Rabu, 25 Juni 2008

Pemimpin Berperan sebagai Pelayan, Bukan Tuan


PUTERA daerah Sulsel, kembali mengukir sejarah. Dia adalah Pastor Petrus Timang Boddeng, Pr. Pada 14 Juni lalu, Paus Benediktus XVI yang bertahta di Vatikan Roma, menunjuk Imam Gereja Katolik Katedral di Makassar itu, sebagai Uskup di Banjarmasin, Ibukota Kalimantan Selatan.Dalam hirarki Gereja Katolik, Uskup adalah jabatan tertinggi setelah Sri Paus. Piet Timang sendiri adalah putera asal Tana Toraja yang kedua menduduki jabatan tertinggi ini.

Bagaimana sikap atas pengangkatannya sebagai Uskup, serta apa perannya sebagai imam yang memimpin jemaatnya untuk menyatu dalam kehidupan keberagaman? Berikut wawancara pastor yang penuh dengan pemikiran pembaharuan itu dengan wartawan Fajar, Anita Anggriany.

Selamat atas jabatan baru Anda sebagai Uskup di Banjarmasin. Bagaimana Anda menyikapi kepercayaan yang diberikan Paus tersebut?

Semula, saya sempat tak percaya mendapat kepercayaan ini, mengingat usia saya. Namun, tidak ada alasan saya untuk menolak perintah Vatikan dengan alasan itu. Sebab, Sri Paus sendiri dilantik pada usia 80 tahun.

Menerima jabatan Uskup berarti saya memimpin umat di satu wilayah. Karena kita hidup di suatu masyarakat yang sangat majemuk, maka keberadaan gereja harus bersinergi dengan komponen masyarakat yang lain.

Ke dalam kita memperdalam iman umat melalui para pastor, supaya mereka menjadi bagian yang bermutu bagi masyarakat. Karena keimanan itu bisa dirasakan oleh masyarakat yang tidak seiman dengan kita sebagai sesuatu unsur positif, sebagai Rahmatan Lil Alamin.

Menurut Anda, seberapa beratkah memimpin umat untuk satu wilayah?

Tugas sebagai uskup itu gampang-gampang sulit. Gampangnya, karena sebagai uskup kita tidak bekerja sendiri, seperti jabatan politis, gubernur memimpin provinsi, maka tugas uskup hanya membuat kebijakan yang tidak boleh bertentangan dengan kebijakan negara dan Vatikan.

Di sisi lain, kepemimpinan ini juga sangat bergantung dari kemampuan uskup, termasuk semangat umat setempat, apakah mereka mengurung diri atau membuka diri. Kalau kita mengurung diri karena merasa minoritas, lalu kita menjadi unsur yang tidak konstruktif bagi masyarakat.

Memang seperti pada agama lain, gereja tidak punya pretensi bagi kerja sosial seperti mengadakan pekerjaan bagi pengangguran, itu kan tugas negara.

Tetapi sebagai bagian dari masyarakat, kita mempunyai kewajiban untuk bekerja sama dengan komponen lain, termasuk pemerintah bagaimana kita mencari solusi. Paling tidak dari segi pemikiran dan spirit bersama. Sebab kita tidak punya dana dan wewenang untuk mengeksekusi pengurangan kemiskinan dan menyediakan lapangan pekerjaan. Itu bukan bidang kita.

Pada kondisi umat saat ini yang semakin disibukkan dengan urusan duniawi, apakah peran uskup sebagai pemimpin agama masih memiliki makna bagi umat?

Disini sulitnya tugas kepemimpinan agama di saat sekarang ini. Katakanlah ketika mal lebih menarik dari rumah-rumah ibadah, saya kira pada semua agama pun merasakan hal itu. Termasuk di Geraja Katolik. Ketika umat betah seharian di mal-mal, tetapi sudah gelisah berada di geraja, padahal baru setengah jam.

Orang gelisah ketika tidak memegang handphone baru sejam, dan bingung mau diapakan ketika baru lima menit memegang kitab suci dan buku doa. Ini fenomena yang kita hadapi.

Ini beratnya, bukan hanya uskup, tetapi semua pemimpin agama, yang serius mau memimpin umatnya. Bagaimana memotivasi dan menggerakkan umatnya, agar memilih jalan ke surga bukan hanya apa yang bisa dinikmati di dunia ini.

Kalau kita masyarakat agamis, hidup dari iman dan kepercayaan yang dihayati, maka barang-barang duniawi harus menjadi pelengkap bukan yang utama. Tak bisa dipungkiri, umat mati-matian membeli mobil, tanah, rumah, dan semua untuk pemenuhan duniawi semata, melupakan fungsinya sebagai hamba yang peduli dengan sesama, dan menjadi rahmat bagi yang lainnya.

Kenapa kondisi ini bisa terjadi?

Karena keluarga kehilangan "touch", sentuhan atas kehidupan berkeluarga. Kehidupan berkeluarga itu terlalu banyak dilepas pada kehidupan eksternal, televisi, hiburan. Anak-anak sejak kecil sudah diperhadapkan pada benda.

Mereka lebih banyak berinteraksi dengan material, benda mati betapapun cantiknya benda itu. Mestinya mereka tenggelam pada cinta kasih ayah ibu, kakak. Tetapi peran ini diganti mainan plastik, menatap langit-langit, karena orang tuanya sibuk.

Jadi susah untuk merekam dan menggeneralisir nilai-nilai rohani. Anak-anak tidak lagi disapih (disusui) sampai minimal 2 tahun bahkan tiga tahun, sehingga membuat daya tahan tubuh mereka kuat. Sekarang macam-macam penyakit menimpa anak-anak karena ibunya sudah diracuni dengan macam-macam makanan yang tidak baik untuk bayi.

Bagaimana orang bisa merasakan kebaikan Tuhan, kalau sejak kecil sudah bersentuhan dengan barang-barang mati, bukan cinta kasih. Bagaimana keluarga itu bisa membangun agama sebagai penunjang kehidupan. Ini yang kurang, atau hilang dalam agama apapun, mau itu Muslim, Katolik, Protestan, maupun Hindu.

Lalu, bagaimana mengembalikan nilai agamis ini kepada umat?

Kita harus kembali ke keluarga, sebagai institusi kecil. Orang bisa saja seperti tersihir ketika menonton pentas di lapangan. Atau makan yang enak-enak di luar. Tapi makanan sehari-hari yang kita makan di rumah, itu yang membuat kita sehat.

Jadi bagimana anak sejak di kandungan ibunya dilatih untuk memilih yang benar. Semua agama membicarakan surga dipersiapkan di dunia ini. Jangan berpikir surga, kalau hidup di dunia ini tidak sesuai dengan ajaran agama.

Kalau kita melihat gejala itu di masyarakat, kita baru menyadari betapa hancurnya sendi-sendi keluarga. Bahwa masyarakat itu dibangun di atas keluarga-keluarga yang rapuh. Nilai-nilai kemanusiaan yang universal yang bisa menciptakan kebahagiaan itu sudah hilang. Karena orang terlalu berorientasi pada materi. Uang banyak dan makan besar.

Padahal apakah hidup kita jadi rahmat bagi sesama tidak dipertanyakan lagi. Jangan hanya menikmati sendiri tidak mau berkorban. Agama itu harus diamalkan dan dihayati. Bukan hanya hubungan vertikal tetapi juga hubungan horizontal.

Lalu bagaimana peran Gereja Katolik?

Gereja harus memperhatikan keluarga-keluarga. Tidak cukup dengan fatwa-fatwa. Apalagi masyarakat kita mudah lupa. Gereja memahami ini dan menjadi pergumulan yang berat para uskup.

Gereja sendiri menawarkan solusi, mulai dari persiapan perkawinan, memberi bekal bagi calon pengantin, bagaimana mengatasi persoalan dalam keluarga. Juga belajar tentang ketertiban, menghormati orang di jalan.

Saya selalu yakin, kita tidak mungkin bisa memperbaiki kondisi masyarakat bila mereka tidak memahami aturan-aturan. Mulai di jalan-jalan. Telepon umum kita banyak rusak karena dijahili. Ini kan menzalimi masyarakat. Anak ini tidak salah, karena sebenarnya dia tidak cukup mendapat bekal dari rumah.

Ini harus diberikan motivasi iman, sehingga orang membuatnya penuh tanggung jawab, sukacita, dan penuh kasih. Ini bagian dari iman. Kita pelihara milik kita.

Gereja memberi contoh kepada masyarakat?

Ya, termasuk bagaimana memberi servis kepada masyarakat. Kita harus menjadi pelayan yang baik. Pemerintah pun harus menjadi pelayan yang baik kepada masyarakat, bukan sebaliknya. Karena seperti pemimpin pemerintahan, pemimpin umat sebenarnya adalah pelayan bagi masyarakat. Jangan di balik.

Lalu dimana peran pemerintah?

Pemerintah bukan mencampuri agama masing-masing, tetapi memberi suasana sejuk, sehingga semua warga negara memiliki tanggung jawab bersama. Jangan alasan politik, agama lalu seolah-olah menafikan yang lain.

Apakah gereja juga berperan untuk mengingatkan pemerintah terhadap hal-hal yang benar dan salah?
Dimana pun, menurut saya, gereja harus berani mengatakan ini yang salah, dan yang benar. Bagaimana caranya, harus disesuaikan dengan situasi setempat. Di Katolik punya prinsip "minus malum", bagaimana kita memilih sesuatu, dilihat mana yang keburukannya paling sedikit.

Jadi ada peranan moral, pencerahan. Apa yang baik hari ini, belum tentu baik pada masa depan. Tetapi prinsipnya bahwa kita selalu berpihak pada kepentingan orang banyak. Ini tidak boleh dimengerti sebagai plin-plan. Agama memang normatif, tetapi norma itu juga akan mengikuti kondisi zaman. Dalam arti agama itu juga berpolitik, memberikan pencerahan kepada masyarakat apa yang terbaik.

Selama hidup di Makassar Bagaimana Anda melihat kehidupan bermasyarakat di sini?

Saya merasa hubungan pemuka agama di Makassar sangat bagus. Kalau ada masalah, kita langsung kumpul tanpa ditutup-tutupi. Ini sebuah pencapaian yang luar biasa. Sebagai orang Katolik, saya menganggap ini sebagai karya Tuhan.

Sebenarnya ini hak semua pihak. Semua kita punya sejarah panjang tentang kerukunan hidup beragama. Ini adalah tanggung jawab semua pemimpin agama. Jadi, kalau kita diberi kepercayaan memimpin umat, maka saya yakin ada kehendak Tuhan yang akan membimbing kita menjalankan semua ini.

Kalau sudah bertugas di Banjarmasin apa masih bisa balik ke Makassar?

Sebenarnya saya sudah menyiapkan makam di Pakato, bersama pastur yang lain. Tetapi kalau meninggal di Banjarmasin, maka saya harus dimakamkan di sana, karena umat saya ada di sana.

Kecuali, kalau masih sampai usia 75 tahun saya pensiun, maka saya bisa pulang ke kampung. Kalau saya meninggal di Makassar, maka saya minta dimakamkan di Pakato. Tapi, ya tanah Tuhan ada dimana-mana. Kita ini milik Tuhan. (anita@fajar.co.id)

Tidak ada komentar: