Selasa, 23 Desember 2008

Panca Windu Tahbisan Imamat: P. Ernesto Amigleo cicm

Pada hari yang berbahagia ini saya bergembira dan bersyukur kepada Tuhan atas karunia Sakramen Imamat yang oleh kasih-Nya yang besar dianugerahkan-Nya kepada saya. Maka, dalam rangka yubileum ini, saya “hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya.”

Dalam Injil Yohanes, Yesus menanyakan 3 kali kepada Simon Petrus: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih daripada mereka ini?” dan Simon menjawab: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Yesus berkata: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Pertanyaan Yesus kepada Simon Petrus seolah-olah ditanyakan pula oleh Yesus kepada saya saat saya ditahbiskan imam. Dan jawaban saya seperti jawaban Simon Petrus: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Dan Yesus berkata kepada saya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Waktu itu saya belum tahu konsekwensi dari apa saya ucapkan itu. Sesudah 40 tahun sebagai gembala-Nya, baru saya mengerti isi dari komitmen yang saya ucapkan saat saya ditahbiskan itu.

Bercerita tentang panggilan saya, pertama-tama hanya Allah saja yang tahu. Yang pasti bahwa panggilan saya adalah karunia Tuhan, bukan karena jasa saya, melainkan karena Kasih-Nya yang besar kepada Gereja. Yesus berkata: “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Aku yang memilih kamu.” Berikut ini saya mau membagikan secara singkat pengalaman saya selama 40 tahun sebagai imam. Anggaplah ini sebagai suatu kesaksian.

Keluarga dan Latar Belakang Panggilan Saya
Saya lahir dan bertumbuh dari keluarga yang sederhana dan takwa kepada Tuhan. Bapa saya seorang militer dan veteran Perang Dunia II. Mama saya adalah seorang ibu rumah tangga. Kami 4 bersaudara: kakak perempuan, saya, dan dua adik laki-laki. Pada masa kecil, Mama sering membawa saya ke gereja untuk ikut Misa pagi. Pada umur 8, saya menjadi misdinar. Sebagai misdinar timbul minat saya untuk menjadi imam yang bisa mengubah roti menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus. Namun pada masa remaja ketika saya di SMP dan SMA yang dikelola oleh para misionaris CICM, sekalipun saya tetap misdinar, minat itu luntur karena kesibukan dalam banyak kegiatan di sekolah baik kurikuler maupun ekstra-kurikuler. Selesai SMA saya melamar ke Sekolah Tinggi de La Salle (sekarang Universitas) dan mengikuti tes masuk. Saya lulus, namun diminta dari saya surat rekomendasi dari kepala sekolah SMA yang adalah seorang pastor CICM. Dalam percakapan kami, dia berkata: saya pernah dengar dari orang-tuamu bahwa kau ada minat untuk menjadi imam.” Saya menjawab: “ya, dulu ketika SD. Tetapi sekarang saya mau lanjut studi ke de La Salle.” Lalu dia katakan, seolah-olah tidak mendengar apa yang saya katakan: “coba pergi ke Seminari CICM di Baguio.” Baguio itu sebuah kota di pegunungan (mirip Tana Toraja) 250 km jauhnya dari ibukota Manila. Ketika saya minta izin dari orang-tua, bapa saya kurang setuju. Dia mengatakan bahwa dia mau supaya saya menjadi seorang duta besar Filipina, abdi negara. Bapa saya tidak menyadari bahwa pada suatu hari anaknya ini akan menjadi duta besar, akan tetapi duta besar Kristus untuk Indonesia! Mama sangat setuju dengan kepergian saya ke seminari. Bagaimana Mama dapat mempengaruhi atau membujuk bapa saya untuk mengizinkan saya masuk seminari, itu saya tidak tahu.

Selama satu minggu saya tinggal di Seminari Maryhurst di Baguio sebagai tahap perkenalan. Di sana saya bertemu dengan Frater-Frater yang sangat ramah. Saya mengenal gaya dan irama hidup mereka di seminari, betapa teratur: ada waktu untuk berdoa, ada waktu untuk belajar, waktu untuk tidur, waktu untuk bangun, waktu untuk berolah-raga, dstnya. Selama satu minggu itu saya merasa kerasan. Menjelang pulang, saya diwawancara oleh Rektor dan sekaligus diberi tes masuk. Dua minggu kemudian saya mendapat surat bahwa saya boleh masuk seminari. Maka, pada 31 Mei 1959 saya masuk seminari dan mengikuti filsafat. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1962-63 saya masuk novisiat. Dan sesudahnya dilanjutkan satu tahun lagi filsafat (1964). Pada tahun 1965 saya masuk Teologi di Seminari Tinggi Sto. Karolus, Makati, Rizal.

Panggilan Saya Diuji
Selama tujuh tahun pertama di seminari, panggilan saya itu berjalan mulus. Akan tetapi ketika saya di tingkat II Teologi, saya mengalami cobaan dalam panggilan saya. Pada 25 Februari 1966 bapa saya meninggal. Saya sangat terpukul dengan peristiwa itu, seperti badai yang melanda hidup saya. Saya merasa kasihan pada ibu saya yang terpaksa harus mencari nafkah untuk saudara-saudara saya. Ketika saya berkonsultasi dengan Mama, kakek, om dan tante, mereka semua menasihati saya untuk meneruskan panggilan saya, bilamana memang saya bertekad untuk menjadi imam. Kata-kata dari Mama sangat meneguhkan dan sekaligus menantang iman saya: “Jangan memikirkan kami. Tuhan menyertai kami. Percaya kepada-Nya dan penyelenggaraan ilahi-Nya.” Saya juga berkonsultasi dengan bapa rohani saya. Mereka semua mendukung supaya saya meneruskan panggilan saya. Peneguhan mereka itu saya anggap dari suara Tuhan sendiri, maka saya meneruskan panggilan saya. Jika sekarang – 42 tahun kemudian - saya melihat keadaan keluarga saya, saya sungguh dapat mengatakan bahwa memang benar apa yang dengan penuh iman diucapkan Mama kepada saya. Tuhan menyertai dan menyejahterakan mereka baik jasmani maupun rohani. Tuhan itu baik dan setia akan janji-janji-Nya! Mama saya sekarang mencapai umur 93 tahun, masih sehat, namun tidak bisa datang di tengah-tengah kita sekarang.

Selama 40 tahun imamat saya, ada tugas-tugas yang dipercayakan kepada saya. Pertama, saya ditugaskan untuk studi di Universitas Gregoriana, Fakultas Ilmu Sosial, di Roma dan kemudian dilanjutkan di Amerika Serikat. Saya menjadi Rektor Seminari Tinggi CICM di Filipina, kemudian dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi-Fajar Timur, di Abepura, Jayapura, Magister Novis CICM di Sang Tunas, Makassar, dan Pastor Kampus di Universitas Atma Jaya-Makassar. Selain itu saya dapat tugas di bidang administrasi, pertama sebagai Wakil Provinsial dan Provinsial CICM di Filipina, dan kemudian Wakil Provinsial CICM di Indonesia (3 kali) dan anggota dewan Provinsi Indonesia untuk 18 tahun; dan pada 1 September 2003, saya diangkat Uskup Agung Mgr. John Liku Ada’ sebagai Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Makassar. Saya juga berkarya di bidang pastoral. Masing-masing tugas itu mempunyai keistimewaan, tanggung-jawab, tantangan dan suka dukanya. Masing-masing tugas saya sukai. Namun, tugas yang paling saya sukai adalah tugas pastoral baik waktu di Filipina, maupun di Makale, Tana Toraja pada tahun 1974-1976 dan di Irian Jaya pada tahun 1986 -1994. Karena waktu tidak mengizinkan, maka saya hanya mau sharing-kan pengalaman pastoral saya di Makale dan di Irian Jaya. Pada bulan Januari 1974 saya bersama Pastor Andy Altamirano, (alm.), berangkat ke Indonesia.

Tugas Pastoral di Paroki Makale (1974-1976)
Tiba di Makassar, Pastor Andy dan saya belajar bahasa Indonesia di Seminari Menengah Sto. Petrus Claver di mana rektor waktu itu adalah Pastor Jose Saplala (alm). Di SPC pada malam pertama saya terkejut dan terbangun karena pagi-pagi buta saya mendengar suara-suara keras dari mesjid untuk bangunkan umat Muslim buat shalat. Di sekitar seminari saya melihat banyak mesjid dan banyak saudara-saudara Muslim pergi bersembahyang. Saya sangat terkesan ketika melihat bahwa lebih banyak laki-laki yang pergi sembahyang daripada perempuan. Yang menarik perhatian saya juga adalah kaum laki-laki pakai sarung, sebagai ganti celana. Bagi saya itu suatu hal yang baru. Sebagai usaha mengenkulturasikan atau menyesuaikan diri, saya juga mulai memakai sarung. Pada awalnya, saya merasa aneh. Tetapi lama kelamaan, saya senang. Di seminari saya mengambil kesempatan untuk belajar naik sepeda. Saya juga belajar bahasa Indonesia di bawah bimbingan seorang guru yang baik, Bpk. Jan Kedang, yang sangat membantu saya. Saya juga menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar Seminari. Sambil berjalan-jalan di pasar, di pantai dan seputar jalan Somba Opu, saya menyaksikan bagaimana saudara-saudara Muslim kita itu sembahyang baik di tengah pasar maupun di pinggir jalan. Saya sangat terkesan betapa religius saudara-saudara Muslim kita itu dan takwanya kepada Allah. Sedikit demi sedikit saya berkenalan dengan beberapa keluarga Muslim di sekitar seminari. Dalam kunjungan saya prasangka-prasangka saya yang jelek tentang mereka ketika masih di Filipina perlahan-lahan berubah. Saya merasakan keramah-tamahan mereka dan sekalipun bahasa Indonesia saya waktu itu masih patah-patah mereka dapat memahami dan memaafkannya karena saya seorang asing. Pernah ketika saya memimpin Misa Kudus di gereja Gotong-Gotong dalam bahasa Indonesia, saya salah ucap. Yang seharusnya “marilah kita berdoa,” saya katakan: “marilah kita berdosa!” Setelah dua bulan belajar bahasa, pada bulan April 1974 Provinsial langsung mengutus saya dan Pastor Andy, kami berdua, untuk jadi pastor bantu di Paroki Makale, Tana Toraja.

Waktu tiba di Makale, Tana Toraja, saya terkesan melihat keindahan alam Tana Toraja dan mengalami kebaikan dan keramah-tamahan orang-orang Toraja. Di paroki Makale, Pastor Andy dan saya tinggal bersama-sama dengan pastor paroki Mgr. Karolus Noldus dan P. Wim Letschert. Minggu-minggu pertama, saya sebagai seorang misionaris berusaha menyesuaikan diri. Pertama, saya berusaha belajar bahasa Toraja. Kata pertama yang saya bisa ungkap adalah: “Manasumoraka?” Menurut orang Toraja, kata-kata itu adalah cara menyalami orang. Maka setiap kali saya lewat rumah orang saya selalu memberi salam kepada mereka: Manasumoraka!” Dan orang menjawab “manasumo.” Akan tetapi, karena kesibukan, saya tidak sempat meneruskan untuk belajar bahasa Toraja selanjutnya. (Saya menyesal sekarang!) Di Makale, saya juga belajar mengemudikan sepeda motor. Pada suatu hari habis Misa pagi di kapel Suster JMJ di Paku, saya pulang. Akan tetapi persis di depan gedung lembaga kemasyarakatan, ada mobil yang menabrak saya dari belakang. Saya jatuh. Ketika jatuh, banyak orang dari kantor keluar dan melihat saya dan berteriak: “O, Pastor tertabrak mobil.” Lalu, saya diangkat dan dibawa ke rumah sakit dan di situ saya disuntik. Pengalaman itu membuat saya was-was setiap kali naik sepeda motor.

Kami senang bertemu dengan Pastor Noel Valencia, CICM, di Paroki Minanga. Kami juga mulai berkenalan dengan para imam projo dan konfrater-konfrater CICM lainnya. Kami saksikan bahwa hubungan antara CICM dan imam projo baik dan harmonis. Ketika Mgr. Noldus pulang ke Belanda, beliau digantikan Pastor Maris Marannu, pr. Kesan kami Pastor Maris baik hati tetapi tegas! (Sampai sekarang, benar ‘kan, Pastor Maris?) Pastor Andy dan saya senang bahwa seorang imam projo menjadi pastor paroki Makale. Kami berdua tetap sebagai pastor bantu yang bertugas ke stasi-stasi. Pastor Andy, karena orangnya besar dan gemuk, ditugaskan di stasi-stasi yang gampang dikunjungi dan tidak perlu naik gunung. Sedangkan saya, karena kurus waktu itu saya ke stasi-stasi yang jauh dan harus naik turun gunung seperti stasi Santung, Pasang, Bera, Palesan, Pa’buaran, Kayosing. Namun, saya juga sempat mengunjungi stasi-stasi yang lain, seperti Botang, Kalembang, Tampo, Lapandan, Tarongko-Mariali, Batupapan, Padangiring dan Rantetayo. Di Paroki, kami berdua didampingi kedua katekis yang sangat membantu kami sebagai pastor baru. Mereka itu adalah katekis Bpk. Vinsentius Tulak dan Bpk. Thomas Pasulle (alm.) yang penuh dedikasi dan setia pada panggilan mereka sebagai katekis. Kedua mereka itu adalah bagi saya “malaikat” Tuhan, karena selalu mendampingi saya dan Pastor Andy. Tugas utama kami di paroki adalah mengunjungi umat di stasi-stasi dan merayakan Ekaristi. Bersama Katekis, saya seringkali berjalan kaki, naik gunung, menyeberangi sungai, dan melewati jalan-jalan yang berbatu-batu dan becek dan licin jika musim hujan. Mengunjungi umat di stasi-stasi itu paling saya sukai karena bisa bergaul, mengenal dan belajar dari orang-orang kampung. Di stasi, saya dengan katekis berusaha untuk tinggal beberapa hari mengumpulkan umat, mengadakan doa keluarga di bawah sinar lilin atau lampu petromaks (belum ada listrik waktu itu di pedalaman) dan memberi pendalaman iman. Makan minum seadanya, tidur di lantai di rumah umat, merasakan irama hidup mereka di kampung dan menyaksikan bagaimana umat memberi yang terbaik buat pastornya sangat menyentuh hati saya – pengalaman yang tidak pernah saya lupakan. Di pusat kota, Pastor Andy dan saya, dibantu oleh kedua katekis, mengadakan pendalaman iman dan pertemuan-pertemuan berkala untuk para pengantar dan pengurus-pengurus stasi.
Pernah ada peristiwa yang lucu yang terjadi bagi saya dan Pastor Andy. Pada suatu hari saya dan Pastor Andy menghadiri upacara pesta orang mati di Sangalla. Sebagai orang yang baru tiba di Tana Toraja, kami berdua menonton bagaimana seseorang laki-laki, dengan sekuat tenaganya menyembelih seekor kerbau dengan parang. Saya berusaha memotretnya. Akan tetapi, tiba-tiba kerbau yang setengah hidup itu terlepas dari ikatnya dan lari berputar-putar keliling lapangan. Semua orang lari ketakutan, termasuk saya dan Pastor Andy. Saya lari lebih cepat daripada Pastor Andy yang berbadan berat itu. Kebetulan sambil lari saya terjatuh dan tahu-tahu Pastor Andy ikut terjatuh -- persis di belakang saya! Saya sangat takut mengira kerbau yang jatuh di belakang saya. Syukurlah hanya Pastor Andy!

Di Tana Toraja pada umumnya, dan di paroki Makale khususnya, saya mengalami suka duka orang-orang di kampung yang sangat memperkaya saya dalam hidup sebagai seorang imam dan misionaris. Kesaksian hidup dan iman mereka sungguh memperkuat iman dan panggilan saya untuk mewartakan Kristus dan menambah semangat saya untuk melayani umat untuk memberi diriku tanpa pamrih demi umat Allah. Untuk itulah saya menjadi imam misionaris.

Sayang sekali sesudah kira-kira tiga tahun di Makale, Provinsial P. Paul Catry waktu itu, menyampaikan bahwa tenaga saya sangat dibutuhkan di Filipina. Dengan berat hati saya meninggalkan Paroki Makale dan Indonesia untuk kembali ke tanah air saya pada akhir bulan Desember 1976.

Pastoral di Daerah Transmigrasi di Koya-Skanto (1986 – 1994)
Tugas pastoral yang lain adalah ketika saya ditugaskan di Irian Jaya, khususnya di Keuskupan Jayapura. Pada pertengahan tahun 1986 saya berangkat dan kembali ke Indonesia. Saya langsung diberi tempat tugas oleh Pater Provinsial – waktu itu Pater Ludo Reekmans – untuk ke Irian Jaya (Papua sekarang), khususnya Keuskupan Jayapura. Ketika di Irian Jaya terus terang saya merasa lain sekali. Pertama-tama saya merasa saya hidup di ujung bumi – jauh dari hidup modern yang saya kenal. Rasanya seperti jam berbalik dari zaman modern ke zaman yang baru saja keluar dari zaman batu. Saya berjumpa dengan budaya peramu dan berburu, budaya koteka dan tarian susu, budaya di mana penduduk asli sungguh-sungguh bersahabat dengan hutan dan alam, budaya di mana banyak “tabu” atau larangan masih mempengaruhi hidup mereka, budaya yang masih memamakai sistem “barter”, budaya di mana irama hidup sangat pelan, dan konsep waktu adalah “kairos” yaitu peristiwa dan rahmat bukan “kronos” yaitu waktu dihitung dengan jam. Kesan saya bahwa orang-orang Papua sungguh menikmati hari yang diberi Tuhan. Mereka tidak pusing, khawatir atau stress dengan besok harinya. Dalam hal itu, saya berkesimpulan bahwa orang-orang Papua lebih menghayati nilai-nilai Injili daripada manusia modern.

Di lain pihak, Gereja Papua yang sebagian besar imamnya berasal dari luar negeri waktu itu, berusaha dengan sepenuh tenaga untuk menjadikan Gereja relevan dengan situasi dan kondisi Papua, sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II. Kaum awam dilibatkan dalam tugas-tugas pastoral dan administrasi gerejani. Misalnya: istilah “pastor awam” baru saya dengar di Papua. Artinya, paroki-paroki dimana tidak ada imam, seorang awam – entah laki-laki atau perempuan, berkeluarga atau tidak, diberi tugas oleh Uskup untuk mengurus umat di paroki, kecuali memimpin Misa dan sakramen-sakramen lain. Untuk itu seorang imam dipanggil. Para “pastor awam” ini tentu dipersiapkan dengan mengikuti kuliah di STFT- Fajar Timur. STFT itu terbuka bagi para calon imam dan pastor awam. Pastor awam harus menyelesaikan filsafat-teologinya sebelum ditugaskan sebagai pastor awam. Di Keuskupan Jayapura saya sangat terkesan karena kaum awamlah yang diangkat menjadi ketua-ketua Komisi Keuskupan, bahkan sekretaris Uskup seorang awam, demikian juga bendahara yang dipercayakan untuk mengurus keuangan keuskupan adalah seorang awam yang didampingi oleh seorang Bruder OFM. Ketika di Papua, saya menyaksikan bagaimana para Uskup di Papua berusaha keras untuk menghadirkan Gereja di tengah-tengah masyarakat majemuk dengan budaya modern dan budaya tradisional yang bercampur aduk. Sungguh, saya salut pada para Uskup, imam dan misionaris di Papua!

Di Jayapura, selain mengajar sebagai staf dosen di STFT-Fajar Timur, saya juga dapat kesempatan untuk berpastoral, atas permintaan saya sendiri. Tugas pastoral saya yang pertama di Jayapura, Papua, adalah pastor bantu di paroki Sto. Willibrordus, Arso, perbatasan Jayapura dan Papua New Guinea, letaknya 50 km. bagian selatan Jayapura. Sesudah satu tahun, saya diangkat Mgr. Herman Munninghoff, OFM, untuk mulai membentuk paroki baru di daerah-daerah transmigrasi di mana saya menjadi Pastor Paroki Koya-Skanto yang pertama.

Paroki Koya-Skanto ini adalah paroki dengan stasi-stasi yang terpencar-pencar dan beranggotaan transmigran dan putera-putera daerah. Bersama umat kami berhasil mendirikan sebuah gereja. Ketika gereja itu diresmikan oleh Bp. Uskup, kami menamainya “Paroki Kristus Sang Penabur.” Kami menamainya demikian karena terinspirasi oleh kondisi masyarakat setempat yang adalah para petani. Tugas pastoral saya, adalah mengunjungi umat, membentuk komunitas-komunitas kristiani di stasi, mendampingi pengurus-pengurus stasi, memberi penyuluhan, merayakan sakramen-sakramen, dan memperhatikan segi sosio-ekonomi umat dan membangun tempat ibadah bagi umat Katolik di stasi-stasi. Untuk tugas-tugas itu saya bersyukur sekali karena mendapat dua tenaga yang andal. Yang pertama adalah seorang katekis yang bernama Sdra. Agustinus Eko Widiyatmono, yang kemudian terpanggil menjadi imam. Tenaga yang kedua adalah seorang awam, guru SMA Taruna Bhakti sukarelawan dari Jawa, tetapi sudah lama tinggal di Waena, Abepura. Namanya adalah Bpk. Rafael Karsinu. Dia adalah orang yang penuh dedikasi dan perhatian terhadap kaum transmigran dan putera-putera daerah. Kepadanya dipercayakan oleh Keuskupan untuk mengurus hal-hal dalam bidang ekonomi masyarakat di paroki tempat saya bertugas. Dia memberi penyuluhan. Kami bertiga berusaha untuk bekerja sebagai tim. Dalam kunjungan di stasi-stasi Bpk. Karsinu selalu ikut mendampingi saya. Kami berdua sering mengalami banyak kesulitan dan tantangan dalam mengurusi umat. Pertama, medan menuju paroki dan stasi-stasi sangat sulit karena sering harus menanjak gunung di tengah-tengah rimba dan hutan. Selain itu, jalan berbatu-batu dan berlobang-lobang, dan bila hujan jalan licin dan becek sehingga sopir harus berhati-hati jangan sampai jatuh ke jurang; mobil kami kadang-kadang mogok di tengah jalan karena lumpur begitu dalam. Pernah kami harus berjalan kaki malam hari menuju stasi. Setelah tiba di rumah transmigran atau orang Papua, baru kami merasa lega, bisa berbaring sedikit dan mandi.

Warga Koya-Skanto itu adalah campuran orang-orang asli Papua dan orang-orang transmigran yang kebanyakan berasal dari Jawa dan beragama Islam, ada juga dari Flores dan daerah-daerah lainnya. Di daerah transmigrasi keadaan memang sulit. Waktu itu saya menyaksikan sendiri kesulitan dan tantangan yang dialami masyarakat transmigran di Irian Jaya. Kondisi di tengah hutan yang dibabat dan kemudian dibangunkan pemukiman orang transmigran, belum memadai; medan jalan rusak, becek dan licin bila hujan, malaria merajalela sehingga banyak mereka menderita penyakit, kehidupan ekonomi sangat minim sehingga keluarga mendapatkan jatah dari pemerintah , yaitu – sembako – untuk satu tahun, sesudahnya mereka harus cari sendiri. Mereka pula mendapat dua hektar lahan untuk diolah dan ditanam sayur-mayur. Di temgan-tengah situasi yang memprihatinkan itu, saya berusaha mengunjungi mereka – baik umat Katolik maupun Protestan bahkan kaum Muslim, untuk menunjukkan rasa solidaritas saya sebagai pastor terhadap keadaan mereka yang demikian. Mudah-mudahan situasi mereka sekarang sudah berubah.

Berpastoral di tengah-tengah penduduk asli Papua menuntut perhatian khusus. Mereka adalah peramu dan suka berburu karena gaya hidup mereka itu memang demikian. Bersama Komisi Pengembangan Sosio-Ekonomi Keuskupan Jayapura, kami berusaha untuk memberi penyuluhan kepada umat asli Papua. Suster-Suster DSY mengumpulkan ibu-ibu untuk mengajar mereka membaca dan menulis, cara memelihara bayi dan anak-anak dan cara memasak. Sambil bapak-bapak juga diajar membaca dan menulis, dan diberi pelajaran bagaimana mengatur lahan. Mengalihkan mereka dari budaya peramu ke budaya tani merupakan tantangan besar.

Dari tahun 1988 – 1994, sebagai pastor paroki Koya-Skanto, saya menjadi Dekan Kerom (mirip Vikep). Kerom itu terletak di perbatasan Papua New Guinea dan Indonesia.
Saya sungguh mengagumi baik transmigran maupun putera-puteri Papua itu karena ditengah-tengah tantangan yang berat, mereka itu berupaya dan berjuang untuk bisa hidup, mereka bekerja keras untuk mencari nafkah, tanpa menyerah dan putus asa. Disana saya menyaksikan bagaimana mereka betul-betul memperjuangkan nilai-nilai kehidupan supaya tetap hidup – nilai-nilai seperti kerja keras tanpa menyerah, tabah, tekun, saling membantu, saling membagi dan merasakan suka duka hidup dan di tengah-tengah tantangan, kesulitan dan serba kekurangan itu – mereka bisa tetap tersenyum dan tertawa dan takwa kepada Tuhan. Nilai-nilai kehidupan itulah yang saya peroleh dari mereka dan yang sungguh menyadarkan saya bahwa hidup manusia adalah suatu perjuangan. Setiap kali saya mengunjungi keluarga-keluarga, saya disambut dengan senyum dan ramah – menunjukkan bahwa Tuhan memang menyertai mereka, bahwa Tuhan di pihak mereka. “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Tuhan, mereka akan memperoleh kerajaan Allah.” Demikianlah nilai-nilai kehidupan dan Injili yang luhur, indah dan kaya yang saya peroleh dari orang-orang sederhana itu. Untuk itu saya bersyukur kepada Tuhan karena mereka telah memperkuat iman dan panggilan saya untuk setia padaNya. Aku hendak menyanyikan kasih-setia Tuhan untuk selama-lamanya.

Makna Imamat Saya
Seperti saya katakan pada awal, pada saat saya ditahbiskan imam, jawaban Simon Petrus atas pertanyaan Tuhan Yesus “apakah engkau mengasihi Aku?” menjadi jawaban saya juga: “Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.” Waktu itu saya belum tahu konsekuensi dari “ucapan saya itu.” Akan tetapi, setelah 40 tahun menjalani panggilan imamat saya ini, saya dapat mengerti konsekuensi dari ucapan saya itu kepada Tuhan, yaitu, bahwa:
1. Sakramen Imamat yang adalah karunia dari Tuhan, menyadarkan saya bahwa Sakramen Imamat adalah pertama-tama panggilan, bukan status atau fungsi. Maka sebagai panggilan, menuntut hati dan dedikasi.
2. Sakramen Imamat itu adalah suatu bentuk pelayanan seturut dengan teladan Yesus yang berkata: Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.
3. Sakramen Imamat adalah pemberian diri secara utuh kepada Tuhan dan sesama manusia.

Saya menyadari bahwa apa yang saya berikan atau bagikan kepada saudara-saudara sangat sedikit ketimbang apa yang anda memberikan kepada saya yang membuat saya kaya dan hidup saya lebih berarti. Oleh karena itu, saya hendak menyanyikan kasih-setia Tuhan untuk selama-lamanya.”*** (Sumber: P. Ernesto)

Tidak ada komentar: