saya pada saat itu, namun pada intinya bahwa dengan kedua peristiwa yang menyedihkan ini saya tetap berjuang, berjuang dan berjuang demi panggilan yang telah Tuhan tentukan bagi saya. Sekitar 7 tahun, 2 kakak saya yang meninggal dan saya belum pernah pulang untuk melayat.
Namun yang terbesar yang kulakukan adalah penyerahan sepenuhnya kepada penyelenggaraan ilahi, Dialah yang memiliki seluruh hidup ini, mungkin inilah kehendak-Nya sehingga saya masih tetap setia dengan keputusan saya tetap menjadi frater. Banyak tantangan dan masalah selain kedua peristiwa di atas ini yang membuat panggilan jatuh, di dalam berkarya dan di dalam pelayanan saya, ditolak, bahkan pelayanan yang sangat melelahkan dan sulit namun Tuhan selalu bersama dengan orang yang dipilih-Nya. Saya selalu berpasrah kepada-Nya dan berkeyakinan bahwa Dia yang telah memanggil saya dan memilih saya, masa Dia meninggalkan saya? Itulah keyakinan saya sehingga tetap mengambil keputusan untuk tetap setia dalam panggilan saya.
Saya masih muda kelihatannya, umur pun masih muda, itu berarti masih banyak tantangan bagi saya dalam menapaki panggilan hidup saya, karena itu doa dan dukungan Anda sekalian sangat berarti bagi saya, sehingga kasih Allah lebih besar dari kasih-kasih yang lain yang datang dari dunia ini. Biarlah kehendak Tuhan terjadi dalam hidupku. *** Penulis: Fr. Laurensius Janu, HHK