Minggu, 28 Juni 2009

Strategi Pastoral Keluarga

Injil Yohanes 2:1-11 menceritakan sebuah kisah yang indah tentang bagaimana Yesus melakukan mujizat yang pertama yaitu mengubah air menjadi anggur. Bunda Maria, Yesus serta murid-muridNya ada di antara para undangan yang hadir di perkawinan di Kana. Dalam Injil Yohanes inilah juga kisah yang pertama yang menggambarkan kerasulan Yesus di tengah-tengah dunia. Maria, Yesus serta murid-muridNya memandang perkawinan dan keluarga sebagai peristiwa dan institusi insani yang sangat penting oleh karena itu mereka hadir di sana. Kehadiran mereka adalah merupakan suatu perizinan ilahi serta berkat bagi perkawinan dan keluarga. Kehadiran Yesus, Maria serta para murid-muridNya dalam peristiwa itu dapat diartikan bahwa keluarga adalah “locus” (tempat, red.) yang tidak bisa diabaikan untuk berseminya kasih dan pelayanan yang Yesus wartakan.
Kehadiran mereka memberikan makna yang lebih dari peristiwa insani. Mujizat yang Yesus lakukan adalah merupakan simbol transformasi dalam keluarga dimana “masalah” diubah menjadi suasana kegembiraan, air diubah menjadi anggur. Yesus membawa kasih yang diungkapkan dengan perbuatan menjadikan keluarga itu bahagia. Ini boleh diartikan bahwa keluarga adalah penting dimana kasih bersemi, membuahkan kebahagiaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa memang anak kecil mulai belajar mengasihi dan beriman dalam konteks keluarga; artinya keluarga adalah merupakan komunitas basis dimana kasih, iman dan harapan bertumbuh.

Gereja sendiri melihat kehadiran Yesus di situ sebagai afirmasi akan kesakralan perkawinan dan pewartaan kehadiranNya. Lebih jauh Gereja melihat perkawinan dan keluarga sebagai tanda yang nyata dan ampuh akan kehadiran Yesus (Katekismus art. 1613). Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostolik “Familiaris Consortio” mengatakan bahwa Gereja ada untuk melayani keluarga (FC 1). Yang dimaksud keluarga adalah tentunya semua anggota keluarga. Tidak mengherankan kalau Paus memberikan perhatian yang khusus untuk keluarga selama hidupnya.

Selaras dengan pandangan Gereja akan pentingnya kerasulan keluarga, Sidang Dewan Imam KAMS 25-27 November 2008 menelurkan butir keputusan; salah satunya bahwa keluarga sebagai kombas (komunitas basis) menjadi prioritas atau fokus program pastoral KAMS sampai tahun 2012. Keputusan ini adalah tepat karena seperti yang Paus Yohanes Paulus II katakan bahwa keluarga adalah basis dari Gereja, masyarakat dan negara (Keluarga: Gereja Domestik hal.61). Kalau keluarga berantakan maka wajah Gereja, masyarakat maupun negara juga akan buruk.

Tantangan dan Situasi Keluarga-keluarga Kita
Keluarga sekarang ini menerima tantangan-tantangan yang cukup berat untuk mampu mempertahankan nilai-nilai perkawinan Injili. Masyarakat luas dunia mengalami banyak perubahan oleh karena kemajuan zaman dalam segala bidang kehidupan.

Tantangan dari masyarakat Internasional: Gerakan globalisasi melahirkan tingkah laku manusia yang baru bukan hanya pada segi ekonomi tetapi juga politik, sosial dan budaya. Ekonomi global mengagungkan pasar bebas mempunyai dampak kesenjangan antara negara kaya dan negara miskin, kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin semakin curam. Konsumerisme juga lahir dari sistem ekonomi seperti itu. Di negara miskin seperti Indonesia hal itu membuahkan kecenderungan yang negatif seperti korupsi, kolusi dan nepotisme; menyebabkan kerusakan lingkungan hidup pengrusakan kekayaan hutan demi uang serta degradasi moral dalam masyarakat serta keluarga. Budaya bangsa juga sudah sedikit banyak terseret oleh budaya materialisme dan sekularisme yang ditentang oleh Paus Yohanes Paulus II dan Paus kita sekarang ini Benediktus XVI. Budaya ini mengesampingkan nilai-nilai kerohanian yang sudah berabad-abad menjadi bagian kehidupan bangsa-bangsa, termasuk bangsa Indonesia dan keluarga-keluarga tentunya. Kacamata sakramental sedikit demi sedikit hilang.

Tantangan masyarakat Indonesia: lembaga-lembaga negara masih belum berpihak kepada masyarakat kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Gerakan reformasi masih belum berjalan dengan semestinya. Masyarakat Indonesia dan masyarakat yang kita layani khususnya masih belum keluar dari adanya kekerasan, bahkan kekerasan dalam keluarga; masih terlilit oleh kuatnya budaya korupsi, kurangnya kesadaran akan lingkungan hidup termasuk pengrusakan hutan.

Tantangan dalam keluarga-keluarga sendiri: Sadar atau tidak keluarga-keluarga juga terpengaruh oleh situasi entah situasi global, nasional maupun regional di mana keluarga hidup. Hal-hal yang umumnya dialami oleh keluarga misalnya:
Kurangnya trasparansi antara suami-istri; komunikasi yang mengena dan membangun keluarga; kurangnya kerukunan antara suami, istri serta anggota keluarga; rapuhnya kesetiaan antara pasutri (pasangan suami-istri); adanya kecemburuan suami atau istri terhadap pasangannya; dominasi oleh salah satu pasangan; tindakan kekerasan dalam rumah tangga; kurangnya nilai berkorban untuk pertumbuhan keluarga.

Tantangan dalam hal penghayatan iman: Kurangnya penghayatan iman dari keluarga-keluarga; banyaknya perkawinan campur yang menghambat proses pertumbuhan iman; kurangnya pemahaman dan penghayatan sakramen perkawinan; kurangnya kemampuan orangtua dalam pembinaan iman anak-anak; kurangnya kemampuan menahan arus sekularisasi.
Ekonomi keluarga pun sangat dipengaruhi oleh arus ekonomi yang berkembang. Banyak keluarga kurang mampu mengelola ekonomi keluarga; kurangnya penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga tidak ada waktu untuk yang lain; sulitnya mencari pekerjaan; kurangnya kemampuan menghadapi godaan konsumerisme sehingga dengan berbagai cara harus mendapatkan uang bahkan dengan cara tidak halal untuk memenuhi dorongan untuk membeli dan membeli.

Strategi Pastoral
Melihat pentingnya keluarga sebagai Komunitas Basis Gerejani, memahami harapan-harapan Gereja terhadap keluarga, serta tantangan dan masalah-masalah keluarga, perlu adanya strategi pelayanan kepada keluarga. Familiaris Consortio sebenarnya sudah memberikannya secara komprehensif dan memberikan masukan keluarga seperti apa yang harus mendapatkan prioritas dalam pelayanan.

Untuk kepentingan Gereja lokal kita, ada baiknya kita merumuskan sendiri strategi pelayanan kita yang sesuai dengan situasi keluarga-keluarga yang kita layani. Pastor A. van Rooy, CICM sudah membeberkan beberapa strategi yang cocok untuk Gereja lokal kita. Dalam tulisan ini kita akan ambil itu sebagai strategi kita dan mungkin ada tambahan-tambahan atau pengurangan setelah mendengarkan harapan dari Bapa Uskup sendiri serta beberapa pastor yang mempunyai kepedulian terhadap keluarga. Adapun strategi itu bisa dirangkumkan sebagai berikut:
Setelah melihat semua masalah-masalah, tantangan-tantangan serta kekuatan atau potensi yang ada, kita perlu menyadari bahwa pendampingan calon pasangan suami istri serta pendampingan pasca-penerimaan sakramen perkawinan itu merupakan keharusan (lihat juga FC 69).
- Mendorong keluarga-keluarga Katolik untuk mengembangkan hidup rohaninya. Paus menganjurkan keluarga Katolik mampu membangun keluarga sebagai komunitas pendoa atau Gereja kecil (FC 55).
- Keuskupan Agung melalui kevikepan-kevikepan serta paroki-paroki dan dengan koordinasi bersama dengan Komisi Keluarga seharusnya mampu memberikan pelayanan kerasulan kepada keluarga terutama kepada keluarga kawin campur, keluarga Katolik yang hanya menikah secara sipil, keluarga Katolik yang hidup tanpa ikatan pernikahan yang sah, pasangan yang bercerai (single parent), pasangan yang bercerai dan menikah lagi bukan di Gereja (FC 77-85). Untuk ini perlu dibentuk Tim Kerja Pendampingan Keluarga di tingkat Kevikepan (TKPKK) maupun Paroki (TKPKP).
- Di setiap Kevikepan dan di Komisi keluarga sebaiknya dibentuk pusat-pusat konseling keluarga yang merupakan bengkel bagi keluarga yang ingin memperbaiki hidup berkeluarga (FC 66). Di beberapa keuskupan pusat-pusat seperti ini sudah menjadi bagian dari kerasulan keluarga.
- Mendorong kelompok-kelompok yang mempunyai kepedulian terhadap keluarga untuk membentuk “support system” bagi keluarga-keluarga. Di KAMS, ME (Marriage Encounter) seharusnya sudah bisa menjadi salah satu support system keluarga-keluarga yang lain.
- Sarana-sarana seperti seminar pra-Kana atau kursus persiapan perkawinan, rekoleksi, rekoliknik (rekoleksi-piknik), retret, seminar, lokakarya tentang keluarga/pasutri dll, bisa diberdayakan untuk pengembangan kesejahteraan baik materi maupun rohani setiap keluarga.
- Raker Komisi Keluarga KAMS sebagai koordinator bersama Komisi-komisi Keluarga Keuskupan Ambon dan Manado dengan Komisi Keluarga KWI, kemungkinan diadakan sekitar bulan Oktober 2009.

Penutup
Kerangka strategi pastoral keluarga ini dimaksudkan sebagai masukan untuk penyusunan kebijakan-kebijakan strategis dalam pendampingan keluarga baik oleh Keuskupan dalam hal ini komisi-komisi yang terkait, kevikepan-kevikepan, paroki-paroki maupun organisasi-organisasi atau institusi-institusi yang berlandaskan pada nilai-nilai kekatolikan. Pelaksanaan dari program-program yang dibentuk tentu saja dipercayakan kepada semua komponen Gereja tersebut di atas. Berhasil atau tidaknya program-program tentunya tergantung dari kepekaan setiap komponen dalam menyadari gerakan-gerakan Roh Kudus yang selalu memberikan dorongan dan kekuatan untuk melakukan pekerjaan BapaNya serta kemauan kita untuk menjadi mitra Allah dalam melakukan pekerjaanNya. *** Penulis: P.Ignatius Sudaryanto, CICM

Tidak ada komentar: