Sabtu, 12 Oktober 2013

Sharing Panggilan Imamat Pastor Frans Fandy Palinoan: Panggilan sebagai Rahmat


Sejak kecil, jika ditanya tentang cita-cita, saya selalu menjawab, “Saya mau jadi pastor”. Tidak ada cita-cita yang lain. Cita-cita ini muncul dari rasa kagum saya pada pastor paroki yang tampak begitu gagah, apalagi ketika mengenakan kasulanya. Selain itu, setiap bertemu, beliau selalu menyapa umat dengan ramah, termasuk anak-anak. Cita-cita tersebut semakin dikuatkan oleh ibu saya yang selalu “promosi” kepada setiap frater, suster dan pastor yang kami temui bahwa putranya ini ingin menjadi seorang pastor.

Ketika memasuki kelas IV SD bersama dengan beberapa teman dari stasi Minanga (saat itu belum menjadi paroki tersendiri), setiap hari Sabtu saya mengikuti latihan misdinar dan kursus bahasa Inggris di Ge’tengan (pusat paroki Mengkendek). Yang mendampingi kami adalah pastor paroki dan para frater CMM. Lewat kebersamaan dengan mereka, saya dapat mengenal dan melihat dari dekat kehidupan pastor. Mereka pun mendorong saya terus-menerus untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Keinginan saya untuk menjadi seorang pastor semakin kuat. Maka ketika waktunya tiba, bersama dengan empat rekan dari SMP Katolik Minanga, kami mengikuti tes masuk Seminari Menengah St. Petrus Claver (SPC). Setelah beberapa saat menunggu saya bersama dengan tiga teman dinyatakan lulus.

Sebelum masuk SPC, saya sudah mendapat banyak informasi tentang kehidupan di sana. Misalnya, tidur tanpa kasur, semuanya serba disiplin, setiap pagi misa, dll. Maka itu, ketika masuk SPC suasananya tidak begitu asing. Apalagi di SPC kakak-kakak kelas yang berasal dari paroki Mengkendek begitu memperhatikan kami. Akan tetapi, perjuangan saya pada masa awal di seminari tidaklah mudah. Saya beberapa kali harus beristirahat di dormit (ruang tidur para seminaris) karena sakit. Belum lagi, saya terkena penyakit beri-beri yang sedang trend di SPC saat itu. Beberapa kali ibu datang dari Toraja untuk menjenguk saya. Syukurlah, ketika hendak pulang, ibu tidak pernah mengajak saya serta dan saya pun tidak pernah memintanya untuk mengajak saya pulang ke Toraja. Jika ibu mengajak pulang, mungkin kisah di bawah ini akan berbeda. 

Memasuki tahun-tahun akhir di SPC, dengan segala sisi terang dan abu-abunya sebagai seorang seminaris, saya mulai membuka diri terhadap “jalan hidup yang lain”. Apalagi beberapa teman angkatan dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak akan menjadi seorang pastor. Dalam situasi demikian, saya biasa bersharing dengan orang tua. Menanggapi hal itu, orang tua saya berpesan: “Kami tidak memaksa atau melarang kamu untuk jadi pastor. Pilihan ada di tanganmu karena kamu yang menjalaninya. Kami selalu berdoa untuk kamu”.  Pada akhir tahun ajaran, saya menetapkan pilihan untuk menjalani pendidikan menjadi seorang pastor, tepatnya menjadi pastor projo Keuskupan Agung Makassar. Maka, saya melanjutkan pembinaan di TOR dan Seminari Tinggi Anging Mammiri.

Salah satu masa pembinaan yang sungguh memperkaya saya adalah ketika menjalani Tahun Orientasi Pastoral. Lewat kebersamaan dengan pastor paroki dan segenap umat, saya menjadi sadar bahwa menjadi imam ternyata bukan hanya menjadi pelayan sakramen dan sakramentali saja tetapi juga selalu terlibat dalam suka-duka dan perjuangan umat yang dilayani, ikut ambil bagian dalam pergulatan mereka. Tentunya, itu tidak mudah. Tetapi sekali lagi, karena rahmat Allah maka saya yakin pasti bisa menjalaninya. Keyakinan ini bersandar pada motivasi panggilanku untuk menjadi seorang imam yakni untuk membagikan kepada sesama, kasih yang senantiasa diberikan Allah kepadaku. Berangkat dari kesadaran itu, saya mencoba senantiasa menghidupi motto panggilan, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut kehendakNya” (bdk. Luk 1:38). 

Akhir Kata
Setelah merefleksikan perjalanan panggilan hidup, saya menyadari bahwa panggilan menjadi imam pertama-tama bukan pilihan pribadi saya. Menjadi seorang imam merupakan rahmat atau anugerah dari Allah kepada saya. Rahmat Allahlah yang menumbuhkan panggilan dalam diriku melalui kedua orang tua dan saudara-saudariku serta para pastor yang saya jumpai, khususnya para pastor parokiku dan para formator di seminari. Rahmat Allah pulalah yang memampukanku untuk terus menghidupinya sampai saat ini. Maka itu saya berdoa, semoga Allah yang telah memulai karya baik pada diri saya, Dia pulalah yang akan tetap memberikan rahmatNya kepadaku untuk menyelesaikannya.  

Saya bersyukur kepada Tuhan atas rahmat panggilan yang diberikanNya kepadaku dalam berbagai bentuk. Saya bersyukur atas kedua orang tua dan seluruh keluarga yang senantiasa mendukung saya dengan penuh cinta, atas guru-guru saya, para pastor paroki, para formator, dan pembimbing rohani yang telah memberikan banyak “kekayaan” kepadaku. Syukur pula atas  rekan-rekan yang telah menjadi teman seperjuangan dalam berbagai macam cara. Syukur pula atas seluruh umat yang mendukung kami para calon imam dan imam. Terimakasih atas segalanya. ***

Tidak ada komentar: