Sabtu, 19 Juni 2010

Pelatihan Pendamping dan Fasilitator Komunitas Basis Mahasiswa (KBM) Kevikepan Toraja

Tanggal 26-31 Mei 2010 yang lalu, Asrama Frateran CMM Ge’tengan menjadi saksi peletakan dasar “Gerakan Basis berbasis Budaya” melalui pelatihan Pendamping dan Fasilitator KBM untuk 29 peserta (dari target 36) dari berbagai kampus Perguruan Tinggi.

Pelatihan yang sebenarnya lebih tepat disebut “kaderisasi” itu membantu peserta untuk meruntuhkan berbagai mental-block mereka, membangkitkan kesadaran budaya, membangun spiritualitas kader katolik sebagai garam (siap-sedia, rela, rendah hati) dan terang (percaya-diri dan berani tampil ke depan untuk memelopori/memimpin saat dibutuhkan) dan berbagai bekal lain.

Program yang merupakan kerjasama Komisi Kateketik KWI – Bimas Katolik ini dibuka oleh Vikep Toraja, P.Frans Arring Pr, dan ditutup oleh Moderator Mahasiswa Katolik Kevikepan Toraja, P.Barto Pararak Pr.

Gerakan Basis

SAGKI (Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia) 2005 menetapkan Komunitas Basis sebagai Strategi Hidup Menggereja Abad ke-21. Sejak itu KBG ‘disosialisasikan’ dan dilokakaryakan di mana-mana. Tetapi nampaknya masih tetap tinggal di atas kertas, belum menjadi ‘gerakan’ atau aksi yang membawa perubahan nyata. Konon, dalam pantauan Komisi Kateketik KWI, barulah Keuskupan Pangkalpinang yang benar-benar sudah menerapkan strategi ini di lapangan.

Basis-basis Gereja mencakup jalur teritorial (Rukun, Stasi, Wilayah dalam suatu Paroki), jalur kategorial (wadah/organisasi: WKRI, Pemuda Katolik, THS-THM, PMKRI, KMK, Mudika, Legio Maria) dan jalur fungsional (kelompok PPK, PPA, Lektor, Pembina Sekami/Mudika, Koor, Leading Singers, dst). Semua kelompok/wadah/organisasi tersebut bisa dikembangkan ke “cara hidup” Komunitas Basis:

(1) berkumpul secara rutin untuk (2) sharing/pendalaman Kitab Suci/Ajaran (Sosial) Gereja dan Ekaristi, yang diwujud-nyatakan dalam (3) tindakan/aksi sosial bersama sebagai pelayanan di tengah masyarakat, hal-hal mana akan membuat mereka (4) semakin kompak dan sehati-sejiwa sebagai saudara sambil tetap berada dalam kesatuan dengan Gereja Lokal-Universal, sehingga (5) mereka disukai semua orang, mampu memberi kesaksian, dan membangun persaudaraan sejati dengan sesama warganegara berbeda keyakinan.

Jadi, Komunitas Basis, termasuk KB Mahasiswa, bukanlah wadah/organisasi baru, melainkan suatu cara hidup berjemaat yang mengadopsi (kembali) cara hidup Jemaat Perdana. Ditetapkan sebagai strategi, karena keyakinan bahwa dengan saling asih-asah-asuh dalam kelompok kecil (15-30-an orang) di basis-basis, pembinaan-diri umat lebih intensif untuk menajamkan sensus catholicus serentak menumbuhkan sense of mission menjadi garam dan terang di lingkungan tetangga, tempat kerja, organisasi, masyarakat luas. Itulah gagasan dasar yang melatarbelakangi model pelatihan di Ge’tengan: untuk benar-benar menggerakkan strategi Komunitas Basis, perlu “menyiapkan barisan orang-muda yang mau dan mampu mengisi/mamandu pertemuan-pertemuan rutin-tematis di basis, sebagai fasilitator”. Para trainees Ge’tengan itu disiapkan untuk mendampingi dan memandu kegiatan/pertemuan KMK di kampus-kampus dan OMK di stasi mereka. Menggerakkan perubahan dengan lebih dulu mengubah-diri (self-change: mind-set, sikap, perilaku). Maka salah satu latihan penting setiap hari adalah berpikir reflektif, membuat refleksi atas pengalaman/pembelajaran yang diperoleh. Seluruh materi pelatihan disajikan dalam Pola Proses: saling terkait secara spiral-konsentris, semakin meluas-mendalam dengan metode-metode dialogis-partisipatif-eksperiensial. Selingan ice-breakers berupa games dan lagu-lagu, menjaga dinamika suasana dan semangat peserta.

Berbasis Budaya Toraja

Masukan dan diskusi tentang Alukta dalam Konteks Baru (Ishak Ngeljaratan) dan bacaan menantang Sebuah Pesan untuk Orang Toraja di Awal Abad 21 telah memberi warna khas pada kaderisasi. Bertolak dari filosofi yang tersirat dalam sapaan “Manasumo?” budayawan Ishak Ngeljaratan berhasil membangkitkan kesadaran-budaya dan kebanggaan mahasiswa Toraja. Beliau mengangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Aluk dan Adat-Budaya Toraja yang semakin tergeser oleh gengsi dan tergusur oleh (politik) uang.

“Untuk pertama kalinya, saya benar-benar bangga sebagai putera Toraja, dan bersyukur dilahirkan sebagai orang Toraja”, demikian tulis beberapa peserta (dengan rumusan agak berbeda) dalam lembar-refleksi. Rm.Yumartana SJ, yang hadir bersama penulis sebagai SC Nasional Pelatihan dan membaca “Pesan” di atas serta mendengar presentasi Ishak, ikut “terbakar” oleh kebanggaan dan kebangkitan peserta.

Dalam waktu relatif singkat, Rm.Yu berhasil menggubah dua lagu Toraja: “Manasumo” dan “Olle-olle” (diangkat dari Pesan untuk Orang Toraja: Olle-olle … de’, Lai Rinding salle gau’, Sampe Pandin buletuk, Umbalukan tondokna tallu suku). Lagu-lagu ini dinyanyikan secara kanon, bahkan dibawakan dalam renungan dan ibadat. Olle-olle mengingatkan para kader, jangan sampai ‘menjual tanah kelahiran dan Gerejanya dengan nilai uang recehan dan menjadi penghianat yang lebih jahat dari L.Rinding, S.Pandin bahkan Judas’.

Kedua lagu ini, dan dua lagu lagi yang diciptakan Rm.Yu (Kurre Sumanga’ dan Misa’ Kada) menggema silih berganti sepanjang pelatihan sampai acara Api Unggun, dan membangkitkan tekad untuk mencintai, melestarikan dan memurnikan (kembali) nilai-nilai budaya Toraja. Bahkan muncul dalam Rumusan Profil Ideal (gambaran visioner hasil pembinaan mahasiswa Toraja 2010-2015) yang dirangkum dari enam kelompok diskusi pada topik Visi Pembinaan:

“Barisan cendekiawan muda yang menemukan jatidiri dan kebanggaan

sebagai Manusia Toraja Beriman Katolik yang percaya-diri,

tangguh, jujur, disiplin, bertanggungjawab, mandiri, terbuka-inklusif,

sehingga siap sedia membangun persaudaraan sejati dalam harmoni dengan

diri–sesama–Tuhan dan alam-lingkungan, serta mampu dan mau berperan-aktif

dalam berbagai bidang kehidupan sosial sesuai dengan kharisma dan kompetensinya”

Rumusan ini, khususnya 7 Nilai, plus nilai persaudaraan-sejati dan harmoni sebagai nilai inti (core-value), akan di-break-down ke dalam program dan tema-tema pembinaan oleh Tim Pembina Mahasiswa Toraja bersama para kader-pendamping, dan diharapkan mampu mengatasi “krisis identitas” orang-muda Toraja lantaran tercerabut dan terasing dari (nilai-nilai) budaya daerahnya.

Beberapa Rencana Aksi di sesi terakhir (mis. Teater Kampus, Festival Seni-Budaya Toraja, Lomba Cipta Lagu Toraja) menegaskan kesiapan untuk suatu Gerakan Kultural, yang niscaya bisa mendorong proses Inkulturasi. Dua peserta yang penyiar radio amatir, bertekad mengumandangkan lagu-lagu kaderisasi dan lagu-lagu Toraja yang masih akan lahir dari satu-dua kader yang berbakat, untuk ‘menularkan virus-virus Cinta-Budaya’.

Tentu saja, kuncinya ada pada Komitmen Tim & para kader untuk bertemu sekali sebulan untuk sharing sembari mengolah topik-topik bina-lanjut (postcare), dan pelaksanaan dari setiap Rencana Aksi yang sudah disepakati, bahkan dikukuhkan dalam “Pernyataan Komitmen” dalam Misa Pengutusan yang diucapkan lantang didahului kordinator kader terpilih, Deli.

Pelatihan semi-spartan ini dipandu oleh 2 unit panitia: OC (Organizing Committee: Fr.Norbert CMM sebagai ketua, bersama Ignas, Stev, Cecil) dan SC (Steering Committee: Philips, Rm.Yumartana SJ, P.Barto, Henny Konda, Daniel Risbianto). Kedua unit ini punya tugas masing-masing, tetapi amat kompak, karena keenam orang-muda di OC/SC itu adalah alumni pelatihan serupa di Malino, Agustus 2009 dan P. Barto TOT Klender Mei 2009. *** Penulis: Philips Tangdilintin

Tidak ada komentar: