Sabtu, 19 Juni 2010

Dari Masalah ‘Anak Masa Lampau Dalam Diri Setiap Orang’ ke Kehadiran TV di Rumah: Sebuah Renungan Mengenai Keluarga Dewasa Ini

Pengantar
Pada tahun 2007 yang lalu Komisi Keluarga KWI mengadakan survei di beberapa keuskupan. Hasilnya sungguh mengejutkan. Antara lain ditemukan hanya 68% pasutri Katolik yang menyatakan bahwa harapan mereka membentuk keluarga terpenuhi. Itu berarti ada 32% keluarga Katolik (hampir sepertiga, 1 di antara 3!) sedang bermasalah. Penemuan ini kiranya menjelaskan gejala makin banyaknya kasus-kasus perkawinan yang disampaikan ke Tribunal di keuskupan-keuskupan.

Gejala memprihatinkan di atas mendorong Dewan Imam Keuskupan Agung kita dalam rapatnya, 25-27 November 2008, mengangkat bidang keluarga sebagai salah satu dari 4 bidang prioritas program pastoral beberapa tahun ke depan (tiga bidang lainnya: pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial politik). Diputuskan mengadakan survei yang mencakup 4 bidang tersebut di seluruh keuskupan, dan hasilnya kemudian dibahas dalam rapat pertama Dewan Imam 2009 (5-7 Mei). Selanjutnya disepakati untuk terlebih dahulu memfokuskan perhatian pada dua bidang: pendidikan dan keluarga. Pembahasan lebih lanjut 2 bidang itu dalam rapat Dewan Imam kedua 2009 (24-26 November) mengikutsertakan pula unit-unit/kelompok-kelompok kategorial terkait, dan dievaluasi lagi dalam rapat pertama Dewan Imam 2010 baru-baru ini (18-20 Mei), di mana pengurus Komkel dan Komdik Diosesan mengambil bagian.

Semua menyadari bahwa upaya mengatasi masalah dan tantangan berat dan kompleks serta meningkatkan mutu hidup keluarga dewasa ini haruslah merupakan suatu gerakan BERSAMA. Kebetulan juga tema APP Nasional 2010 menyangkut Keluarga: “Kesejatian Hidup dalam Keluarga”. Maka Surat Puasa KAMS 2010 juga membahas tema tersebut. Kami percaya tema itu telah menjadi bahan permenungan selama masa Prapaskah di kelompok basis, rukun, stasi, dst. Tetapi gerakan itu tidak boleh berhenti dengan selesainya masa Prapaskah. Gerakan itu harus berkelanjutan. Dalam rangka mendukung gerakan berkelanjutan itu, renungan singkat mengenai dua permasalahan besar menyangkut keluarga dewasa ini disajikan.

Masalah ‘Anak Masa Lampau dalam Diri Setiap Orang’
Kemajuan teknologi membawa persoalan besar yang mempengaruhi sikap, mentalitas, dan gaya hidup seseorang dan juga relasi antara suami dan isteri. Ketika terjadi konflik di antara pasutri yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam relasi, terkesan dengan mudah suami-isteri memutuskan ikatan perkawinan. Kecuali itu, konflik yang terjadi antara suami-isteri memperlihatkan ketidakdewasaan dan ketidakmatangan pribadi yang kelihatannya merupakan letupan sikap egois pribadi suami-isteri. Namun, betulkah demikian?

Gejala menunjukkan bahwa kasus-kasus perkawinan tidak kurang yang melanda pasangan suami-isteri yang usia perkawinannya masih balita (di bawah lima tahun). Tetapi kiranya tidak benar bahwa ketika mulai muncul masalah, sesegera itu juga mereka langsung berpikir untuk bercerai. Umumnya toh mereka berusaha keras untuk setia pada janji pernikahan mereka. Tetapi ketika persoalan itu berlanjut terus, tidak kunjung lenyap, maka keretakan makin membesar. Masing-masing pihak saling mempersalahkan. Keluhan yang kerap terdengar ialah, “Ia bukan lagi yang dulu saya kenal sebelum kami menikah!” Mimpi sebelum menikah akan hidup berkeluarga yang berbahagia ternyata tidak terwujud. Ketika kekecewaan demi kekecewaan sudah menggunung, nasehat untuk tetap setia pada janji perkawinan tidak akan mempan.

Barangkali keluarga-keluarga Indonesia dewasa ini sedang dilanda persoalan yang secara gamblang diulas dalam buku klasik yang ditulis psikiater terkemuka Amerika W. Hugh Missildine, M.D., Your Inner Child of the Past, (Simon & Schuster Inc., New York, 1963). Pada bagian Prakata buku itu Missildine menulis: "Buku ini mencoba menerangkan Anda kepada Anda sendiri sehingga Anda dapat hidup dengan diri Anda dan orang lain secara lebih penuh, lebih bebas dan lebih menyenangkan. Menerangkan Anda kepada Anda sendiri bukanlah pekerjaan yang ringan karena tiada seorangpun yang sungguh mengerti Anda sebaik-baiknya. Kebenaran, khususnya menyangkut perasaan dan perilaku manusia, adalah sesuatu yang sangat sukar dipahami; sebagaimana dikatakan Sto. Paulus, "Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar" (1 Kor. 13:12). Untuk menulis kebenaran lengkap mengenai Anda dan hidup Anda saya harus menunggu selama bertahun-tahun untuk beratus-ratus ahli ilmu pengetahuan demi mendapatkan hasil-hasil dari beribu-ribu eksperimen. Tetapi juga sesudah itu boleh jadi kita hanya akan "melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar".

Selanjutnya, Bab 1 buku itu dia buka dengan kata-kata berikut: "Di suatu tempat, suatu waktu, anda adalah seorang kanak-kanak. Ini adalah salah satu sebutan persamaan yang sangat jelas, kelihatan tak berarti dan terlupakan dari kehidupan dewasa. Namun kenyataan bahwa anda pernah adalah seorang kanak-kanak mempunyai suatu sangkut paut penting pada kehidupan anda sekarang ini. Dalam mencoba menjadi orang dewasa kita berupaya secara keliru mengabaikan hidup kita sebagai anak-anak, melalaikan masa kanak-kanak kita dan melenyapkannya dari pertimbangan-pertimbangan mengenai diri kita dan orang lain. Inilah penyebab mendasar dari banyak kesusahan dan ketakbahagiaan orang dewasa. Ini suatu cara memperlakukan salah diri kita".

Teori Missildine ialah bahwa dalam diri setiap orang dewasa, berapapun usianya, tetap hadir pribadi lain, yang ia sebut 'inner child of the past'. Maka ketika sepasang manusia menikah, di situ tersangkut tidak hanya dua melainkan empat pribadi; dan karenanya ranjang perkawinan menjadi terlalu sesak karena di sana ada empat orang. Selama masa pacaran dan bulan madu 'inner child of the past' masing-masing belum tampil ke depan. Tetapi ketika hidup berkeluarga mulai berjalan dalam rutinitasya, 'inner child of the past' masing-masing mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, sikap-sikap, cara berperilaku dan hasrat-hasratnya secara lebih penuh daripada dalam setiap situasi lainnya. la boleh jadi, secara harafiah, berteriak meronta atas setiap frustrasi dan mogok dari setiap tugas, ribut dan meledak dalam kemarahan, atau menarik diri ke dalam silentium dingin. Itu sebabnya keluhan paling biasa yang terdengar tentang pasangan perkawinan ialah: "la sangat kekanak-kanakan" atau "la berlaku seperti anak kecil".

Mengapa ini terjadi? Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun sebagai psikiater, Missildine menjawab: "Ini terjadi karena perkawinan dan pendirian sebuah rumah tangga menjanjikan dipulihkannya lagi perasaan-perasaan 'at home' yang menyenangkan dan familier dari masa kanak-kanak, dan 'inner child of the past' dalam baik suami maupun isteri menyerbu tampil ke permukaan. Ini sebabnya mengapa sering muncul konflik pahit atas apa yang kelihatannya sepele dalam perkawinan. Missildine memberi banyak contoh dalam hal ini. Misalnya, sepasang suami-isteri muda yang mendatangi dia untuk berkonsultasi, karena sang suami melepas sepatu saat pulang ke rumah dan berjalan kian kemari dalam rumah hanya dengan kaos kaki. Hal ini melukai perasaan isterinya. Sang isteri merasa hal ini menunjukkan betapa ia tak menghargai rumah mereka. "Dia tidak melepas sepatu di kantor. Hanya di rumah! Dasar orang tak punya standar!" keluh si isteri. "Mengapa saya harus repot-repot mengurus ruang tamu kelihatan indah, jika dia dengan seenaknya mondar-mandir di dalamnya dengan memakai kaos kaki?" Suaminya berkata, "Astaga, apa yang salah dengan berlaku rileks di rumah sendiri?" Konflik soal kaki berkaos kaki lawan kaki bersepatu ini jelas hanyalah bagian kelihatan dari gunung es konflik antar mereka berdua. Diskusi tentang rumah mereka di masa lampau, rumah mereka di masa kanak-kanak, kemudian memperjelas bahwa masing-masingnya sedang berusaha membangun duplikat rumah masa lampau tersebut. Sang suami lahir dan bertumbuh di sebuah rumah (keluarga) di mana ayah bekerja keras sepanjang hari, pulang ke rumah, lepas sepatu dan dibuat senang oleh penyambutan dan pelayanan penuh kasih sayang sang isteri. Sedangkan si isteri telah bertumbuh di sebuah keluarga dengan standar ketat pemeliharaan kebersihan dan kerapian rumah tangga; di mana tak seorang pun masuk ke ruang tamu kecuali pada kesempatan-kesempatan hampir formal, dan di mana, kehendak si ibu diikuti dengan sangat teliti oleh sang ayah. Dalam hidup perkawinan "anak masa lampau" masing-masing pihak rindu mendapatkan hal-hal yang persis sama dengan yang dulu mereka peroleh dan alami di rumah masa kanak-kanak mereka. Ketika masing-masing memahami secara lebih mendalam "anak masa lampau" pasangannya, gunung es konflik dan ketidakpuasan mereka pelan-pelan mencair.
Saya tergoda untuk bertanya, apakah persoalan dan tantangan yang sedang melanda hidup perkawinan di Indonesia dewasa ini pada dasarnya tidak sama dengan yang dikemukakan Missildine di atas? Kalau persoalan dasarnya sama, maka solusi normatif, dengan mengharuskan begitu saja pasutri untuk setia pada janji perkawinannya, tak akan menyelesaikan masalah. Missildine menyimpulkan:
“Banyak kesusahan, keletihan, kesepian dan kekosongan batin dapat dihilangkan apabila orang memiliki suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana hidup secara berhasil dengan ‘anak masa lampau dalam diri’ mereka. Pemahaman demikian dapat membantu pasutri memenuhi kebutuhan satu sama lain secara lebih penuh. Ini juga membantu orangtua menciptakan masa kanak-kanak bagi anak-anak mereka yang bebas dari sikap-sikap yang menumpuk kesulitan di masa depan”.
Pengaruh Kehadiran TV di Rumah
Kehadiran TV dalam keluarga, yang sudah begitu menyebar sampai ke pelosok-pelosok, kiranya perlu mendapat perhatian memadai. Dari pengamatan saya yang terbatas, dan karenanya bisa salah, kehadiran TV dalam keluarga telah merubah sungguh-sungguh sosok kehidupan dalam keluarga: Rumah tidak lagi menjadi pusat hidup keluarga sebagai komunitas inti, melainkan sekedar sebagai tempat menginap setiap anggota keluarga. Setiap hari, dari pagi sampai siang/sore, anggota keluarga berada di luar rumah, orang tua pergi kerja (di kampung: ke kebun, sawah, dst.), anak-anak ke sekolah. Ketika pulang ke rumah sebagian anggota keluarga langsung duduk di depan TV, kecuali ibu yang harus sibuk di dapur siapkan makanan. Hampir tidak ada lagi waktu untuk bersama: berbicara bersama, berekreasi bersama, berdoa bersama; bahkan untuk makan bersama pun tidak ada, karena ketika tiba waktu makan, masing-masing ambil makanannya sendiri-sendiri, lalu kembali duduk di depan TV sambil makan. Pada malam hari, anggota keluarga yang sudah ngantuk pergi tidur, yang lain tetap tinggal nonton. Pagi hari masing-masing buru-buru ke tempat kerja, ke sekolah. Dengan situasi seperti itu, keluarga tidak dapat lagi berfungsi sebagai SEKOLAH PERTAMA, dan rumah sendiri telah berubah menjadi sekedar tempat menginap/mengaso anggota keluarga.

Kembali ke TV, pernah ditayangkan sebuah dialog interaktif, di mana ada yang mengatakan bahwa tayangan-tayangan di TV kita sekitar 80-an persen mengenai kekerasan, sekitar 70-an persen tentang seks; belum disebut kejahatan-kejahatan lain, seperti korupsi, makelar kasus, makelar pajak, dst. Salah satu tayangan yang konon paling banyak disukai ialah apa yang disebut infotainment. Isinya banyak mengenai gosip-gosip percintaan, selingkuh, keretakan keluarga para selebriti dan para elit, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi hiburan bagi para pemirsa. Tentulah selebriti atau elit yang bersangkutan, keluarganya, khususnya anak-anaknya menderita karena musibah semacam itu. Jadi pada hakekatnya para pemirsa dihibur dengan penderitaan orang lain. Ini tanpa disadari membentuk mentalitas masyarakat, khususnya mentalitas di kalangan anak-anak dan remaja. Di tengah mentalitas seperti itu nilai-nilai manusiawi dan kristiani, seperti solidaritas, bela rasa, semangat berkorban, kejujuran, kesetiaan, dst, merupakan barang asing.
Dengan demikian persoalan pertama dan utama yang dihadapi ialah, BAGAIMANA menciptakan prakondisi yang memungkinkan terwujudnya pendidikan iman dan moral dalam keluarga? Lalu saya teringat akan pengalaman kecil ketika di tahun 1982 saya mengikuti kursus bahasa Jerman di Prien am Chiemsee, sebuah kota kecil di Jerman Selatan. Kami para peserta kursus dibagi-bagi dan tinggal di keluarga-keluarga. Saya mendapat keluarga yang terdiri dari tiga generasi: kakek-nenek, ayah-ibu dan dua anak yang masih kecil dan masih duduk di bangku SD. Di situ saya menyaksikan apa yang dimaksud dengan disiplin dalam keluarga-keluarga Jerman. Pagi sampai siang kedua anak itu di sekolah. Sore hari mereka sudah tahu jadwal teratur: waktu untuk bermain di luar rumah bersama teman-teman, waktu untuk menonton TV, waktu untuk belajar, waktu untuk makan bersama keluarga, waktu pergi tidur. Acara TV yang boleh ditonton anak-anak juga sudah diseleksi: tayangan khusus untuk anak-anak. Kadangkala saya lihat tayangan yang sangat menarik anak-anak itu belum selesai, tetapi waktu yang ditentukan untuk mulai belajar sudah tiba. Kalau anak-anak itu terus menonton, maka salah satu dari kakek atau nenek, ayah atau ibu masuk ruang TV dan mengingatkan kedua anak itu dengan menunjuk pada jam di tangan. Kedua anak itu segera mematikan TV dan masuk kamar masing-masing: mulai belajar!
Lalu saya bertanya dalam hati, berapa banyak keluarga Indonesia dewasa ini mampu mempraktekkan pola disiplin hidup keluarga seperti itu: menjaga agar rumah tetap berfungsi sebagai pusat hidup komunitas keluarga, mampu mengatur waktu menonton TV dan menyeleksi tayangan-tayangan yang boleh ditonton anak-anak?

Ziarah di Soppeng, 27-28 Mei baru-baru ini mengambil tema “Meneladani Keteguhan Bunda Maria Membangun Kesejatian Hidup dalam Keluarga”. Dalam Misa malam hari, sesudah prosesi doa Rosario, saya memusatkan homili pada isu pertama di atas, masalah ‘anak masa lampau dalam diri setiap orang’. Sedangkan dalam homili Misa Penutupan Ziarah pada siang hari, saya memusatkan renungan pada ‘pengaruh kehadiran TV dalam keluarga’. Saya melemparkan pertanyaan itu, dan minta peziarah yang mempraktekkan pola disiplin itu dalam keluarga mereka mengangkat tangan. Ternyata ada seorang ibu yang mengangkat tangan. Saya berseru: “Puji Tuhan!” Alangkah baiknya sekiranya setiap keluarga Katolik dapat seperti itu! Kecuali itu, pendidikan iman dan moral dalam keluarga perlu ditunjang melalui program pastoral pendampingan keluarga di setiap paroki. Bina Iman Anak melalui kegiatan-kegiatan Sekami perlu didukung para orangtua dan ditingkatkan terus-menerus.

Tuhan memberkati kita semua!
Makassar, awal Juni 2010
+ John Liku-Ada'

Tidak ada komentar: