Jumat, 26 September 2008

Dari Munas IX UNINDO: Kristenisasi Budaya Toraja atau Torajasasi Iman Kristen?


Mencegah Salah Paham, Memantapkan Upaya Inkulturasi
Rubrik ‘Dari Meja Uskup Agung’ KOINONIA kita vol. 3, no. 3 yang lalu menurunkan tema berjudul “Perjumpaan Injil dan Budaya: Inkulturasi Iman”. Tulisan itu dibuat atas permintaan Redaksi “untuk mengantar para imam dan umat memasuki Munas IX UNIO Indonesia” yang direncanakan diselenggarakan di Makassar dan Tana Toraja, 4-10 Agustus 2008. Kalau Munas VIII di Palasari, Bali (2005) berfokus pada “berpastoral berdasarkan data”, maka Munas IX ini berpusat pada “berpastoral inkulturatif”. Dan agar tidak melulu bersifat teoritis melainkan lebih ‘membumi’, SC (steering committee, red.) berani membatasi, dan dengan demikian lebih mengkongkritkan, tema itu pada “Menemukan Benih-Benih Sabda di Tana Toraja”. Bagi para peserta Munas yang datang dari setiap Keuskupan di seluruh Indonesia, pergumulan atas tema ini dimaksudkan sebagai sampel untuk berpastoral inkulturatif selanjutnya di Keuskupan asal masing-masing.

Kini Munas tersebut sudah lewat lebih sebulan. Sesungguhnya Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar, khususnya Gereja Katolik di Tana Toraja, adalah pihak yang paling diuntungkan dengan pilihan sampel tersebut. Apakah keuntungan tersebut dapat menjadi kenyataan, akan tergantung pada bagaimana kita secara benar menindaklanjuti ‘benih-benih’ yang ditemukan dalam rangkaian kegiatan Munas itu. Dalam arah inilah kita sengaja mengangkat pertanyaan menggelitik di atas. Pertanyaan tersebut diajukan oleh seorang imam peserta Munas, yang adalah seorang antropolog budaya. Kita mendapat kesan beliau mempunyai kekhawatiran, jangan-jangan upaya inkulturasi yang dicanangkan Gereja Katolik justru merusak budaya (baca: budaya Toraja).

Kekhawatiran semacam itu dapat menimbulkan salah paham yang mudah tersebar, dan karenanya akan berdampak negatif bagi upaya inkulturasi yang sedang digiatkan Gereja (Katolik). Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah klarifikasi meyakinkan bahwa inkulturasi sama sekali tidak merupakan ancaman bagi budaya yang bersangkutan. Malahan sebaliknya, akan memperkaya budaya yang bersangkutan, sebagaimana juga akan memperkaya Gereja (universal). Inkulturasi harus dimengerti secara utuh sebagai: proses integrasi pengalaman Kristiani sebuah Gereja lokal ke dalam kebudayaan setempat, sedemikian rupa sehingga pengalaman tersebut tidak hanya mengungkapkan diri di dalam unsur-unsur kebudayaan bersangkutan, melainkan juga menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan memperbaharui kebudayaan bersangkutan, dan dengan demikian menciptakan suatu kesatuan dan ‘communio’ baru, tidak hanya di dalam kebudayaan tersebut, melainkan juga sebagai sesuatu yang memperkaya Gereja universal.

Pertanyaan hakiki inkulturasi ialah, bagaimana seorang dan kelompok orang (=Gereja setempat) menghayati dan mengungkapkan iman Kristennya dalam budayanya sendiri. Dengan demikian inkulturasi tidak dapat tidak akan berlangsung dengan sendirinya ketika orang / kelompok orang Kristiani dari budaya tertentu secara serius mau menghayati dan mengamalkan iman Kristennya dalam hidup kongkrit mereka. Semakin banyak orang dari budaya bersangkutan menjadi anggota Gereja, khususnya ketika semakin banyak yang menjadi imam pelayan umat setempat, maka proses inkulturasi juga akan semakin diperkuat. Sungguh perlu diperhatikan bahwa, inkulturasi itu menyangkut orang / kelompok orang (=Gereja setempat) dari budaya tertentu, dan tidak langsung menyangkut budaya tersebut pada dirinya sendiri. Gereja setempat berupaya menghayati dan mengungkapkan imannya secara kontekstual, dalam budayanya sendiri.

Khusus bagi Gereja Katolik di Tana Toraja, sebuah upaya inkulturasi yang berhasil akan melahirkan suatu versi baru budaya Toraja, di samping versi-versi lainnya yang sudah ada. Ini tidak akan dipandang oleh masyarakat Toraja sebagai ancaman, melainkan sebuah sesuatu yang memperkaya totalitas budaya mereka. Mengapa bisa demikian? Kiranya Stanislaus Sandarupa, PhD., Dosen Antropologi Linguistik Fak. Sastra Unhas, benar ketika beliau menyatakan, bahwa salah satu kearifan lokal utama warisan nenek moyang orang Toraja ialah ciri “kesatuan sebagai totalitas yang mengandung keberagaman, sehingga piawai dalam mengorganisir perbedaan”. “Secara keluar”, demikian ditulis Stanis selanjutnya, “budaya Toraja memperlihatkan kesatuan, namun secara ke dalam terjadi keberagaman multiversi. Budaya Toraja menekankan bukan organisasi keseragaman melainkan organisasi perbedaan. Masyarakat Toraja yang berpenduduk 400.000 orang (1,5 juta orang di tanah rantau) merupakan satu kelompok etnis kecil di Sulawesi Selatan. Namun, mereka mempunyai satu sistem pikir dan sistem ritus unik yang tetap dipertahankan. Dalam tradisi itu mereka sangat menghargai keberagaman / perbedaan, seperti yang ada dalam ungkapan pantan lembang pantan serekan bane’ (“masing-masing punya negeri masing-masing punya praktik ritus”). Kalau masyarakat Toraja mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, itu bukan karena minoritasnya, melainkan karena mereka sudah terbiasa hidup dalam keberagaman (diversitas)” (Buku Panduan Seminar Budaya Toraja “Menemukan Benih-Benih Sabda di Toraja”; Munas IX UNIO Indonesia, Toraja, 9 Agustus 2008:95).

Torajasasi Pengalaman Iman Kristiani
Sebagai suatu proses menuju integrasi, dalam kegiatan inkulturasi dapat diperbedakan tiga tahap utama yang berkesinambungan: terjemahan, asimilasi, dan transformasi.
Dengan tahap terjemahan dimaksudkan tahap permulaan, di mana Gereja berkontak dengan suatu kebudayaan baru sambil memperkenalkan pesan dan hidup Kristiani yang sudah terdapat dalam wujud kebudayaan lain (secara garis-besar dalam sejarah: dari budaya Yahudi (semit) ke Yunani-Romawi atau Barat ke budaya-budaya dunia lainnya). Pesan dan hidup Kristiani itu diterjemahkan ke dalam bahasa setempat, dengan adaptasi terbatas di sana sini. Pada tahap selanjutnya berlangsunglah proses asimilasi. Di sini Gereja semakin mengasimilasikan diri pada kebudayaan setempat. Banyak unsur dari kebudayaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) diambil alih ke dalam kehidupan Gereja.

Kini tampaknya Gereja Katolik di Tana Toraja sedang berada pada tahap asimilasi ini. Kita melihat sekian banyak unsur budaya asli Toraja telah diambil alih ke dalam kehidupan Gereja. Barangkali hal itu paling jelas di bidang ritual kematian (rambu solo’): bentuk upacara liturgis kematian orang Katolik hampir seluruhnya serupa dengan ritual kematian asli Toraja. Tetapi hal ini juga tidak kurang jelas di bidang ritual menyangkut kehidupan (rambu tuka’), misalnya pemberkatan rumah tongkonan (mangrara tongkonan) dan syukuran panen di lingkungan Katolik. Di bidang arsitektur, semakin banyak gedung gereja Katolik yang mengambil alih arsitektur asli tongkonan; demikian pula ukiran-ukirannya. Tidak itu saja! Bahkan tabernakel, tempat menyimpan Sakramen Mahakudus, Tubuh Kristus, di sejumlah gereja mengambil bentuk lumbung asli Toraja. Lumbung adalah tempat menyimpan padi: Dan dalam budaya religius Toraja, padi adalah sumber kehidupan manusia (bdk. perikop Takkebuku, moyang padi, dalam Passomba Tedong). Nah, bagi orang Kristen (Katolik) Kristuslah sumber kehidupan sejati, yang telah menyerahkan tubuh-Nya menjadi makanan bagi kita! Selanjutnya, cara hidup umat Kristen perdana (Kis. 2:41-47), yang oleh SAGKI 2000 dicanangkan sebagai cara baru hidup menggereja di Indonesia, dengan nama Komunitas Basis, sesungguhnya telah lama dipraktekkan umat Katolik di Toraja dengan mengambil alih bentuk organisasi sosial basis asli Toraja, yang disebut saroan (di wilayah tertentu dipakai nama lain). Sedemikian itu, maka kita sungguh dapat berbicara mengenai torajasasi kehidupan iman Gereja.

Tentu saja proses torajanisasi yang sedang berlangsung berkelanjutan tersebut perlu dilandasi dan dikawal dengan refleksi teologis yang cermat. Ini demi mencegah “semua bentuk sinkretisme dan partikularisme palsu” (AG,22). Untuk itu Gereja universal memberikan pedoman umum dan praktis, berupa metode tiga langkah berikut: Dalam mengambil alih manifestasi-manifestasi budaya dan keagamaan setempat (ritus, upacara atau pesta, simbol-simbol, dll) ke dalam penggunaan gerejawi perlulah (a) pertama-tama diusahakan memurnikan manifestasi-manifestasi tersebut dari unsur-unsur takhyul dan magis; lalu (b) menerima yang baik atau yang sudah dimurnikan; dan dengan demikian (c) memberi makna baru kepadanya, dengan mengangkatnya ke dalam kepenuhan Kristiani. Untuk menjelaskan metode tiga langkah ini, kita ambil lagi contoh klasik itu mengenai perayaan Natal, hari kelahiran Yesus Kristus pada 25 Desember. Secara historis tanggal kelahiran Yesus Kristus tidak diketahui. Kitab Suci sendiri tidak mencatat hal itu. Diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember itu aslinya dalam kekaisaran Romawi dirayakan sebagai hari besar Mahadewa Terang, yaitu Matahari. Ketika agama Kristen mulai berkembang di wilayah kekaisaran Romawi, orang Kristen tidak mau menerima Matahari sebagai Mahadewa Terang. Mereka tahu matahari itu ciptaan Tuhan. Bagi orang Kristen Maha Terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus. Maka melalui metode 3 langkah di atas hari besar 25 Desember diambil alih ke dalam penggunaan Gereja: merayakan peristiwa inkarnasi Sang Sabda, Terang Dunia; kini disebut Natal. Pada langkah pertama, hari besar 25 Desember dibersihkan dari unsur takhyul (matahari ditolak sebagai Dewa Terang); lalu 25 Desember diterima (langkah kedua); dan diberi makna baru: peristiwa inkarnasi Terang dunia (langkah ketiga).

Kristenisasi Budaya Toraja
Apabila proses asimilasi, yang di atas kita istilahkan “torajasasi kehidupan iman Kristiani (Gereja)”, berjalan baik, maka lama-kelamaan iman Kristiani akan tertanam dan mulai berfungsi normatif dalam memberi orientasi baru terhadap kebudayaan Toraja (dalam lingkungan Gereja Katolik di Toraja). Inilah tahap ke-3 dalam proses inkulturasi: tahap transformasi. Pada tahap ini kita akan menemukan terbentuknya suatu Komunitas Katolik baru khas Toraja; sebuah communio dinamis, terus-menerus berkembang dalam kekhasannya, tidak hanya pada bidang pengungkapan eksternal (seperti bentuk-bentuk liturgi dan ibadat), melainkan juga pada bidang refleksi iman (teologi) serta pada bidang sikap dasar dan praksis iman (spiritualitas). Ekspresi khas Toraja pengalaman Kristiani ini pada gilirannya memperkaya baik eksistensi budaya Toraja sendiri maupun Gereja Katolik semesta. Sebagaimana telah dicoba digali melalui sebuah penelaahan teologis dalam tulisan saya berjudul “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo dalam konteks Pancasila”, terdapat kemungkinan saling memperkaya cukup luas di bidang teologi. Tulisan tersebut direncanakan dimuat dalam buku Komisi Teologi KWI tentang perjumpaan nilai-nilai Kristiani dan Pancasila.

Dalam communio Katolik khas Toraja yang sedang dalam proses pembentukannya itu tentu saja iman Katolik harus berfungsi normatif. Di dalamnya iman Katolik-lah yang menjadi ukuran; ia memberi orientasi dan makna baru. Sekedar contoh, korban harta benda, khususnya korban hewan, pada upacara kematian Katolik tak boleh lagi dianggap sebagai bekal (kinallo lalan) ke akhirat seperti dalam Aluk To Dolo. Bekal orang beriman Katolik ke akhirat ialah tubuh Kristus (Ekaristi). Keselamatan di akhirat tidak ditentukan oleh pelaksanaan aluk (ritual kematian), melainkan oleh Kristus, Penyelamat satu-satunya. Dan dengan demikian sesungguhnya pengorbanan berlebih-lebihan pada ritual kematian orang Katolik tidak mempunyai landasan imani Katolik. Paling-paling itu dapat dipahami sebagai pelestarian adat-istiadat; tetapi merupakan tradisi yang sangat memberatkan dari segi ekonomi bagi keluarga yang bersangkutan. Di sini orang-orang Katolik Toraja tidak boleh lupa akan peringatan keras Yesus: “Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat-istiadat sendiri” (Mrk. 7:9).

Akhir Kata
Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa rumusan pertanyaan, yang dipinjam menjadi judul tulisan ini, adalah salah. Diambil dalam pengertiannya yang benar dan utuh, inkulturasi tidak mengenal pilihan “atau…atau…”, “atau Torajasasi pengalaman iman Kristen atau Kristenisasi budaya Toraja”. Dalam proses menuju integrasi final kedua hal itu berlangsung. “Torajanisasi” terlebih akan menonjol dalam tahap kedua (asimilasi), sedangkan “Kristenisasi” akan lebih berfungsi menentukan pada tahap ketiga (transformasi). Di ujung proses inkulturasi itu akan terjadi integrasi pada dua segi, yaitu: integrasi iman dan hidup Kristiani ke dalam kebudayaan Toraja, dan integrasi ekspresi pengalaman Kristiani khas Toraja ke dalam hidup Gereja universal.

Semoga Sang Sabda yang telah menjelma lebih 2000 tahun lalu ke dalam budaya Yahudi, semakin berinkarnasi pula ke dalam budaya Toraja, “demi kemuliaan Tuhan…dan kebahagiaan manusia” (LG,17; AG,9).

Makassar, Medio September 2008
+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: