
Dalam Injil Yohanes, Yesus menanyakan 3 kali kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” dan Simon menjawab: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Yesus berkata: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus seolah-olah ditanyakan pula oleh Yesus kepada saya saat saya ditahbiskan imam. Dan jawaban saya seperti jawaban Simon Petrus: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dan Yesus berkata kepada saya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Waktu itu saya belum tahu konsekwensi dari apa saya ucapkan itu. Sesudah 40 tahun sebagai gembala-Nya, baru saya mengerti isi dari komitmen yang saya ucapkan saat saya ditahbiskan itu.
Bercerita tentang panggilan saya, pertama-tama hanya Allah saja yang tahu. Yang pasti bahwa panggilan saya adalah karunia Tuhan, bukan karena jasa saya, melainkan karena Kasih-Nya yang besar kepada Gereja. Yesus berkata: “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu.” Berikut ini saya mau membagikan secara singkat pengalaman saya selama 40 tahun sebagai imam. Anggaplah ini sebagai suatu kesaksian.
Keluarga dan Latar Belakang Panggilan Saya

Selama satu minggu saya tinggal di Seminari Maryhurst di Baguio sebagai tahap perkenalan. Di sana saya bertemu dengan Frater-Frater yang sangat ramah. Saya mengenal gaya dan irama hidup mereka di seminari, betapa teratur: ada waktu untuk berdoa, ada waktu untuk belajar, waktu untuk tidur, waktu untuk bangun, waktu untuk berolah-raga, dstnya. Selama satu minggu itu saya merasa kerasan. Menjelang pulang, saya diwawancara oleh Rektor dan sekaligus diberi tes masuk. Dua minggu kemudian saya mendapat surat bahwa saya boleh masuk seminari. Maka, pada 31 Mei 1959 saya masuk seminari dan mengikuti filsafat. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1962-63 saya masuk novisiat. Dan sesudahnya dilanjutkan satu tahun lagi filsafat (1964). Pada tahun 1965 saya masuk Teologi di Seminari Tinggi Sto. Karolus, Makati, Rizal.
Panggilan Saya Diuji
Selama tujuh tahun pertama di seminari, panggilan saya itu berjalan mulus. Akan tetapi ketika saya di tingkat II Teologi, saya mengalami cobaan dalam panggilan saya. Pada 25 Februari 1966 bapa saya meninggal. Saya sangat terpukul dengan peristiwa itu, seperti badai yang melanda hidup saya. Saya merasa kasihan pada ibu saya yang terpaksa harus mencari nafkah untuk saudara-saudara saya. Ketika saya berkonsultasi dengan Mama, kakek, om dan tante, mereka semua menasihati saya untuk meneruskan panggilan saya, bilamana memang saya bertekad untuk menjadi imam. Kata-kata dari Mama sangat meneguhkan dan sekaligus menantang iman saya: “Jangan memikirkan kami. Tuhan menyertai kami. Percaya kepada-Nya dan penyelenggaraan ilahi-Nya.” Saya juga berkonsultasi dengan bapa rohani saya. Mereka semua mendukung supaya saya meneruskan panggilan saya. Peneguhan mereka itu saya anggap dari suara Tuhan sendiri, maka saya meneruskan panggilan saya. Jika sekarang – 42 tahun kemudian - saya melihat keadaan keluarga saya, saya sungguh dapat mengatakan bahwa memang benar apa yang dengan penuh iman diucapkan Mama kepada saya. Tuhan menyertai dan menyejahterakan mereka baik jasmani maupun rohani. Tuhan itu baik dan setia akan janji-janji-Nya! Mama saya sekarang mencapai umur 93 tahun, masih sehat, namun tidak bisa datang di tengah-tengah kita sekarang.

Tugas Pastoral di Paroki Makale (1974-1976)

Waktu tiba di Makale, Tana Toraja, saya terkesan melihat keindahan alam Tana Toraja dan mengalami kebaikan dan keramah-tamahan orang-orang Toraja. Di paroki Makale, Pastor Andy dan saya tinggal bersama-sama dengan pastor paroki Mgr. Karolus Noldus dan P. Wim Letschert. Minggu-minggu pertama, saya sebagai seorang misionaris berusaha menyesuaikan diri. Pertama, saya berusaha belajar bahasa Toraja. Kata pertama yang saya bisa ungkap adalah: “Manasumoraka?” Menurut orang Toraja, kata-kata itu adalah cara menyalami orang. Maka setiap kali saya lewat rumah orang saya selalu memberi salam kepada mereka: Manasumoraka!” Dan orang menjawab “manasumo.” Akan tetapi, karena kesibukan, saya tidak sempat meneruskan untuk belajar bahasa Toraja selanjutnya. (Saya menyesal sekarang!) Di Makale, saya juga belajar mengemudikan sepeda motor. Pada suatu hari habis Misa pagi di kapel Suster JMJ di Paku, saya pulang. Akan tetapi persis di depan gedung lembaga kemasyarakatan, ada mobil yang menabrak saya dari belakang. Saya jatuh. Ketika jatuh, banyak orang dari kantor keluar dan melihat saya dan berteriak: “O, Pastor tertabrak mobil.” Lalu, saya diangkat dan dibawa ke rumah sakit dan di situ saya disuntik. Pengalaman itu membuat saya was-was setiap kali naik sepeda motor.
Kami senang bertemu dengan Pastor Noel Valencia, CICM, di Paroki Minanga. Kami juga mulai berkenalan dengan para imam projo dan konfrater-konfrater CICM lainnya. Kami saksikan bahwa hubungan antara CICM dan imam projo baik dan harmonis. Ketika Mgr. Noldus pulang ke Belanda, beliau digantikan Pastor Maris Marannu, pr. Kesan kami Pastor Maris baik hati tetapi tegas! (Sampai sekarang, benar ‘kan, Pastor Maris?) Pastor Andy dan saya senang bahwa seorang imam projo menjadi pastor paroki Makale. Kami berdua tetap sebagai pastor bantu yang bertugas ke stasi-stasi. Pastor Andy, karena orangnya besar dan gemuk, ditugaskan di stasi-stasi yang gampang dikunjungi dan tidak perlu naik gunung. Sedangkan saya, karena kurus waktu itu saya ke stasi-stasi yang jauh dan harus naik turun gunung seperti stasi Santung, Pasang, Bera, Palesan, Pa’buaran, Kayosing. Namun, saya juga sempat mengunjungi stasi-stasi yang lain, seperti Botang, Kalembang, Tampo, Lapandan, Tarongko-Mariali, Batupapan, Padangiring dan Rantetayo. Di Paroki, kami berdua didampingi kedua katekis yang sangat membantu kami sebagai pastor baru. Mereka itu adalah katekis Bpk. Vinsentius Tulak dan Bpk. Thomas Pasulle (alm.) yang penuh dedikasi dan setia pada panggilan mereka sebagai katekis. Kedua mereka itu adalah bagi saya “malaikat” Tuhan, karena selalu mendampingi saya dan Pastor Andy. Tugas utama kami di paroki adalah mengunjungi umat di stasi-stasi dan merayakan Ekaristi. Bersama Katekis, saya seringkali berjalan kaki, naik gunung, menyeberangi sungai, dan melewati jalan-jalan yang berbatu-batu dan becek dan licin jika musim hujan. Mengunjungi umat di stasi-stasi itu paling saya sukai karena bisa bergaul, mengenal dan belajar dari orang-orang kampung. Di stasi, saya dengan katekis berusaha untuk tinggal beberapa hari mengumpulkan umat, mengadakan doa keluarga di bawah sinar lilin atau lampu petromaks (belum ada listrik waktu itu di pedalaman) dan memberi pendalaman iman. Makan minum seadanya, tidur di lantai di rumah umat, merasakan irama hidup mereka di kampung dan menyaksikan bagaimana umat memberi yang terbaik buat pastornya sangat menyentuh hati saya – pengalaman yang tidak pernah saya lupakan. Di pusat kota, Pastor Andy dan saya, dibantu oleh kedua katekis, mengadakan pendalaman iman dan pertemuan-pertemuan berkala untuk para pengantar dan pengurus-pengurus stasi.
Pernah ada peristiwa yang lucu yang terjadi bagi saya dan Pastor Andy. Pada suatu hari saya dan Pastor Andy menghadiri upacara pesta orang mati di Sangalla. Sebagai orang yang baru tiba di Tana Toraja, kami berdua menonton bagaimana seseorang laki-laki, dengan sekuat tenaganya menyembelih seekor kerbau dengan parang. Saya berusaha memotretnya. Akan tetapi, tiba-tiba kerbau yang setengah hidup itu terlepas dari ikatnya dan lari berputar-putar keliling lapangan. Semua orang lari ketakutan, termasuk saya dan Pastor Andy. Saya lari lebih cepat daripada Pastor Andy yang berbadan berat itu. Kebetulan sambil lari saya terjatuh dan tahu-tahu Pastor Andy ikut terjatuh -- persis di belakang saya! Saya sangat takut mengira kerbau yang jatuh di belakang saya. Syukurlah hanya Pastor Andy!
Di Tana Toraja pada umumnya, dan di paroki Makale khususnya, saya mengalami suka duka orang-orang di kampung yang sangat memperkaya saya dalam hidup sebagai seorang imam dan misionaris. Kesaksian hidup dan iman mereka sungguh memperkuat iman dan panggilan saya untuk mewartakan Kristus dan menambah semangat saya untuk melayani umat untuk memberi diriku tanpa pamrih demi umat Allah. Untuk itulah saya menjadi imam misionaris.
Sayang sekali sesudah kira-kira tiga tahun di Makale, Provinsial P. Paul Catry waktu itu, menyampaikan bahwa tenaga saya sangat dibutuhkan di Filipina. Dengan berat hati saya meninggalkan Paroki Makale dan Indonesia untuk kembali ke tanah air saya pada akhir bulan Desember 1976.
Pastoral di Daerah Transmigrasi di Koya-Skanto (1986 – 1994)
Tugas pastoral yang lain adalah ketika saya ditugaskan di Irian Jaya, khususnya di Keuskupan Jayapura. Pada pertengahan tahun 1986 saya berangkat dan kembali ke Indonesia. Saya langsung diberi tempat tugas oleh Pater Provinsial – waktu itu Pater Ludo Reekmans – untuk ke Irian Jaya (Papua sekarang), khususnya Keuskupan Jayapura. Ketika di Irian Jaya terus terang saya merasa lain sekali. Pertama-tama saya merasa saya hidup di ujung bumi – jauh dari hidup modern yang saya kenal. Rasanya seperti jam berbalik dari zaman modern ke zaman yang baru saja keluar dari zaman batu. Saya berjumpa dengan budaya peramu dan berburu, budaya koteka dan tarian susu, budaya di mana penduduk asli sungguh-sungguh bersahabat dengan hutan dan alam, budaya di mana banyak “tabu” atau larangan masih mempengaruhi hidup mereka, budaya yang masih memamakai sistem “barter”, budaya di mana irama hidup sangat pelan, dan konsep waktu adalah “kairos” yaitu peristiwa dan rahmat bukan “kronos” yaitu waktu dihitung dengan jam. Kesan saya bahwa orang-orang Papua sungguh menikmati hari yang diberi Tuhan. Mereka tidak pusing, khawatir atau stress dengan besok harinya. Dalam hal itu, saya berkesimpulan bahwa orang-orang Papua lebih menghayati nilai-nilai Injili daripada manusia modern.
Di lain pihak, Gereja Papua yang sebagian besar imamnya berasal dari luar negeri waktu itu, berusaha dengan sepenuh tenaga untuk menjadikan Gereja relevan dengan situasi dan kondisi Papua, sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II. Kaum awam dilibatkan dalam tugas-tugas pastoral dan administrasi gerejani. Misalnya: istilah “pastor awam” baru saya dengar di Papua. Artinya, paroki-paroki dimana tidak ada imam, seorang awam – entah laki-laki atau perempuan, berkeluarga atau tidak, diberi tugas oleh Uskup untuk mengurus umat di paroki, kecuali memimpin Misa dan sakramen-sakramen lain. Untuk itu seorang imam dipanggil. Para “pastor awam” ini tentu dipersiapkan dengan mengikuti kuliah di STFT- Fajar Timur. STFT itu terbuka bagi para calon imam dan pastor awam. Pastor awam harus menyelesaikan filsafat-teologinya sebelum ditugaskan sebagai pastor awam. Di Keuskupan Jayapura saya sangat terkesan karena kaum awamlah yang diangkat menjadi ketua-ketua Komisi Keuskupan, bahkan sekretaris Uskup seorang awam, demikian juga bendahara yang dipercayakan untuk mengurus keuangan keuskupan adalah seorang awam yang didampingi oleh seorang Bruder OFM. Ketika di Papua, saya menyaksikan bagaimana para Uskup di Papua berusaha keras untuk menghadirkan Gereja di tengah-tengah masyarakat majemuk dengan budaya modern dan budaya tradisional yang bercampur aduk. Sungguh, saya salut pada para Uskup, imam dan misionaris di Papua!
Di Jayapura, selain mengajar sebagai staf dosen di STFT-Fajar Timur, saya juga dapat kesempatan untuk berpastoral, atas permintaan saya sendiri. Tugas pastoral saya yang pertama di Jayapura, Papua, adalah pastor bantu di paroki Sto. Willibrordus, Arso, perbatasan Jayapura dan Papua New Guinea, letaknya 50 km. bagian selatan Jayapura. Sesudah satu tahun, saya diangkat Mgr. Herman Munninghoff, OFM, untuk mulai membentuk paroki baru di daerah-daerah transmigrasi di mana saya menjadi Pastor Paroki Koya-Skanto yang pertama.
Paroki Koya-Skanto ini adalah paroki dengan stasi-stasi yang terpencar-pencar dan beranggotaan transmigran dan putera-putera daerah. Bersama umat kami berhasil mendirikan sebuah gereja. Ketika gereja itu diresmikan oleh Bp. Uskup, kami menamainya “Paroki Kristus Sang Penabur.” Kami menamainya demikian karena terinspirasi oleh kondisi masyarakat setempat yang adalah para petani. Tugas pastoral saya, adalah mengunjungi umat, membentuk komunitas-komunitas kristiani di stasi, mendampingi pengurus-pengurus stasi, memberi penyuluhan, merayakan sakramen-sakramen, dan memperhatikan segi sosio-ekonomi umat dan membangun tempat ibadah bagi umat Katolik di stasi-stasi. Untuk tugas-tugas itu saya bersyukur sekali karena mendapat dua tenaga yang andal. Yang pertama adalah seorang katekis yang bernama Sdra. Agustinus Eko Widiyatmono, yang kemudian terpanggil menjadi imam. Tenaga yang kedua adalah seorang awam, guru SMA Taruna Bhakti sukarelawan dari Jawa, tetapi sudah lama tinggal di Waena, Abepura. Namanya adalah Bpk. Rafael Karsinu. Dia adalah orang yang penuh dedikasi dan perhatian terhadap kaum transmigran dan putera-putera daerah. Kepadanya dipercayakan oleh Keuskupan untuk mengurus hal-hal dalam bidang ekonomi masyarakat di paroki tempat saya bertugas. Dia memberi penyuluhan. Kami bertiga berusaha untuk bekerja sebagai tim. Dalam kunjungan di stasi-stasi Bpk. Karsinu selalu ikut mendampingi saya. Kami berdua sering mengalami banyak kesulitan dan tantangan dalam mengurusi umat. Pertama, medan menuju paroki dan stasi-stasi sangat sulit karena sering harus menanjak gunung di tengah-tengah rimba dan hutan. Selain itu, jalan berbatu-batu dan berlobang-lobang, dan bila hujan jalan licin dan becek sehingga sopir harus berhati-hati jangan sampai jatuh ke jurang; mobil kami kadang-kadang mogok di tengah jalan karena lumpur begitu dalam. Pernah kami harus berjalan kaki malam hari menuju stasi. Setelah tiba di rumah transmigran atau orang Papua, baru kami merasa lega, bisa berbaring sedikit dan mandi.
Warga Koya-Skanto itu adalah campuran orang-orang asli Papua dan orang-orang transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa dan beragama Islam, ada juga dari Flores dan daerah-daerah lainnya. Di daerah transmigrasi keadaan memang sulit. Waktu itu saya menyaksikan sendiri kesulitan dan tantangan yang dialami masyarakat transmigran di Irian Jaya. Kondisi di tengah hutan yang dibabat dan kemudian dibangunkan pemukiman orang transmigran, belum memadai; medan jalan rusak, becek dan licin bila hujan, malaria merajalela sehingga banyak mereka menderita penyakit, kehidupan ekonomi sangat minim sehingga keluarga mendapatkan jatah dari pemerintah , yaitu – sembako – untuk satu tahun, sesudahnya mereka harus cari sendiri. Mereka pula mendapat dua hektar lahan untuk diolah dan ditanam sayur-mayur. Di temgan-tengah situasi yang memprihatinkan itu, saya berusaha mengunjungi mereka – baik umat Katolik maupun Protestan bahkan kaum Muslim, untuk menunjukkan rasa solidaritas saya sebagai pastor terhadap keadaan mereka yang demikian. Mudah-mudahan situasi mereka sekarang sudah berubah.
Berpastoral di tengah-tengah penduduk asli Papua menuntut perhatian khusus. Mereka adalah peramu dan suka berburu karena gaya hidup mereka itu memang demikian. Bersama Komisi Pengembangan Sosio-Ekonomi Keuskupan Jayapura, kami berusaha untuk memberi penyuluhan kepada umat asli Papua. Suster-Suster DSY mengumpulkan ibu-ibu untuk mengajar mereka membaca dan menulis, cara memelihara bayi dan anak-anak dan cara memasak. Sambil bapak-bapak juga diajar membaca dan menulis, dan diberi pelajaran bagaimana mengatur lahan. Mengalihkan mereka dari budaya peramu ke budaya tani merupakan tantangan besar.
Dari tahun 1988 – 1994, sebagai pastor paroki Koya-Skanto, saya menjadi Dekan Kerom (mirip Vikep). Kerom itu terletak di perbatasan Papua New Guinea dan Indonesia.
Saya sungguh mengagumi baik transmigran maupun putera-puteri Papua itu karena ditengah-tengah tantangan yang berat, mereka itu berupaya dan berjuang untuk bisa hidup, mereka bekerja keras untuk mencari nafkah, tanpa menyerah dan putus asa. Disana saya menyaksikan bagaimana mereka betul-betul memperjuangkan nilai-nilai kehidupan supaya tetap hidup – nilai-nilai seperti kerja keras tanpa menyerah, tabah, tekun, saling membantu, saling membagi dan merasakan suka duka hidup dan di tengah-tengah tantangan, kesulitan dan serba kekurangan itu – mereka bisa tetap tersenyum dan tertawa dan takwa kepada Tuhan. Nilai-nilai kehidupan itulah yang saya peroleh dari mereka dan yang sungguh menyadarkan saya bahwa hidup manusia adalah suatu perjuangan. Setiap kali saya mengunjungi keluarga-keluarga, saya disambut dengan senyum dan ramah – menunjukkan bahwa Tuhan memang menyertai mereka, bahwa Tuhan di pihak mereka. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Tuhan, mereka akan memperoleh kerajaan Allah.” Demikianlah nilai-nilai kehidupan dan Injili yang luhur, indah dan kaya yang saya peroleh dari orang-orang sederhana itu. Untuk itu saya bersyukur kepada Tuhan karena mereka telah memperkuat iman dan panggilan saya untuk setia padaNya. Aku hendak menyanyikan kasih-setia Tuhan untuk selama-lamanya.
Makna Imamat Saya

1. Sakramen Imamat yang adalah karunia dari Tuhan, menyadarkan saya bahwa Sakramen Imamat adalah pertama-tama panggilan, bukan status atau fungsi. Maka sebagai panggilan, menuntut hati dan dedikasi.
2. Sakramen Imamat itu adalah suatu bentuk pelayanan seturut dengan teladan Yesus yang berkata: Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
3. Sakramen Imamat adalah pemberian diri secara utuh kepada Tuhan dan sesama manusia.
Saya menyadari bahwa apa yang saya berikan atau bagikan kepada saudara-saudara sangat sedikit ketimbang apa yang anda memberikan kepada saya yang membuat saya kaya dan hidup saya lebih berarti. Oleh karena itu, saya hendak menyanyikan kasih-setia Tuhan untuk selama-lamanya.”*** (Sumber: P. Ernesto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar