Jumat, 26 September 2008

50 Tahun HHK Kini dan Akan Datang

Merefleksi Sejarah
“Fugit hora”; Waktu lari berjalan kencang, itulah yang terjadi kini dan di sini ketika kongregasi sudah berusia 50 tahun. Melihat sejarah 50 tahun kongregasi, kita boleh menaruh harapan akan kuasa Allah seperti yang dikatakan oleh Paulus: “cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahan kuasaKu menjadi sempurna (2Kor.12:9a). Bahwa kongregasi mengakui kelemahan, bukan untuk menyerah dalam keputusasaan, melainkan untuk mempercayakan diri kepada Yesus, Hamba Yahwe yang Mahakuasa, maka kongregasi harus yakin, bahwa Tuhan akan memperlihatkan kekuasaanNya terhadap kita. Bersama Paulus, kongregasi boleh mengatakan, “…terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:9b-10). Mengingat mereka yang pernah menggabungkan diri dengan kongregasi dan yang sesudahnya meninggalkan kongregasi, mungkin dapat mencemaskan kongregasi. Tetapi bukan jumlah yang penting, melainkan mutunya. Ketika “banyak murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia” (Yoh.6:66) Yesus tidak mendesak mereka supaya mereka kembali, tetapi sebaliknya memberikan kesempatan penuh kepada kedua belas rasul itu juga melepaskan Dia dengan berkata : “apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh.6:67). Yesus hanya perlu mereka yang mengikutinya dengan suka rela dan yang mempercayakan diri kepadaNya dengan meniru kata-kata St.Petrus : “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? (Yoh.6:68a)

Tantangan terbesar selama perjalanan 50 tahun kongregasi ini adalah mencari identitasnya di tanah kelahirannya sendiri. Bahwa memang Schneiders seperti yang tertuang dalam dekrit pendirian : “quo pii adolescents, ex his regionibus orti” bahwa kongregasi ini diperuntukkan untuk mendidik orang-orang ‘saleh’ yang berasal dari daerah ini, mesti ditafsir secara baru dalam konteks. Ada persoalan mendasar yang menjadi refleksi menyeluruh, bahwa benar jika pada akhirnya kongregasi ini tercabut dari akarnya mengingat fakta sejarah saat ini adalah: “ex his regionibus orti” semakin hilang bahkan untuk tidak mengatakan hampir punah. Kini angin perubahan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II di mana orang sudah mencari jalan pembaruan “Aggiornamento”. Wawasan hidup kongregasi pun ditantang. Membuka diri selebar-lebarnya terhadap perubahan. Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang dinubuatkan oleh Yesus sendiri: “jika engkau pergi ke salah satu rumah, dan orang itu tidak menerimamu, pergilah ke tempat yang lain, dan jika tuan rumah itu menerimamu, maka tinggalah di situ” (Mrk. 6:11-12). Kalau mau diekstremkan kalimat ini sebagai berikut: “Kalau di tanah kelahiranmu sendiri sudah tidak mendapat tempat lagi, pergilah ke daerah yang lain yang bisa menerimamu”. Dan barangkali benar Sabda Yesus: “seorang nabi tidak dihargai di negerinya sendiri”. Refleksi teologis inilah yang memberanikan kongregasi untuk: “Pergi, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20). Memaknai perutusan dalam konteks kini adalah untuk tidak terikat pada ruang dan waktu. Tempat hanyalah soal situasi saja. “kemana pun engkau Kuutus haruslah engkau pergi”. Pergi, tidak berarti harus tercabut dari akarnya, tetapi tetap memberikan pertumbuhan agar jangan sampai kehilangan jejak sejarah.

Sesuatu yang positif kini adalah beragamnya jumlah anggota yang berasal dari berbagai daerah dan suku dengan jumlah 116 orang. Tentu saja ini merupakan kekuatan dari kongregasi ini. Keragaman anggota menjadikan kekayaan budaya yang pada gilirannya keragaman cara pikir untuk tidak saja diwarnai oleh satu budaya saja. Setidaknya Schneiders dan van Roessel tersenyum bangga bahwa kini kongregasi di usianya yang ke-50 pada tahun 2008 ini sudah sangat majemuk, dan karena kemajemukannya itu mampu menembus batas-batas dan sekat ruang dan waktu. Suatu keyakinan akan tumbuh berkembang dan memberikan pertumbuhan sampai senja terbuka lebar bersama dan dalam Dia yang telah memberikan pertumbuhannya. Tidaklah berlebihan jika kini kami ingin memadahkan: ”kalian telah menanam, kami memelihara dan merawatnya tetapi Allah memberikan pertumbuhannya”. Suatu pengendapan penghayatan spiritualitas yang melebur dalam pengabdian kerasulan di berbagai tempat akan terus terpancar dan memberi daya hidup kepada dunia. Hal ini sejalan dengan gerak maju bersama hasil refleksi kritis dalam dua kapitel terakhir kongregasi yaitu menjadi “Pelita Pembawa Terang” (Mat.6:22). Pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu, menjadi titik refleksi untuk terus tumbuh dan berkembang. Sejarah adalah refleksi kehidupan dalam konteks kekinian. Dari situ kongregasi bisa menatap masa depan secara baru bersama Yesus Hamba Yahwe yang memberi jalan paripurna dalam totalitas kesetiaan pada Sang Sumber Kehidupan yaitu Allah sendiri.

Duc In Altum
Berpikir secara baru memampukan Kongregasi untuk berani ‘menyeberang’ lebih jauh lagi, sehingga tidak hanya menjadi penonton di pinggiran saja. “Bukankah di bagian yang agak dalam terdapat banyak ikan?” Jangan takut tenggelam. Karena jikalau Kongregasi takut tenggelam, maka Kongregasi tetap akan tidak tahu berenang dan hanya berada di pinggir pantai saja. Berusahalah untuk berenang, bahkan sekalipun ke tempat yang paling dalam. “Aku menyertaimu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat.28:19). Hal ini jika kita mengertinya berdasarkan perkembangan zaman ini. Kongregasi hidup di tengah dunia dan berjalan melawan arus kehidupan dunia, berarti Kongregasi harus berjuang agar tidak tertabrak dengan cara "masuk dan berenang di dalam arus kehidupan itu". Ini berarti Kongregasi perlu merenungkan kembali amanat perutusan Yesus bagi kita; "Pergilah ke seluruh dunia dan baptislah semua orang dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus (Mat 28:19-20). Pesan Yesus ini disertai dengan suatu tenaga istimewa dalam hidup dan karya Kongregasi yakni Kongregasi diurapi oleh Allah dengan Roh-Nya seperti yang dinyatakan Allah kepada Yesus sendiri (Mat 12:18-21).

Maklumat Yesus ini merupakan suatu motivasi bagi Kongregasi untuk berani berenang ke tempat yang lebih dalam lagi (Duc in Altum). Berarti Kongregasi harus berani untuk berenang dan basah. Tetapi janganlah takut karena Allah tak pernah meninggalkan hambaNya yang telah diurapiNya; “lihat, itu hambaKu yang kupilih, yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan” .
Menginspirasi Musa yang berhasil membawa umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir dengan menyeberangi Laut Merah, maka Kongregasi pun harus punya niat dan berusaha untuk membawa Kongregasi ‘menyeberang’. Berani mencoba untuk berenang, sebab dengan berenang kita akan bisa menghindari diri dari banjir dan arus yang datang melanda tiba-tiba.

"Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam lagi" (Luk 5:4) dalam kontkes ini bertolak lebih dalam di daerah Gereja Lokal KAMS tetapi juga bertolak lebih dalam lagi di daerah misi baru merupakan suatu ajakan bagi Kongregasi untuk semakin "setia" dan membawa warta Injil keluar dan membangun "hidup baru yang lain" di daerah lain. Pergilah ke seluruh dunia, itulah yang harus Kongregasi wujud-nyatakan. Dengan perahu layar (Phinisi) Kongregasi mesti berani berlayar. Phinisi pasti akan membawa Kongregasi ke tempat tujuan yang jelas jika Kongregasi mengendalikannya dengan baik, penuh semangat dan penuh harapan dengan berharap pada Kuasa Allah. Karena Yesus berkata bahwa "Ikan yang banyak ada di tempat yang dalam" (bdk.Luk 5:6), maka Kongregasi perlu dan harus berlayar ke tempat yang dalam itu, ke tempat yang terjanji.

Untuk keluar dan bertolak ke tempat yang dalam (tanah misi lain), Kongregasi tidak hanya terpaku dan berkutat pada bidang pendidikan saja. Kongregasi bisa keluar dengan membawa misi pelayanan lain yang sesuai konteks ruang dan waktu. Penafsiran mengenai spiritualitas pendiri, harus ditafsir secara mendalam dan sesuai dengan pemikiran ke depan yang relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sikap keberanian pendiri harus Kongregasi hidupi dalam karya dan pelayanan. Seorang hamba yang ingin hidup lebih baik, harus berani melawan arus dunia yang menantang, untuk mencari dan memperoleh suatu kehidupan baru. Seorang Hamba Kristus harus berani memperjuangkan dan menyebarluaskan Kabar Gembira itu kepada semua orang. Warta Kerajaan Allah dan perjuangan hak orang-orang kecil harus menjadi prioritas utama dan fokus pekerjaan Kongregasi. Dalam konstitusi dirumuskan sebagai berikut;. "Kita berjalan untuk menyapa mereka yang tidak terkena tindak keadilan dan kebenaran dalam segala bentuknya”. (Konst. pasal 18).

50 tahun telah berlalu, tahun emas telah berlalu pula, namun “zaman keemasan” masih belum nampak dalam sejarah kongregasi. Kongregasi dapat menyetujui bahwa “zaman keemasan” kongregasi hanya ada bila kongregasi sudah mencapai tujuan. Sejalan dengan falsafah orang Makassar, “Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai”. Juga merupakan falsafah hidup kongregasi HHK, sekali layar berkiprah di bumi Sulawesi maka pantang patah menyerah, bahkan dua atau tiga pulau akan terjangkau. Paling tidak, dari perubahan yang sudah dan sedang terjadi pada saat ini, kongregasi telah berani mengepakkan sayap dalam tugas perutusan bukan hanya di Sulawesi tetapi di belahan lain Nusantara, bahkan mulai menapaki dunia.
Sebagai seorang Hamba-hamba Kristus yang memiliki semboyan, Ad omne Opus Bonum Paratus, akan siap menerjang badai. Maka sudah selayaknya, di usia setengah abad ini, kongregasi kembangkan sayap selebar-lebarnyanya agar tidak tenggelam dalam pengaruh zaman. Hal ini senada dengan gerakan konsili Vatikan II yang mengusung tema pembaruan: “Aggiornamento”.

HHK kini dan akan datang

Kami ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata Mgr. Frans Van Roessel, Pemimpin umum pertama kongregasi; “Masa lampau telah membuktikan kongregasi kita sanggup, walaupun kekurangan-kekurangan tetap ada. Masa depan akan membuktikan kongregasi kita sanggup berjalan terus dan berdasarkan pengalaman, sanggup mengadakan perubahan dan pencerahan dari masa ke masa”. Maka bila ditanyakan bagaimana masa depan Kongregasi Hamba Hamba Kristus, jawabannya jelas: Kongregasi akan tetap mempunyai masa depan dan berkembang, bila tetap setia pada spiritualitas pengabdiannya, karena dunia dari zaman mana pun selalu membutuhkan pengabdian yang jujur dan tanpa pamrih. Berdasarkan spiritualitas pengabdian itu, ruang hidup dan gerak pelayanan Kongregasi Hamba Hamba Kristus selalu akan terbuka dan terus akan berkembang menembus ruang dan waktu.

Di usia 50 pada tahun 2008 ini, sebetulnya permintaan akan pelayanan dari berbagai pihak kepada Kongregasi masih banyak jumlahnya, tetapi Kongregasi tidak dapat memenuhi, misalnya Flores Timur, Kalimantan, dan yang terakhir adalah Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Agung Marauke. Jumlah anggota perlu memadai dengan jumlah rumah komunitas maka Kongregasi akan membuat skala prioritas pelayanan dan daerah misi. Kiranya kongregasi akan mendapatkan kesulitan jika jumlah tempat berkarya terlalu banyak tidak sebanding dengan jumlah anggotanya, demikianlah pertimbangannya. Kendati orang dapat memperhitungkan kehandalan tiap pribadi frater Hamba Kristus, hidup komunitas perlu dapat berkembang bersama dengan jumlah anggota komunitas yang tidak terlalu sedikit. Seseorang memerlukan pula dukungan dari konfrater sekomunitasnya. Memang kadang-kadang ada semacam bentuk pelayanan yang sangat berarti dan tidak mudah ditolak, sehingga meski satu anggotapun dimungkinkan untuk hidup di lingkup komunitas yang bukan HHK, seperti misalnya yang pernah terjadi untuk pelayanan pastoral di Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar, daerah misi Labuan Bajo yang dalam beberapa waktu hanya satu orang, juga yang sekarang terjadi di Surabaya dan Harvard University, USA. Kedua komunitas terakhir ini walaupun bukan komunitas karya namun toh mereka bisa hidup dan tetap menjadi Pelita Pembawa Terang dalam lingkup hidup dan studi mereka.

Dengan penuh optimis akan penyertaan Allah dan berdasarkan spiritualitas pengabdian kongregasi mampu melewati arus zaman yang selalu menawarkan berbagai perubahan dalam pelbagai bentuk, percobaan-percobaan yang berat datang silih berganti, namun tetap dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai berbuah lebat. Kini Taman itu telah bertunas bahkan telah menjadi pohon yang rindang sehingga membuat orang bisa berteduh di bawahnya. Tidak perlu meratapi, menangisi semua malapetaka baik pribadi maupun kelompok yang sudah terjadi. Semua akan terjadi lagi bahkan lebih hebat lagi, tapi hanya ada satu yang akan tinggal: “Biji harus mati untuk tumbuh hidup yang baru”.

Jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kemauan Mgr. Schneiders dan Mgr. van Roessel, maka cepat atau lambat Kongregasi ini akan mati. Tapi jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kehendak Allah, maka badai dan topan sedahsyat apapun tidak akan menggoyahkan langkah hidupnya, karena yang memegang kemudi adalah Tuhan sendiri. *** Penulis:
erefleksi Sejarah
“Fugit hora”; Waktu lari berjalan kencang, itulah yang terjadi kini dan di sini ketika kongregasi sudah berusia 50 tahun. Melihat sejarah 50 tahun kongregasi, kita boleh menaruh harapan akan kuasa Allah seperti yang dikatakan oleh Paulus: “cukuplah kasih karuniaKu bagimu sebab justru dalam kelemahan kuasaKu menjadi sempurna (2Kor.12:9a). Bahwa kongregasi mengakui kelemahan, bukan untuk menyerah dalam keputusasaan, melainkan untuk mempercayakan diri kepada Yesus, Hamba Yahwe yang Mahakuasa, maka kongregasi harus yakin, bahwa Tuhan akan memperlihatkan kekuasaanNya terhadap kita. Bersama Paulus, kongregasi boleh mengatakan, “…terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus, sebab jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor. 12:9b-10). Mengingat mereka yang pernah menggabungkan diri dengan kongregasi dan yang sesudahnya meninggalkan kongregasi, mungkin dapat mencemaskan kongregasi. Tetapi bukan jumlah yang penting, melainkan mutunya. Ketika “banyak murid mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia” (Yoh.6:66) Yesus tidak mendesak mereka supaya mereka kembali, tetapi sebaliknya memberikan kesempatan penuh kepada kedua belas rasul itu juga melepaskan Dia dengan berkata : “apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh.6:67). Yesus hanya perlu mereka yang mengikutinya dengan suka rela dan yang mempercayakan diri kepadaNya dengan meniru kata-kata St.Petrus : “Tuhan, kepada siapa kami akan pergi? (Yoh.6:68a)
Tantangan terbesar selama perjalanan 50 tahun kongregasi ini adalah mencari identitasnya di tanah kelahirannya sendiri. Bahwa memang Schneiders seperti yang tertuang dalam dekrit pendirian : “quo pii adolescents, ex his regionibus orti” bahwa kongregasi ini diperuntukkan untuk mendidik orang-orang ‘saleh’ yang berasal dari daerah ini, mesti ditafsir secara baru dalam konteks. Ada persoalan mendasar yang menjadi refleksi menyeluruh, bahwa benar jika pada akhirnya kongregasi ini tercabut dari akarnya mengingat fakta sejarah saat ini adalah: “ex his regionibus orti” semakin hilang bahkan untuk tidak mengatakan hampir punah. Kini angin perubahan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II di mana orang sudah mencari jalan pembaruan “ Aggiornamento”. Wawasan hidup kongregasi pun ditantang. Membuka diri selebar-lebarnya terhadap perubahan. Hal ini tentu saja sejalan dengan apa yang dinubuatkan oleh Yesus sendiri: “jika engkau pergi ke salah satu rumah, dan orang itu tidak menerimamu, pergilah ke tempat yang lain, dan jika tuan rumah itu menerimamu, maka tinggalah di situ” (Mrk. 6:11-12). Kalau mau diekstremkan kalimat ini sebagai berikut: “Kalau di tanah kelahiranmu sendiri sudah tidak mendapat tempat lagi, pergilah ke daerah yang lain yang bisa menerimamu”. Dan barangkali benar Sabda Yesus: “seorang nabi tidak dihargai di negerinya sendiri”. Refleksi teologis inilah yang memberanikan kongregasi untuk: “Pergi, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman." (Mat. 28:19-20). Memaknai perutusan dalam konteks kini adalah untuk tidak terikat pada ruang dan waktu. Tempat hanyalah soal situasi saja. “kemana pun engkau Kuutus haruslah engkau pergi”. Pergi, tidak berarti harus tercabut dari akarnya, tetapi tetap memberikan pertumbuhan agar jangan sampai kehilangan jejak sejarah.
Sesuatu yang positif kini adalah beragamnya jumlah anggota yang berasal dari berbagai daerah dan suku dengan jumlah 116 orang. Tentu saja ini merupakan kekuatan dari kongregasi ini. Keragaman anggota menjadikan kekayaan budaya yang pada gilirannya keragaman cara pikir untuk tidak saja diwarnai oleh satu budaya saja. Setidaknya Schneiders dan van Roessel tersenyum bangga bahwa kini kongregasi di usianya yang ke-50 pada tahun 2008 ini sudah sangat majemuk, dan karena kemajemukannya itu mampu menembus batas-batas dan sekat ruang dan waktu. Suatu keyakinan akan tumbuh berkembang dan memberikan pertumbuhan sampai senja terbuka lebar bersama dan dalam Dia yang telah memberikan pertumbuhannya. Tidaklah berlebihan jika kini kami ingin memadahkan: ”kalian telah menanam, kami memelihara dan merawatnya tetapi Allah memberikan pertumbuhannya”. Suatu pengendapan penghayatan spiritualitas yang melebur dalam pengabdian kerasulan di berbagai tempat akan terus terpancar dan memberi daya hidup kepada dunia. Hal ini sejalan dengan gerak maju bersama hasil refleksi kritis dalam dua kapitel terakhir kongregasi yaitu menjadi “Pelita Pembawa Terang” (Mat.6:22). Pengalaman-pengalaman sejarah masa lalu, menjadi titik refleksi untuk terus tumbuh dan berkembang. Sejarah adalah refleksi kehidupan dalam konteks kekinian. Dari situ kongregasi bisa menatap masa depan secara baru bersama Yesus Hamba Yahwe yang memberi jalan paripurna dalam totalitas kesetiaan pada Sang Sumber Kehidupan yaitu Allah sendiri.

Duc In Altum
Berpikir secara baru memampukan Kongregasi untuk berani ‘menyeberang’ lebih jauh lagi, sehingga tidak hanya menjadi penonton di pinggiran saja. “Bukankah di bagian yang agak dalam terdapat banyak ikan?” Jangan takut tenggelam. Karena jikalau Kongregasi takut tenggelam, maka Kongregasi tetap akan tidak tahu berenang dan hanya berada di pinggir pantai saja. Berusahalah untuk berenang, bahkan sekalipun ke tempat yang paling dalam. “Aku menyertaimu senantiasa sampai akhir zaman” (Mat.28:19). Hal ini jika kita mengertinya berdasarkan perkembangan zaman ini. Kongregasi hidup di tengah dunia dan berjalan melawan arus kehidupan dunia, berarti Kongregasi harus berjuang agar tidak tertabrak dengan cara "masuk dan berenang di dalam arus kehidupan itu". Ini berarti Kongregasi perlu merenungkan kembali amanat perutusan Yesus bagi kita; "Pergilah ke seluruh dunia dan baptislah semua orang dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus (Mat 28:19-20). Pesan Yesus ini disertai dengan suatu tenaga istimewa dalam hidup dan karya Kongregasi yakni Kongregasi diurapi oleh Allah dengan Roh-Nya seperti yang dinyatakan Allah kepada Yesus sendiri (Mat 12:18-21). Maklumat Yesus ini merupakan suatu motivasi bagi Kongregasi untuk berani berenang ke tempat yang lebih dalam lagi (Duc in Altum). Berarti Kongregasi harus berani untuk berenang dan basah. Tetapi janganlah takut karena Allah tak pernah meninggalkan hambaNya yang telah diurapiNya; “lihat, itu hambaKu yang kupilih, yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan” .
Menginspirasi Musa yang berhasil membawa umat Israel keluar dari perbudakan di Mesir dengan menyeberangi Laut Merah, maka Kongregasi pun harus punya niat dan berusaha untuk membawa Kongregasi ‘menyeberang’. Berani mencoba untuk berenang, sebab dengan berenang kita akan bisa menghindari diri dari banjir dan arus yang datang melanda tiba-tiba.
"Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam lagi" (Luk 5:4) dalam kontkes ini bertolak lebih dalam di daerah Gereja Lokal KAMS tetapi juga bertolak lebih dalam lagi di daerah misi baru merupakan suatu ajakan bagi Kongregasi untuk semakin "setia" dan membawa warta Injil keluar dan membangun "hidup baru yang lain" di daerah lain. Pergilah ke seluruh dunia, itulah yang harus Kongregasi wujud-nyatakan. Dengan perahu layar (Phinisi) Kongregasi mesti berani berlayar. Phinisi pasti akan membawa Kongregasi ke tempat tujuan yang jelas jika Kongregasi mengendalikannya dengan baik, penuh semangat dan penuh harapan dengan berharap pada Kuasa Allah. Karena Yesus berkata bahwa "Ikan yang banyak ada di tempat yang dalam" (bdk.Luk 5:6), maka Kongregasi perlu dan harus berlayar ke tempat yang dalam itu, ke tempat yang terjanji.
Untuk keluar dan bertolak ke tempat yang dalam (tanah misi lain), Kongregasi tidak hanya terpaku dan berkutat pada bidang pendidikan saja. Kongregasi bisa keluar dengan membawa misi pelayanan lain yang sesuai konteks ruang dan waktu. Penafsiran mengenai spiritualitas pendiri, harus ditafsir secara mendalam dan sesuai dengan pemikiran ke depan yang relevan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Sikap keberanian pendiri harus Kongregasi hidupi dalam karya dan pelayanan. Seorang hamba yang ingin hidup lebih baik, harus berani melawan arus dunia yang menantang, untuk mencari dan memperoleh suatu kehidupan baru. Seorang Hamba Kristus harus berani memperjuangkan dan menyebarluaskan Kabar Gembira itu kepada semua orang. Warta Kerajaan Allah dan perjuangan hak orang-orang kecil harus menjadi prioritas utama dan fokus pekerjaan Kongregasi. Dalam konstitusi dirumuskan sebagai berikut;. "Kita berjalan untuk menyapa mereka yang tidak terkena tindak keadilan dan kebenaran dalam segala bentuknya”. (Konst. pasal 18).
50 tahun telah berlalu, tahun emas telah berlalu pula, namun “zaman keemasan” masih belum nampak dalam sejarah kongregasi. Kongregasi dapat menyetujui bahwa “zaman keemasan” kongregasi hanya ada bila kongregasi sudah mencapai tujuan. Sejalan dengan falsafah orang Makassar, “Sekali layar terkembang, pantang surut biduk ke pantai”. Juga merupakan falsafah hidup kongregasi HHK, sekali layar berkiprah di bumi Sulawesi maka pantang patah menyerah, bahkan dua atau tiga pulau akan terjangkau. Paling tidak, dari perubahan yang sudah dan sedang terjadi pada saat ini, kongregasi telah berani mengepakkan sayap dalam tugas perutusan bukan hanya di Sulawesi tetapi di belahan lain Nusantara, bahkan mulai menapaki dunia.
Sebagai seorang Hamba-hamba Kristus yang memiliki semboyan, Ad omne Opus Bonum Paratus, akan siap menerjang badai. Maka sudah selayaknya, di usia setengah abad ini, kongregasi kembangkan sayap selebar-lebarnyanya agar tidak tenggelam dalam pengaruh zaman. Hal ini senada dengan gerakan konsili Vatikan II yang mengusung tema pembaruan: “Aggiornamento”.

HHK kini dan akan datang
Kami ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip kata-kata Mgr. Frans Van Roessel, Pemimpin umum pertama kongregasi; “Masa lampau telah membuktikan kongregasi kita sanggup, walaupun kekurangan-kekurangan tetap ada. Masa depan akan membuktikan kongregasi kita sanggup berjalan terus dan berdasarkan pengalaman, sanggup mengadakan perubahan dan pencerahan dari masa ke masa”. Maka bila ditanyakan bagaimana masa depan Kongregasi Hamba Hamba Kristus, jawabannya jelas: Kongregasi akan tetap mempunyai masa depan dan berkembang, bila tetap setia pada spiritualitas pengabdiannya, karena dunia dari zaman mana pun selalu membutuhkan pengabdian yang jujur dan tanpa pamrih. Berdasarkan spiritualitas pengabdian itu, ruang hidup dan gerak pelayanan Kongregasi Hamba Hamba Kristus selalu akan terbuka dan terus akan berkembang menembus ruang dan waktu.
Di usia 50 pada tahun 2008 ini, sebetulnya permintaan akan pelayanan dari berbagai pihak kepada Kongregasi masih banyak jumlahnya, tetapi Kongregasi tidak dapat memenuhi, misalnya Flores Timur, Kalimantan, dan yang terakhir adalah Keuskupan Agung Ende dan Keuskupan Agung Marauke. Jumlah anggota perlu memadai dengan jumlah rumah komunitas maka Kongregasi akan membuat skala prioritas pelayanan dan daerah misi. Kiranya kongregasi akan mendapatkan kesulitan jika jumlah tempat berkarya terlalu banyak tidak sebanding dengan jumlah anggotanya, demikianlah pertimbangannya. Kendati orang dapat memperhitungkan kehandalan tiap pribadi frater Hamba Kristus, hidup komunitas perlu dapat berkembang bersama dengan jumlah anggota komunitas yang tidak terlalu sedikit. Seseorang memerlukan pula dukungan dari konfrater sekomunitasnya. Memang kadang-kadang ada semacam bentuk pelayanan yang sangat berarti dan tidak mudah ditolak, sehingga meski satu anggotapun dimungkinkan untuk hidup di lingkup komunitas yang bukan HHK, seperti misalnya yang pernah terjadi untuk pelayanan pastoral di Komisi Kateketik Keuskupan Agung Makassar, daerah misi Labuan Bajo yang dalam beberapa waktu hanya satu orang, juga yang sekarang terjadi di Surabaya dan Harvard University, USA. Kedua komunitas terakhir ini walaupun bukan komunitas karya namun toh mereka bisa hidup dan tetap menjadi Pelita Pembawa Terang dalam lingkup hidup dan studi mereka.
Dengan penuh optimis akan penyertaan Allah dan berdasarkan spiritualitas pengabdian kongregasi mampu melewati arus zaman yang selalu menawarkan berbagai perubahan dalam pelbagai bentuk, percobaan-percobaan yang berat datang silih berganti, namun tetap dapat tumbuh dan berkembang bahkan sampai berbuah lebat. Kini Taman itu telah bertunas bahkan telah menjadi pohon yang rindang sehingga membuat orang bisa berteduh di bawahnya. Tidak perlu meratapi, menangisi semua malapetaka baik pribadi maupun kelompok yang sudah terjadi. Semua akan terjadi lagi bahkan lebih hebat lagi, tapi hanya ada satu yang akan tinggal: “Biji harus mati untuk tumbuh hidup yang baru”.
Jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kemauan Mgr. Scheiders dan Mgr. van Roessel, maka cepat atau lambat Kongregasi ini akan mati. Tapi jika Kongregasi ini lahir dan berkembang atas kehendak Allah, maka badai dan topan sedahsyat apapun tidak akan menggoyahkan langkah hidupnya, karena yang memegang kemudi adalah Tuhan sendiri. *** Penulis: Faustyn Romanus hhk

Tidak ada komentar: