Senin, 21 Juli 2014

“Cukuplah Kasih Karunia-Ku Bagimu!”


Nama Lengkap     : Antonius Pabendon
Tempat/Tgl Lahir: Home Base, 18 Desember 1986
Paroki Asal           :  Paroki St. Petrus Padang Sappa
1993-1999             :  SDN No 555 Minanga Tallu
1999-2002             :  SMP Frater Palopo
2002-2006 : Seminari Petrus Claver (Specla) Makassar
2006-2007 : Tahun Orientasi Rohani, Sangalla’
2007-2011 : Program Sarjana di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
2011-2012 : Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St. Petrus Rasul Parepare
2012-2013 : Program Bakaloureat di Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta
Agst-Des 2013 : Program Ad Audiendas di Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta
Feb-Jul 2014 : Masa Diakonat di Paroki St. Mikael Palopo.


Saya tidak pernah membayangkan kalau saya akan menjadi seorang pastor. Semasa kecil saya tidak pernah bercita-cita jadi pastor. Saya selalu ingat bagaimana saya dan kakak saya menjawab kalau kami ditanya, “Kalau besar ingin menjadi apa?”. Kakak saya selalu menjawab, “Ingin menjadi insinyur pertanian”, sedangkan saya dengan lantang dan berlagak bagaikan seorang tentara sedang menembak menjawab, “Ingin menjadi ABRI (tentara)”. Ternyata cita-cita itu kandas di tengah jalan.

Ketertarikan masuk Seminari mulai muncul ketika saya SMP. Ketertarikan itu muncul bukan karena ingin jadi pastor melainkan karena penasaran akan cerita tentang Seminari dari kakak saya yang sedang bersekolah di Seminari waktu itu. Dalam hati, saya merasa penasaran dan ingin mencoba. Maka ketika kelas III SMP, diam-diam (tanpa sepengetahuan orang tua) saya ikut tes Seminari di Saluampak bersama 5 teman saya dari SMP Frater Palopo dan 1 teman dari SMPN 1 Palopo. Alhasil, dari 7 yang mengikuti tes, 5 dinyatakan lulus, dan saya termasuk salah satu dari yang lulus itu.

Sejak Rabu, 10 Juli 2002 mulailah kehidupan saya di Seminari. Saya masuk Seminari bersama dengan 46 teman dari berbagai daerah. Hari-hari pertama, banyak teman yang menangis karena rindu orang tua (anak mami kali!), bahkan beberapa melarikan diri dari Seminari. Saya sendiri merasa biasa-biasa saja karena sudah sejak SMP hidup terpisah dari orang tua. Yang agak sulit pada awalnya adalah menyesuaikan diri dengan teman-teman Seminari yang berbeda asal, selera, dan latar belakang. Namun setelah mampu menyesuaikan diri baik dengan teman-taman, aturan, sistem pendidikan maupun ritme kehidupan, saya dapat menikmati kehidupan di Seminari. Kami mengalami banyak pengalaman bersama yang lucu dan menggelikan, menyenangkan dan menyedihkan, mengharukan dan tak terlupakan. Pengalaman-pengalaman itu mewarnai kehidupan kami sehingga tidak terasa 4 tahun berlalu. Dari 47 yang masuk, hanya 18 orang yang berhasil lulus dari Seminari. Meskipun demikian, relasi kami dengan teman-teman yang keluar tetap terjalin dengan baik. Dari 18 orang itu, ada 7 orang yang melanjutkan ke TOR-Sangalla’, 3 orang ke CICM (namun masih ada 2 orang teman yang sudah keluar yang juga masuk CICM, jadi 5 orang yang ke CICM), dan 1 orang ke OCarm, Malang, dan 7 orang memilih untuk melanjutkan kehidupannya di tempat lain. Jadi, dari 47 yang masuk Seminari hanya ada 13 yang melanjutkan panggilan imamatnya. Sampai saat ini masih ada 5 yang tetap memilih setia pada panggilan imamat itu.

Meskipun pada awalnya saya tidak bercita-cita menjadi pastor tetapi setelah menjalani kehidupan di Seminari saya merasa terpanggil dan tergerak untuk meneruskan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Akhirnya, saya memilih dan memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke TOR-Sangalla’ lalu ke Seminari Tinggi Anging Mammiri, Yogyakarta. Selama proses pembinaan itu, saya (dibantu oleh para formator) selalu bertanya dan ber-refleksi tentang panggilan saya: mengapa dan untuk apa saya ingin menjadi imam? Terkadang motivasi menjadi imam sangat kuat tetapi terkadang pula sangat lemah. Namun seiring perjalanan waktu, berkat pendampingan para formator, refleksi pribadi atas pengalaman hidup (baik di kampus, di rumah pembinaan, maupun di lapangan) dan bimbingan Roh Kudus, saya semakin menemukan dan memperdalam motivasi saya menjadi imam.

Menjalani panggilan menjadi imam tidak lepas dari berbagai tantangan, kesulitan dan godaan yang kadang menimbulkan rasa “galau”. Bahkan, perasaan itu kadang menggoda saya untuk mengatakan “Tuhan, cukup! Saya tidak sanggup menjalani panggilan ini!” Namun ketika merenungkan perjalanan panggilan saya sejak awal, tahap demi tahap, saya menyadari bahwa ada rahmat dan karunia yang memampukan saya untuk terus bertahan. Saya meyakini bahwa rahmat itu berasal dari Tuhan. Pengalaman itu seakan mau mengungkapkan bahwa kasih karunia Tuhan selalu cukup untuk saya maka tidak perlu takut. Justru ketika saya lemah dan memiliki banyak kekurangan saya belajar untuk menggantungkan diri saya pada penyelenggaraan Ilahi. Pengalaman ini membantu saya untuk menghayati motto hidup panggilan sebagaimana yang diyakini oleh Rasul Paulus: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor 12:9).

Akhirnya, saya ingin bersyukur dan berterima kasih atas rahmat panggilan Allah bagi saya melalui orang tua, keluarga, teman-teman seperjuangan, para pembimbing, para guru/dosen, kerabat, saudara-saudari, dan pengalaman suka-duka hidup saya. Semuanya ini mewarnai dan mendukung kehidupan panggilan saya. Rahmat ini pulalah yang memberanikan saya untuk menjawab “Ya” atas panggilan-Nya, serta menyadarkan saya bahwa ternyata cita-cita saya saat masih kecil akhirnya tercapai: menjadi seorang “tentara” Kristus. Saya yakin, Allah yang telah memulai karya baik dalam diriku, akan meneruskannya sampai pada kesempurnaan, selama aku tetap memilih SETIA. *** Penulis:  Penulis: Diakon Antonius Pabendon 

Tidak ada komentar: