Rabu, 29 Juli 2015

MERAYAKAN PANCAWINDU IMAMAT DENGAN ZIARAH ROHANI BERSAMA RAPTIM

1. (Pertama Kali Mendampingi Ziarah Rohani RAPTIM)
Pertama kali saya berkontak langsung    dengan Raptim pertengahan tahun 1981, untuk urusan visa dan ticket perjalanan ke tugas belajar di Roma (1981-1986). Selama di Roma lebih dari sekali Raptim (Ibu Oei) menghubungi saya, meminta saya menjadi Pendamping Rohani kelompok peziarah pada   liburan panjang. Tetapi sayanglah, setiap kali bertabrakan dengan kegiatan lain yang sudah direncanakan lebih dulu. Lalu saya menghubungi rekan imam student lain yang berkesempatan dan berminat, dan mengusulkannya ke Raptim.

   Sebenarnya Bpk. Piet A. Tarappa, Presdir PT Raptim Indonesia, sudah cukup lama mendorong saya untuk bersedia menjadi Pendamping Rohani kelompok peziarah Raptim. Akhirnya kesempatan penuh rahmat itu tiba juga. Saya berkesempatan  mendampingi kelompok peziarah Raptim “Egypt + Holyland + Petra + Dubai Extended”, 9-21 April 2015; kami semua berjumlah 34 orang (22 perempuan dan 12 pria). Inilah kali pertama saya menjadi   pendamping rohani ziarah Raptim.

2. (Persiapan Pribadi Sebelum Ziarah)
Saya akhirnya memutuskan menerima permintaan menjadi pendamping rohani peziarah Raptim yang lalu dengan satu alasan khusus yang bersifat pribadi: HUT Imamat saya yang ke-40 jatuh pada tanggal 10 Januari 2015. Saya ingin mensyukuri dan merayakan rahmat imamat itu dengan menapaktilasi jejak-jejak bersejarah hidup dan karya Dia yang telah memanggil saya menjadi imam-Nya. Ini sudah menjadi nazar saya sejak lama. Dapat dikatakan, inilah persiapan rohani pribadi. Kebetulan pula tahun 2015 ini Raptim berusia 45 tahun! Barangkali inilah sebabnya Raptim menyebut ziarah ini sebuah “Ziarah Langka”.

  Selanjutnya, saya mempelajari “program perjalanan dari hari ke hari”. Dengan cara itu saya mempersiapkan diri untuk berbagi iman dengan para peziarah di tempat-tempat bersangkutan yang akan dikunjungi.

3. (Tugas Pendamping Rohani)
Sebagai seorang yang baru pertama kali mendampingi ziarah Raptim, saya sangat terkesan dengan suasana doa yang terus terpelihara sejak awal hingga akhir. Dalam hal ini peran Tour Leader, Bpk. Piet Adrian Tarappa, yang adalah Presdir PT Raptim sendiri, amat menentukan. Sudah di Bandara Internasional Sukarno-Hatta, Cengkareng, sebelum naik pesawat menuju Abu Dhabi, para peziarah dikumpulkan untuk berdoa. Setiap hari doa pagi, doa malam, doa sebelum dan sesudah makan secara bersama tidak pernah dilupakan. Doa pagi dilaksanakan setelah bus yang ditumpangi meninggalkan Hotel menuju tempat pertama yang akan dikunjungi pada hari bersangkutan. Diawali dengan lagu “Selamat pagi Bapa, selamat pagi Yesus, selamat pagi Roh Kudus” dan ditutup dengan lagu “Terima kasih”. Doa malam juga dibuat di bus dalam perjalanan ke Hotel, untuk beristirahat malam. Juga dibuka dengan dengan lagu “Selamat malam Bapa, selamat malam Yesus, selamat malam Roh Kudus” dan ditutup dengan lagu “Terima kasih”. Sarapan pagi selalu di Hotel, waktunya tidak bersamaan dan tempat duduknya terpisah-pisah, sehingga masing-masing berdoa sendiri-sendiri. Tetapi makan siang dan malam di restoran selalu diawali dengan “Doa sebelum” dan ditutup dengan “Doa sesudah” makan. Adalah tugas Pendamping Rohani memimpin doa-doa tersebut. Tetapi kelompok kami beruntung karena ada pula seorang imam peserta, Pastor Agustinus Pare Tikupasang dari Makassar. Maka kami berbagi tugas. Beliau mendapat porsi memimpin “Doa Makan”. Maka beliau mendapat gelar “SDM” (Spesialis Doa Makan). 

   Tentu saja tugas paling utama seorang Pendamping Rohani ialah memimpin perayaan Ekaristi dan berbagi pengalaman iman melalui Homili. Saya harus mengakui, saya terkadang terperanjat menyadari apa yang saya sampaikan dalam Homili berbeda dengan apa yang saya persiapkan sebelumnya. Rupanya Tuhan sendiri menggunakan mulut saya, untuk menyampaikan apa yang Dia kehendaki, dan bukan apa yang saya kehendaki! Kecuali di Amman (Ibukota Yordania), Misa di tempat-tempat suci selalu dalam kelompok sendiri. Menurut rencana semula, di Amman kelompok akan mengikuti Misa Hari Minggu, 19 April 2015, di salah satu gereja bersama umat. Tetapi karena itulah Misa terakhir dalam seluruh rangkaian ziarah ini, kelompok mengharapkan agar yang memimpin Misa adalah Uskup Pendamping Rohani. Tetapi semua Misa hari Minggu di gereja itu dalam bahasa Arab; saya tidak tahu bahasa Arab! Kelompok mengusulkan, sekurang-kurangnya Uskup ikut konselebrasi. Namun, baik secara liturgis maupun secara teologis-eklesiologis, tidak diperkenankan perayaan Ekaristi yang dipimpin seorang imam dan Uskup menjadi konselebran. Untunglah akhirnya ada jalan keluar: Misa malam Minggu di gereja tersebut diperuntukkan umat ekspatriat dan dirayakan dalam bahasa Inggeris. Dan Pastor Paroki menyetujui saya menjadi selebran utama. Dalam Misa kelompok menyanyikan sebuah lagu Paskah  bahasa Indonesia (PS 672: Hai, Makhluk Semua). Spontan disambut dengan tepuk tangan riuh dari seluruh umat yang hadir. Rupanya umat juga merasa bangga senang dapat menghadiri Misa yang dipimpin seorang Uskup. Sampai-sampai mereka mengusulkan agar Raptim sering-sering membawa serta Uskup dan dapat merayakan Ekaristi bersama mereka. Kebanggaan yang serupa terungkap ketika, pada hari Minggu Kerahiman Ilahi, kami merayakan Ekaristi di salah sebuah ruangan di kompleks Hotel Kota St. Catherine, dekat Gunung Sinai, wilayah Mesir, 12 April 2015. Konon, itulah untuk pertama kalinya Misa yang dipimpin seorang Uskup dirayakan di situ, dan membuat pemilik dan karyawan Hotel, yang notabene beragama Islam, merasa bangga.

   Tidak di setiap tempat suci bersejarah yang dikunjungi dapat dirayakan Ekaristi. Di mana tidak ada Ekaristi, kita berdoa bersama, dan bila memungkinkan dibacakan kutipan singkat yang sesuai dari Kitab Suci dilanjutkan renungan singkat oleh Pendamping Rohani; setiap doa/renungan diawali dan ditutup dengan lagu yang sesuai. Untuk tetap menghidupkan suasana ziarah rohani, di bis ketika menempuh jarak yang panjang kita menyanyikan lagu-lagu rohani dengan penuh semangat. Kami tiba dengan bis di Yerusalem pada malam hari dari kota Taba, perbatasan Mesir-Israel. Ketika mendekati Kota Yerusalem, kita menyanyikan dengan syahdu lagu “O Yerusalem, kota mulia, hatiku rindu ke sana…”. Sepuluh menit sebelum tiba di Yerusalem, dengan semangat yang berapi-api kita mengumandangkan mars Minggu Palma, “Yerusalem, lihatlah Rajamu”. Dalam perjalanan menuju Nazareth, kita mendaraskan Doa Rosario, di mana masing-masing peserta diberi kesempatan bergilir memimpin doa “Salam Maria”. Salah satu kegiatan yang tak kalah mengesan ialah acara naik perahu di danau Tiberias. Di tengah danau perahu berhenti. Acara menaikkan bendera Merah-Putih. Sambil berdiri tegap semua mengumandangkan lagu kebangsaan, “Indonesia Raya”. Selanjutnya, Pendamping Rohani membacakan kutipan dari Kitab Suci tentang “Yesus berjalan di atas air” (Mat. 14:22-33) dan menyampaikan renungan singkat: panggilan kita sebagai murid Kristus yang sekaligus adalah warga negara (menjadi garam dan terang dunia).

   Di setiap negara yang dikunjungi Raptim menyediakan Tour Guide lokal. Idealnya para Pemandu tersebut se-iman dengan para peziarah. Tetapi tentu hal ini teramat sulit dipenuhi. Satu-satunya Pemandu Katolik yang kami dapat adalah di Betlehem, wilayah otoritas Palestina. Di Mesir pemandunya beragama Islam, di Israel beragama Yahudi (walau memberi kesan sudah menerima Yesus sebagai Almasih), di Yordania beragama Islam (berasal dari Kroasia, dan konon isteri dan salah seorang puterinya Katolik). Saya harus mengakui semua Pemandu itu sangat profesional dalam tugasnya, ramah, penuh perhatian dan bersahabat. Tetapi yang mereka mampu berikan hanyalah sebatas informasi/penjelasan, bukan kesaksian iman. Saya kira, adalah tugas seorang Pendamping Rohani untuk melengkapi kekurangan itu. Dia harus berusaha membantu agar para peserta ziarah memperoleh sebanyak mungkin buah iman dari ziarah rohani ini. Itu sebabnya, ketika di Mesir misalnya, saya menambahkan penjelasan tentang Gereja Koptik; antara lain bahwa ada dua macam Gereja Koptik: Gereja Koptik Monofisit, yang memegang kepercayaan bahwa dalam Kristus hanya ada satu pribadi dan satu kodrat; Gereja Koptik Katolik yang bersatu dengan Katolik Roma, dan percaya dalam Kristus ada satu pribadi dan dua kodrat (keallahan dan kemanusiaan). Aliran Koptik Monofisit muncul sejak abad ke-4, dan konon kini membentuk sekitar 10% penduduk Mesir. Ketika mengunjungi Gereja St. Sergius (milik Koptik Monofisit), tempat Keluarga Kudus mengungsi untuk menghindari Herodes (Mat. 2:13-15), saya mengajak peserta membayangkan napak tilas “Dari Mesir Kupanggil Putera-Ku” (Mat. 2:15; Hos. 11:1). Begitu juga ketika di Sinai, dalam perjalanan menuju Tanah Suci, saya mengajak peziarah mengadakan napak tilas menuju Tanah Terjanji, sebagaimana dahulu kala umat terpilih; tetapi Tanah Terjanji yang dijanjikan Kristus kepada kita dalam ziarah hidup iman kita ialah: SURGA!
   
4. (Kesan / Kejadian Khusus)
Di antara sekian banyak kesan/kejadian selama dalam perjalanan mendampingi rombongan peziarah, saya ingin menyebut secara khusus kejadian berikut: Saya harus mengakui, baik di Mesir, Israel, maupun di Yordania kami mendapat Tour Guide yang sangat baik, profesional dan akrab. Tetapi menurut penilaian saya, Tour Guide di Yordania yang terbaik; namanya Hasan. Ketika kami tiba di perbatasan Israel-Yordania pagi hari Jumat, 17 April, beliau sudah menunggu. Dengan cekatan ia mengurus proses imigrasi, dan cepat selesai. Di dalam bis menuju Amman, beliau dengan ceria dan penuh canda membagi-bagikan gula-gula dan kue kepada anggota rombongan. Di tengah jalan, tiba-tiba ia minta sopir berhenti. Ia turun dan masuk toko roti. Kembali ke bis menjinjing kantong plastik penuh berisi roti khas Yordania, semacam panakuk dengan rasa khas. Ia berjalan dari depan ke belakang membagi-bagikan roti itu kepada setiap peziarah; masing-masing mendapat potongan besar. Saya bertanya kepada Tour Leader, Bpk. Piet Tarappa, “Siapa yang bayar semua itu?” “Beliau sendiri. Beliau selalu ingin tamunya merasakan makanan khas Yordania”. Seusai makan siang di sebuah restoran di Amman, dan sebelum naik bis menuju Gunung Nebo dan terus ke Petra, beliau mengundang Tour Leader dan Ibu serta saya untuk makan malam di rumahnya besoknya, sepulang dari Petra. Kami mencoba mengelak. Tetapi karena beliau mendesak terus, kami akhirnya setuju. Demikianlah, sepulang dari Petra dan setelah selesai Misa malam Minggu di gereja, kami diantar ke Hotel. Tak lama setelah masuk kamar, telpon berdering. Ternyata dari pemilik Hotel. Namanya Mahmud, kalau tidak salah ingat. “Pak Piet dan Ibu sudah menunggu di lobby, kita segera berangkat ke rumah Hasan”, katanya. Saya segera turun ke lobby, dan tak lama kemudian meluncurlah kami menuju rumah Pak Hasan; sopirnya Pak Mahmud sendiri! Kami disambut Pak Hasan sekeluarga yang sudah menunggu. Sebelum makan malam kami dijamu minum teh atau kopi, sambil omong-omong akrab. Sebagian besar pembicaraan dikuasai Mahmud, si pemilik Hotel di mana kami menginap. Saya sangat terkesan dengan pribadinya. Orangnya masih muda, usia 30 tahun, cerdas, ceria, ramah dan bersahabat, cekatan dan teliti, memiliki visi yang mengesan, tipe seorang pengusaha profesional yang bakal sukses. Ia memuji-muji Raptim, dan meramalkan Raptim akan terus bertahan dan berkembang.      Mengapa? Karena, demikian dia menjelaskan, Raptim mempunyai seorang Presdir yang istimewa, yang berbeda dari Presdir-Presdir agen-agen “Tours &Travel” lainnya. Para Presdir agen-agen “Tours & Travel” lain senangnya menjadi bos, yang duduk di balik meja di kantornya, tahunya    terima uang, titik. Presdir Raptim lain! Beliau turun dan melihat langsung di lapangan, sehingga beliau tahu persis apa yang dibutuhkan para peserta Tour. Kami, para pemilik Hotel dan Tour Guides sangat senang bekerja sama dengan Raptim!
Saya cuma manggut-manggut, tanda menyetujui. Sebagai seorang yang baru pertama kali mengambil bagian dalam ziarah Raptim, saya merasa puas. Pada umumnya segalanya berjalan lancar dan memuaskan. Dan Raptim ternyata sangat terbuka dalam menerima saran dan kritik. Menjelang akhir ziarah, dalam perjalanan panjang dari Petra kembali ke Amman, Bpk. Piet A. Tarappa, Presdir Raptim, yang dalam ziarah ini menjadi Tour Leader, meminta para peserta menyampaikan sharing, saran dan kritik. Kecuali satu-dua catatan kritis kecil, pada umumnya semua merasa puas.

5. (Keakraban dalam Kelompok)
Saya merasa suasana akrab kelompok dengan cukup cepat tercipta dan semakin menguat dari hari ke hari. Semula saya ragu akan hal ini. Menilik tempat asal peserta, kelompok ini sungguh heterogen, boleh dikatakan bersifat nasional: ada dari Papua, ada dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa; bahkan ada dari Australia (orang Indonesia yang sudah berdomisili di Australia, bahkan ada yang sudah menjadi warga negara Australia). Saya yakin terciptanya keakraban ini pertama-tama karena sejak awal hingga akhir terpelihara suasana doa. Ini, barangkali tanpa disadari sepenuhnya, dengan cukup cepat menciptakan kesatuan batin di antara para peserta. Mereka terus-menerus disadarkan mempunyai tujuan luhur yang sama sebagai saudari-saudara se-iman: Ziarah Rohani! Doa Pagi dan Doa Malam yang tidak pernah dilupakan, diawali dan ditutup dengan lagu “Selamat pagi…”/”Selamat malam, Bapa, Yesus, Roh Kudus” dan lagu “Terima kasih, Bapa, Yesus, Roh Kudus” dengan penuh perasaan, membuat para peserta menyadari dan merasakan mereka adalah kelompok anak-anak dari satu Bapa, dan yang dicintai Tritunggal Mahakudus. Berkumandangnya lagu-lagu rohani yang dinyanyikan para peserta dengan penuh semangat, walau badan sudah letih, sementara bis melaju, semakin menguatkan kesatuan batin ini. Tentu saja perayaan Ekaristi dan doa bersama di tempat-tempat yang dikunjungi semakin mempererat ikatan rohani ini; kita mendoakan teman-teman yang mengalami gangguan kesehatan. Perhatian satu sama lain terus terpelihara. Kita tak akan meninggalkan satu tempat sebelum anggota kelompok lengkap. Saling bercanda satu sama lain yang kerap terjadi sementara bis melaju, menjadi pula pertanda semakin akrabnya kelompok. Tour Guide juga berperan dalam menciptakan suasana ceria dan keakraban. Misalnya, Tour Guide di Mesir, yang selalu dengan berapi-api memberi penjelasan dan hampir setiap kalimat didahului dengan kata “Bayangkan!”; terkadang ada anggota kelompok yang nakal dengan mendahului dia berseru “Bayangkan!”, dan anggota lainnya tertawa lepas. Tour Guide di Israel, ketika bis berhenti di depan toko untuk berbelanja souvenir, berkomentar, “Sekarang tiba saat kesenangan Ibu-Ibu, tetapi derita Bapak-Bapak”. Semua pada heran. Apa maksudnya? Ya, karena Ibu-Ibu selalu tergoda belanja banyak-banyak, merengek minta uang pada Bapak, yang harus berdiri menunggu lama di salah satu pojok sampai Ibu selesai belanja! Mendengar penjelasan itu, semua tertawa renyah. Tour Guide di Yordania, di tengah jalan dari kota Petra ke “Red Rose City of Petra”, salah satu Keajaiban dan Warisan Dunia, yang jaraknya 2,5 km dan kami tempuh dengan berjalan kaki pergi-pulang, tiba-tiba berlari mendahului rombongan dan pura-pura memungut kerikil di jalan. Dia bagi-bagikan kepada setiap anggota rombongan, sambil berkata dengan serius. “Ini batu-batu suci Petra yang harus di makan oleh setiap pengunjung”. Semua membelalak, tanda protes. Lalu dia sendiri mulai makan, dan berkata, “Enak sekali”. Ternyata itu adalah gula-gula sangat enak yang dia bawa serta!

Rasa Syukur berkat cuaca yang baik selama ziarah juga menambah erat keakraban batin para peserta. Memang baik di Mesir dan Tanah Suci, maupun di Yordania dan Abu Dhabi-Dubai kami selalu beruntung mendapatkan cuaca yang baik. Hari sebelum kami tiba di Yerusalem dari Mesir ternyata banjir di Yerusalem. Tetapi selama 3 hari kami di Yerusalem dan sekitarnya cuaca baik sekali. Setelah kami meninggalkan Yerusalem menuju ke bagian utara Israel, ada berita banjir lagi di Yerusalem. Sementara di bagian utara cuaca baik sekali. Kenyataan ini membuat kelompok percaya sebagai kelompok yang diberkati.

Keakraban yang tercipta dan bertumbuh selama ziarah ini jelas terungkap ketika menjelang akhir perjalanan ziarah mengalunlah secara spontan lagu “Kemesraan” yang dinyanyikan seluruh anggota kelompok dengan penuh haru.

6. (Pengalaman Lucu-Menyentuh)
Sebenarnya banyak hal yang lucu dan menyentuh yang terjadi selama tour ziarah ini. Tetapi yang masih segar dalam ingatan saya ialah apa yang disampaikan dan dirumuskan Tour Leader, bahwa “peziarah Indonesia terkenal dengan 3T (Toilet, Tustel, Toko)”. Hehe… memang benar, setiap kali berhenti di satu tempat yang pertama dicari adalah toilet! Selanjutnya, berbeda dengan peziarah dari negara lain yang biasanya sangat tekun mendengar penjelasan Tour Guide, peziarah Indonesia kebanyakan sibuk mengambil foto-foto; akibatnya kehilangan kesempatan memetik makna lebih mendalam dari tempat-tempat suci yang dikunjungi. Lalu T ketiga (Toko), memang godaan banyak belanja sangat jelas, khususnya di kalangan Ibu-Ibu. Sampai-sampai baru satu negara yang selesai dikunjungi (Mesir), ada yang sudah kerepotan dengan koper-koper barang belanjaan, khususnya ketika melalui imigrasi di perbatasan Mesir-Israel. Dan semakin dekat akhir perjalanan ziarah, semakin banyak yang terancam “overweight”. Untung Tour Leader, yang sudah berpengalaman dalam hal ini, dengan cekatan memberi solusi, yaitu membentuk kelompok-kelompok kecil dari 4 orang, agar saling membantu untuk terbebas dari ancaman “overweight” ini. Yang lucu ialah menjelang akhir perjalanan ziarah, dipilih dan dinobatkan serta diberi hadiah khusus masing-masing yang terpilih jadi “Ratu/Raja Toilet”, “Ratu/Raja Tustel” dan “Ratu/Raja Toko”. Sebenarnya adegan ini merupakan kritik halus. Yang mengesan, tidak ada yang merasa tersinggung, melainkan menerimanya sebagai candaan yang lucu dan menyegarkan. Hal ini tidak mungkin terjadi manakala rasa keakraban belum tercipta dalam kelompok.

7. (Pengalaman Imani Pribadi)
Salah satu pengalaman iman pribadi sudah saya sebut di atas: Melalui homili-homili tertentu agaknya Tuhan menggunakan saya untuk menyampaikan apa yang Dia kehendaki dan bukan apa yang saya kehendaki. Ini salah satu buah nazar saya mengambil bagian dalam ziarah ini sebagai perayaan dan ucapan syukur pancawindu imamat saya. Menjadi imam berarti selalu menyediakan diri menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menyampaikan kehendak-Nya.

Pengalaman istimewa lain terjadi ketika kami mengunjungi Gereja Kelahiran Yohanes Pembaptis (Luk. 1:57-66) di Ein Karim. Saya teringat, pada tahun-tahun awal imamat saya, saya merasa membutuhkan sebuah semboyan yang harus memberi bingkai dan mengarahkan penghayatan dan pengamalan imamat saya. Suatu waktu secara terus-menerus terngiang di telinga saya kata-kata Yohanes Pembaptis tentang Yesus ini, “Ia harus makin besar”, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3:30). Saya segera menulis ayat tersebut dalam buku catatan saya dalam versi Latin: “ILLUM OPORTET CRESCERE, me autem minui”. Sejak itu ayat ini saya jadikan semboyan imamat saya. Setelah diangkat menjadi uskup semboyan ini saya pertahankan. Ketika berada di Gereja kelahiran Yohanes Pembaptis itu saya merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan. “Itulah sukacitaku, dan sekarang sukacitaku itu penuh” (Yoh. 3:29c).

Sebagai Pendamping Rohani, pengalaman istimewa teman-teman peziarah juga menyentuh saya dan menjadi pengalaman khusus saya pula. Misalnya, pada acara Jalan Salib subuh pk. 05.00  menuju Golgota. Saya hanya membawakan Kata Pengantar dan Doa Pembukaan. Selanjutnya, rombongan bergerak sambil bergantian memikul salib. Pada setiap Perhentian, Renungan dan Doa dibawakan secara bergiliran oleh peserta ziarah. Sangat terasa kehikmatan dan penderitaan Yesus seakan dialami secara nyata dalam misteri. Begitu kuatnya kegaiban itu terasa, sehingga banyak teman membawakan Renungan dan Doa sambil tersedu! Pengalaman gaib serupa terasa pula pada Misa Pembaruan Janji Perkawinan di Kana.

8. (Ziarah Rohani di Zaman Post-Modern)
RAPTIM adalah akronim dari Romana Associatio Pro Transvehendis Itinerantibus Missionariorum (Asosiasi Romawi untuk Mengurus Perjalanan Para Misionaris). Sesuai dengan namanya, tujuan utamanya ialah untuk mempermudah perjalanan para imam ke mancanegara. PT RAPTIM Indonesia, yang berinduk pada Raptim Internasional, didirikan tahun 1970. Sebagaimana diharapkan oleh para Uskup Indonesia, PT RAPTIM Indonesia mengembangkan pelayanannya tidak hanya sebatas pada urusan perjalanan para misionaris saja, tetapi juga menjadi tour and travel yang melayani khalayak ramai. Selanjutnya PT Raptim Indonesia mulai merintis penyelenggaraan ziarah rohani sejak tahun 1970. Dengan mata iman, saya memandang perkembangan ini providensial.

Karl Rahner SJ, yang oleh banyak orang dipandang sebagai teolog Katolik terbesar abad ke-20, pernah meramalkan, “orang Kristen di masa depan atau menjadi seorang ‘mistik’, seorang yang telah ‘mengalami sesuatu, atau sama sekali berhenti menjadi apa-apa” (Id., “Christian Living Formerly and Today”, ThI 7:15). Ternyata Rahner tidak hanya seorang teolog besar melainkan juga seorang mysticus. Ia memang berbicara mengenai “mistisisme hidup sehari-hari”. Rahner tidak hanya menekankan mistisime batin. Tanpa ragu, ia bicara mengenai dimensi mistik dari makan, minum, tidur, berjalan, duduk, dan hal serba biasa dalam hidup sehari-hari. Baginya, setiap segi eksistensial manusia memuat seusatu pengalaman implisit mengenai Allah Tritunggal serta Kristus yang tersalib dan bangkit. Kemampuan mengalami dan merasakan getaran kehadiran misteri dalam hal-hal serba biasa hidup kita sehari-hari ini kiranya sama dengan yang dimaksudkan William Callahan SJ, dengan “kontemplasi bising”. Thomas Merton menyebutnya “kontemplasi tersembunyi atau tersamar”.

Namun kita harus realistis. Di dunia kita dewasa ini kiranya manusia-manusia istimewa seperti Karl Rahner, William, Callahan, Thomas Merton, yang masih memiliki kepekaan untuk mengalami kehadiran misteri dalam hidupnya, jumlahnya semakin menyusut. Dunia kita yang semakin bersifat teknis, fungsional, serba instan, serba sibuk dan bising, membuat hidup kita manusia juga menjadi serba dangkal, dan menyebabkan semakin banyak orang, barangkali tanpa sadar sepenuhnya, menjadi ateis praktis. Dan corak hidup yang semakin materialistis, konsumeristis dan hedonistis melahirkan berhala-berhala baru, yang namanya Uang/Materi dan Kenikmatan.

Tugas khas dan utama para Uskup dan Imam ialah menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk “menyelamatkan jiwa-jiwa” (cura animarum). Atau, meminjam bahasa Karl Rahner, membantu manusia-manusia post-modern menjadi mystici, orang-orang yang mampu masuk ke kedalaman keberadaannya dan di situ mengalami kehadiran suatu misteri, yang kita namakan Tuhan/Allah. Pertanyaannya, untuk itu apa yang harus dibuat? Terhadap pertanyaan ini, dengan yakin saya menjawab, salah satu upaya sangat efektif adalah ZIARAH ROHANI! Keyakinan ini berlandaskan pada pengalaman pribadi. Dengan mengambil bagian dalam ziarah rohani sekurang-kurangnya kita disadarkan bahwa, hidup kita ini adalah sebuah peziarahan menuju suatu tujuan. Saya mengalami di tempat-tempat suci yang dikunjungi, hati saya lebih terbuka untuk disapa oleh kehadiran misteri. Dan saya menyaksikan teman-teman dalam kelompok mengalami hal yang sama, sebagaimana sudah saya singgung di muka. Saya mendengar sejumlah kesaksian dramatis. Sekian tahun lalu seorang pengusaha non-Katolik di Makassar diajak isteri yang sudah Katolik ikut ziarah rohani. Pengalaman rohani selama ziarah itu membuat dia mengambil keputusan menjadi Katolik. Sampai sekarang beliau menjadi tokoh umat yang sangat aktif di Gereja. Selanjutnya, seorang oma, juga dari Makassar, beberapa tahun lalu bersedia ikut ziarah rohani walaupun beliau belum Katolik. Sudah lama oma itu dibujuk oleh putrinya yang sudah Katolik agar beliau mau menjadi Katolik, tetapi beliau selalu menolak. Ketika berada di Lourdes oma itu memperoleh pengalaman batin luar biasa, yang membuat dia ketika itu juga minta dibaptis jadi Katolik. Kejadian yang lebih dramatis lagi terjadi beberapa waktu berselang: Seorang bapak, yang berdomisili di Kendari, tokoh di salah satu denominasi Gereja dalam lingkungan PGLII – konon ayah beliau pendiri denominasi tersebut- ikut bersama isteri yang Katolik dalam salah satu ziarah rohani paket “Tanah Suci-Fatima-Lourdes”. Sudah puluhan tahun suami-isteri itu bersama anak-anak mereka hidup dalam keluarga perkawinan campur yang rukun dan berbahagia. Tetapi ketika membaharui Janji Perkawinan dalam Misa di Kana, bapak itu menangis tersedu-sedu; beliau tersadar perkawinan mereka yang sudah puluhan tahun ternyata belum merupakan Sakramen kesatuan penuh dalam Kristus. Ketika berada di Lourdes, bapak itu tidak dapat bertahan lagi. Beliau minta segera dibaptis Katolik oleh Pastor Pendamping Rohani. Saya yakin kesaksian-kesaksian ini hanyalah segelintir kecil dari sekian banyak kesaksian iman mereka yang pernah mengambil bagian dalam ziarah rohani!

Melihat hal itu, para Uskup Indonesia seharusnya bangga dan bersyukur menjadi pemilik dari PT Raptim Indonesia, yang telah memelopori kegiatan ziarah rohani. Dan menyadari kegiatan ziarah rohani sebagai salah satu jawaban strategis terhadap tantangan serius dunia post-modern yang semakin membuat manusia tidak mampu beriman, seharusnya para Uskup dan para imam terus-menerus mendukung dan mempromosikan PT Raptim Indonesia. Dukungan itu dapat berupa kesediaan menjadi Pendamping Rohani kelompok ziarah, baik domestik maupun ke mancanegara, bila diminta; dapat pula berupa upaya semakin memperkenalkan Raptim di kalangan umat. Salah satu kelompok strategis yang perlu mendapat perhatian khusus, ialah para katekis dan guru agama Katolik. Beberapa tahun lalu, seusai Pernas para Katekis se-Indonesia di Sawangan dan berdasarkan usul-usul dari Pernas tersebut, kami dari Komisi Kateketik KWI menyampaikan saran ke Raptim, sekiranya dapat disusun paket ziarah yang lebih murah dan karenanya dapat terjangkau oleh para katekis dan guru agama kita. Kami yakin, sekiranya mereka ini pernah mendapatkan kesempatan mengadakan napak tilas ke Tanah Suci, pengajaran mereka tak akan lagi hanya bersifat teoritis melainkan menjadi kesaksian iman. 

9. (Harapan dan Ucapan Selamat Kepada RAPTIM)
Kini Raptim Indonesia, sudah mencapai usia 45 tahun. Saya berharap dan berdoa, semoga Raptim, sebagai penyelenggara ziarah rohani, semakin mampu memainkan peran sangat relevan, strategis, dan menentukan dalam menjawab tantangan berat dan serius terhadap iman di zaman post-modern ini. Untuk itu Raptim tertuntut semakin berupaya meningkatkan mutu profesional dan rohani dari kegiatan-kegiatan ziarah yang diselenggarakan. Saya berharap Raptim dapat meraih kembali kejayaan yang pernah dialaminya. Dan mencermati upaya-upaya yang sedang digencarkan Raptim, saya percaya ini bukan harapan yang kosong. Juga mendengar komentar-komentar sangat positif para mitra, termasuk dan khususnya para Tour Guides dan pemilik hotel langganan di luar negeri, menambah besar keyakinan dapat terwujudnya harapan ini. Keterbukaan Raptim untuk mendengar masukan, berupa saran dan kritik, dari para peserta ziarah sangat baik dan terpuji. Masukan-masukan itu dapat sangat membantu Raptim dalam upaya terus-menerus meningkatkan pelayanannya menjadi semakin baik.

Dirgahayu RAPTIM! Panjang umur dan maju terus “demi kemuliaan Allah … dan kebahagiaan manusia”! (LG,17; AG,9).


Makassar, 11 Mei 2015

John Liku-Ada’
Uskup Agung Makassar

Tidak ada komentar: