Senin, 21 Juli 2014

IMAM SEDERHANA DAN SUCI


Dalam tradisi liturgi Gereja Katolik, hari Kamis pagi sebelum perayaan Kamis Putih, di Gereja Katedral dirayakan ekaristi (lazim disebut Misa Krisma) yang dipimpin oleh Uskup setempat dan (semestinya) dihadiri oleh semua imam di keuskupan tersebut. Saat itulah dilakukan pemberkatan minyak katekumen, minyak krisma, dan minyak urapan orang sakit oleh uskup. Juga dilakukan pembaruan janji imamat dan ketaatan kepada Uskup oleh para imam.

     Para imam KAMS menyiapkan diri sebelum perayaan itu dengan berefleksi dan berbagi pengalaman dalam rekoleksi tanggal 2-3 April 2014 di Baruga Kare Makassar. Romo Emanuel Martasudjita Pr, dosen mata kuliah Liturgi Fakultas Teologi Weda Bhakti Kentungan, Yogyakarta, berkenan menjadi pembimbing. Romo Marta (dibaca: Marto, panggilan akrabnya) mengajak para imam, yang cukup banyak di antaranya pernah menjadi mahasiswanya, untuk terus-menerus mengobarkan karunia imamat yang telah dipercayakan oleh Yesus Kristus.

     Sumber inspirasi pokok yang digunakannya untuk menyusun bahan rekoleksi ini adalah: Cardinal Avery Dulles SJ, “Priest and Eucharist: No Higher Calling”, dalam Stephen J. Rossetti, Born of the Eucharist. A Spirituality for Priests, Notre Dame-Indiana: Ave Maria Press, 2009, hlm. 11-25.

     Tanpa mengabaikan banyaknya perhatian pelayanan pastoral kepada umat, demikian kata Romo Marto, Kardinal Dulles mengajak para imam untuk pertama-tama merenungkan hubungan tak terpisahkan antara imamat dan ekaristi (digarisbawahi oleh penulis). Ia suka memikirkan bahwa imamat itu lebih suatu perkara keberadaan perbuatan atau hal berbuat (priesthood is more a matter of being than of doing). Dengan tahbisan imamat seorang imam adalah imam, entah ia mengerjakan sesuatu atau tidak. Bahkan seandainya ia tidak melaksanakan pelayanan imamat pun, ia tetap seorang imam. Hakekat pelayanan imamat amat bagus terungkap dalam Surat kepada Orang Ibrani (Ibr 5: 1.3-4).

     Berikut ini disajikan beberapa butir permenungan dari rekoleksi para imam KAMS untuk para pembaca Koinonia:

1. Ekaristi - Imamat dalam pelayanan pastoral
Berkat tahbisan, para imam menerima imamat khusus atau jabatan; atas dasar sakramen baptis dan krisma, umat beriman menerima anugerah imamat umum. Dalam ungkapan Kardinal Walter Kasper: berkat tahbisan, para imam berperan untuk lebih melayani umat Allah sendiri. Peran para imam terutama adalah tugas pelayanan  di dalam Gereja atau umat Allah. Tugas seorang imam bagi umat beriman terletak pada karisma kepemimpinan. Peran para imam dalam tugas pelayanan kepada umat Allah adalah menjadi pemersatu umat: yaitu merengkuh dan memungkinkan berbagai karisma di tengah umat untuk dapat saling bekerjasama, berintegrasi dan bersinergi, sehingga bersama-sama dapat membangun tubuh Kristus.

     Di atas semuanya, peran imam yang selalu menjadi kerinduan umat tentunya keteladanan para imam itu sendiri dalam perkataan, perbuatan dan gaya hidup. Secara liturgis, bagian komuni mengingatkan para imam pada makna dan konsekuensi hidup seorang imam bagi umatnya. Berdasarkan praktek yang sudah berlangsung sejak lama, imam harus menerima komuni terlebih dahulu sebelum membagikannya kepada umat. Mengapa? Sebab sang tuan rumah sejati dalam perjamuan ekaristi adalah Tuhan sendiri. Dengan menerima terlebih dahulu, seorang imam mau menyatakan diri di depan umat, bahwa ia siap menjadi teladan dan menjadi orang pertama dalam berpartisipasi dalam kurban Kristus, menghayati seluruh sabda Tuhan dalam Kitab Suci, dalam memperjuangkan apa yang dikehendaki oleh Kristus, dan terutama siap untuk menderita sengsara dan ambil bagian dalam derita dan kematianNya. Dalam situasi Gereja pada abad-abad awal, arti hal ini jelas sekali: imam siap sebagai orang pertama yang dimartir! Menerima komuni dahulu melambangkan kesediaan keteladanan dan kemartiran para imam sesuai dengan apa yang mereka terima melalui komuni yang adalah kurban Kristus, yaitu kurban cintaNya kepada umatNya.

2. Doa imam sebagai pemimpin umat
Adalah peristiwa sehari-hari pelayanan seorang imam bahwa anggota umat meminta untuk didoakan, baik secara pribadi maupun dalam perayaan ekaristi. Mengapa mereka meminta imam untuk mendoakan mereka? Agaknya umat memandang para imam sebagai pendoa yang kuat dan hebat; doa para imam pun dipandang mujarab. Hal itu menimbulkan rasa bangga sekaligus rasa malu, karena para imam bisa saja kurang mendoakan umat.

     Melalui permenungan tentang doa Musa bagi bangsa Israel (Kel 32:7-14) para imam diyakinkan bahwa doa seorang pemimpin umat begitu tinggi nilainya, bagitu sakti dan begitu hebat daya dan pengaruhnya di hadapan Tuhan. Betapa tidak. Pertama-tama, terkesan seakan-akan Tuhan meminta persetujuan atau bahkan ijin kepada Musa untuk membinasakan bangsa Israel yang telah melanggar perjanjian denganNya: …biarkanlah Aku, supaya murkaKu … (Kel. 32: 9). Kedua, berkat doa Musa, Tuhan membatalkan malapetaka yang dirancangkanNya (Kel 32: 14).

3. Imam sebagai gembala jiwa
Panggilan imamat yang telah dianugerahkan Tuhan merupakan karunia luar biasa yang menempatkan para imam sebagai pemimpin umat, dalam arti gembala jiwa. Betapa berat sekaligus istimewa makna seorang gembala jiwa. Seorang imam ditahbiskan untuk mengantar kurban rohani umat beriman atas nama seluruh Gereja mencapai kepenuhannya dalam kurban Kristus Sang Pengantara Tunggal yang dipersembahkan dalam perayaan Ekaristi hingga kedatanganNya kembali.

     Tentu saja tidak mudah untuk menempuh dan menyelesaikan pendidikan imamat serta menerima tahbisan imamat. Namun, masih jauh lebih tidak mudah dan memerlukan proses waktu amat lama untuk menjadi imam yang menyadari dan melaksanakan tugas sebagai gembala jiwa. Sebab seorang gembala jiwa adalah seorang pemimpin rohani yang sangat kuat hidup doanya, sangat tekun mendoakan umatnya dan mendasari seluruh gerak pelayanannya baik dalam pewartaan Injil, pengudusan umat maupun dalam kepemimpinan jemaat dalam hidup doanya yang subur dan mendalam.

     Para imam diajak untuk senantiasa bersyukur karena didoakan oleh umat beriman di seluruh dunia, dilindungi oleh doa Bunda Maria dan Santo Yohanes Maria Vianney. Sekaligus diajak untuk semakin bersatu dengan Kristus, tinggal dalam Kristus, yakni dengan banyak berdoa. Dari kesatuan dengan Kristus itu segala karya pastoral akan menjadi berbuah, tidak selalu menurut pandangan manusiawi, tetapi justru pertama-tama berbuah dan berbobot dalam pandangan Allah.

4. Menjadi sederhana dan suci
Selama hidup di dunia Yesus yang menyatakan diri kepada orang-orang kecil dan memiliki waktu untuk bertemu secara pribadi dengan setiap orang. Ia mendatangi para calon murid satu per satu (Mrk 1:16-20), memberikan waktu kepada Simon Petrus, Yakobus dan Yohanes saat Ia memanggil mereka (Luk 5:1-11). Dari atas salibNya Ia mendengarkan permintaan penjahat yang disalibkan bersamaNya (Luk 23:42-43) dan setelah bangkit Ia hadir secara penuh, penuh dan seluruhnya pada diri setiap orang, bahkan yang paling hina pun (Mat 25:40.45).

     Sekelumit kisah tentang Paus Yohanes XXIII yang tanggal 27 April 2014, bersama dengan Paus Yohanes Paulus II dikanonisasi sebagai Santo, dijadikan inspirasi bagi para imam zaman ini. Saat ditanya tentang kesanggupannya menjadi Paus, ia menjawab: ‘Menyadari kemiskinan dan kekecilan saya sudah membuat hati saya kacau. Akan tetapi, melihat kehendak Allah dalam pemungutan suara saudara-saudara saya para kardinal Gereja Roma yang kudus, saya menerima keputusan yang telah mereka buat; saya menundukkan kepala di depan piala kepahitan dan bahu saya di hadapan kayu salib”.

     Menurut dia, asas untuk hidup sederhana ialah: dalam segala-galanya, pikirkanlah tujuan. Artinya, setiap kali akan bertindak atau membuat pilihan seorang imam perlu berpikir tentang tujuan: untuk apa ia bertindak begini atau memilih yang itu. Bagi Paus Yohanes XXIII, jalan yang paling pasti untuk membuat diri suci dan berhasil dalam mengabdi Tuhan dan Gereja ialah pada usaha terus-menerus untuk mengurangi segala sesuatu (apapun) sampai ke tingkat yang paling sederhana dan kecil.

Akhirnya, Romo Marto menyimpulkan: menghayati hidup imamat sebenarnya sangat sederhana dan biasa, yaitu apabila setiap imam bergerak dari lingkaran inti: tinggal dalam Kristus. Segala karya pastoral mestinya mengalir dan hidup dari kesatuan dengan Tuhan, sebagaimana paling resmi dan tampak dalam perayaan ekaristi yang untuk itu seorang imam ditahbiskan. Akan tetapi penghayatan imamat sering menjadi rumit dan tidak mudah ketika terseret pada kerumitan hukum jasmaniah dan dunia ini.*** Penulis: RD Willibrordus Welle 

Tidak ada komentar: