Minggu, 29 Desember 2013

Dari Meja Uskup Agung: ANTARA IMAN, LITURGI, DAN KEHIDUPAN NYATA


Menghadapi Ironi Bangsa
             Pada jumpa pers di penutupan Sidang Pleno Tahunan KWI tanggal 14 November 2013 baru-baru ini, Ketua KWI, Mgr. Ignatius Suharyo, kembali menggaris-bawahi keprihatinan para Uskup Indonesia atas gejala kesenjangan antara ajaran agama dan hidup nyata para pemeluknya di tengah masyakarat kita. Itu bukan pertama kali KWI mengangkat masalah serius ini. Dalam Nota Pastoral KWI 2003 berjudul “Keadilan Sosial bagi Semua” antara lain ditegaskan: “Menurut pendapat kami, akar terdalam (masalah) ialah bahwa iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan” (no. 11). Setahun kemudian, dalam Nota Pastoral KWI 2004 berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa; Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”, hal itu diulangi lagi dengan kata-kata berikut:

“Semakin disadari bersama bahwa hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Allah dan sesama. Perilaku lebih dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh harta dan jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga martabat manusia diabaikan. Uang menjadi terlalu menentukan jalannya kehidupan. Karena itu Indonesia hampir selalu gagal untuk memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela, penyelenggara negara memboroskan uang rakyat. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu merusak lingkungan hidup, dan dengan demikian orang tidak memikirkan masa depan” (no. 3).

Itulah ironi bangsa kita dewasa ini. Di satu pihak, tampaknya bangsa kita sangat agamis. Dalam KTP setiap WNI pasti terdaftar sebagai pemeluk salah satu agama/kepercayaan. Sejumlah Hari Raya setiap agama yang diakui resmi oleh negara dijadikan hari libur nasional. Tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja, pura, kelenteng) bertaburan di mana-mana. Tempat-tempat ibadah tersebut hampir selalu penuh sesak pada hari-hari suci agama bersangkutan. Setiap pejabat negara diangkat dengan mengucapkan sumpah menurut agama masing-masing. Dalam setiap upacara keagamaan pasti ada acara doa. Dan setiap pidato/sambutan pejabat selalu dibuka dan ditutup dengan sapaan khas agama. Namun, dari lain pihak, sebagaimana sudah dikemukakan di atas, perilaku masyarakat kita dalam kehidupan sehari-hari senyatanya jauh berbeda bahkan bertentangan dengan ajaran agama!

Atas kerjasama Komlit KWI, Komlit KAMS dan Mitra Komisi Liturgi, telah diadakan perayaan nasional “50 Tahun Konstitusi Liturgi (Sacrosanctum Concilium)” di Makassar, 15-17 Oktober 2013. Adapun tema Pesta Emas tersebut ialah “Liturgia Semper Reformanda Est” (“Liturgi Harus Selalu Diperbaharui”). Kegiatan perayaan dipusatkan pada dua aspek: Selebrasi melalui perayaan-perayaan Liturgi secara benar dan tepat, dan refleksi melalui rangkaian seminar. Kita berharap bahwa kegiatan akbar berskala nasional ini tidak berlalu begitu saja tanpa gema. Berhasil tidaknya perayaan besar ini akan diukur dengan dampak yang dibawanya dalam kehidupan liturgi Gereja Katolik di Indonesia. Pertanyaan menantang yang harus dijawab ialah: Apa makna perayaan liturgi dalam konteks ironi bangsa seperti terurai di atas?

Sola Fides?
      Berdasarkan Penanggalan Liturgi, bacaan pertama pada Misa Penutupan Pesta Emas Konstitusi Liturgi, 17 Oktober 2013 yang lalu, ialah Rom. 3:21-30. Ayat 28 berbunyi: “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”. Inilah dasar tesis Martin Luther yang terkenal itu: sola fides (hanya iman). Luther yang terobsesi oleh rasa kedosaan dan didorong oleh kerinduan luar biasa akan kepastian pengampunan, sampai pada keyakinan bahwa manusia diselamatkan bukan karena perbuatan-perbuatannya melainkan karena iman, atau kepercayaan pada belaskasih Allah saja. Ia menyimpulkan keyakinan ini dari Surat Paulus kepada Umat di Roma, dan ia percaya bahwa itulah kunci bagi seluruh Kitab Suci (lih. Cath. Encyclopedia, 1965, vol. 9:9). Ini, menurut Luther, diperkuat oleh Rom. 1:16-17: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’. (lih. Cath. Encyclopedia, 1965, vol. 6 : 509-510). Dari sini mengikut tesisnya yang kedua: sola scriptura (hanya Kitab Suci). Dan penegasan Rom. 3:24, “oleh kasih karunia (manusia) telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus”, melahirkan tesis ketiga: sola gratia (hanya rahmat).

Di sini kita memusatkan perhatian pada ajaran “sola fides”. Konsili Trente (1545-1563) menolak ajaran ini. Konsili mengajarkan bahwa memang pembenaran (yustifikasi) Kristiani diperoleh berkat iman; tiada seorang pun mendapatkannya berkat perbuatan-perbuatan menurut sistem hukum ini atau itu, apa pun nama atau sifat hukum tersebut: apakah itu hukum Israel, atau hukum bangsa-bangsa lain; apakah itu hukum kodrat, moral atau seremonial. Tapi Origenes (185-253 AD) telah memperingatkan bahaya menarik kesimpulan yang salah dari Rom. 3:28 itu, seakan-akan perbuatan juga sesudah yustifikasi tidak ada gunanya. Menarik kesimpulan semacam itu berarti mengabaikan dua pokok penting: (1) Paulus di sini tidak berbicara mengenai hidup Kristiani sesudah yustifikasi, melainkan mengenai cara memperoleh yustifikasi. Poin dia di sini adalah ‘yustifikasi awal’ atau permulaan yustifikasi; (2) Ketika Paulus berbicara, mengenai kehidupan sesudah yustifikasi diperoleh, baginya tiada keraguan sedikitpun bahwa perbuatan-perbuatan dibutuhkan untuk mempertahankan yustifikasi yang diperoleh berkat iman. Bukti-bukti tentang hal ini didapatkan dalam banyak ajakannya: Surat yang sama kepada Umat  di Roma bab 12-14 penuh dengan pelbagai nasehat untuk berbuat baik berdasarkan iman akan Allah dalam Kristus Yesus. Rom. 2:6 sangat jelas: “Ia (Allah) akan membalas setiap orang menurut perbuatannya”. Dalam 1 Kor. 3:8 ia menegaskan: “Baik yang menanam maupun yang menyiram adalah sama; dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri”. Dalam Gal. 5:6 dia menulis: “Bagi orang-orang yang ada dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih”. Tetapi Paulus kiranya menamakan perbuatan-perbuatan ini sebagai ‘perbuatan-perbuatan iman’ dan bukan ‘perbuatan-perbuatan hukum’. Jadi sesungguhnya tidak ada kontradiksi. Iman membawa kepada kebajikan, tetapi kebajikan tidak mesti membawa kepada iman. Konsili Trente membela perlunya dan ciri ‘berjasa’ dari perbuatan-perbuatan baik sesudah yustifikasi (lih. A. Theissen/P. Byrne S.M., “Romans”, dlm A New Catholic Commentary on Holy Scripture, 1975: 1110-1113).


Iman tanpa Perbuatan adalah Mati
Kontroversi, yang disulut oleh ajaran ‘sola fides’ dari Luther, tampaknya bukanlah suatu persoalan yang baru. Kitab Suci sendiri kelihatannya menampilkan jejak-jejak kontroversi semacam itu. Pada tempat pertama kita perlu mencatat Surat Yakobus: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?... Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: ‘Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan’, aku akan menjawab dia: ‘Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku’. Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?... Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak. 2:14.17-20.26).

Di satu pihak, Paulus, pada tempat pertama berbicara mengenai bagaimana seseorang dibenarkan di hadirat Allah, menjadi pewaris putusan menyelamatkan dari Allah. Para penentangnya dari kalangan Yahudi mempertahankan, bahwa seseorang pertama-tama harus memelihara ‘perbuatan-perbuatan hukum (Taurat)’. Ini berarti orang-orang bukan Yahudi yang tidak menjalankan hukum Musa dikecualikan dari keselamatan dalam Kristus. Penolakan Paulus terhadap legalisme Yahudi inilah yang merupakan tema inti Surat kepada Umat di Roma. Baginya, satu-satunya dasar untuk memperoleh putusan keselamatan yang dimaklumkan Allah dalam wafat Kristus di salib, ialah iman akan Yesus Kristus, tanpa perbuatan-perbuatan hukum (Rom. 3: 21 sl.). Tetapi bahwa iman ini harus mewujud dalam perbuatan-perbuatan kasih, karena iman bagi Paulus melibatkan suatu komitmen utuh menyeluruh kepada Kristus, tidaklah kurang ditekankan olehnya. (lih. K. Condon, C.M., “James”, dlm. A New Catholic Commentary on Holy Scripture, op.cit.:1243).

Di lain pihak, poin yang terakhir itulah yang menjadi fokus pembicaraan dalam Surat Yakobus. Keadilan dan pembenaran (yustifikasi) adalah istilah-istilah hukum. Istilah-istilah tersebut menyatakan secara tidak langsung suatu hubungan yuridis antara manusia dan Allah, baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, tanpa pada waktu yang sama mengesampingkan hubungan rahmat. Perjanjian antara Allah dan manusia memuat suatu hubungan timbal-balik, janji-janji dan kewajiban-kewajiban timbal-balik. Allah adalah Hakim tertinggi, pada-Nya manusia diperhadapkan. Ketika Hakim tertinggi (dan Pencipta) ‘membenarkan’, Ia mengucapkan suatu putusan, menyatakan seorang itu ‘benar’, sementara pada waktu yang sama sabda kreatif-Nya membuat orang itu ‘benar’, membawa keadilan dalam diri orang itu. Karena itu pembenaran memuat pada pihak Allah suatu putusan yang dinyatakan, dan pada pihak manusia suatu ‘keadilan’ baru dalam hubungan dengan Hakim Ilahi. Sementara putusan yang membenarkan masih akan dinyatakan secara definitif pada pengadilan terakhir (bdk. Yak. 2:12), namun ia mempunyai efeknya dalam manusia di sini dan sekarang ini, dalam kehidupannya dan aktivitas kehidupannya sekarang ini. Dan kegiatan manusia sekarang inilah yang ada dalam pikiran Yakobus. Pembenaran Allah menyingkapkan diri di sini dan sekarang ini dalam perbuatan-perbuatan kasih seorang manusia. Juga bila seseorang ‘percaya’ akan Allah, namun imannya itu kosong, kecuali bila dipenuhi dalam perbuatan-perbuatan baik; perbuatan-perbuatan baik tersebut menyingkapkan keadilannya dan secara semestinya merupakan penerusan dari iman. (Lih. K. Condon, C.M., loc.cit.).

Kecuali Surat Yakobus, kisah penghakiman terakhir dalam Injil Matius (25:31-46) seringkali menjadi rujukan utama ketika berbicara mengenai kontroversi antara iman dan perbuatan dalam kaitannya dengan pembenaran (yustifikasi) oleh Allah: “Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?... Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:34-40).

Liturgi sebagai Actio Fidei Puncak dan Sumber
Liturgi adalah perayaan iman (actio fidei = perbuatan iman). Liturgi pertama-tama adalah tindakan Kristus sebagai Imam Agung, yang melaksanakan tugas-Nya menguduskan (menebus, menyelamatkan) dengan melibatkan Gereja lewat tanda-tanda lahir secara sakramental. Dalam karya inipun dilaksanakan kebaktian umum seutuhnya oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni oleh Kepala dan anggota-anggota-Nya (lih. SC,7). Jadi Liturgi mewujudkan karya penyelamatan oleh Allah. Karya ini “telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paskah: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikannya dalam kemuliaan” (SC,5). Karya ini selanjutnya dipercayakan kepada Gereja untuk meneruskannya. Memang karya keselamatan terlaksana dalam banyak cara. Namun Gereja menandaskan bahwa tidak ada karya atau perbuatan lain dari Gereja yang dapat menandingi daya dampak Liturgi. Sebab dalam perayaan Litrugi, Kristus bertindak sebagai Kepala dalam kesatuan dengan Gereja, Tubuh-Nya sendiri (lih. SC,7).

Oleh karena itu Konsili Vatikan II menandaskan, bahwa “Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan serta-merta sumber segala daya-kekuatannya” (SC,10). Sebagai puncak, di mana semua yang telah dibaptis berhimpun dalam Allah Tritunggal; masuk ke dalam lingkaran cinta kasih trinitaris, dengan pusat utama ialah meja perjamuan Tuhan. Sebagai sumber, di mana dari santapan Sabda dan Santapan Kurban dalam kesatuan perayaan bersama Tuhan, kita membawa ke dunia, ke dalam hidup dan karya kita semangat cinta kasih ilahi serta wawasan kebijaksanaan dan kebenaran yang menyatukan (lih. SC,10).

Tuntutan Menghayati Liturgi dalam Hidup Sehari-hari
Kembalilah kita sekarang ke problem ‘ironi bangsa’ yang sudah diangkat pada awal tulisan ini. Tentu kita tidak berhak menilai, apalagi menghakimi agama dan umat beragama lain. Kewajiban kita ialah mengadakan refleksi atas hidup keberagamaan kita sendiri; maksudnya hidup kekristenan kita dalam konteks ironi bangsa tersebut. Bagaimana senyatanya kadar hidup kekristenan kita umat Katolik Indonesia, yang adalah bagian integral dari bangsa dan bersemboyankan “100% Katolik 100% Indonesia”? Sepengetahuan saya memang belum pernah ada penelitian dalam hal ini. Namun, kenyataan bahwa keprihatinan menyangkut hal ini berulangkali dinyatakan oleh para Uskup Indonesia, khususnya melalui Surat Gembala dan Nota Pastoral, menandaskan bahwa berdasarkan pengamatan para Uskup masalah tersebut juga menggejala di kalangan kita umat Katolik Indonesia.

Pertanyaannya, mengapa iman Katolik tidak menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata kita? Gereja-gereja pada Hari Minggu dan Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu umumnya penuh. Mengapa penghayatan iman kita tampaknya hanya berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan? Ajaran Gereja sangat jelas: Bahwa iman sejati tidak dapat tidak harus dihayati dan terungkap dalam perbuatan-perbuatan nyata; bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Bahwa Liturgi adalah puncak dan sumber kegiatan imani kita sebagai Gereja. Barangkali persoalannya ialah, bahwa pemahaman iman, dan khususnya pemahaman makna Liturgi, pada umumnya masih dangkal di kalangan umat. Kalau begitu, jalan keluarnya tidak bisa lain daripada upaya pendalaman iman serta pendidikan Liturgi yang berkelanjutan.

Tetapi kiranya masalahnya tidaklah sesederhana itu. Masalahnya jauh lebih kompleks. Barangkali di sini masih tersangkut dua kesesatan besar yang secara gamblang telah ditolak oleh Konsili Vatikan II. Yang pertama dirumuskan dengan kata-kata tegas, sebagai berikut: “Menyimpanglah dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan datang (lih. Ibr. 13:14), dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing (lih. 2 Tes. 3:6-13; Ef. 4:28)” (GS,43). Pandangan yang hanya mementingkan keselamatan yang akan datang di akhirat dan mengabaikan keterlibatan dalam dunia (sering disebut fuga mundi = pelarian dari dunia) barangkali dapat dikatakan sudah ketinggalan zaman. Tetapi sebetulnya masih mewujud secara halus dalam pandangan dan sikap individualistis tentang keselamatan. Tentu masih banyak umat Katolik yang hidupnya baik, dan merasa aman dengan itu. Tetapi mereka tidak sadar, bahwa iman kristiani mereka menuntut mereka ikut aktif terlibat dalam pergulatan sosial masyarakat, dalam memerangi bersama penyakit-penyakit sosial bangsa, seperti korupsi, narkoba, pengrusakan lingkungan, perdagangan manusia dst. Akibatnya, seruan-seruan pastoral untuk membangkitkan gerakan melawan ancaman-ancaman sosial serius seperti itu, umumnya tidak banyak bergema. Karena itu peringatan Konsili Vatikan II itu masih tetap relevan.

Kesesatan besar kedua barangkali menjelaskan, mengapa terdapat kesenjangan lebar antara praktek peribadatan yang terus padat-ramai dan kenyataan hidup sehari-hari. Konsili Vatikan II merumuskannya begini: “Akan tetapi tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah itu semua terpisahkan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan seakan-akan agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah kewajiban moral semata-mata. Pemisahan antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai suatu kesesatan yang cukup gawat pada zaman sekarang ini” (GS,43).

Pemahaman sempit seperti itu, yang membatasi agama melulu pada kegiatan peribadatan dan sejumlah kewajiban moral semata, membuat orang dapat hidup tenang walaupun kehidupannya sehari-hari buruk. Kepada orang-orang yang memahami agama seperti ini, para Bapa Konsili memberi peringatan keras: “Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi; apalagi dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan siksaan-siksaan berat (bdk. Mat. 23:3-33; Mrk. 7:10-13)” (GS,43). Memang para Nabi sangat menentang praktek legalistik formalistik peribadatan. Yeremia misalnya menegaskan: “Apakah gunanya bagi-Ku kamu bawa kemenyan dari Syeba dan tebu yang baik dari negeri yang jauh? Aku tidak berkenan kepada korban-korban bakaranmu dan korban-korban sembelihanmu tidak menyenangkan hati-Ku” (Yer. 6:20). Amos berseru: “Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka … Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:22-24). Hosea menyampaikan: “Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih daripada korban-korban bakaran” (Hos. 6:6). Demikian pula Yesaya memaklumkan: “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tidak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian, dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes. 58:6-7). Karena itu dibutuhkan pertobatan, sebagaimana diserukan Yoel: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia” (Yl. 2:13).

Para Bapa Konsili merumuskan nasehatnya dengan kata-kata yang lebih lunak dan bijaksana: “Oleh karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dan sosial di satu pihak dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak lain. Dengan mengabaikan tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas-kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya. Lebih tepat hendaklah umat kristiani bergembira, bahwa mereka mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan, kejuruan, usaha di bidang ilmu pengetahuan maupun teknik dalam suatu sintesa yang hidup- hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah” (GS,43).

Selanjutnya, kompleksitas permasalahan hidup beragama, khususnya di lingkungan Kristiani, ditambah rumit lagi dengan munculnya apa yang disebut ‘Teologi Sukses’ atau ‘Teologi Kesejahteraan’ akhir-akhir ini. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi ekonomi yang juga terjadi di Indonesia telah menyebabkan peningkatan kesejahteraan dan kekayaan besar-besaran pada kalangan tertentu. Sejalan dengan itu terjadi kekosongan batin yang luar biasa, sehingga muncullah kebangunan agama di mana-mana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Hal yang menarik terjadi di sekitar kebangunan agama itu, khususnya di lingkungan agama Kristen, ialah menyebarnya pula ajaran sukses. Ajaran sukses atau kesejahteraan ini kelihatannya merupakan suatu sinkretisme globalisasi ekonomi dan kehausan beragama, yang dalam sekitar dua dekade terakhir telah menyebar juga ke Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Ir. Herlianto, M.Th., telah mempelajari dengan cermat ajaran tersebut dan menulis buku berjudul Teologi Sukses; antara Allah dan Mamon, yang diterbitkan pertama kali tahun 1992, cetakan ke-5 tahun 2006 merupakan edisi revisi, BPK, Jakarta. Herlianto menyimpulkan bahwa ajaran atau Teologi Sukses telah diuji dengan Alkitab dan menunjukkan bahwa teologi ini bukanlah teologi yang digali dari Alkitab (eksegese), melainkan ajaran lain yang secara sinkretis dimasukkan ke dalam kekristenan dengan memanipulasikan ayat-ayat Alkitab yang ditafsirkan secara keliru. Pengaruh psikologi baru dan perdukunan atau kebatinan (mistik) terlihat sekali dari kesamaan-kesamaan ajaran yang diajarkan dalam teologi ini dengan praktik-praktik yang ada dalam ajaran psikologi baru dan perdukunan itu. “Pemujaan mamon yang merupakan inti ajaran Sukses, sudah jelas bertentangan dengan berita Injil yang justru menasihatkan agar kita tidak memuja mamon melainkan setia kepada Allah. Umat Kristen harus menentukan sikapnya terhadap kecenderungan duniawi yang materialistis ini yang dimasukkan ke dalam ibadat Kristen” (Herlianto, 2006:261). Herlianto menutup bukunya dengan mengutip Mat. 6:24: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Herlianto, 2006:262).

Akhirulkalam, semoga tulisan ini memberi pencerahan kepada kita menyangkut hubungan hakiki antara iman, liturgi dan hidup nyata sehari-hari. Dengan demikian, diharapkan kita lebih mampu dan bersemangat menindaklanjuti hasil Kongres Nasional Liturgi yang diadakan di Makassar, Oktober yang lalu, dalam rangka merayakan 50 tahun Konstitusi Liturgi, dengan tema ‘Liturgia Semper Reformanda Est’, ’Liturgi Harus Selalu Diperbaharui’. Apabila itu terjadi, maka dengan sendirinya umat Katolik akan memberikan sumbangannya dalam menghadapi permasalahan yang sedang menerpa bangsa ini, yang di depan kita sebut ‘ironi bangsa’.

Selamat Natal dan Tahun Baru 2014!
Tuhan memberkati!          

Makassar, Awal Desember 2013 
+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: