Selasa, 21 Desember 2010

Narasi SAGKI 2010: KARENA YESUS AKU BEBAS

BERKAH DALEM
Pertama-tama saya mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan, dan Keuskupan Agung Semarang (KAS) dan Panitia SAGKI 2010, atas kesempatan yang baik ini.

Wilayah Ngargomulyo, salah satu bagian dari Paroki Sumber, terkenal di sebelah barat (8 km) dari puncak Gunung Merapi. Mayoritas warga masyarakat berprofesi sebagai petani dan beternak, sebagian menjadi penggali pasir dan mencari kayu bakar di sekitar Merapi.

Saya tamatan SD Kanisius, karena tidak adanya biaya saya tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbagai pekerjaan sudah saya jalani dari buruh kasar, menjual kayu bakar, jual buah hingga MLM. Kami salah satu keluarga yang tidak punya agama dan lima kakakku masuk agama setelah menikah. Orang tuaku juga terlibat G30S/PKI, sehingga saya harus mengalami banyak tantangan dalam perjalanan hidup saya, dari cap-cap anak PKI, kafir hingga perlakuan tidak enak sampai tidak berani keluar dari lingkungan rumah kalau tidak keluar dengan orang tuaku. Karena selalu dikerjai sama kakak-kakak seumuranku. Sebagai anak yang orang tuanya telibat G30S/PKI, saya dipermainkan pada waktu mencari SKCK pada waktu mau melamar kerja di KOSIPA. Kemudian pada tahun 1991 saya memutuskan menjadi orang Katolik dan ikut ke Gereja. Karena dorongan dari kakak saya untuk memeluk salah satu agama, karena di kampungku mayoritas beragama Katolik, saya merasa tidak punya teman, ketika orang-orang pada ke gereja, apalagi di hari-hari besar. Juga setiap kali mendengar kata-kata “biadab” “tidak beragama” pada waktu nonton film G30S/PKI yang diputar setiap malam 1 Oktober ada kegelisahan dalam hati saya.

Suatu waktu terjadi kejadian yang menimpa keluargaku. Pada waktu orang-orang pada ke Gereja ada salah satu tetanggaku yang kehilangan kalung emas, lalu orang tuaku yang dituduh, karena yang tidak ke gereja. Kemudian Biyung-ku (ibu) di sidang sama Hansip, di situ biyungku disuruh mengakui, lalu dijambak, di-taboki dan dimaki-maki, “dasar Tapol”, “Gestapu” hingga mau diusir dari kampung. Keluargaku ramai jadi omongan orang. Sampai-sampai ketika saya main ke tempat anak-anak yang pada kumpul mesti sebagian pada pergi. Situasi seperti ini membuat saya tidak nyaman hingga membuat saya jarang di rumah, lebih suka main ke desa tetangga dan mulai jarang ke Gereja, dan mulai bergaul dengan teman-teman yang suka minum minuman keras, dan suka ke dukun, mendalami ilmu hitam, saya mulai berani maling hingga jambret, saya jadi mudah tersinggung dan gampang marah. Lalu suka melawan dengan orang tua. Sering mengeluarkan kata-kata kotor, memukul, menendang sama Biyung (Ibu) hingga mau membunuh Bapakku.

Tetapi Tuhan mengingatkan saya dan menolong saya. Pada waktu saya dan dua teman menjambret, kami dikepung warga dan saya loncat di bawah tebing dalam suasana takut. Tuhan menolong saya, tidak ada satupun yang mencari saya, walau saya tidak jauh dari tempat itu. Tetapi yang kedua kalinya kami tertangkap, namun berkat pertolongan teman kami tidak sampai masuk penjara, walau harus membayar sejumlah uang.

Semenjak kejadian itu kedua orang tuaku sering rebut dan saling menyalahkan dan sering marah-marah sama saya, hingga suatu ketika saya ribut dengan Bapak dan mau saya bunuh, tetapi begitu kepala Bapak mau saya sabet kapak, Bapak bilang begini pada saya “Ya kalau memang ini baik untuk kamu ya silahkan kalau mau dibunuh”. Lalu kepala Bapak ditempelkan di dada saya. Spontan dada saya terasa sesak dan tubuh gemetar lalu detak jantung kencang sekali, dan seperti ada suara yang keluar dari dalam hati saya begini, “Ini orang tuamu, Min!” Dengan perasaan bersalah dan jengkel, saya tinggalkan Bapak. Kemudian pesan Biyung (Ibu) sama kakakku, sebelum meninggal karena serangan jantung begini, “Yang sabar menjaga adikmu Gimin karena memang masih kecil”. Pesan yang menyayat hati dan memunculkan tanda tanya besar dalam hati saya. Maksud dari semua ini apa?

Dengan sikap pasrah kedua orang tuaku, saya merasa dipanggil Tuhan untuk kembali ke jalanNya. Akhirnya saya sadar dan mulai ke Gereja lagi. Panggilan untuk semakin aktif dalam kegiatan Gereja juga sangat kuat, hingga sering mengikuti rekoleksi, pendalaman iman, Mudika, hingga aktif di salah satu Parpol (Partai Politik). Saya bekerja menjadi tukang pecah sambil menggaduh sapi. Dua tahun kemudian Tuhan memberi saya jalan membeli kelapa sawit di Sumsel (Sumatera Selatan), dan dari hasil kelapa sawit itulah, perubahan secara materi saya dapatkan. Dari bangunan rumah, beli motor hingga membayar hutang, hampir 75 juta. Melihat kondisi ekonomi keluarga kami, semua itu mustahil saya dapatkan. Saya rasa semua itu sudah menjadi bagian dari rencana panggilan Tuhan untuk saya.

Kemudian setelah satu tahun lebih bersama Bapak, saya memutuskan untuk menikah, lalu pada tahun 1998 saya menerima Sakramen Baptis dan Komuni. Tubuh dan Darah Kristus memberi kekuatan baru dalam diri saya. Saya bersyukur, Tuhan masih memberi kesempatan untuk hidup, karena satu dari teman saya penjambret dibunuh massa. Kasih Tuhan mendorong saya untuk membagikan sebagian hidup saya untuk Gereja dan masyarakat, sebagai bentuk kesaksian saya.

Saya bertani dan menjadi pencoker di lokasi penambangan pasir dengan alat berat (eskavator). Hingga pada tahun 2000, Romo V. Kirjito, Pr bertugas di Paroki Sumber dan sepertinya Romo menangkap suatu keprihatinan dengan rusaknya lingkungan di sekitar Merapi yang kalau dibiarkan akan berdampak buruk pada dunia pertanian, karena daerah kami kedalaman satu meter sudah pasir. Kemudian Romo membentuk kelompok kecil 20 orang, saya salah satunya, yang kemudian setiap satu minggu sekali kumpul, namanya “Semut Merapi” yang kemudian membuat gerakan mencintai lingkungan hidup, menentang penambangan pasir dengan alat berat yang dijembatani oleh sebuah lembaga FORCIBA (Forum Cinta Bangsa). Tetapi karena situasi memanas, beberapa dari kami menjadi target tebasan pedang, kemudian Romo mengubah gerakannya, Menjadi Gerakan Masyarakat Cinta Air (GMCA) yang semakin meluas ke semua lapisan masyarakat.

Kemudian pada tahun 2001 Paroki Sumber mengadakan Gelar Budaya Merapi, berupa pentas seni yang ada di Lereng Merapi dan Dialog Budaya dan mengundang beberapa tokoh besar di antaranya Bapa Uskup Ign. Suharyo, Pr, Cak Nun, Pak Tanto Mendut (Seniman), dari Vulkanologi, dan DPRD. Kemudian Keuskupan Agung Semarang mengembangkan Pastoral Budaya di Paroki Sumber, yang memihak budaya petani, Misa Budaya, Natal Tani, Gerakan Caping Merapi, yang melibatkan berbagai keyakinan dan tokoh masyarakat, juga membentuk Tim Edukasi Iman berbasis Alam dan Budaya Edukasi Gubug Selo Merapim (EGSPI) dan Edukasi Tuk Mancur, yang mendampingi Live In yang belajar di Merapi. Enam tahun ini sudah sekitar 10 ribu lebih datang ke Merapi. Dari berbagai paguyuban, sekolah-sekolah Katolik, Negeri, Muhammadiyah, dari tingkat SMP hingga Perguruan Tinggi, dari berbagai kota di Indonesia hingga luar negeri. Dengan harapan generasi yang akan datang lebih menghargai Alam Kebudayaan Pertanian, khususnya Air, apapun profesinya. Dan membangun persaudaraan antara kota dengan desa, hingga dengan banyaknya saudara-saudara dari kota yang datang ke Merapi membuat kami bangga, dan martabat kami para petani Ndeso terangkat karena punya banyak saudara dari kota. Tidak sedikit yang masih berhubungan lewat telepon hingga datang bersama keluarga pada waktu liburan.

Sekarang Paroki Sumber dan masyarakat Merapi mulai menuai hasil dari 10 tahun Pastoral Budaya. Hubungan antara umat beragama menjadi semakin harmonis, hingga menumbuhkan sikap kecintaan masyarakat dengan Alam Merapi, yang diwujudkan dalam sebuah PERDES (Peraturan Desa) tentang lingkungan dan tidak lagi dikeluarkannya ijin penambangan pasir dengan alat berat. Mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat mengelola sampah plastik di tingkat keluarga dan sikap menghargai “yang kecil” dengan pengumpulan uang receh di tingkat keluarga yang sudah berjalan sekitar tiga tahun untuk pembangunan gedung Gereja.

Saya pribadi menjadi sadar bahwa hidup saya tidak bisa lepas dari alam, khususnya Air yang sudah lebih dulu ada sebelum yang lain diciptakan seperti yang tertulis dalam Kitab Kejadian (Kej. 1:1-2). Sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk yang hidup di muka Bumi ini, yang harus kita cintai dan kita jaga kelestariannya demi kelangsungan kehidupan semua makhluk, sebagai sikap Iman dalam mewartakan Kasih Allah. Juga membuat saya bangga, tidak lagi minder sebagai petani Ndeso. Karena profesi petani itu tidak lebih rendah dengan profesi yang lain, karena sebagai produsen yang mensuplai bahan makanan bagi semua orang. Dengan pendidikan saya yang rendah, Pastoral budaya juga menjadi sarana saya, belajar tentang arti hidup dan menambah wawasan, hingga beberapa kali saya dikasih kesempatan oleh Keuskupan Agung Semarang dalam TEPAS (Temu Pastoral), dan acara Kaum Muda, juga menjadi Komite Sekolah, Ketua LPMD dan menjadi Ketua Wilayah.

Sepuluh tahun terlibat dalam proses Pastoral Budaya membela Kebudayaan Petani, lingkungan hidup, banyak tantangan yang saya hadapi. Saya merasa ini sebagai cara Tuhan menyentuh umat. Keterlibatan saya membuat saya sebagai orang desa bangga dan tidak lagi terbebani dengan masa lalu saya. Saya hanya berharap kepada semua pihak agar lebih mencintai Alam ini dan Kebudayaan Petani, dan Gereja menjadi teman kami memihak Kebudayaan Petani, supaya ke depan generasi kami terbebas dari sebuah sistem yang tidak adil.*** Penulis: Benedictus Gimin Setyo Utomo, Paroki Sumber – Keuskupan Agung Semarang

Tidak ada komentar: