Jumat, 28 September 2012

Sharing Panggilan Imamat: JUNARTO TIMBANG


1990 – 1996   : SDN 46 Pangli, Tana Toraja
1996 – 1999   : SMPN 2 Sesean, Tana Toraja
1999 – 2003   : Seminari Menengah Petrus Claver Makassar
2003 – 2004   : Tahun Orientasi Rohani Makassar 
2004 – 2008   : Studi S1 Filsafat dan Teologi di Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta
2008 – 2009 : Tahun Orientasi Pastoral di Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Makassar
2009 – 2010 : Studi Baccalaureate di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta
2010 – 2012 : Studi S2 Teologi di Fakultas Teologi Sanata Dharma Yogyakarta

Awalnya....
Saya adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, hasil cinta kasih antara Matius Timbang dan Yohana Tasin. Saat saya masih kecil, saya sering mengikuti Pembinaan Iman Anak (PIA) di Paroki St. Petrus Pangli. Sejak saat itu, saya mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Setiap ada kegiatan yang diadakan di gereja saya selalu ikut. Bahkan hampir setiap sore saya pergi ke pastoran untuk bermain dengan teman-teman atau sekedar untuk memanjat pohon jambu yang ada di belakang gereja. Mungkin hal ini juga disebabkan karena rumah saya dekat dengan gereja.
Ketika saya duduk di bangku kelas IV SD, pastor yang bertugas di paroki saya, paroki Pangli, sering mengajak saya pergi ke stasi-stasi untuk mengadakan kunjungan dan Perayaan Ekaristi (Misa). Saya sangat senang kalau pastor mengajak saya. Meskipun seringkali kami harus jalan kaki berjam-jam, kehujanan, kemalaman dan jatuh dari motor, namun saya tidak pernah menolak kalau pastor mengajak saya menemaninya. Selain saya dapat menemani pastor, saya juga bisa jalan-jalan dan mengunjungi banyak tempat. Semua stasi yang ada di paroki Sanabo (yang sekarang sudah dibagi tiga paroki: Pangli, Nanggala dan Bokin) sudah pernah saya kunjungi. Kebiasaan saya aktif di gereja dan bermain di pastoran serta kesenangan saya menemani pastor ketika mengadakan kunjungan stasi membuat saya dapat melihat kehidupan para pastor secara dekat.

Karena menyenangkan...
Satu hal yang ada di benak saya saat itu adalah bahwa hidup sebagai pastor itu sangat menyenangkan. Di pastoran banyak hal yang tersedia (dibandingkan dengan rumahku), ada yang memasakkan, bisa jalan-jalan ke mana-mana kerena punya motor, dan ketika berkunjung ke stasi atau ke rumah-rumah umat diberikan (disediakan) yang paling baik serta pastor tidak perlu repot-repot memikirkan isteri dan anak-anak. Pokoknya saya melihat kehidupan sebagai seorang pastor serba menyenangkan.
Pengalaman kedekatan dengan para pastor dan pandangan saya mengenai kehidupan para pastor yang menyenangkan membuat saya tertarik untuk menjadi seorang pastor. Sejak saat itu saya bercita-cita ingin menjadi seorang pastor dan saya pun masuk ke seminari menengah.

Berubah...
Akan tetapi pandangan saya mengeni kehidupan para pastor mulai berubah ketika saya berada di Seminari. Mata saya mulai dan semakin terbuka terhadap kehidupan para pastor. Ternyata kehidupan pastor tidak selamanya seperti yang saya bayangkan selama ini. Banyak juga masalah yang harus mereka dihadapi. Masalah dengan umat, masalah dengan lawan jenis, masalah fisik (capek dan lelah), masalah di keuskupan, serta, yang paling parah adalah, masalah dengan rekan sepanggilan. Saya berpikir untuk menjadi pastor saja susahnya bukan main apalagi kalau sudah jadi pastor.
Meskipun demikian, saya tidak pernah berpikir untuk keluar dari Seminari. Saya terus mencoba berjalan mengikuti panggilan yang saya jalani. Pandangan saya mengenai kehidupan para pastor yang sudah mulai berubah tidak membuat saya mundur dari Seminari. Saya dikuatkan dengan pernyataan bahwa di manapun kita, apapun yang kita lakukan dan sebagai apapun kita selalu mempunyai dua sisi. Selalu ada yang menyenangkan dan ada yang tidak menyenangkan. Selalu ada masalah yang harus dihadapi. Tergantung bagaimana setiap manusia menghadapi dan menganggapi masalah tersebut. Kakak saya pernah berpesan kepada saya bahwa “kita tidak bisa lari dari masalah”. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak pernah menghindari masalah melainkan menyelesaikannya.
Pernyataan tadi menguatkan saya untuk terus melanjutkan panggilan saya. Tetapi tanpa saya sadari motivasi saya untuk menjadi pastor sudah mulai berubah. Saya ingin menjadi pastor bukan lagi hanya karena saya melihat kehidupan pastor yang menyenangkan (sebab ternyata seorang pastor juga meng-hadapi banyak masalah) tetapi karena sesuatu alasan yang lain.

Panggilan itu ...
Orang mengatakan bahwa masuk Seminari dan menjadi frater atau pastor merupakan sebuah “panggilan”, panggilan untuk bekerja sebagai pelayan Tuhan. Ditinjau dari katanya, panggilan mengandung dua unsur, yaitu ‘Yang memanggil’ dan ‘yang dipanggil’. Kedua unsur inilah yang sangat berpengaruh dalam tercapainya sebuah panggilan (meskipun kadang ada unsur ketiga yang tidak kalah pengaruhnya, yakni “media” yang digunakan Allah untuk memanggil dan memilih yang terpanggil). Panggilan terjadi ketika ada subjek yang memanggil dan ada objek yang dipanggil.
Panggilan biasanya berawal dari Yang memanggil. Jika panggilan tersebut didengar oleh yang dipanggil, maka yang dipanggil akan memberikan respon, yakni menjawab atau (paling tidak) menoleh ke arah yang memanggil. Jawaban yang dipanggil bisa dilanjutkan dengan aksi, yaitu bergerak ke arah yang memanggil dan bahkan mengikuti yang memanggil itu. Aksi tersebut terjadi karena ada yang menarik dari yang memanggil itu. Suatu panggilan biasanya tidak dijawab karena yang dipanggil tidak mendengar atau sibuk dengan urusan lain.
Hal inilah yang menyadarkan saya bahwa motivasi awal saya untuk masuk seminari ternyata salah. Letak ketertarikan untuk menjalani sebuah panggilan bukan karena menyenangkan atau tidak menyenangkan, tetapi karena Subjek yang memanggil. Jika Yang memanggil itu kita kenal dan kita yakin bahwa dia pasti mau menunjukkan sesuatu yang baik kepada kita, maka kita pasti akan mengikuti panggilanNya itu. Jadi yang menarik untuk mengikuti suatu panggilan pertama-tama adalah unsur Yang memanggil. Bukan hanya menarik, bahkan unsur itu jugalah yang mengikat yang dipanggil. Panggilan menjadi seorang imam ternyata bukanlah karena keinginan saya semata, melainkan juga karena Allah yang memanggil. Saya pun semakin dikuatkan ketika membaca Injil Yohanes 6:27 yang menyatakan: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal”.

Akhir kata...
Pengkotbah mengatakan: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Segala sesuatu harus melalui proses, tidak bisa dicapai dengan begitu saja. Demikian juga halnya dengan panggilan, banyak proses yang harus dilalui. Dalam proses tersebut, manusia yang melaluinya bisa berubah, karena manusia dapat berkembang dan dinamis. Untuk melalui proses tersebut dibutuhkan, waktu, tenaga, usaha dan kerja keras serta bantuan dan dorongan dari orang lain untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Untunglah saya bisa melalui setiap jenjang yang ada, meskipun seringkali dengan jatuh bangun dan kerja keras. Semuanya itu berkat bantuan dan dukungan dari keluarga, teman-teman dan orang-orang yang ada di sekitar saya. Mereka mendukung dengan cara mereka masing-masing. Untuk itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada siapa saja atas segala bantuan, dukungan dan doanya hingga saat ini. Tuhan selalu memberkati kita semua. ***

Tidak ada komentar: