Selasa, 20 Januari 2015

Refleksi 78 Tahun Ishak Ngeljaratan: BAGAI LILIN DAN GARAM


Pada tanggal 27 September 2014,  Ishak Ngeljaratan telah memasuki usia 78 tahun.  Sebagai bentuk penghargaan atas pengabdiannya yang tulus kepada negara dan Gereja, penulis terpanggil membuat suatu catatan refleksi tentang perjumpaan dengan beliau. Namun, rasanya tempat  yang disediakan tak memadai untuk menulisnya secara mendalam.  Karena itu, dalam  artikel ini penulis membatasi diri dengan mengambil posisi sebagai mantan aktivis mahasiswa Katolik. Dengan demikian tulisan ini merupakan  kesaksian penulis  tentang peran Pak Ishak dalam proses pembentukan kepribadian aktivis mahasiswa Katolik di kota Makassar.

HADIAH TUHAN
Tidak dapat dipungkiri, keberadaan Ishak Ngeljaratan dipandang sebagai rahmat/hadiah terindah Tuhan bagi Indonesia khususnya Sulsel dan gereja lokal Keuskupan Agung Makassar (KAMS). Beliau merupakan representasi pribadi yang seratus persen warga NKRI dan seratus persen warga Gereja Katolik (meminjam istilah Mgr. Soegijapranata).
Adalah fakta, Pak Ishak dikenal luas sebagai tokoh masyarakat dan tokoh Katolik. Sebagai tokoh masyarakat, beliau  selalu menyuarakan agar lima pilar kehidupan bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan tujuan nasional),  ditegakkan dalam kenyataannya.  Hal itu dapat dilakukannya melalui dialog, pertemuan ilmiah dan opini di media massa.
Sebagai tokoh Katolik, Pak Ishak secara konsisten memperjuangkan agar nilai-nilai kristiani (kasih, kejujuran dan sebagainya) menjadi semakin nyata dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, demi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune); dan beliau termasuk orang yang terlibat aktif dalam proses pembinaan para aktivis mahasiswa Katolik di Makassar.
  
ORANG TUA, GURU DAN SAHABAT
Penulis termasuk  beruntung, karena bisa bertemu dengan Pak Ishak pada saat penulis sedang dalam proses pencarian jati diri, masih muda, otak masih kosong, penuh idealisme dan semangat juang tinggi. Awal perkenalan sewaktu penulis resmi menjadi mahasiswa (S1)  Unhas, pertengahan 1986. Perkenalan berlanjut ketika penulis menjadi anggota PMKRI Cabang Makassar (1988), dan beliau sebagai  narasumber utama dalam berbagai kegiatan PMKRI.  
Di mata penulis selaku mantan aktivis mahasiswa, Pak Ishak merupakan orang tua, guru dan sahabat yang memiliki perhatian dan kepedulian tinggi dalam pembinaan generasi muda Katolik. Sebagai orang tua, Pak Ishak selalu meluangkan waktunya memberikan motivasi  kepada para aktivis mahasiswa Katolik agar “passion” sebagai pelopor perubahan sosial (agent of social change) tidak mengendor  karena berbagai macam tantangan.
Salah satu nasihat bijak Pak Ishak yakni wejangan yang berasal dari ayahnya sendiri. Demikian bunyinya,  jikalau Anda mengalami penderitaan janganlah cepat menyerah  sebab di atas setangkai mawar berduri terdapat sekuntum bunga. Jadi, hidup itu penuh perjuangan dan penderitaan tetapi yakinlah  di balik itu  terdapat kebahagiaan.
Selain itu,  Pak Ishak termasuk orang tua yang arif, bijaksana, sederhana dan rendah hati. Pada suatu kesempatan beliau hadir sebagai peserta dalam acara bedah buku di Fak.  Hukum Universitas Atma Jaya Makassar (2008). Pada waktu itu penulis meminta kesediaan Pak Ishak  menggantikan salah seorang panelis yang berhalangan  hadir. Terdorong oleh rasa ibanya kepada penulis, beliau langsung menyatakan kesediaannya.
Sebagai guru, Pak Ishak adalah seorang guru yang baik dan bertanggung jawab. Pertama, beliau memiliki kedalaman penguasaan ilmu  sesuai disiplin ilmunya (filsafat dan budaya), dan  berwawasan luas tentang masalah sosial kemasyarakatan. Kedua, meski usia sudah senja tetapi beliau tak pernah berhenti belajar, termasuk menimba ilmu dari orang  lain.  Saat jeda rapat Komisi Kerasulan Awam KAMS (5/4/14), Pak Ishak menyatakan, setiap kali mengikuti petemuan ilmiah ia manfaatkan untuk belajar dari orang lain.  
Ketiga, beliau termasuk orang yang suka membagi ilmunya secara cuma-cuma kepada orang lain, khususnya segenap aktivis mahasiswa yang bergabung di PMKRI. Termasuk keterlibatan Pak Ishak sebagai narasumber berbagai kegiatan PMKRI.  
Keempat, beliau termasuk orang yang suka mendengar dan tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Pengalaman penulis dalam berdiskusi dengan Pak Ishak, apabila terjadi perbedaan pendapat beliau berusaha menghargai pendapat yang berseberangan.  
Kelima, beliau suka berdiskusi tentang berbagai persoalan dalam kehidupan  berbangsa dan bernegara. Dalam setiap forum diskusi bersama Pak Ishak, diskusinya pasti tidak akan pernah sepi dan rasanya waktu tak cukup. Beliau selalu menawarkan ide/konsep/gagasan baru yang mendapat perhatian forum diskusi. Itulah sebabnya di kalangan aktivis mahasiswa Katolik di zamannya masing-masing,  Pak Ishak  menjadi  sumber inspirasi, sumber ilmu, tempat bertanya  dan belajar banyak hal,  ilmu pengetahuan dan keterampilan (menulis). 
Sebagai sahabat, Pak Ishak adalah seorang sahabat sejati, penuh perhatian dan  suka memberi motivasi. Suatu pengalaman menarik yang sering penulis alami, beliau secara terbuka memberikan apresiasi atas artikel penulis yang diterbitkan di koran yang telah dibacanya. Bagi penulis yang tergolong penulis pemula, memperoleh apresiasi dari seorang guru yang sudah menjadi kolumnis tentu sangat membahagiakan dan dapat membangkitkan semangat baru. 
Selain itu, Pak Ishak dikenal sebagai sahabat yang rela berkorban demi kepentingan bersama. Pada  waktu menghadiri rapat pengurus Komisi Kerasulan Awam KAMS (5/4/2014), tampaknya Pak Ishak mengalami gangguan kesehatan. Tetapi karena rapatnya penting, membahas program kerja  maka ia berusaha mengikuti rapat sampai selesai.

BAGAI LILIN DAN GARAM   
Dapat disimpulkan, Pak Ishak telah berbuat banyak bagi tanah air dan gereja, khususnya generasi muda Katolik. Beliau sebagai orang tua, guru dan sahabat yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan bahkan dirinya demi pembangunan gereja, secara khusus  pembinaan generasi muda Katolik. Pengorbanannya bagaikan lilin yang rela hancur demi menerangi sesama dan dunia dari kegelapan, dan bagaikan garam yang rela larut demi melezatkan dan mengawetkan  masakan.
Dalam kondisi Negara yang sedang dilanda krisis tokoh “identifikasi” (suri-teladan), semestinya kehadiran Pak Ishak dapat menjadi inspirasi bagi orang lain, khususnya  warga gereja lokal KAMS. Namun menjadi seperti pribadi Pak Ishak tidaklah semudah membalik telapak tangan atau terjadi dengan sendirinya (taken for granted), melainkan dibentuk melalui proses panjang, dalam lingkungan keluarga,  sosial dan  dikembangkan sendiri oleh bersangkutan.
Itulah sebabnya  dalam setiap kesempatan Pak Ishak menegaskan bahwa semestinya generasi muda Katolik sebagai warga negara, secara terus menerus membekali diri dengan minimal  5  jenis kualitas. Kelima jenis  kualitas tersebut  yakni: (1) kualitas rasional, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas;  (2) kualitas moral, memiliki kejujuran sebagai nilai utama (ultimate value); (3)  kualitas spiritual,  hidup saleh atas dasar iman;  (4)  kualitas motorik, terampil secara fisik dan psikis; (5) kualitas Ilahi, mempunyai “passion” seperti “passio Christi”.  
Kiranya  benih-benih yang telah ditaburkan Pak Ishak  akan tumbuh menjadi pohon yang rindang dengan akar,  batang dan  ranting yang kuat,  dan menghasilkan buah yang lebat.  Dalam arti, semoga pada masa mendatang akan muncul kader-kader muda Katolik yang militan, berperan sebagai lilin dan  garam bagi sesama dan dunia yang sedang dilanda kegelapan. *** Penulis: Antonius Sudirman, Anggota Komisi Kerawam KAMS

Tidak ada komentar: