Sabtu, 24 Desember 2016

Sang Gembala itu Sungguh Meninggalkan Kekosongan Besar: In Memoriam Pastor Hendrik Njiolah Pr

Kepergian Pastor Hendrik Njiolah yang begitu mendadak sungguh mengagetkan banyak orang, baik dalam Keuskupan maupun di luar keuskupan Agung Makassar. Betapa tidak, almarhum adalah sosok yang suka bergaul dan bisa menyapa siapa saja. Beliau memiliki banyak ide dan sangat kreatif dalam merangkai kata-kata untuk menyapa siapa saja dan untuk menyemarakkan suasana perjumpaan atau pergaulan. Karena itu tidak heran kalau beliau ini memiliki banyak sekali teman, dalam pelbagai lapisan, lapangan atau bidang. Tentu saja kepiawaian beliau dalam bergaul juga ditopang oleh kemampuannya juga dalam banyak hal.
Selain pandai bergaul Pastor Hendrik dikenal sebagai orang yang memiliki banyak bakat. Sejauh saya kenal baik dalam pendidikan di Seminari Menengah maupun di Seminari Tinggi Yogyakarta beliau memang memiliki banyak bakat. Dia memiliki bakat seni yang juga mumpuni seperti pandai menggambar, melukis, bermain drama, bermain musik, melatih drumband, olahraga dan membuat macam-macam desain kreatif. Dan satu hal lagi, Pastor Hendrik juga pandai dan suka memasak, hanya mungkin hal itu tak lagi sering dilakukannya setelah dia bertugas di kota. Semua itu dia lakukan selain untuk mengembangkan diri sendiri, pelayanan dan sekali lagi untuk menciptakan dan menyemarakkan suasana. Dalam hal itu dapat dikatakan beliau memiliki kharisma khusus (tersendiri) yang tentunya tidak dimiliki banyak orang lain.
Lebih dari itu Pastor Hendrik Njiolah juga mumpuni dalam hal tulis-menulis. Beliau tidak sulit untuk menulis, dia piawai dalam merangkai gagasan lewat tulisannya yang cukup banyak, tidak kurang dari 60 buku telah ditulisnya. Tulisan-tulisannya pada umumnya terkait dengan tema Kitab Suci, bidang yang memang menjadi keahliannya atau yang pernah dipelajarinya secara khsusus. Selain itu juga telah menulis banyak makalah atau paper terkait dengan berbagai tema lain seperti teologi, pastoral, spiritualitas, masalah iman dan dialog antar agama, dan lain-lain yang dibawakan dalam berbagai kesempatan seperti seminar dan pertemuan.
Dari semua bakat dan kelebihan yang dimilikinya, yang tidak kurang menarik atau cukup mengagumkan untuk diperhatikan ialah KESEDERHANAAN beliau. Almarhum dalam pandangan saya betul-betul adalah seorang yang sederhana. Boleh dikatakan dari pelbagai segi atau sudut pandang Pastor Hendrik (sungguh) adalah orang yang sederhana, perilakunya, cara bertutur kata, cara menyampaikan gagasan, cara membawakan diri, semangat dan cara memakai atau menggunakan benda-benda atau barang-barang kebutuhan yang sangat penting atau sangat dibutuhkan sekalipun.
Terkait dengan sikap dan semangat kesederhanaan, satu hal yang patut dicatat yang dilakukan oleh almarhum adalah sikapnya konsisten untuk menggunakan Handphone. (Ada yang bercanda mengatakan yang dimiliki beliau hanya “talipohon”). Memang sampai akhir hayatnya almarhum tidak pernah memiliki atau menggunakan sebuah Handphone atau alat canggih semacam itu. Rasanya seperti absurd dan tidak masuk akal bahwa ada orang dalam abad dan lingkungan masa kini di mana kita dikelilingi oleh kelimpahan pelbagai sarana atau perangkat teknologi canggih yang sangat memudahkan kita untuk beraktivitas, hidup, berkomunikasi, dan seterusnya, mengambil sikap tidak menggunakan dan tidak tergoda untuk menggunakan benda canggih itu? Sepintas kilas kelihatannya pilihan sikap itu sepele, tidak berarti. Dapat disangka itu hanya sekedar sikap suka atau tidak suka, tidak mau ribet dan repot dengan perangkat macam itu atau mungkin juga ada yang mengatakan gaptek (gagap teknologi)? Namun melihat kemudahan cara menggunakan perangkat, sehingga orang tidak berpendidikan atau bahkan buta huruf pun bisa menggunakannya, tidaklah mungkin bahwa beliau tidak bisa mengerti dan tidak menggunakan perangkat semacam itu.
Memang, tidak menggunakan perangkat canggih yang demikian simple, mudah dan makin murah, dapat dilihat sebagai sebuah kebodohan. Selain fungsi atau kegunaannya yang sangat memudahkan hidup dan pekerjaan, memiliki perangkat seperti itu masa kini, bisa menambah perasaan keren, high class (gengsi), status sosial,  gaya hidup dan tampilan modern para penggunanya. Aneh memang bahwa beliau yang memiliki begitu banyak relasi dan kawan, juga sangat sibuk dengan begitu banyak pekerjaan, memiliki kedudukan strategis dan penting sebagai pastor paroki besar, anggota dewan imam dan macam-macam lagi, menjadi moderator macam-macam kelompok, didampingi oleh anggota-anggota tim kerja yang serba mapan serta di-backing oleh keluarga yang berkecukupan, tetap konsisten dan bergeming (tidak terpengaruh) mengikuti arus cara berpikir dan gaya hidup yang mengelilinginya. Tetapi anehnya juga, tanpa menggunakan perangkat canggih yang digandrungi semua orang itu, almarhum sama sekali tidak terpencil (terisolasi) dari pergaulan dan percakapan dengan banyak orang. Beliau juga tidaklah ketinggalan dan kekurangan informasi tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitar. Saya pun tidak pernah melihat beliau gagap dalam perbincangan-perbincangan aktual sekalipun tidak browsing internet di smartphone seperti banyak orang lain. Dia juga tidak kedodoran dalam melakukan pekerjaan rutinya sehari-hari. Dalam hal ini pun beliau membuka perspektif  alternatif pada kita tentang urgensi alat canggih itu? 
Saya meyakini pilihan sikap almarhum bukanlah suatu keputusan dan tindakan asal-asalan. Saya yakin pilihan itu adalah suatu sikap dan disposisi spiritual almarhum sendiri yang dihayati dan dilakukannya. Saya melihatnya itu sebagai spiritualitas biblis, spiritualitas yang berbasis Kitab Suci, mengikuti semangat dan cara hidup Yesus dan murid-murid-Nya serta para rasul lainnya, yang selalu fokus pada tugas pewartaan Kerajaan Allah dan waspada untuk tidak terjebak mengikuti arus dunia yang selalu menantang orang beriman. Semangat dan sikap ini bisa dimiliki karena beliau adalah seorang yang sungguh mencintai Kitab Suci (Sabda Allah) dan juga menghayati sendiri Kitab Suci itu sebagaimana diketahuinya. Pastilah ini bukan suatu pilihan sikap yang mudah namun ini merupakan keteguhan sikap diambilnya sebagai seorang gembala umat, imitatio Christi.
Oleh karena itu kekosongan besar yang ditinggalkan oleh almarhum, Pastor Hendrik Njiolah, Pr bagi seluruh paguyuban dan terutama korps rekan-rekannya adalah KETELADANAN. Siapa yang bisa memiliki keberanian mengambil keputusan dan sikap melawan arus modern yang cenderung mendikte kita, yang cenderung mau menjauhkan kita dari kosistensi mengikuti dan menghayati Kitab Suci (Firman Allah)? Keberanian, kejujuran, kesederhanaan dan keterbukaan almarhum dalam mengatakan sesuatu dan menghadapi sesuatu, sejauh saya bisa lihat dan ketahui, pastilah itu bersumber dari penghayatannya pada Kitab Suci. Apa pun yang terjadi kebenaran dan kebaikan tetap harus dikatakan. Almarhum adalah seorang pemberani dan sangat jujur pada dirinya sendiri. Seorang yang pandai dan kreatif dalam bercanda dan bergaul tetapi dia tidak pernah menipu atau berbohong. Dalam pelbagai pengambilan kebijakan taktis dan strategis organisatoris kelembagaaan dimana beliau terlibat atau dilibatkan, almarhum mengatakan terus terang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dan kalau beliau tidak bisa mengatakannya dia akan diam (untuk sementara waktu), tetapi suatu ketika pasti akan dia katakan (ungkapkan) kepada rekan atau orang yang dia percaya dan anggap pantas mengetahuinya.
Keberanian dan kesederhanaan Pastor Hendrik Njiolah Pr dapat dilihat sebagai dua sisi dari satu hal (akar) yaitu Kitab Suci (imannya). Pewartaan pasti memerlukan keberanian, tanpa keberanian orang takkan pernah berani menyeberang ke wilayah terra incognito, dalam banyak hal akan dihantui oleh banyak keraguan, kecemasan dan ketakutan. Keberanian biasanya akan muncul dengan sendirinya kalau tugas panggilan mewartakan tidak terkontaminasi oleh berbagai interesse atau kepentingan (duniawi) yang harus dilindungi atau harus dibela. Karena tidak ada kepentingan-kepentingan duniawi (eksklusif) yang menghantui sang pewarta, maka kesederhanaan dan kejujuran pun akan tampil sebagai panglima dalam kerja dan karyanya. Dalam hal keberanian dan kejujuran mengatakan sesuatu kiranya kita perlu (harus) berguru pada Pastor Hendrik Njiolah Pr.
Almarhum memperlihatkan suatu spiritualitas hidup imam (imam projo) yang coba dihayatinya. Spiritualitas artinya semangat (kharisma) dan cara hidup yang berdasarkan Kitab Suci yang sepenuhnya dihayati dan dilakoni sebagai jalan hidup yang dikehendaki oleh Allah. Spiritualitas kiranya bukanlah pertama-tama suatu formula (rumusan) atas suatu gagasan (kepentingan) yang harus diajarkan melainkan suatu semangat dan cara hidup injili (kesaksian hidup) yang perlu diperlihatkan dan dilakoni secara ugahari. Maaf, jangan salah tafsir, almarhum memang membentuk suatu grup pertemanan yang dia beri nama “Bruder Projo”, namun itu bukanlah semacam kelompok (tarekat) yang memiliki suatu spiritualitas (kharisma panggilan hidup). Sejauh saya tahu dan dengar dari beliau sendiri, grup itu sebetulnya hanya untuk membuat suasana ramai saja, daripada jenuh, bosan dan ribut-ribut, maka dia buatlah sesuatu yang lain-lain sedikit dalam suasana rutin. Jadi wacana “Bruder Projo” itu sama sekali tidak dia maksudkan untuk membentuk suatu kelompok tertentu dengan semangat atau spiritualitas tertentu?
Menurut hemat saya, penghayatan, kesaksian atau cara hidup almarhum dalam melakoni panggilan dan tugasnya sebagai imam cukup kontras dengan kebanyakan rekannya seimamat. Sejauh saya tahu dan lihat, Pastor Hendrik Njiolah Pr, karena kesederhanaannya tidak mempersoalkan macam-macam atau tidak menuntut macam-macam dalam melakukan pekerjaan atau melaksanakan tugasnya. Selain keteguhannya yang mengagumkan untuk tidak tergoda memiliki smartphone canggih (demi alasan pekerjaan dan pelayanan), beliau juga tidak tergoda untuk menggunakan fasilitas yang lux dan mewah, seperti tempat tinggal, perlengkapan kerja (kantor), dan kendaraan (mobil). Misalnya selama bekerja di keuskupan sebagai Vikaris Jenderal selama delapan tahun, beliau tidak merasa harus memiliki kendaraan khusus (mobil pribadi) untuk posisi tugasnya. Dia selalu menggunakan kendaraan yang ada di keuskupan, yang juga selalu dipakai bersama untuk pelbagai urusan. Begitu juga selama beliau mengemban tugas sebagai Pastor Paroki Gotong-gotong selama kurang lebih 13 tahun, sejauh bisa diperhatikan beliau tidak tergoda untuk menggunakan fasilitas yang mewah, mobil baru misalnya. Mobil yang ada ketika baru masuk di paroki, dan menjadi kusam atau tidak bagus lagi karena dimakan usia, itu terus digunakan di paroki sampai dia meninggal. Beliau tidak tergoda untuk berganti-ganti mobil atau memiliki beberapa mobil, sekalipun beliau sangat mampu untuk melakukan hal itu. Beliau tidak pernah gelisah menggunakan apa yang ada, asal barang tersebut masih berfungsi baik dan bisa digunakan.
Memang ini soal penggunaan benda atau barang duniawi, tetapi yang menarik untuk disimak ialah spiritualitas yang mendasari pilihan sikapnya itu. Semangat itu dia resapi dari Kitab Suci untuk dia hayati dan lakukan. Dia lebih mengedepankan pelayanan (mau memberi perhatian dan membina umat) dan bukan mengumpulkan dan memiliki uang atau barang-barang. Menurut hemat saya beliau sungguh memahami apa artinya menjadi seorang imam dan gembala umat. Saya kira ini merupakan keunggulan dan keutamaan almarhum, yang tentunya bisa memberi inspirasi bagi banyak orang dalam mengemban tugas pelayanan dan penggembalaan di tengah umat.
Lingkungan penggembalaan memang tidak selalu ramah dan bersahabat, sehingga kita pun seringkali bertanya, “ada apa di sana sebelum saya masuk ke sana”? Kiranya Pastor Hendrik Njiolah Pr telah membantu menunjukkan, “posisi dan tanggungjawab” seorang gembala itu, sebetulnya ada di mana.***

Penulis: RD. Victor Patabang
(rekan imam, teman main volley dan berdiskusi alm.)

Tidak ada komentar: