Sabtu, 18 April 2015

SEKELUMIT KENANGAN 40 TAHUN IMAMAT


Menjelang HUT Imamat ke-40, 10 Januari 2015, saya membuka-buka arsip pribadi lama. Saya masih berhasil menemukan naskah Sambutan saya pada acara resepsi tahbisan imamat tersebut. Saya memulai dengan angan-angan berikut: “Entah mengapa, tetapi tiba-tiba saja pikiran saya melakonkan kisah mini ini: Saya membayangkan sudah tua, belum tua renta, tetapi lumayan tua. Tiba-tiba datang seorang pemuda yang bertanya, hari apa yang paling berkesan dalam hidup saya. Tanpa ragu atau bimbang, saya segera menjawab dengan mantap: Hari tahbisan saya!” Seusai membaca kembali Sambutan itu, saya tercenung sejenak. Saya ditahbiskan oleh Mgr. Theodorus Lumanauw, Uskup Agung Makassar (waktu itu masih bernama: Ujung Pandang) di gereja paroki asal saya, Sangalla’, Tana Toraja. Saya terkenang akan suasana ceria dan riang gembira ketika itu. Hadir banyak sekali orang: para Pastor, Frater, Suster, umat Katolik;  Para pejabat pemerintahan setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama sebagai undangan. Saya merasa mendapat dukungan besar sebagai imam pertama dari paroki “Kristus Imam Agung Abadi” Sangalla’. Namun, yang membuat saya lebih berbahagia ialah kerelaan kedua orang tua mengantar dan menyerahkan saya ke hadapan Bapak Uskup untuk ditahbiskan. Ketika itu kedua orang tua belum seiman    dengan saya. Saya tahu dalam hati mereka menganggap panggilan imamat itu sesuatu yang asing dan aneh. Kesemuanya itu membuat hati saya berbunga-bunga. Segala kekhawatiran yang menghantui saya sebelum maju tahbisan lenyap seketika. Kini pengalaman indah itu sudah lewat 40 tahun, tetapi seakan kembali lagi dalam kenangan yang hidup.
Selanjutnya terkenanglah tahun-tahun saya menapaki hidup dan karya imamat.  Sebelum meninggalkan Seminari Tinggi ‘Sto. Paulus’ Yogyakarta pada bulan Desember 1974, kembali ke Sulsel untuk tahbisan, Bpk. Uskup masih menulis surat kepada saya. Dalam surat itu beliau menyatakan, sesudah tahbisan sebaiknya saya langsung kembali ke Yogya untuk merampungkan skripsi dan menempuh ujian Sarjana Lengkap pada IKIP Sanata Dharma. Namun sepulang ke Ujung Pandang dan melapor, Bpk. Uskup berkata: “Sehabis tahbisan, kamu saya butuhkan sebagai Pastor Bantu di Messawa-Mamasa (kini masuk wilayah Propinsi Sulbar)”. Saya jawab: “Baik, Mgr”. Setelah bertugas setengah tahun di Mesawa-Mamasa, saya diminta uskup pulang ke Yogya untuk maksud tersebut di atas, karena sudah ada Pastor lain yang akan mengganti di Messawa-Mamasa. Sebelum berangkat Bpk. Uskup menyampaikan, bahwa sepulangnya nanti saya akan ditugaskan di Seminari Menengah (SPC) Ujung Pandang. Akibat Ujian Pengawasan Negara yang tertunda-tunda, saya lebih lambat kembali dari rencana semula. Ketika tiba kembali di Ujung Pandang pada Februari 1976, saya melapor kepada Uskup. Ternyata rencana penugasan untuk saya sebelumnya telah berubah lagi. Dengan penuh wibawa Bpk. Uskup berkata: “Pastor Frans van Roessel, CICM (ketika itu Pemimpin Umum Kongregasi Frater Diosesan ‘Hamba-Hamba Kristus’, disingkat HHK) membutuhkan seorang pendamping dalam pembinaan calon-calon Frater. Saya meminta kesediaan Pastor untuk tugas tersebut!” Saya terperanjat. Dalam hati saya mengalami gejolak besar. Bagaimana mungkin saya seorang imam diosesan, yang usia tahbisannya baru setahun, dapat menjadi pembina calon-calon biarawan? Muncul godaan kuat dalam hati saya untuk tidak taat, alias menolak. Selama beberapa waktu saya hanya terdiam, tidak bisa bicara. Akhirnya Bpk. Uskup memecah kesunyian dengan berkata: “Barangkali Pastor masih lelah akibat tekanan tugas penyelesaian skripsi dan ujian yang tertunda-tunda. Sebaiknya Pastor mengambil libur selama beberapa waktu”. Tanpa sadar sepenuhnya keluar jawaban spontan dari mulut saya: “Mgr, saya tidak butuh libur, saya butuh retret”. Bpk. Uskup langsung menyetujui. Beberapa hari kemudian saya sudah berada di Panti Samadi ‘Ratna Miriam’, milik Suster Soc. JMJ, di Malino, untuk menjalani   retret pribadi selama seminggu. Saya membuka retret itu di kapel, bertelut di hadapan Sakramen Mahakudus … cukup lama. Hati masih tetap bergejolak, pikiran kacau diselimuti kebingungan. Kemudian, sebagai penutup, terucap bisikan ini di bibir saya: “Yesus, kumohon beri saya sebuah tanda. Apabila pada akhir retret ini saya menemukan ketenangan di hati, itu adalah tanda kehendakMu bahwa saya menerima penugasan ini. Dan saya akan menerimanya dengan tenang, dalam keyakinan Engkau akan selalu menyertai dan membuat saya mampu melaksanakan tugas ini. Tetapi kalau hati ini tetap saja bergejolak, pikiran tetap kacau, itu tanda penugasan ini tidak sejalan dengan kehendakMu. Dan saya akan menolaknya, serta siap menerima konsekuensi penolakan tersebut, juga kalau itu berarti harus meninggalkan tugas imamat”. Dari hari ke hari selama retret itu, saya mengalami ketenangan di hati yang semakin meningkat. Maka pada hari terakhir saya kembali bertelut di hadapan Sakramen Mahakudus. Kemudian menutup retret pribadi itu dengan berbisik mantap: “Fiat voluntas Tua!”, “Jadilah kehendakMu!”. Beberapa hari kemudian saya sudah ada di tempat tugas, di lingkungan Kongregasi Frater HHK.
Sekian tahun kemudian baru saya mulai menyadari, bagaimana Tuhan telah mendidik saya melalui krisis besar pertama yang saya alami ketika usia imamat saya baru genap setahun itu. Sejak itu setiap kali saya mengalami kesulitan atau masalah dalam relasi saya dengan Bpk. Uskup, secara spontan saya membawanya dalam discernment di hadirat Kristus Yesus. Dengan demikian, tanpa saya sadari sepenuhnya, relasi saya dengan Uskup tidak hanya merupakan relasi horizontal, melainkan berkembang menjadi relasi horizontal yang mendapatkan dasarnya dalam relasi vertikal dengan Kristus; menjadi sebuah relasi berciri kristosentris. Tentu hal ini harus saya tempatkan dalam konteks ajaran Vatikan II, bahwa kepenuhan imamat tidak diberikan dengan tahbisan imam, tetapi dengan tahbisan uskup (LG,21), dan bahwa para imam merupakan pembantu uskup (LG,28). Saya mengalami bahwa prinsip kristosentris dalam membangun relasi saya sebagai imam dengan uskup sangat membantu saya dalam menyikapi secara seimbang setiap persoalan atau kesulitan yang muncul dan menjauhkan saya dari reaksi berlebihan dan emosional. Secara manusiawi, ketika kita mempunyai    persoalan dengan orang lain spontan muncul mekanisme psikologis ini: Dalam pikiran kita mulai membangun argumen-argumen pembenaran diri dan bersama dengan itu juga menimpakan kesalahan pada pihak lawan. Ketika kita membawa persoalan itu di hadirat Tuhan, lama-kelamaan amarah kita surut, kita menjadi lebih tenang dan mampu mawas diri serta dapat melihat persoalannya secara lebih obyektif.

Pada tahun-tahun selanjutnya setelah pengalaman krisis imamat tersebut di atas, sebagai seorang yang masih muda yang biasanya sarat idealisme, saya merasa membutuhkan sebuah semboyan yang dapat membingkai dan mengarahkan penghayatan dan pengalaman imamat saya. Untuk itu saya pertama-tama berpaling kepada pelindung saya. Saya dilahirkan ke dalam kehidupan baru dalam Kristus dengan mengambil nama pelindung Yohannes, salah seorang Rasul dan pengarang Injil. Suatu waktu secara terus-menerus terngiang di telinga saya Yoh. 3:30, yang berbunyi: “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”. Memang kata-kata ini diucapkan oleh Yohannes Pembaptis, tetapi dicatat dalam Injil Yohannes. Maka saya segera menuliskannya dalam buku catatan saya dalam versi Latin: “ILLUM OPORTET CRESCERE, me autem minui”. Sejak itu ayat ini saya jadikan semboyan hidup imamat saya. Dalam perjalanan hidup imamat saya, saya semakin menyadari semboyan itu harus berarti apa bagi saya. Saya semakin melihat bahwa imamat itu pertama-tama bukanlah suatu posisi atau jabatan, melainkan suatu panggilan pelayanan. Imamat itu suatu panggilan pelayanan agar Yesus Kristus “makin besar, tetapi aku harus makin kecil”. Setelah menjadi uskup semboyan itu saya pertahankan.

Pengalaman indah lainnya, ialah ketika pada tahun ke-3 imamat saya, saya membaptis ibu saya, tepatnya 6 November 1977. Rupanya pengalaman pada upacara tahbisan imamat saya meninggalkan kesan mendalam pada ibu. Selanjutnya diam-diam ibu mulai belajar agama Katolik. Pada bulan November 1977 saya diminta menjadi fasilitator retret para Katekis se-Tator di Rembon. Saya mengirim kabar ke rumah, bahwa saya akan mampir. Ketika tiba di rumah, ibu meminta saya membaptis beliau. Saya menjawab, “Yang memiliki wewenang membaptis ibu adalah Pastor Paroki”. “Kalau bukan kau yang membaptis saya, saya tidak mau dibaptis”, jawabnya dengan tegas. Lalu saya menemui Pastor Paroki, yang kebetulan teman kelas saya, Pastor Stef Salenda’. Beliau langsung mengiyakan hal itu dan juga menyetujui pembaptisan diselenggarakan di rumah. Demikianlah saya membaptis ibu di rumah bersama dengan saudari kandungnya.

Ketika segala sesuatunya sudah siap dan upacara pembaptisan segera dimulai, saya bertanya: “Ibu sudah memilih nama baptis sebagai Pelindung?” “Belum”, jawabnya, “kau yang pilihkan saya”. Setelah tercenung sejenak, saya mengusulkan Maria. Beliau setuju dengan usulan nama tersebut. Saat itu saya mengalami rasa bahagia yang tak terlukiskan. Saya tersadar, Pelindung saya ialah Yohannes Rasul. Saya dibawa ke kata-kata Yesus dari atas salib: “Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya: ‘Ibu, inilah anakmu!’ Kemudian kata-Nya kepada murid-Nya: ‘Inilah ibumu!’ Dan sejak saat itu murid itu menerima dia di dalam rumahnya” (Yoh. 19:26-27). Ibu telah melahirkan saya secara biologis, tetapi kini saya, atau lebih tepat, Tuhan sudi menggunakan saya melahirkan ibu saya secara rohani, “dari air dan Roh” (Yoh. 3:5; lih. juga Tit. 3:5). Sejak saat itu saya menerima ibu ke dalam rumah saya (rumah kita): Gereja Katolik. Mulai hari itu pula ibu saya bernama lengkap Maria Tammu; Sementara adiknya memilih nama Marta, sehingga nama lengkapnya menjadi Marta Rupa’ (†).

Setelah ibu dibaptis, tinggallah seorang anggota non-Katolik dalam keluarga inti kami: ayah. Adik-adik saya (saya anak sulung) sebelumnya sudah  mengikuti saya masuk Katolik. Saya senantiasa meminta adik-adik dan kemanakan-kemanakan berdoa, agar akhirnya beliau mau bergabung dengan kami dalam Gereja Katolik. Kalau salah seorang dari kami bertanya, mengapa beliau belum mau menjadi Katolik, jawabnya selalu sama: “Saya sudah Kristen dalam hati saya”. Namun, rencana Tuhan selalu indah. Tanggal 11 Oktober 1991 Sri Paus mengangkat saya menjadi Uskup Auksilier Keuskupan Agung Ujung Pandang (KAUP). Suatu tugas yang untuknya saya merasa tidak layak dan tidak mampu, tetapi ternyata tidak bisa menolak. Demikianlah, saya ditahbiskan Uskup pada Pesta Yesus Dipersembahkan di Kenisah, 2 Februari 1992. Alkisah, ada om dan tante yang Katolik bercanda kepada ayah: “Kami ingin mengucapkan selamat atas pengangkatan anakmu menjadi Uskup, tetapi barangkali engkau tidak mau menerima ucapan selamat, karena engkau belum Katolik”. Namun, candaan itu ternyata diterima serius oleh ayah. Agaknya bulan-bulan sesudah itu merupakan masa pergulatan batin ayah, sampai akhirnya tiba pada suatu keputusan berahmat: Beliau minta dibaptis! Upacara penuh rahmat itu terlaksana pada tanggal 3 Juli 1992. Pastor Paroki mengizinkan dilangsungkan di rumah, seperti ketika ibu dibaptis hampir 15 tahun sebelumnya. Saya membaptis ayah bersama dengan adik bungsunya dan seorang paman lainnya serta tujuh anak; semuanya 10 orang. Sebelum pembaptisan dimulai, saya bertanya kepada ayah tentang nama Pelindung. Beliau minta saya yang memilihkan nama. Saya segera mengusulkan: Yosef. Beliau menyetujui usulan nama tersebut. Sejak itu ayah bernama lengkap: Yosef Tallo Tampo. Sekali lagi saya mengalami rasa bahagia di hati yang sulit tergambarkan, seperti yang saya alami ketika membaptis ibu. Betapa tidak, sebagai imam saya membaptis ibu saya. Kini sebagai Uskup saya membaptis ayah! Akhirnya, keluarga inti kami lengkap ber-pelindung-kan tokoh Keluarga Kudus: Maria dan Yosef! Puji syukur kepada Tuhan Maha Penyayang!

Kembali ke semboyan saya, “Illum Oportet Crescere”, dalam tulisan berjudul “Sekilas Kunjungan Pastoral Tahunan” di rubrik Dari Meja Uskup Agung, KOINONIA, vol. 2, no. 1, Desember 2006-Februari 2007, saya antara lain menulis sebagai berikut: “De facto tiga tahun sebelumnya (saya dilantik menjadi Uskup diosesan KAUP pada 19 Maret 1995), sejak saya ditahbiskan uskup pada 2 Februari 1992 dan diangkat menjadi uskup auksilier, saya telah menjalankan tugas pelayanan tersebut (kunjungan pastoral tahunan ke paroki-paroki). Saya mewakili uskup diosesan, Mgr. Frans van Roessel, yang karena usia dan kesehatan sudah sulit menjalankan tugas itu. Saya  harus mengakui saya banyak belajar dari tiga tahun melaksanakan tugas visitasi mewakili uskup diosesan ini. Saya terperanjat menghadapi kenyataan di lapangan, di mana kunjungan uskup dipandang sebagai kesempatan untuk meminta uskup menjadi problem solver, menyelesaikan segala macam persoalan yang ada: dari permintaan dana untuk menyelesaikan pembangunan gereja stasi ini dan itu, ke permintaan tenaga katekis, guru agama, tambahan tenaga pastor, sampai ke permohonan membuka sekolah, asrama, rumah sakit, dst., dst! Dalam usaha menjawab semua itu, saya masih dapat berkelit, bahwa saya hanyalah uskup auksilier. Maka apa saja yang belum dapat saya jawab, saya tampung untuk selanjutnya disampaikan kepada uskup diosesan. Namun, hati saya betul ciut. Saya berpikir, seandainya saya diminta menjadi uskup diosesan dalam situasi dan kondisi seperti ini, pasti saya tidak mampu. Segera juga menjadi nyata bagi saya, bahwa ketika itu Gereja lokal Keuskupan Agung Ujung Pandang (KAUP) pada dasarnya masih bersosok Gereja pra-Vatikan II, walaupun Konsili Vatikan II sudah lewat sekitar 30 tahun. Memang secara struktural telah diciptakan pelbagai badan sesuai tuntutan gambaran Gereja Vatikan II, baik pada tingkat keuskupan (dewan-dewan, komisi-komisi dan panitia) maupun pada tingkat paroki (Depa). Namun, pada kenyataannya masih tetap tertuntut berlakunya sistem kepemimpinan tunggal ala pra-Vatikan II. Akibatnya mudah timbul kekacauan dan kebingungan. Ardas KAUP hasil Pertemuan Pleno Imam se-Keuskupan 1989 tampaknya belum banyak membantu. Kemudian apa yang saya takutkan terjadi. Sri Paus mengangkat saya menjadi uskup diosesan Gereja lokal KAUP ini. Saya tidak berani melarikan diri, takut mengalami nasib seperti Yunus!” Kemudian dalam tulisan “Gereja Lokal KAMS 75 Tahun”, KOINONIA, vol. 7, no. 2, Maret-Mei 2012, saya menambahkan: “Jika Ia mau menggunakan saya sebagai alat dalam tangan-Nya, biarlah demikian. “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”.

Kemudian ketakutan yang menghantui saya sebelum diangkat uskup diosesan di Gereja lokal ini menjadi kenyataan. Dengan jujur saya harus mengakui, terdapatlah tahun-tahun ketika saya merasa tidak berdaya menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan berat dan muskil dalam tugas. Saya bahkan terbawa sampai ke tingkat kehilangan kepercayaan diri dan mengalami depresi. Hal ini menjadi latar belakang dari apa yang saya tulis, yang bernada pembelaan diri, dalam artikel “Menanti Imam Bersosok Alter Christus dari Seminarium Anging Mammiri” (dlm Angin Bertiup Ke Mana Ia Mau; 25 Tahun Seminarium Anging Mammiri, Yogyakarta, 2003; 45-76). Antara lain saya menulis: “Dalam situasi seperti tergambarkan di atas, biasanya akan timbul proses mencari ‘kambing hitam’. Siapa harus bertanggungjawab atas keadaan seperti itu? Kiranya banyak orang secara spontan akan menjawab, “Uskup!” Dan jawaban ini tidak seluruhnya salah. Hanya saja, apabila orang memahami sungguh-sungguh situasi obyektif itu, maka yang mampu menyelesaikan masalahnya pastilah bukan seorang  Uskup manusia biasa, melainkan seorang Uskup penjelmaan ilahi. Namun perlu diingat, ketika Yesus Kristus, Sang Sabda yang menjelma itu (bdk. Yoh. 1:1-18), diminta untuk menggunakan kekuasaan-Nya sebagai Penyelamat, Ia menjawab dengan memilih jalan-Nya sendiri: JALAN SALIB!” (hlm. 52-53).    

Dalam Misa Kamis Putih, 20 April 2000, saya berkonselebrasi bersama Pastor Jan van Empel CICM, di gereja Katedral Makassar. Keesokan harinya, 21 April, adalah HUT ke-82 beliau. Oleh Karena besoknya adalah Jumat Agung, maka dalam Misa Kamis Putih itu saya mendahului mendoakan beliau berkenaan dengan hari bahagia tersebut. Di sakristi sehabis Misa, beliau mengatakan sesuatu kepada saya yang membuat saya terperangah: “Ya, Mgr. mendoakan saya. Tetapi saat ini saya sangat menderita. Namun Mgr. juga akan mengalami penderitaan yang sama dalam waktu tidak terlalu lama!” Pada bulan-bulan selanjutnya apa yang dikatakan Pastor Jan itu sangat mengganggu pikiran saya. Sejak akhir November 2000 saya mulai mengalami stres, yang terus mendera pada bulan-bulan berikutnya. Akhir Januari 2001 Pastor Jan kembali ke Negeri Belanda untuk seterusnya. Stres yang menimpa saya secara berkepanjangan, lama-kelamaan membawa saya ke tingkat depresi. Saya mulai kehilangan kepercayaan diri. Ini berlanjut terus, sampai memuncak pada hari Kamis Putih, 12 April 2001. Saya memimpin Misa Krisma di gereja Katedral. Sementara menyampaikan homili, setelah kata-kata, “Seseorang bisa terperangkap dalam penjara keyakinannya sendiri, yang kemudian ternyata salah”, saya tidak mampu lagi melanjutkan. Saya merasa seperti ada jarum yang menusuk-nusuk di kepala. Saya memaksakan diri masih memberkati minyak-minyak, selanjutnya saya terduduk. Misa dilanjutkan oleh Pastor Paroki Katedral dan Sekretaris Keuskupan. Selesai Misa saya dibantu dua rekan imam kembali ke kamar. Besoknya, Jumat Agung, saya berusaha melaksanakan jalan salib pribadi di kapel Keuskupan. Saya seperti merasakan penderitaan Yesus dan hampir-hampir saja saya tidak mampu menyelesaikan sampai perhentian terakhir. Kemudian dengan terhuyung saya kembali ke kamar. Atas dorongan Dr. Hans Wewengkang, pada sore hari Minggu Paskah, 15 April 2001, saya berangkat ke Manado diantar oleh beliau sendiri, untuk proses penyembuhan. Perhatian besar dari Mgr. Jos Suwatan, MSC, Uskup Manado, sejumlah Pastor, khususnya Pastor Jan van Paassen, MSC, para Suster, dokter, dan beberapa awam, sangat membantu saya dalam proses pemulihan, yang ternyata membutuhkan waktu relatif lama. Saya sangat berterima kasih kepada mereka semua. Tanggal 5 Juni 2001 akhirnya saya dapat kembali ke Makassar, sekali lagi ditemani oleh Dr. Hans. Di bandara dijemput P. Leo  Paliling, Ekonom Keuskupan. Setelah hampir seminggu di Keuskupan, saya merasa belum fit untuk mulai bekerja. Maka pada tanggal 11 Juni saya ke Toraja untuk beristirahat tiga minggu. Tanggal 1 Juli saya kembali ke     Keuskupan. Tanggal 3 Juli saya berangkat ke Prigen, Jatim, untuk mengikuti Pernas dan rapat Dewan Pleno Komlit KWI, 4-9 Juli, sebab waktu itu saya masih menjabat Ketua Komlit KWI.

Dalam permenungan saya selanjutnya, saya menjadi sadar rupanya melalui masa-masa gelap dan berat seperti itu Tuhan mau mendidik saya, bagaimana seharusnya saya menghayati semboyan saya, Illum oportet crescere”. Saya teringat seorang penulis rohani pernah mengatakan: “Bagai emas diuji dan dimurnikan dari unsur-unsur campuran, tanpa pijar putih panas api, emas tidak pernah akan dimurnikan dan memancarkan sinar putih”. Saya tersadar telah terjatuh ke dalam apa yang oleh Henri Nouwen disebut godaan “konkretisme”. Ini adalah godaan untuk menjadikan hasil-hasil konkret dan tertentu sebagai motivasi utama untuk tugas pelayanan. Akibatnya, setelah berusaha sungguh-sungguh, bekerja keras, tetapi hasilnya tidak kelihatan, malahan tampaknya keadaan justru bertambah buruk, maka muncul kekecewaan, rasa pahit, terluka oleh hilangnya rasa percaya diri, perasaan gagal dan tidak berharga. Ketika itu saya mencoba menghibur diri dengan berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil”. Namun, ternyata hiburan itu tidak mempan!

Suatu waktu, dalam permenungan, pikiran saya menerawang ke belakang: Depresi ini berawal dari apa yang dikatakan P. Jan van Empel pada Kamis Putih, 20 April 2000, bahwa saya akan mengalami penderitaan. Ini memuncak pada Kamis Putih, 12 April 2001! Saya tersentak, rupanya ini sudah ditakdirkan akan terjadi dan sebagai manusia saya tidak berkuasa merubah takdir! Ketika pikiran ini muncul, jarum yang menusuk-nusuk di pikiran saya segera lenyap! Tetapi depresi yang berkepanjangan ternyata menyebabkan pula kelemahan fisik, yang membutuhkan waktu relatif lama untuk memulihkannya.

Saya meneruskan permenungan, mencermati pengalaman gelap itu. Pengalaman gelap itu berawal dari kekecewaan dan rasa gagal dalam tugas pelayanan, yang selanjutnya     menyebabkan hilangnya kepercayaan diri dan memunculkan rasa tidak berharga. Di sini akhirnya saya menemukan, bahwa ketika itu ternyata saya tanpa sadar berfokus pada diri sendiri, bukan pada Yesus Kristus, yang “harus makin besar”. Saya menggantungkan harga diri pada hasil-hasil atau kegagalan yang tercapai dalam tugas pelayanan, bukan pada Yesus Kristus. Saya disadarkan, saya sesungguhnya adalah seorang yang beriman kecil, yang lebih mengutamakan pemberian yang saya inginkan daripada Sang Pemberi sendiri, asal pemberian yang saya inginkan: Yesus Kristus! Sedemikian itu saya sadar, bahwa melalui pengalaman gelap itu Tuhan telah menempa dan memurnikan saya dalam pijar putih panas api, bagaimana semestinya saya menghayati dan mengamalkan semboyan saya sebagai imam dan uskup, Illum oportet crescere”. Henri Nouwen menulis: “Hanya dengan harapan seseorang dapat    mengalahkan sikap konkretisme itu, sebab   harapan tidak terarah kepada pemberian, tetapi kepada Dia yang memberikan segala sesuatu yang baik. Kita menginginkan sesuatu, tetapi kita berharap pada” (Pelayanan yang Kreatif, Yogyakarta, 1986:101).

Makassar, Awal Februari 2015


+ John Liku-Ada’


Tidak ada komentar: