Senin, 21 Juli 2014

MENGAPA LITURGI SULIT DIPAHAMI? CATATAN DAN REFLEKSI DARI SARASEHAN BULAN LITURGI NASIONAL KOMISI EVANGELISASI KAMS, MEI 2014


Umat Katolik selalu terkait atau sibuk dengan LITURGI (Perayaan Liturgi). Yang dimaksud atau termasuk Perayaan Liturgi ialah terutama Perayaan-Perayaan yang menyangkut 7 Sakramen Gereja (Ekaristi, Baptis, Krisma, Rekonsiliasi/Tobat, Perkawinan, Imamat dan Pengurapan orang sakit). Selain itu juga Perayaan Sabda Hari Minggu dan Hari Raya, Ibadat Harian (Liturgia Horarum), Pelbagai Ibadat Pemberkatan (Sakramentali), dan pelbagai Doa/Kegiatan Devosional baik di Gereja maupun di lingkungan atau rukun-rukun.

Namun tentu yang paling sering diikuti oleh umat adalah Perayaan Ekaristi atau Misa dan Perayaan Sabda. Setiap hari Minggu umat pergi ke Gereja mengikuti Perayaan Ekaristi. Hal ini boleh dikatakan sudah merupakan kewajiban dan rutinitas hidup umat sepanjang waktu. Bahkan ada sebagian umat yang secara rutin mengikuti Perayaan Ekaristi setiap hari. Bagi kelompok umat yang tinggal tersebar di pelosok pegunungan dan pedesaaan, jauh dari pusat paroki atau jauh dari jangkauan pelayanan imam, mereka mengikuti Perayaan Sabda di gereja-gereja Stasi mereka. Selain itu masih ada banyak kegiatan ibadat sabda, doa dan devosi yang biasa dilakukan di rukun-rukun atau di rumah-rumah umat. Jadi selain pekerjaan harian, Liturgi merupakan kegiatan iman yang paling sering diikuti atau dilakukan umat dibandingkan dengan kegiatan iman lainnya.

Meskipun demikian, ada baiknya sekali-sekali bertanya, apa sebetulnya perayaan liturgi itu? Apa perlunya atau apa pentingnya kita merayakan liturgi? Apa kebutuhan kita dengan perayaan-perayaan liturgi? Apa maknanya, apa tujuannya? Apakah betul Perayaan Liturgi itu begitu penting bagi umat (Gereja) dan bahkan bagi dunia? Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan seperti ini seringkali harus direnungkan dan ditanyakan kepada diri sendiri. Kalau tak pernah dipertanyakan, ada bahaya kita akan terjebak dalam arus kelaziman dan rutinitas perayaan yang lama-kelamaan menjadi biasa saja dan tidak bermakna lagi?

Lalu kalau kegiatan berliturgi itu toh masih terus dilakukan, kemungkinan besar lebih bermakna sebagai kegiatan keagamaan yang lebih menonjolkan aspek sosial-kelembagaannya, yang mengumpulkan dan mempersatukan warganya dengan identitas tertentu (khusus) berbeda dengan kelompok kelembagaan agama yang lain. Kalau maknanya jatuhnya ke sana, maka bisa saja perayaan liturgi hanya dimengerti sebagai identitas membership group atau identitas reference group umat Katolik sebagai suatu kelompok sosial keagamaan. Kalau pengertiannya demikian, maka tidaklah mengherankan apabila perayaan liturgi dengan segala tatacara dan rubriknya tanpa disadari dan tanpa disengaja dilaksanakan sebagai rutinitas dan tindakan formal belaka.

APA SESUNGGUHNYA YANG ADA DALAM LITURGI?
Perayaan Liturgi, khususnya Perayaan Ekaristi, bukanlah semata-mata merupakan “sesuatu” yang dilakukan, melainkan adalah penampakan atau pengungkapan “Seseorang”, seorang Pribadi. Pribadi itu adalah Jesus Kristus, sungguh Allah dan sungguh manusia. Perlu disadari betul-betul oleh para pelayan Liturgi dan umat bahwa subyek Liturgi adalah Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Oleh karena itu kalau Perayaan Ekaristi (misalnya) kita sebut sebagai pesta perjamuan, maka tuan pesta yang sesungguhnya adalah Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roh Kudus. Pemimpin perayaan (uskup atau imam) dan para petugas yang lain, semuanya adalah pelayan. Dan umat yang hadir mengikuti perayaan adalah semuanya tamu atau undangan. Oleh karena itu kita sering mengatakan, mendoakan atau menyanyikan ‘kita diundang ke perjamuan Tuhan’. Dalam Ekaristi itu ditampakkan kehadiran nyata Yesus Kristus: tubuh, darah, jiwa dan hidup Ilahi-Nya yang memberikan diri sepenuh-penuhnya kepada kita dalam kasih. Di atas segalanya, Ekaristi adalah pemberian diri Tuhan kita Yesus Kristus kepada kita, dalam relasi kesatuan-Nya dengan Bapa dalam Roh Kudus. Ekaristi adalah sakramen kehadiran nyata Tritunggal Maha Kudus sebab Allah Bapa dan Roh Kudus tidak terpisahkan dari kehadiran nyata Yesus Kristus di dalam Ekaristi. Karena itu tidak ada sesuatu apa pun yang sungguh lebih utama dan lebih penting di dalam sejarah keselamatan manusia daripada Pribadi Yesus Kristus yang hadir nyata pada segala waktu dan tempat.

LITURGI DAN EVANGELISASI
Perayaan Ekaristi menampakkan kepada kita keseluruhan realitas Gereja. Gereja seperti Ekaristi, bukanlah ‘sesuatu’ melainkan “Seseorang”. Gereja adalah Kristus yang telah bangkit, yang selalu hadir di tengah kita dan di dalam diri kita, Tubuh Mistik-nya sendiri. Kristus tidak lagi hadir terpisah dari Tubuh-Nya yaitu Gereja. Sesungguhnya, Gereja memperoleh seluruh realitas dan identitasnya dari Ekaristi itu. Menurut Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II, “setiap perayaan liturgi, terutama Ekaristi, pertama-tama adalah tindakan dan karya Yesus Kristus Sang Imam, dengan Tubuh-Nya sendiri yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa (SC 7). Sakramen-sakramen lainnya, juga setiap tindakan pelayanan Gereja dan setiap karya kerasulan terhubungkan dengan Ekaristi dan terarahkan kepada Ekaristi. Ekaristi pun memperlihatkan dirinya sendiri menjadi sumber dan tujuan dari seluruh pewartaan Injil.

Karena itu Ekaristi dan Evangelisasi sesungguhnya merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan kata-kata lain, Liturgi Ekaristi itu merupakan momen khusus dan istimewa dari semua bentuk pewartaan. Liturgi adalah tindakan pewartaan paling agung Tuhan kita; Dia merupakan pemakluman sempurna dari Injil, Kabar Gembira; semua bentuk dari evangelisasi sesungguhnya merupakan penyebarluasan dan kelanjutan momen istimewa dari Ekaristi sebagai pewartaan yang membebaskan. Liturgi pertama-tama adalah ibadat kepada Allah, adalah suatu penyembahan atau adorasi, tetapi adorasi yang adalah evangelisasi dan menuju kepada evangelisasi. Karena itu Perayaan Liturgi sesungguhnya merupakan momen khas dan istimewa dari semua karya pewartaan atau evangelisasi. 

BULAN LITURGI NASIONAL
Tradisi Gereja universal menempatkan bulan Mei sebagai bulan Maria. Dan bagi Gereja Katolik Indonesia, bulan Mei juga dijadikan sebagai Bulan Liturgi Nasional (Bulinas). Perlu menjadi pertanyaan kita, mengapa diadakan Bulan Liturgi Nasional? Selain Bulan Liturgi Nasional, ada juga Bulan Kitab Suci Nasional yaitu bulan September. Barangkali hal ini tidak begitu diperhatikan, namun ada baiknya dipertanyakan, apa maksudnya? Nampaknya hanya dua bidang ini, Liturgi dan Kitab Suci yang diberi waktu khusus menjadi fokus perhatian selama sebulan penuh dalam kalender liturgi Gereja di Indonesia. Bidang lainnya tidak mendapat waktu khusus seperti itu, misalnya tidak ada bulan kerawam, bulan politik, bulan HAK, bulan komunikasi, bulan sosial, bulan ekonomi, bulan keuangan, dst., semuanya tidak ada.

Ditentukannya bulan tertentu (bulan Mei) untuk memperhatikan dan mendalami Liturgi kiranya itu berarti para uskup Indonesia menganggap liturgi sangat penting bagi Gereja dan karena itu umat beriman harus mendalaminya agar dapat juga menghayatinya sesuai dengan maksud dan tujuannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II, “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja dan sekaligus merupakan sumber segala kekuatannya” (SC 10). Tanpa Liturgi hidup dan kegiatan gereja tidak dapat berjalan dan berkelanjutan.

Untuk membantu umat memahami liturgi itu, maka Komisi Evangelisasi KAMS (Katekese-Liturgi-Kitab Suci), pertengahan bulan Mei, selama tiga hari (sore), 15 – 17 Mei 2014, mengadakan kegiatan sarasehan liturgi bertempat di aula keuskupan. Tujuan Sarasehan liturgi ini ialah mengadakan dialog para peserta yang hadir (umat) tentang liturgi seraya juga memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai apa sesungguhnya yang terjadi dalam liturgi serta bagimana kita harus mengikuti atau melakukannya? Terbukti dari sarasehan selama tiga hari, ada banyak sekali pertanyaan dan keluhan peserta tentang liturgi. Masih banyak sekali hal yang tidak dipahami dengan baik dalam liturgi, misalnya apa makna atau maksud dari pebagai benda, busana, ruang, sikap tubuh, tata gerak, tata suara, kata-kata, doa, lagu atau nyanyian, dst. dalam perayaan liturgi. Demikian juga pemahaman perlunya para petugas liturgi dibina, dilatih dan disiapkan. Perayaan liturgi bukanlah tempat latihan untuk menampilkan diri di depan orang banyak.

Seringkali karena kurangnya pengertian, pemahaman dan tanggungjawab dari pemimpin perayaan liturgi sendiri, sebagai imam, pengajar, penuntun, gembala (pemberi contoh) yang bertanggungjawab atas pelaksanaan perayaan-perayaan sakramen, sehingga mereka-mereka yang bertugas tidak pernah diberi pembekalan dan dipersiapkan dengan baik. Demikian pula suasana yang seharusnya dikondisikan atau diciptakan sesuai dengan makna/maksud dari perayaan liturgi itu, sangat sering tidak dipedulikan. Iringan musik yang seringkali hanya menggelegar, nyanyian yang lebih mengikuti arus lagu yang lagi ngetrend atau pop dan cenderung lebih mengutamakan aspek hiburannya daripada membantu umat untuk berdoa. Maka tidak jarang terjadi perayaan liturgi itu hanya menjadi perayaan ramai-meriah dan hiruk-pikuk tanpa memperhatikan tujuannya? Ditambah lagi dengan homili pempimpin perayaan (pastor) yang kadang cukup lama sehingga membuat umat lelah dan mengantuk?

Sangat perlu dipahami oleh umat bahwa perayaan liturgi Gereja Katolik sarat dengan makna perlambangan atau simbol. Umat seharusnya mengerti apa makna yang ada di balik setiap benda, kata dan tindakan-tindakan liturgis dalam perayaan liturgi. Benda-benda, kata-kata dan tindakan-tindakan dalam perayaan liturgi bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri melainkan merupakan suatu rangkaian tata-gerak, kata-kata dan tindakan yang memresentasikan Pribadi subyek dari perayaan itu. Oleh karena itu perayaan liturgi memiliki  tata tertib, norma atau aturan untuk melaksanaannya dengan benar, tepat dan sah.

Dalam kegiatan sarasehan liturgi dipresentasikan tiga tema pokok sekitar tatacara pelaksanaan perayaan liturgi yaitu a). Pemahaman umum tentang liturgi serta tatacara pelaksanaannya yang benar, tepat dan sah. b). Fungsi musik dan nyanyian dalam liturgi. c). Tata Perayaan Sabda Tanpa Imam dan Ibadat sabda/doa lingkungan/rukun. Catatan yang didapat komisi dari kegiatan sarasehan ini ialah adanya permintaan dan minat besar dari peserta yang menghendaki agar kegiatan pendalaman liturgi itu ditingkatkan atau sering dilakukan. Dan lebih baik lagi kalau bisa dilakukan langsung di paroki-paroki agar lebih banyak umat yang bisa mengikuti.

SEMANGAT YANG BISA MEMEROSOTKAN LITURGI
Ada kesan Liturgi tidak begitu dipahami dengan baik oleh umat pada umumnya, walaupun mereka rajin sekali mengikuti atau melaksanakannya. Sepertinya umat pada umumnya  memahami atau melihat perayaan liturgi itu lebih sebagai kegiatan ritual rutin yang mempersatukan umat (aspek sosialnya) dan sekaligus merupakan sumber income bagi Gereja atau Paroki (aspek ekonominya). Tidak jarang kedua aspek sosial dan ekonomi ini lebih memusingkan dan merepotkan para Pastor dan Depas Paroki daripada urusan perayaan-perayaan sakramen, katekese umat atau pembinaan iman umat. Tentu saja aspek sosial dan ekonomi itu tidak dapat dipungkiri, namun bisa menjadi sumber bahaya atau gangguan laten bahwa Gereja dengan segala aktivitasnya lebih dipahami sebagai lembaga sosial-ekonomi. Aspek ritual dan adorasi hidup beriman umat bisa dengan mudah digiring kepada tujuan-tujuan sosial dan ekonomi semata, dengan pelbagai kiat motivasi gerakan karitatif dan pemberdayaan, yang kalau tidak diwaspadai bisa menjauhkan umat dari jati dirinya sendiri sebagai orang beriman, yang hidup dalam persekutuan sebagai Tubuh Kristus, yang hidupnya harus dipimpin dan dijiwai oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung.

Dimensi sosial ekonomi dari kehidupan umat memang perlu diperhatikan juga tetapi keberjayaan atau kelimpahan sosial ekonomi Gereja (umat) belum tentu berdampak positif pada hidup beriman dan hidup menggereja, bisa saja kelimpahan itu menyesatkan dan mendistorsi persekutuan umat atau mengaburkan pengertian tentang Gereja serta menjauhkan umat dari ibadat dan adorasi. Cukup banyak fakta kasus yang memperlihatkan adanya gangguan seperti itu. Adanya semangat yang terlalu besar atau berlebihan dalam urusan atau pengelolaan masalah sosial-ekonomi Gereja malahan berbalik memerosotkan jiwa, semangat dan spiritualitas Kabar Gembira yang seharusnya dibangun. Apalagi dengan adanya arus globalisasi materialisme sosial ekonomi yang sangat kuat melanda masyarakat dunia sekarang ini, umat Kristen tentu tidaklah steril terhadap dampak atau pengaruh yang dibawanya serta. Semuanya bisa saja menjadi materialistis dan menjauh dari Tuhan?

Mungkinkah atau akankah suatu ketika Gereja dengan segala aktivitasnya akan berubah jati dirinya, dari persekutuan sakramental umat beriman (oleh pembaptisan) menjadi lembaga pelayanan dan pemberdayaan duniawi seperti banyak institusi dan lembaga lainnya di dunia ini? Dalam Pesan Minggu Misi Sedunia ke-87, Paus Fransiskus menyatakan dengan tegas:  “Gereja bukan organisasi sosial, bukan perusahaan dan bukan LSM. Dia adalah komunitas yang dijiwai oleh Roh Kudus, yang telah mengalami dan menghayati kekaguman perjumpaaan dengan Yesus Kristus dan ingin berbagi pengalaman kegembiraan ini, dan berbagi pesan keselamatan yang dibawa oleh Tuhan.”

Semestinya memang, hidup dan aktivitas umat beriman bersumber dari kesatuannya dengan Allah dan tentunya selalu kembali bermuara atau menuju kesana. Karena itu Liturgi tetap penting dan selalu penting untuk membawa kita pada kesadaran itu.*** Penulis: RD. Victor Patabang, Ketua Komisi Evangelisasi KAMS 

Tidak ada komentar: