Selasa, 02 Juli 2013

On Going Formation Imam-imam Diosesan Regio MAM: Imam dan Katekese


Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil.” (1 Kor 9:16)

Tahbisan bukanlah akhir sebuah proses formation (pembentukan) bagi para imam. Setelah ditahbiskan pun, para imam tetap perlu mendapat pendampingan dan bimbingan agar mendapat bentuk semakin baik dalam pewartaan Kabar Gembira. Salah satu bentuk proses formation itu adalah melalui kegaitan On Going Formation (OGF) bagi para imam. “BINA DIRI TERUS MENERUS merupakan panggilan hakiki seorang imam; OGF adalah hal pokok dan harus dilakukan oleh setiap imam (Pedoman Hidup Imam, hal. 17). Terdapat beberapa bentuk OGF yang perlu diperhatikan oleh setiap imam, yakni sebagai berikut:


1. OGF HIDUP MANUSIAWI: Imam sendiri terlebih dahulu harus murni, baru sesudah itu memurnikan yang lain.
2. OGF HIDUP INTELEKTUAL: Imam terlebih dahulu harus belajar/diajar, baru mengajarkannya.
3. OGF HIDUP PASTORAL: Imam terlebih dahulu menjadi terang, baru menerangi; terlebih dahulu pergi kepada Allah, baru mengantar orang kepada-Nya.
4. OGF HIDUP ROHANI/SPIRITUALITAS: Imam harus terlebih dahulu menguduskan diri, baru menguduskan orang lain.
5. OGF HIDUP KOMUNITER: Imam harus ‘tahu berkomunitas/hidup bersaudara’ sebelum memimpin ‘komunitas gereja/umat’.

Sebagai seorang imam muda, yang belum cukup satu tahun ditahbiskan dan lepas dari proses formasi di seminari, saya baru mulai “belajar menjadi imam”. Oleh karena itu, saya sangat membutuhkan kegiatan OGF semacam itu. Untungnya, delapan bulan setelah saya ditahbiskan menjadi imam, saya dapat mengikuti kegiatan OGF yang diadakan oleh pengurus UNIO Keuskupan Agung Makassar. Bersama dengan 30 imam diosesan lainnya yang berasal dari keuskupan Regio MAM (Keuskupan Agung Makassar, Keuskupan Ambon dan Keuskupan Manado), saya mengikuti OGF selama empat hari yang dilaksanakan pada tanggal 14 – 17 Mei 2013 di Baruga Kare Makassar. Menariknya, OGF ini tidak hanya diikuti oleh imam-imam muda tetapi juga oleh imam-imam senior, yang sudah belasan, bahkan puluhan tahun ditahbiskan, misalnya Pastor Frans Arring dari Keuskupan Agung Makassar. Dengan demikian, kami yang masih muda-muda bisa belajar banyak hal melalui ceramah, diskusi dan sharing pengalaman, entah dalam pertemuan maupun pada saat makan atau istirahat. 

Tema yang menjadi pokok pembahasan dalam OGF ini adalah “Imam dan Katekese”. Melaui OGF ini kami para imam diingatkan kembali bahwa salah satu tugas pokok para imam adalah berkatekese, yakni mewartakan Kabar Gembira (Injil). Hal ini ditegaskan oleh Pastor Terry Panomban sebagai pembicara pertama dengan mengatakan: “setiap imam wajib memberitakan Injil; dan itulah tugas utama imam, yakni memberitakan Injil”. Maka setiap imam hendaknya berkata seperti Santo Paulus: “Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil” (1 Kor 9:16), karena “Mewartakan Injil adalah rahmat dan panggilan khas Gereja, merupakan identitasnya yang terdalam” (Evangelii Nuntiandi, a.14). Untuk itu, prioritas utama dalam pelayanan pastoral seorang imam adalah berkatekese demi salus animarum (keselamatan jiwa-jiwa). Naiflah kalau katekese hanya disamakan dengan pelajaran agama di sekolah atau Sekami. Oleh karena itu, imam tidak bisa hanya membatasi diri pada tugas-tugas organisasional paroki atau hanya mengurusi masalah bangunan. “Imam belajar teologi dan filsafat untuk mewartakan iman, maaf bukan untuk mengurus semen dan gaji buruh; untuk pelayanan SAKRAMEN bukan SAKSEMEN”, ungkap Pastor Terry.

Dalam OGF ini pula, para imam diingatkan bahwa berkatekese pada zaman sekarang lebih menantang. Pada zaman ini terjadi sekularisasi yang begitu intens dalam masyarakat di segala level, dimana Lord diganti world. Akibatnya, terjadi penolakan terhadap Tuhan dan  pencarian pengganti Tuhan melalui tenaga dalam, kekuatan dalam kehendak, dan lain sebagainya. Belum lagi perkembangan teknologi yang tak terbendung, yang menyediakan berbagai macam hiburan yang seringkali lebih menarik daripada pergi ke gereja, mengikuti Perayaan Ekaristi atau mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian lainnya. Ditambah lagi dengan bahasa anak muda yang semakin “gaul” dan “alay”.

Dalam satu kesempatan, Pastor Agus Duka, sebagai narasumber kedua, menampilkan beberapa bahasa yang sering digunakan anak muda sekarang ini, dan para imam diminta untuk membacanya, misalnya N0m313 T3I_px k4III\I_I 13124p4\46h?? (Nomor Teleponnya kamu berapa yagh?). Bahkan ada satu bahasa gaul yang tidak dapat kami mengerti, yakni “KAMSEUPAY”. Setiap imam yang hadir ditanya apa artinya, tetapi tidak ada yang mampu membaca dan mngerti. Ternyata “KAMSEUPAY” singkatan dari “KAMpungan SEkali Uuuh PAYah”.  Waduh, parah! Mungkin kami memang kampungan dan payah. Bahasa seperti itu saja tidak kami mengerti, padahal bagi anak muda dan kebanyakan orang bahasa itu sudah biasa. Bahasa zaman sekarang makin sulit dipahami. Bagaimana para imam bisa menyentuh umatnya jika bahasa yang digunakan ternyata tidak nyambung.

Oleh karena itu, dalam OGF ini kami diingatkan untuk bisa melihat segala peluang yang ada, dan mampu menggunakan sarana dan media yang ada untuk berkatekese. Salah satu media yang menjadi peluang untuk berkatekese pada zaman ini adalah melaui media digital. Dua nara sumber membahas khusus masalah ini: (1) Pastor Agus Duka membahas “Imam dan Pelayanan Pastoral di Era Digital”, dan (2) Pastor Leo Sugiyono, MSC, yang dibantu oleh Bapak Purwono Nugroho Adhi, membahas “Katekese Era Digital”. Pada intinya, para narasumber ingin mangungkapkan bahwa pastoral dan katekese imam di era digital bukanlah sekadar bagaimana menggunakan internet sebagai sarana-alat untuk Pewartaan Kabar Gembira (evangelisasi), melainkan terutama bagaimana mewartakan Kabar Gembira dalam sebuah KONTEKS dimana manusia  mengungkapkan pengalaman dan kehidupannya, juga dalam ruang digital. Untuk itu, Pastor Agus mengingatkan bahwa “Para imam dan kaum religius harus dididik pada waktunya, sehingga memiliki keahlian yang sepadan dalam meggunakan sarana komunikasi sosial”. Bahkan, “Pendidikan komunikasi harus menjadi bagian yang integral pendidikan imam. Tanpa pengetahuan ini, mereka tidak mungkin akan berkarya dengan berhasil guna di dunia sekarang ini (CP 111)”. 

Bapak Purwono Nugroho Adhi juga mengingatkan bahwa keluasan teknologi digital dengan jaringan internetnya menjadi tantangan sekaligus peluang baru dalam berkatekese (mewarta), dimana orang dari berbagai tempat, tanpa batas-batas ruang dapat saling berupaya, memelihara, berbagi, bersaksi dan menghidupi imannya. Dalam hal ini para imam, sebagai katekis utama, dapat mengambil beberapa peran. Pertama sebagai fasilitator petemuan antar-umat beriman yang saling meneguhkan dan memperkaya pengalaman dan pengetahuan iman, atau juga mediator untuk memperlancar pengelolaan proses komunikasi, yang kadang juga berperan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang muncul. Kedua, imam dapat menjadi penghubung (bridge) dengan memperkenalkan dan menautkan berbagai informasi mengenai pengetahuan iman, serta membantu mencarikan pengetahuan pokok-pokok iman melalui internet. Ketiga, imam menjadi inspirator dan penyaji (imagineers) dengan terlibat dan mengisi web atau blog interaktif yang tersedia terkait dengan pengetahuan iman katolik. Keempat, imam menjadi pencerita (storytellers) dengan membagikan kisah inspiratif yang memperkuat iman. Keenam, imam dapat pula menjadi sahabat dengan menemani, berbagi pengalaman iman, saling meneguhkan iman, dan saling mendengarkan. Dan terkahir, dalam media digital, imam dapat menjadi pendoa dengan mendoakan, mengajak berdoa, memberikan berbagai doa yang semakin meneguhkan iman, atau memberikan kutipan, inspirasi yang menyentuh dan menguatkan iman, baik dari kitab suci maupun dari sumber-sumber tradisi doa.

Dalam kegiatan OGF ini, kami para imam dibekali juga cara berkatekese bagi Sekami. Katekese sejak usia dini sangat penting dan sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Oleh karena itu, Tan Mariam dari KKI Pusat menjelaskan bagaimana membahasakan dan menggunakan trik-trik yang bisa digunakan dalam berkatekese bagi anak-anak. Selain dijelaskan, kami para imam peserta OGF juga diminta untuk mempraktekkannya secara langsung di hadapan peserta lainnya. Pada bagian akhir kegiatan OGF, para imam juga dibekali dengan cara menyusun data paroki secara lebih baik yang didampingi oleh Bapak Stefanus Erwin dari Jakarta.

Acara OGF kali ini juga melibatkan kegiatan outing, yakni dengan berkunjung ke Gereja Hati Katedral Makassar, Benteng Roterdam dan Seminari Menengah Petrus Claver Makassar. *** Penulis: Pastor Junarto Timbang Pr

Pengalaman Rekoleksi di Pemakaman Pakatto


Setelah menempuh perjalanan kira-kira 30 km dari kota Makassar, Staf Keuskupan Agung Makassar yang berjumlah 17 orang  beserta Pastor Yulius Malli’, Pr (Ekonom) dan Pastor Frans Nipa, Pr (Sekretaris Keuskupan) tiba Taman Pekuburan Rohaniwan Pakatto tempat kami akan mengikuti Rekoleksi.  Rekoleksi berlangsung selama 2 hari yaitu pada 11–12 April 2013. Seperti tahun-tahun sebelumnya rekoleksi ini merupakan salah satu program kegiatan tahunan yang selalu diadakan oleh Keuskupan untuk para staf.

 Acara pertama setelah tiba di Taman Pekuburan Pakatto, yaitu mengunjungi dan mendoakan para rohaniwan (Uskup, pastor dan frater) yang telah beristirahat dalam damai. Setelah rehat sebentar menikmati suasana pekuburan di sore hari, lalu dimulai dengan acara pembukaan. Rekoleksi ini dibawakan oleh Bapak Ronald Runtuwene. Beliau merupakan pimpinan pada sebuah lembaga motivator dan sering membawakan acara di  radio swasta di kota Makassar yaitu radio  Smart FM.

Dalam rekoleksi yang dilalui selama 2 hari itu, Bapak Ronald Runtuwene mengajak para staf merenungkan tema: “Sanggupkah Aku Melayani dengan Apa yang Kumiliki Saat Ini?”. Tema ini mengajak peserta untuk membuat perubahan-perubahan dalam hidup khususnya niat-niat dan tindakan yang baik, karena segala tindakan-tindakan akan mengikuti pengharapan-pengharapan kita.
Tema ini berisi tantangan berat bagi staf Keuskupan Agung Makassar, khususnya dalam tugas dan tanggung jawab masing-masing staf sebagai pekerja di lingkungann gereja.   Bapak Ronald mengatakan: “Segala sesuatu yang akan kita capai diawali dengan mimpi besar.  Dalam hidup kita, kita sering bermimpi. Kadang kita bermimpi menjadi yang terbaik dalam karier, terbaik sebagai orang tua, terbaik dalam kehidupan bersama Tuhan, tetapi kita hanya tinggal dalam mimpi. Padahal mimpi itu hanya bisa terwujud dalam kerja keras dan ketekunan.   (Everything you want, is there you just have, to reach out and grab it dream big – MarkSolution 2012).

Hal yang paling sering menghalangi diri kita untuk maju dan bertumbuh dalam mencapai gambaran hidup yang kita harapkan adalah keengganan untuk “BERUBAH”.

Menurut beliau, ada 5 hal yang muncul dari reaksi diri kita ketika berhadapan dengan sebuah perubahan   yaitu :
1. Penolakan / Denial
2. Amarah / Anger
3. Tawar menawar / Bargaining
4. Tertekan / Depression
5. Penerimaan / Acceptance

Beliau mengambil ayat renungan  dalam kitab suci (Ibrani 11:1):  “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang  tidak kita lihat”.

Dalam rekoleksi ini, selain mendengarkan materi dan tanya jawab, ada pula sesi dimana para staf mensharingkan pengalaman hidup mereka selama menjadi staf di Keuskupan Agung Makassar.
Peserta cukup antusias dan semangat dalam mengikuti rekoleksi tersebut. Hal ini ditandai dengan cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan peserta.  Acara juga diselingi dengan nyanyi dan gerak sehingga peserta tidak merasa jenuh dan bosan mengikuti rekoleksi tersebut.

Pertemuan rekoleksi berakhir pada pukul 14.00 yang ditutup dengan misa, yang dipimpin oleh Vikjen Keuskupan Agung Makassar, Pastor Ernesto Amigleo, CICM.  Dalam kotbahnya Vikjen meminta kepada para staf untuk lebih bertanggungjawab terhadap pekerjaan-pekerjaan di kantor, mau membuat perubahan dalam hidup dan selalu berusaha menciptakan suasana kekeluargaan dalam bekerja. *** Penulis: Natalia Boro

Komisi Kerawam Menjelang 2014


Salah satu momen terbesar yang secara berkala dirayakan di Negara kita ini adalah pemilihan presiden dan pemilihan anggota badan legislatif. Di dalam tahun 2014 momen itu akan terulang kembali. Itulah sebabnya tahun 2014 seperti memiliki magnet. Banyak orang memandang tahun itu sebagai tahun penuh harapan. Geliat, bahkan kegelisahan pun banyak bermunculan. Banyak figur dan partai mulai menebar pesona. Ada yang sungguh mempesona, ada yang bahkan terpelecok karena pesona yang ditaburnya.

Dalam bahasa ajaran sosial Gereja, peran pemimpin dan wakil rakyat dirumuskan sebagai jalan untuk membarui tata dunia dgn semangat Injil. Hal itu dapat diwujudkan dalam usaha untuk memajukan kesejahteraan umum (bonum commune) yang sejati dan mewujudkan keadilan dan perdamaian. Tentu peran ini dapat dirumuskan secara berbeda-beda, tergantung dari latar belakang kepercayaan, namun pada dasarnya tujuan yang hendak dicapai adalah sama. Sungguh mulia tujuan ini, sehingga perlulah untuk menggalang partisipasi konkrit seluruh warga negara untuk memilih figur yang dapat mengemban peran itu dan partai politik yang dapat memberikan kerangka yang memungkinkan figur-figur yang terpilih untuk mewujudkan perannya sesuai dengan harapan masyarakat. Seandainya semua orang yang mengajukan dirinya untuk dipilih sebagai pemimpin atau sebagai wakil rakyat memiliki tujuan tersebut, betapa banggalah kita. Begitu banyak orang yang memiliki tujuan mulia yang ada di sekitar kita. Namun sering terjadi bahwa momen pemilihan ini hanya menjadi ajang persaingan dan perebutan kekuasaan. Banyak orang yang secara kualitatif (kepribadian, intelektual, dan moral) tidak memadai, tetapi begitu memaksakan diri dengan segala pengaruh yang dimilikinya untuk dipilih, demi untuk merebut kekuasaan dan di balik itu akses menuju penghasilan yang besar. Di lain pihak banyak di antara pemilih kita yang juga belum sadar betul akan efek pilihan yang mereka berikan. Pilihan saat ini menentukan hidup 5 tahun ke depan, bahkan lebih. Pragmatisme masih sering menjadi warna yang sangat dominan. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang mengambil sikap apatis dan acuh tak acuh.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, Gereja Katolik Keuskupan Agung Makassar pun merasa ikut bertanggung jawab dalam memajukan kehidupan bersama. Sinode Diosesan II yang berlangsung pada tanggal 27-31 Mei 2012 lewat komisi politik, salah satu dari antara 8 komisi di dalam sinode, banyak berbicara tentang keterlibatan politik umat katolik. Sinode tersebut didahului dengan sebuah survei yang dilaksanakan pada tahun 2009 dengan menggunakan bantuan lembaga survei MarkPlus Insight. Sangat mengejutkan data-data yang ditunjukkan oleh survei tersebut. Terhadap dunia politik ternyata tingkat ketertarikan umat sangat rendah. Dari 344 responden yang dipilih secara acak dari antara umat katolik seluruh keuskupan kita terungkap bahwa 36,9% tidak tertarik kepada politik,  8,1% sangat tidak tertarik dan 18,6% cenderung tidak tertarik. Alasan ketidaktertarikan tersebut umumnya karena menganggap politik itu hanya sebagai pencaharian kedudukan/kekuasaan. Data ini mendorong peserta sinode yang tergabung dalam bidang politik untuk merumuskan gerak perjuangan gereja ke depan untuk mendorong partisipasi aktif orang katolik dalam bidang ini. Tentu perlu pemahaman yang benar akan politik. Maka dirumuskanlah misi:  “Membangun kesadaran dan tanggung jawab sosial politik yang bermartabat di kalangan umat dalam hidup berbangsa dan bernegara”. Bahkan menjelang tahun 2014, komisi ini mencanangkan tahun 2013 sebagai tahun sadar politik.

Komisi kerasulan awam sebagai komisi yang bergerak dalam bidang sosial-politik berusaha untuk menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk menindaklanjuti misi tersebut. Kerjasama digalang bersama dengan komisi Hubungan Antaragama dan Keyakinan (HAK), Komisi Kepemudaan, Tim 25, FMKI, ISKA, serta ormas-ormas Katolik yang ada dalam lingkup KAMS. Beberapa kegiatan telah dilaksanakan. Kegiatan pertama diwujudkan dalam bentuk TOT (Training on Trainers) untuk katekese politik yang telah diselenggarakan pada tanggal 2-4 November 2012 di Baruga Kare. TOT ini diikuti oleh 42 peserta wakil dari kelima kevikepan dan ormas-ormas katolik. TOT yang sama telah diselenggarakan pula di Mamuju untuk tingkat kevikepan Sultra dalam bulan Desember tahun 2012. Setelah TOT ini para peserta diharapkan untuk menyelenggarakan katekese politik pada tingkat basis untuk menanamkan pemahaman yang benar akan politik sehingga dari situ diharapkan pula tumbuhnya kesadaran akan pentingnya keterlibatan aktif dalam bidang ini. Untuk menjalin langkah bersama ke depan, pada 7 Januari 2013 telah dilaksanakan pertemuan dengan tokoh-tokoh awam katolik yang banyak terlibat dalam dunia politik. Pertemuan tersebut telah memberikan masukan untuk membuat gerakan bersama menyongsong tahun 2014. Pada 3 Februari 2013 telah diselenggarakan pertemuan tindak lanjut dengan menghimpun tokoh-tokoh awam katolik, pengurus seksi kerawam paroki dan para aktivis ormas katolik. Terungkap harapan besar akan gerak bersama ini, khususnya akan peran serta ormas katolik dan seksi kerawam paroki. Pertemuan ini juga memberikan mandat kepada Tim 25 dengan pendampingan Komisi Kerawam KAMS untuk menindaklanjuti gerakan ini.

Atas dasar itu Tim 25 telah merancang beberapa langkah stategis menghadapi Pemilu 2014. Salah satunya adalah merumuskan draft kriteria calon legislatif Katolik (caleK), yang diharapkan masih akan disempurnakan berdasarkan masukan-masukan dari umat. Kriteria seorang caleK itu adalah:
1. Memiliki surat keterangan dari Pastor/Dewan Pastoral Paroki asal/tempat berdomisili
2. Mengenal dan mengakar/dikenal masyarakat di basis wilayah yang akan diwakilinya
3. Memiliki integritas, kapasitas dan rekam jejak keterlibatan dalam hidup menggereja dan kemasyarakatan /sosial-politik
4. Sehat fisik-mental-rohani, lebih diutamakan yang berumur di bawah 50 tahun
5. Bermental politik bonum commune (demi kesejahteraan bersama) dan berkomitmen bagi kontinuitas perjuangan Gereja di bidang sosial-politik (penyiapan kader pelanjut)
6. Pendidikan minimal SMA, dan ditopang pengalaman serta kematangan berorganisasi
7. Diutamakan caleK yang sudah terlibat di (kader) parpol peserta Pemilu 2014
8. Rekomendasi dari Tim 25 Kevikepan (untuk caleK kota/kabupaten) dan Tim 25 KAMS (caleK propinsi/Pusat), berdasarkan pembekalan legislasi dan ASG/penyaringan yang akan dilaksanakan oleh Tim 25 bersama Komisi Kerawam/HAK KAMS.

Kriteria ini tidaklah bermaksud untuk membatasi hak sebagai warga Negara untuk dipilih di dalam suatu pesta demokrasi, tetapi lebih merupakan salah satu strategi untuk menghindari banyaknya “caleK karbitan”, yang tiba-tiba muncul, yang hanya akan mengacaukan perjuangan mereka yang sungguh sudah berjuang merintis karier politiknya.  CaleK yang memenuhi kriteria ini, dan akan diperkenalkan di kalangan umat sebagai calon wakil kita, yang diharapkan meneruskan aspirasi kita kepada Negara (pemerintah) serta menyalurkan aspirasi kita dalam bentuk kebijakan publik. Besar harapan kita bahwa orang-orang katolik yang berkualitas juga berani untuk maju merelakan kemampuan mereka untuk memperjuangkan hidup bersama yang lebih baik dan adil seturut nilai-nilai Injil. *** Penulis: Pastor Paulus Tongli Pr

Umat Bertanya, Imam Menjawab


Pertanyaan:
Pastor,
Kami sebagai orangtua selalu pusing di setiap tahun ajaran baru, yakni bagaimana  mencari sekolah katolik dan murah. Artinya, anak kami mendapat pelajaran agama Katolik di sana dan kami sebagai orangtua tidak dibebani dengan biaya pendaftaran serta SPP yang mahal.
Dapatkah Pastor membantu, bagaimana menentukan sekolah Katolik yang baik? Lalu bagaimana bila orangtua tak mampu menyekolahkan anaknya di sekolah katolik karena biaya mahal?

Jawaban:
Hari-hari ini orang tua disibukkan dengan penerimaan murid baru. Orangtua mencari sekolah bagi putra-putrinya yang baru mau masuk sekolah atau untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Ada macam-macam pertimbangan dalam memilih sekolah antara lain, dekat dari tempat tinggal, lebih murah bahkan gratis, atau karena dianggap sekolahnya bermutu, dll. Memang benar bahwa setiap orangtua bebas memilih sekolah bagi putra-putrinya sesuai yang dikehendakinya dan menurut pertimbangannya. Tetapi bagi orang tua katolik dianjurkan menyekolahkan anaknya di sekolah katolik, karena lewat sekolah mereka mendapat pendidikan iman katolik (sekolah katolik, art.9).

Sekolah Katolik
Suatu sekolah dapat berpredikat sekolah katolik apabila sekolah tersebut didirikan dengan persetujuan secara tertulis dari Uskup setempat. Selain itu sekolah itu berdasarkan asas-asas ajaran katolik dan dibimbing oleh kuasa Gereja (KHK, kanon 803). Sekolah katolik dapat didirikan oleh keuskupan, tarekat hidup bakti, awam katolik. Sekolah katolik adalah sekolah berbasis masyarakat yang berciri khusus katolik yang diakui dan dijamin keberadaannya diakui dan dijamin oleh Undang Undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (pasal 55 ayat. 1). Sekolah katolik berbasis masyarakat karena itu bersifat inklusif artinya terbuka untuk umum tanpa membedakan suku, ras dan agama.
Di wilayah Keuskupan Agung Makassar, sekolah yang dikenal masyarakat  berpredikat sekolah katolik antara lain, sekolah yang diselenggarakan Yayasan Paulus Makassar, milik Keuskupan Agung Makassar, mengelolah 35 sekolah mulai dari TK sampai SMA  antara lain, TK. Santa Maria, SD. St. Aloysius, SMP Garuda, SMA Katolik Cendrawasih; sekolah yang diselenggarakan Yayasan Yoseph Yeemye milik suster tarekat YMY, mengelola 12 sekolah mulai dari TK samapi SMA  antara lain sekolah yang ada di bumi Rajawali; sekolah yang diselenggarakan Yayasan Taman Tunas milik Tarekat Frater Hamba-Hamba Kristus mengelola 14 sekolah  mulai dari TK sampai  SMA antara lain TK, SD, SMP Frater Thamrin.

Ciri Khas Sekolah Katolik
Nota Pastoral KWI tahun 2008 tentang Pendidikan menegaskan bahwa inti dan kekhasan pendidikan katolik adalah: Setia terhadap pencerdasan bangsa, Setia terhadap ciri khas Katolik, Setia terhadap Spiritualitas (semangat luhur) Pendiri.
Kesetiaan terhadap pencerdasan kehidupan bangsa yang merupakan inti pendidikan Lembaga Pendidikan Katolik terwujud dalam partisipasi masyarakat katolik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Lembaga Pendidikan Katolik menyelenggarakan pendidikan yang unggul. Keunggulan itu diwujudkan melalui pembinaan utuh pribadi manusia yaitu pengembangan bakat bakat fisik, psikis, emosional, intelektual, moral, spiritual dan budaya secara harmonis. Daripadanya peserta didik dimampukan untuk mengemban tanggungjawab yang benar, menggunakan kebebasan secara tepat, dan terlibat aktif dalam kehidupan bermasyarakat (NoPas. art. 4.3).

Kesetiaan terhadap ciri khas katolik. Ciri khas pendidikan katolik adalah menciptakan lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai oleh semangat kebebasan dan cinta kasih Injili; mengembangkan dan memperdalam pengetahuan yang diperoleh mengenai dunia, supaya akhirnya kehidupan dan manusia diterangi oleh iman sehingga siapapun yang terlibat dalam pendidikan itu siap menjadi ragi keselamatan bagi masyarakat. Dengan demikian melalui Lembaga Pendidikan Katolik, nilai-nilai kristiani yang membebaskan dan mencerahkan tetap ada dan berkembang, juga menjadi sarana pewartaan melalui penghayatan dan perwujudan nilai-nilai luhur manusia yang sejiwa dengan nilai-nilai Injili (NoPas. art.4.2). Dimensi Injili itulah yang membedakan sekolah katolik dengan sekolah lain. Sekolah  mewujudkan dimensi Injili antara lain dalam wujud kedisiplinan, kasih dan persaudaraan, kepedulian dan solidaritas. Kesetiaan pada ciri khas juga berarti mengindahkan pedoman dan arahan Gereja Katolik pada tingkat universal, nasional, regional dan lokal.
Kesetiaan terhadap Spiritualitas (semangat luhur) pendiri berarti Lembaga Pendidikan Katolik berkewajiban mengemban visi dan misi pendiri masing-masing sesuai dengan kondisi dan situasi zaman ini.

Berpihak pada yang Miskin
Semua manusia mempunyai martabat pribadi. Oleh karena itu mempunyai hak tak tergugat atas pendidikan yang sesuai dengan tujuan dan bakat masing masing (GE, art.1). Sekolah katolik diselenggarakan tidak berorientasi untuk mencari keuntungan melainkan perwujudan pelayanan (diakonia). Memang pengelolaan sekolah membutuhkan biaya agar dapat berjalan baik dan sumber satu-satunya pembiayaan adalah sumbangan tetap dan rutin orang tua peserta didik. Namun demikian sekolah katolik  seharusnya tidak boleh menolak anak katolik untuk masuk sekolah katolik karena orang tua calon peserta didik tidak mampu membayar uang pangkal/pembangunan dan uang sekolah. Masalah pembayaran hendaknya dibicarakan dan dicari jalan keluarnya. Bukankah sekolah katolik menganut asas subsidiaritas, artinya orang tua yang mampu membantu yang miskin.
Hendaknya orang-orang beriman kristiani mendukung sekolah katolik dengan membantu sekuat tenaga dalam mendirikan dan membiayai sekolah itu (KHK 800 pasal 2).
Sekolah tentunya bukan hanya urusan pengelolah sekolah melainkan juga menjadi tanggungjawab orangtua dan Gereja (umat) secara bersama sama. Masing-masing perlu menjalankan perannya dan dengan kerjasama yang sinergis, sehingga sekolah katolik mempunyai daya tahan, daya saing dan daya tarik. Dengan demikian Lembaga Pendidikan Katolik sungguh menjadi “Media Pewartaan Kabar Gembira, Unggul dan lebih Berpihak kepada yang Miskin”. ***
Rubrik ini dibuka sebagai tindak lanjut dari acara Talk Show “Umat Bertanya, Imam Menjawab” yang diprakarsai Panitia OC Sinode KAMS, 12 Februari 2012, di Aula Gereja Gotong-Gotong; Bidang Kitab Suci dijawab oleh P. Hendrik Njiolah, Bidang Hukum Gereja oleh P. Frans Nipa, Bidang Liturgi oleh P. Sani, MSC, Bidang Pendidikan oleh P. Alex Lethe dan Kebijakan Dasar KAMS oleh Uskup. Maka umat dapat bertanya secara tertulis dan disampaikan ke Redaktur Majalah Koinonia (e-mail: sekr_kams@yahoo.com).

Ziarah RAPTIM: Kerendahan Hati Berbuah Pelayanan

Illum oportet crescere me autem minui
Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yohanes 3: 30)

Perjalanan iman ini mau menelusuri jejak rasul pengikut Yesus, sambil menimba kerendahan hati dari mereka: Santo Petrus, Santo Fransiskus, Santa Bernadette, Vincentius a Paulo, Santa Katharina Laboure dan Paus Fransiskus. Mereka adalah tokoh-tokoh dalam Gereja Katolik yang melayani dengan ke rendahan hatinya.
Tema ini diangkat, karena soal kerendahan hati menjadi tantangan dalam pelayanan Gereja di zaman ini, baik di kalangan klerus maupun awam.

Santo Petrus disalibkan di Roma pada masa pemerintahan Kaisar Nero. Petrus yang pernah menyangkal sebagai murid Yesus  sebanyak tiga kali ini merasa tidak layak untuk mati dalam posisi yang sama seperti gurunya. Ia memilih disalib dengan kepala di bawah.

Dalam Gereja Katolik, cara wafat Petrus seperti itu, menjadi simbol atau lambang kerendahan hati. Sikap rendah hati inilah yang mau diteladani para peziarah Raptim yang melakukan perjalanan iman ke Roma, Vatikan, Asisi, Lourdes, Nevers, Paris dan seterusnya. Presiden Direktur Raptim Piet Adrian Tarappa mengungkapkan, para peziarah mau menapak tilas jejak para pengikuti Yesus, entah dia yang berkarya sebagai biarawan, biarawati, atau awam. “Tema perjalanan iman kali ini adalah, saya mau mengikut Yesus, berfokus pada kerendahan hati,” tutur Piet Tarappa, yang sempat merenungkan tempat-tempat suci yang mau dikunjungi.

SOSOK-SOSOK RENDAH HATI
Banyak tokoh dalam Gereja Katolik yang layak diteladani karena kerendahan hatinya. Saat para peziarah Raptim mengikuti misa audiensi di lapangan Basilika Santo Petrus di Vatikan, mereka melihat sosok yang rendah hati bernama Paus Fransiskus. Saat menerima tugas suci ini, Kardinal Bergoglio mengatakan, dirinya tidak pantas menjadi paus. Oleh karena itu, ia memilih nama Paus Fransiskus.
Miserando atque eligando. Ia dipilih karena rendah hati.
Para peziarah melanjutkan perjalanan ke Asisi. Inilah kota asal Santo Fransiskus, pendiri Tarekat Fransiskan. Pengikut Kristus ini adalah tokoh yang luar biasa dalam hal kerendahan hati. Walaupun dari kalangan terpandang dan kaya, Fransiskus mau turun ke jalan melayani fakir miskin.

Di Lourdes, para peziarah merenungkan sosok Bunda Maria, seorang yang sangat beriman menjadi teladan dalam kerendahan hati. Maria menegaskan kerendahan hatinya dengan mengatakan, "Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu itu." (Lukas 1: 38)
Bernadette Soubirus, ternyata juga sama. Dia mengatakan, dipilih untuk bertemu Bunda Maria karena dia seorang yang tidak terpandang.

Saat berada di Gereja Medali Wasiat di Paris, para peziarah mengenang Katharina Laboure, novis dari Kongregasi Suster Puteri Kasih. Katharina Laboure mengalami dua kali penampakan Bunda Maria, yakni pada 18-19 Juli 1830 dan 27 November 1830. Pada penampakan kedua, Bunda Maria meminta Katharina membuat medali. Bunda Maria berjanji, mereka yang mengenakan medali ini akan menerima karunia-karunia besar dan berkat yang berlimpah akan diberikan kepada mereka yang percaya. Katharina wafat pada 31 Desember 1876. Saat kuburnya digali dalam rangka beatifikasi, ditemukan tubuhnya masih utuh dan lemas, serta bola matanya biru. Pada 27 Juli 1947, Katharina dinyatakan sebagai santa oleh Paus Pius XII. Ia diberi nama Santa yang Berdiam Diri, karena kerendahan hatinya yang tidak menceritakan banyak penampakan Bunda Maria yang ia alami sampai akhir hayatnya.

BERBUAH PELAYANAN
Tema “Mengikut Yesus yang berfokus pada kerendahan hati” ini dinyatakan dalam liturgi di sepanjang perjalanan ziarah. Lagu “Aku Mau Ikut Yesus” terus dikumandangkan dalam misa kudus, perjalanan di bus, dan jalan salib. “Aku mau ikut Yesus sampai selama-lamanya meskipun saya susah menderita dalam dunia, saya mau ikut Yesus sampai selama-lamanya”.

Di tempat-tempat suci yang dikunjungi, para peziarah mau menimba sikap rendah hati dari para pengikut Yesus. Menurut Piet Tarappa, mengikuti Yesus dalam kerendahan hati tidak hanya sekadar kerendahan hati, tapi berbuah pada pelayanan.

“Umat yang berziarah bisa membawa pulang unsur kerendahan hati yang mewujud dalam pelayanan di keluarga, tempat berkarya, masyarakat dan dalam hidup menggereja!” terangnya. Sikap melayani ini sudah langsung terjadi dalam perjalanan iman ini. Umat dan imam, semua ingin meringankan beban satu sama lain. Yang muda membantu mereka yang sudah tua pada waktu jalan salib. Satu sama lain kian akrab dan guyup. “Buah-buah umum dari peziarahan, kami guyub sebagai suatu keluarga.”***