Selasa, 21 Desember 2010

Kisah Yesus di Toraja: Aluk To Dolo Menantikan Kristus

PENGANTAR

Naskah di bawah ini adalah homili yang disampaikan dalam Misa hari kedua SAGKI, Selasa, 2 Nov. 2010, bertepatan dengan Peringatan Arwah Semua Orang Beriman. SAGKI 2010 mengambil tema ‘Dia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan’ (bdk. Yoh. 10:10). Melalui tema ini, umat Katolik diajak untuk menyadari panggilannya sebagai ‘Gereja yang diutus untuk mewartakan kabar gembira Yesus Kristus, sekaligus merayakan iman akan Yesus Kristus yang mereka alami setiap hari dalam hidup bermasyarakat di Indonesia’. Ajakan ini tentu dilatar-belakangi oleh pengertian ‘misi’ menurut FABC V di Bandung, 1990: “Misi berarti berada bersama orang-orang, menjawab kebutuhan mereka, dengan kepekaan terhadap kehadiran Allah dalam kebudayaan dan tradisi agama yang lain, dan kesaksian tentang nilai-nilai Kerajaan Allah melalui kehadiran, solidaritas, berbagi pengalaman iman dan kata-kata. Misi berarti dialog dengan masyarakat miskin Asia, kebudayaan lokalnya, dan dengan tradisi agama lain”. Inilah yang dikenal dengan nama ‘tri-dialog ala khas FABC’ (Federasi Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia). Tetapi SAGKI 2010 maju selangkah lagi, dengan mengambil alih metode tradisional di Asia pada umumnya, dan di Nusantara pada khususnya, dalam mewariskan nilai-nilai kultural dan religius dari generasi ke generasi, yaitu dengan cara ber-KISAH.

Rupanya Panitia SAGKI 2010 tertartik, malahan rada penasaran, melihat tampilan upacara kematian yang sering begitu semarak di Toraja. Banyak orang terkesan sepertinya falsafah manusia Toraja ialah ‘hidup untuk mati’. Kisah apa gerangan yang ada di balik ungkapan kultural yang mencolok seperti ini? Demikianlah saya mendapat kehormatan untuk berkisah melalui homili dalam Misa Peringatan Arwah Semua Orang Beriman, 2 Nov. 2010, di hadapan para peserta SAGKI 2010. Agar kisah saya tidak dicurigai sebagai isapan jempol saya, pada akhir saya sertakan sumber-sumber utama dari mana unsur-unsur inti dalam kisah ini ditelusur.

Para peserta SAGKI 2010, Saudari/a seiman dalam Kristus Yesus!

Di abad ke-17, tepatnya pada tahun 1685, Pater Nicolas Gervaise, SJ, menerbitkan sebuah booklet, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1701 dengan judul An Historical Description of the Kingdom of Macasar in the East-Indies. Beliau memperoleh sumber informasi dari dua putera bangsawan Kesultanan Makassar yang sedang belajar dan tinggal di Kolese Jesuit di Paris. Dalam buku itu Pater Gervaise meramalkan bahwa, orang Toraja akan dengan mudah menerima Injil. Awal pewartaan Injil di kalangan orang Toraja ditandai dengan datangnya Pdt. A.A. van de Loosdrecht dari Gereformeerde Zendingsbond (GZB) pada 10 Nov. 1913. Ramalan Pater Gervaise selanjutnya menjadi kenyataan. Kini, setelah hampir seabad pewartaan Injil, sekitar 90% orang Toraja yang mendiami 3 Kabupaten (Tana Toraja, Mamasa dan Torut) memeluk Kekristenan (Protestan, Katolik, dan denominasi-denominasi baru). Berbeda dengan penyebaran Agama Islam yang sesungguhnya telah diupayakan sejak abad ke-17 dan memuncak dengan pemaksaan pada dekade 1950-an oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakhar.

Kita bertanya, apa gerangan sebabnya sehingga bisa terjadi demikian?


Rm. Thomas Cooper, salah seorang pelopor ‘teologi cerita’ telah mendaftarkan sejumlah pedoman praktis dalam menjalankan ragam teologi ini. Salah satunya berbunyi, “Dengarkanlah kisah-kisah (mite) bangsa/suku bangsa anda”. Secara populer, mite dipahami sebagai dongeng, hasil khayalan manusia. Namun para ahli berpendapat bahwa, mite tidak bersumber pada imaginasi melainkan pada realitas, sejauh sebagai sebuah realitas khusus dihayati secara intensif oleh sekelompok orang. Mite, sebagaimana didefinisikan oleh Bruno Borchert, adalah “cerita yang di dalamnya dimampatkan pengalaman-pengalaman bersama (sekelompok) manusia, dan merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kehidupan manusia”.

Nah, dengan pedoman itu kita perlu ‘mendengarkan’ mite-mite Toraja. Aluk To Dolo (=Agama Leluhur), agama asli Toraja, sangat kaya dengan kisah-kisah mitologis. Studi atas kisah-kisah mitologis itu, khususnya yang terangkum dalam Passomba Tedong, doa ritual penyucian kerbau, membawa kita menemukan adanya paham ‘sejarah keselamatan’ versi Aluk To Dolo. Sejarah keselamatan ini dimulai dengan kisah penciptaan manusia dan segala makhluk lainnya oleh Puang Matua (Tuhan). Makhluk-makhluk diciptakan dalam keadaan bersaudara. Penciptaan ini terjadi di dunia atas (lan tangngana langi’ = di tengah langit). Jadi manusia dan makhluk-makhluk lainnya berasal dari dunia atas. Kemudian oleh Puang Matua diturunkan ke bumi melalui sebuah tangga (Eran diLangi’= Tangga dari Langit) di Bamba Puang (=Pintu Tuhan), sebuah lokasi yang kini masuk wilayah Kab. Enrekang. Keadaan pada masa permulaan itu digambarkan sebagai periode ala firdaus. Hubungan erat akrab antara manusia dan Penciptanya dilambangkan dengan tetap tegaknya Eran diLangi’, yang menghubungkan surga dan bumi; melalui tangga tersebut manusia dengan mudah berkomunikasi dengan Puang Matua. Hubungan antara manusia dan Pencipta dengan sangat jelas berciri dialogis dan dijiwai semangat kekeluargaan.


Tetapi kemudian hubungan akrab ini dirusak oleh dosa manusia. Londong diRura bertegar tengkuk mengawinkan sepasang anak kandungnya, suatu pelanggaran yang tidak dapat ditolerir Puang Matua. Sebagai akibatnya Eran diLangi’ ditumbangkan dan sebagian peserta pesta perkawinan itu mati, ada yang menjadi batu, ada yang tenggelam ke dalam celah memanjang yang dalam. Untuk mereka yang mati diadakan upacara. Itulah upacara kematian yang pertama. Sejak itu Sang Pencipta menjadi seorang Puang Matua yang jauh, walaupun Dia tidak pernah meninggalkan manusia sama sekali. Dia setiap kali masih tetap dapat dihubungi lewat ritus ma’biangi (menggunakan tanda). Dan manusia setelah mati pergi ke padang bombo (=tanah jiwa-jiwa), yang disebut Puya. Puya itu dilokalisir di bumi, di mana dulu berdiri Eran diLangi’. Namun, tujuan akhir manusia bukanlah Puya melainkan surga!


Kerinduan yang tidak pernah padam akan dipulihkannya kembali hubungan erat seperti semula antara surga dan bumi akhirnya terjawab dengan inisiatif dari atas. Puang Matua mengirim seorang utusan, seorang pembaharu religius, to manurun Tamboro Langi’ (to manurun = orang yang turun dari langit). Restorasi keagamaan Tamboro Langi’ (Aluk Sanda Saratu’) secara khusus dikongkritkan dalam upacara dirapai’, bentuk tertinggi ritual kematian. Pelaksanaan upacara dirapai’ menjamin arwah orang yang meninggal itu akan beralih dari Puya dan naik ke langit (la lao langngan langi’). Tetapi upacara tersebut aslinya secara ketat hanya diperuntukkan bagi mereka dari kasta tertinggi dalam masyarakat (tana’ bulaan). Pembagian kasta dalam masyarakat di Toraja mulai dikenal sejak datangnya para tomanurun. Para tomanurun itulah, termasuk di dalamnya Tamboro Langi’, serta keturunan mereka yang menjadi anggota tana’ bulaan. Hanya kelompok inilah yang memiliki hak mengadakan upacara dirapai’, dan itu berarti hanya merekalah yang memiliki kemungkinan naik ke langit. Dan sesungguhnya dalam alam pikiran keagamaan Aluk To Dolo, hal ini dapat dipahami. Bukankah nenek moyang mereka turun dari langit sesudah Eran diLangi’ tak ada lagi? Jadi mereka dapat kembali ke langit, walaupun Eran diLangi’ belum ditegakkan kembali. Hanya saja upacara dirapai’ itu begitu mahal, sehingga tidak semua anggota tana’ bulaan mampu melaksanakannya. Karena itu Aluk Sanda Saratu’ dari Tamboro Langi’ gagal dalam mewartakan dibukanya kembali pintu surga bagi semua orang. Puya masih tetap ada di lokasi bekas kaki Eran diLangi’ sebagai tempat penampungan tetap bagi bagian terbesar manusia yang rindu kembali ke asalnya yang asli: dunia atas, surga.


Kendati Puya itu bukanlah surga, namun dalam paham Aluk To Dolo kehidupan di akhirat Puya itu lebih sejati dibandingkan dengan kehidupan di dunia sini. Itu nyata dari londe (sejenis pantun) ini:

Pa’bongian ri te lino / Semata tempat bermalamlah dunia ini

Pa’gussali-salian / Tempat tinggal sementara

Lo’ ri Puya / Nun di Puya sana

Pa’tondokan marendeng / Negeri kediaman nan sejati


Pemeluk Aluk To Dolo sangat was-was, jangan sampai sesudah meninggal tidak diperkenankan masuk Puya oleh penjaga Puya, Pong Lalondong.

Apa yang menentukan, apakah seseorang boleh atau tidak masuk ke Puya? Bukan soal, apakah hidupnya di dunia ini baik (sesuai dengan kehendak Allah) atau tidak? Dalam Aluk To Dolo tidak dikenal paham pembalasan di akhirat; yang ada ialah pembalasan di bumi. Yang menentukan ialah, apakah ritual kematiannya dipenuhi menurut aturan aluk (agama). Maka tidak terbayangkan seseorang dikuburkan tanpa upacara kematian sesuai tingkatannya. Ini menandaskan Aluk To Dolo sebagai agama kultis.

Saudari/a seiman dalam Kristus!

Hari ini tanggal 2 Nov., kita, Gereja, memperingati arwah semua orang beriman.

Dalam konteks kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo) peringatan ini sungguh bermakna:

Pada awal mula Puang Matua menciptakan manusia dan mahluk-mahluk lainnya dalam keadaan bersaudara di dunia atas (lan tangngana langi’). Kemudian Puang Matua menurunkan mereka ke bumi melalui sebuah tangga yang menghubungkan langit dan bumi (Eran diLangi’). Semula segalanya berjalan baik dalam suasana paradiso. Hubungan erat akrab antara Sang Pencipta dan ciptaanNya berlangsung terus, dilambangkan dengan tetap tegaknya Eran diLangi’ di tempatnya. Tetapi kemudian manusia jatuh ke dalam dosa (Londong diRura mengawinkan sepasang anak kandungnya). Sebagai akibatnya, hubungan akrab antara manusia dan Puang Matua, terputus (dilambangkan dengan runtuhnya Eran diLangi’), dan maut masuk ke dalam dunia. Setelah manusia meninggal, ia tidak dapat lagi kembali ke asalnya di dunia atas, di mana Puang Matua, Sang Pencipta, berdiam. Ia hanya dapat masuk Puya (Negeri Arwah), yang dilokalisir di tempat di mana dahulu Eran diLangi’ berdiri (suatu ungkapan kerinduan manusia Toraja untuk kembali ke asalnya di dunia atas, bersatu dengan Penciptanya). Kemudian harapan akan terpenuhinya kerinduan itu muncul lagi dengan datangnya to manurun Tamboro Langi’ membawa Aluk Sanda Saratu’. Namun ternyata tomanurun Tamboro Langi’ gagal menegakkan kembali Eran diLangi’. Ia hanya menjadi ‘penyelamat’ bagi keturunannya yang diupacarakan dengan ritual tertinggi kematian (dirapai’). Jadi bagian terbesar manusia Toraja yang sudah meninggal tetap tinggal di Puya, semacam tempat penantian!

Lalu datanglah INJIL, Berita Gembira:

“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Yesus, Sang Sabda itu “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). Dan “semua orang yang menerimaNya diberiNya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya” (Yoh. 1:12). Ya, Dialah Tomanurun Baru yang dinanti-nantikan. Sekaligus Dialah Eran DiLangi’ Baru: “Akulah JALAN dan kebenaran dan hidup” (Yoh. 14:6). Melalui dan dalam Yesus Kristus, manusia Aluk To Dolo tidak perlu lagi tinggal terus di Puya sesudah meninggal. Ia dapat kembali ke asalnya di dunia atas, bersatu dengan Penciptanya (surga)! Ramalan Pater Gervaise di abad ke-17, bahwa orang Toraja akan mudah menerima Injil bukanlah ramalan hampa. Sebab sesungguhnya Aluk To Dolo menantikan Yesus Kristus! Aluk To Dolo merupakan persiapan Injil (praeparatio evangelica). Hanya saja, bagi Aluk To Dolo, bukan hanya manusia yang berasal dari dunia atas melainkan juga makhluk-makhluk lainnya; pada awal mula mereka diciptakan dalam keadaan bersaudara di dunia atas. Maka yang harus kembali ke asalnya bukan manusia yang terlepas dari dunianya, melainkan manusia-dalam-dunianya. Inilah dasar dari segala pengorbanan pada upacara kematian dalam Aluk To Dolo. Yang dirindu-rindukan dalam Aluk To Dolo ialah “langit yang baru dan bumi yang baru”, di mana “maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (bdk. Why. 21:1-5). Maka mengakhiri kisah ratap bagi almarhum/almarhumah dalam “Ossoran Badong To Dirapa’i”, para pelayat bermadah doa harapan:

La sipassakkemo’ bating,

Di madah ratap ini mari kita saling memohonkan berkat,

la sibenmo’ tuo-tuo.

Kita harapkan untuk satu sama lain umur panjang.

Masakkeko kumasakke,

Semoga kau sejahtera, semoga aku sejahtera,

tabassing makole-kole.

Semoga hidup kita sama-sama bahagia selalu.

Dan kedatangan Kristus ke Toraja memenuhi doa harapan ini: Ia datang, agar manusia Toraja “mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10).

A m i n !

Wisma Kinasih, Caringin-Bogor, 2 Nov. ‘10

+ John Liku-Ada’


SUMBER:

PASSOMBA TEDONG versi Kesu’, dlm H. van der Veen, The Merok Feast of the Sa’dan Toradja, (‘s-Gravenhage, 1965): 18-155; teks ini ditranskripsi J. Tammu langsung dari seorang to minaa (ahli adat) dari Angin-Angin, Kesu’, atas permintaan H. van der Veen, seorang ahli bahasa, yang diutus GZB dari Negeri Belanda ke Toraja, dimana beliau tiba pada 16 September 1916, guna mendalami bahasa Toraja, dalam rangka mempersiapkan terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa tersebut.

PASSOMBA TEDONG versi Makale-Tallu Lembangna, manuskrip transkrip filolog Prof. C. Salombe’ dari seorang to minaa, 1979.

LONDONG DIRURA, ditranskripsi antropolog Perancis Jeannine Koubi dari seorang to minaa di Lempo, 1974, dlm. Id., Rambu Solo’ “la fumee descend”, le culte des morts chez les Toradja du Sud, (Paris, 1982): 489-491 (teks dalam bahasa asli), 331-335 (terjemahan ke dalam bah. Perancis dengan anotasi).

TANGDONA SULLE GAYANGNA BULLU MATUA, naskah sumpah pelantikan pengganti Bullu Matua (Puang Makale di Tallu Lembangna), naskah asli dan terjemahan ke dalam bah. Belanda dengan anotasi, dlm. H. van der Veen, Overleveringen en Zangen der Zuid-Toradja’s, (‘s-Gravenhage, 1979): 18-37; salah satu sumber informasi sekitar Aluk Sanda Saratu’ dari tomanurun Tamboro Langi’.

Sejumlah varian naskah BADONG (madah ratap di upacara kematian) dlm. H. van der Veen, The Sa’dan Toradja Chant for the Deceased, (‘s-Gravenhage, 1966).

Tidak ada komentar: