Pendahuluan
Natal sudah di ambang pintu lagi!
Dengan Natal kita merayakan peristiwa misteri: “Pada mulanya adalah Firman;
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah … Firman itu
telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:1.14). Dalam teologi,
ini disebut inkarnasi (menjelma
menjadi manusia). Misteri besar ini sungguh tidak mudah masuk akal manusia.
Bahkan dijadikan bahan olok-olok oleh Habib Rizieq (dari FPI) dan para Wahabi:
“Kalau Tuhan beranak, lalu siapa bidannya?”. Sementara itu mubalig besar DR.
Zakir Naik menantang ditunjukkan satu ayat saja dalam Kitab Suci Kristen, di mana
Yesus menyebut diri Allah! Olok-olok dan tantangan itu dilatarbelakangi oleh
pertanyaan-pertanyaan mendasar dari pihak Islam tentang keilahian Yesus: (1)
Yesus dianggap sebagai nabi besar yang lahir tanpa ayah dan pembuat mukjizat.
Apakah semuanya itu dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa Yesus adalah
Allah?; (2) Bagaimana mungkin seorang manusia dapat sekaligus Allah?; (3)
Bagaimana mungkin Allah bisa membiarkan nabi-Nya mati di kayu salib? Bagaimana
dapat dibayangkan bahwa Allah bisa menderita dan mati?; (4) Yesus adalah satu
dari rentetan para nabi. Bagaimana mungkin Dia bisa lebih besar dari Muhammad,
nabi terakhir?
I.
AJARAN KRISTEN
1.
Dari Karya Yesus di
Dunia hingga Iman akan Paskah
Menurut hasil studi eksegese mutakhir, apapun misteri yang
menyelimuti kelahiran dan masa bayinya, Yesus dilahirkan dan bertumbuh
sebagaimana setiap manusia. Secara perlahan-lahan Dia menemukan kehendak Allah
mengenai diri-Nya. Dengan meninggalkan keluarga dan kampung halamannya di
Nazaret, Ia mengalami, pada saat dibaptis oleh Yohanes, bahwa Ia diutus oleh
Roh Allah sebagai seorang nabi; nabi yang
mewartakan Kerajaan Allah, dalam
garis hamba sebagaimana dijelaskan
dalam Yes. 49-55. Ia mengajar dengan ototritas dan membuat mukjizat-mukjizat,
terutama penyembuhan dari penyakit-penyakit. Setelah mengalami periode sukses,
Yesus memasuki suatu masa kebebasan dalam menafsirkan hukum dan sekaligus
menciptakan permusuhan dari pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Selanjutnya Ia
ditinggalkan banyak orang, terkecuali sekelompok murid yang setia. Dia pun
sudah mendapat firasat bahwa akhir hidup-Nya sudah dekat. Dia akan menjadi
“korban untuk banyak orang”. Ia akan wafat, bukan melalui cara sebagaimana
lazimnya dalam hukum Yahudi, melainkan disalib menurut hukum Romawi. Di malam
pencobaan iman-Nya, Ia bersiteguh pada iman dan kepercayaan-Nya kepada Allah
yang akan membangkitkan Dia dari alam maut. Sesungguhnya tidak ada gelar dalam
bahasa manusia yang dianggap layak untuk diberikan kepada Yesus dengan
kompleksitas pengalaman yang demikian luar biasa. “Mesias” adalah gelar yang
sangat berbau politik, sementara gelar “Putera Allah” melekat erat dengan
nuansa “Yang Terkasih, yang dipilih oleh Allah” (bdk. Mat. 5:9). “Anak manusia”
merujuk pada penampakan dalam Kitab Daniel (bab 7). Dia merasa Dialah nabi
akhir zaman dalam garis hamba dari
Yesaya. Dan Dia hidup dalam suatu relasi unik dengan Allah, yang Dia sebut Bapa-Ku dan bahkan Abba (Papa), sesuatu yang tak seorang Yahudi pun akan berani
membuatnya.
Setelah kematian-Nya, para murid-Nya mengalami secara
jasmani bahwa Ia hadir dan hidup, yang berarti Dia telah bangkit. Digerakkan
oleh kekuatan Roh, para murid mewartakan bahwa Yesus adalah “Penebus”
(kemenangan-Nya atas maut membawa keselamatan) dan “Tuhan” (dalam bahasa Alkitab
berarti Allah). Demikianlah, kebangkitan, berkat kekuatan Roh, mengungkapkan
siapa sesungguhnya Yesus ini, yang dengan-Nya mereka telah hidup selama tiga
tahun tanpa mengetahui jati diri-Nya yang sesungguhnya. Mereka membaca ulang dalam
terang iman sesudah kebangkitan ini peristiwa-peristiwa yang mereka telah alami
bersama Dia, dan mengatakan kepada para pendengar apa yang harus mereka percaya
tentang Dia. Karena itu Injil-Injil, saksi-saksi pewartaan Kristen pertama,
sejumlah kata-kata dan tindakan Yesus yang paling berarti, ditafsirkan ulang
dalam terang iman Paskah; begitu pula dengan Injil masa kanak-kanak, adegan
pembaptisan, transfugurasi, dst.
Tetapi para rasul, sekurang-kurangnya beberapa dari mereka,
juga giat merenungkan dan merumuskan pokok-pokok iman Kristen tentang Yesus.
Karya-karya Sto. Paulus merupakan tulisan yang tertua dari Perjanjian Baru.
Dalam surat-suratnya kepada jemaat di Kolose dan di Efesus, Paulus
menggambarkan Yesus Kristus yang ada dari kekal sebelum segala sesuatu
diciptakan (Kol. 1:12-20; Ef. 1:3-10). Sto. Yohanes dalam prolog Injilnya
(1:1-18) menggambarkan Yesus Kristus sebagai Sabda yang bersama-sama dengan
Allah dari kekal dan adalah Allah sendiri, kemudian menjelma menjadi manusia,
Putera Kekal Bapa, pewahyu sempurna wajah Allah. Sejalan dengan ini,
Syahadat-Syahadat merumuskan secara lebih persis iman Kristen yang satu dan
sama, dan Konsili-Konsili pertama mendefinisikan pribadi dan kodrat Yesus,
sungguh Allah dan sungguh manusia, melawan ajaran-ajaran sesat yang
terus-menerus bermunculan.
Demikianlah, iman Kristen akan keilahian Yesus bertitiktolak
dari pengalaman para murid pada kehadiran Yesus yang bangkit dan hidup; dan
bukan pada apakah Yesus pernah mengatakan bahwa Dia adalah Allah, sebagaimana
disyaratkan Zakir Naik. Patut dicatat, bahkan setelah pengakuan Petrus bahwa
Yesus adalah Mesias, Dia melarang murid-murid-Nya memberitahukan kepada
siapapun bahwa Ia Mesias (Mat. 16:20 par.). Larangan Yesus ini tampaknya untuk
mencegah salah paham di tengah masyarakat, karena pada masa itu gelar Mesias
terlalu bernuansa politik.
2. Perumusan Dogmatis
Iman Kristen, pada
hakekatnya, ialah percaya bahwa pribadi yang secara historis hidup di bawah
nama Yesus, nabi Galilea, adalah Putera Allah, yang dilahirkan dari kekal oleh
Allah Bapa di dalam kasih Roh Kudus. Oleh karena itu, Ia “dalam kodat-Nya
ilahi” dan bahwa Dia mengambil kodrat manusia, sama dengan kita dalam segala
hal, kecuali bahwa Ia tidak berdosa (lih. Ibr. 4:15). Konsili Kalsedon (451 AD)
merumuskan bahwa dua kodrat dalam Yesus bereksistensi “tanpa pembauran, tanpa
perubahan, dan tanpa pemisahan. Perbedaan kedua kodrat itu sama sekali tidak
dikurangi oleh kesatuan keduanya; sebaliknya, sifat-sifat khas masing-masing
dilindungi dan dipersatukan dalam satu pribadi dan satu hypostasis” (Denz. 148). Penolakan resmi terhadap “pembauran” dua
kodrat ini memungkinkan respek yang selayaknya pada transendensi Allah dalam
hubungan dengan makhluk, sementara misteri kesatuan dua kodrat dalam satu
pribadi tetap utuh.
Sehubungan dengan
maksud tulisan ini, apa yang perlu digaris-bawahi ialah bahwa mengakui Yesus
sebagai Putera Abadi Allah yang menjadi manusia adalah inti iman Kristen, yang
didasarkan pada iman para rasul; adalah berkat visi iman mereka, di mana Injil-Injil
dan Perjanjian Baru secara keseluruhan adalah saksi-saksi, sehingga kita
berjumpa dengan pribadi historis Yesus, dan adalah berkat dorongan Roh sehingga
kita dapat berkata “Yesus adalah Tuhan” (1 Kor. 12:3). Oleh karena pengakuan
iman Kristen akan Yesus merupakan jawaban iman, ia tidak bisa dituntut dari
orang lain yang tidak memiliki iman yang sama. Kita harus menerima kemungkinan
bahwa kita akan diberi penjelasan yang lain sama sekali: penjelasan Marxisme,
penjelasan Brhmo Samāj (gerakan reformasi Hindu di abad ke-19), sebuah
penjelasan Muslim atau penjelasan Yahudi, dsb. Di sini berlaku dua syarat: pertama, respek terhadap
tuntutan-tuntutan kritik historis dan literer. Hal ini sangat dituntut untuk
menunjang penelitian ilmiah yang mendalam dan menghindari paparan yang bersifat
poetis; kedua, mengakui bahwa penjelasan Kristen juga merupakan
sebuah penjelasan yang mungkin, walaupun seorang penulis dari latar belakang
yang tidak seiman atau sealiran.
II. PENJELASAN KRISTEN
Kini tibalah
saatnya kita menanggapi secara keseluruhan ke-4 pertanyaan dasar pihak Muslim,
sebagaimana dicatat di depan. Misteri keilahian Yesus dan Inkarnasi-Nya
merupakan inti iman Kristen, dan memang jauh berbeda dengan iman Islam. Karena
itu sangat sulit dikemukakan kepada seorang Muslim. Mendahului setiap
penjelasan, kiranya sangat pentinglah menekankannya sebagai suatu misteri iman
Kristen dan menghindari setiap argumentasi yang berupaya meyakinkan mitra
bicara. Jika mitra Muslim menempatkan diri atas dasar rasional dan dialektik
ini, seseorang harus menghindari
diskusi itu. Secara historis, polemik-polemik Muslim-Kristen dan
pengalaman-pengalaman mutakhir membuktikan bahwa corak debat seperti itu sama
sekali tak ada manfaatnya, selain merugikan. Pada lain pihak, jika saudara Muslim
bertanya kepada kita tentang apa yang kita imani tentang Yesus karena ia ingin
mendapatkan informasi tentang iman kita, maka hendaknya kita menempuh langkah
sebagai berikut:
1.
Ceritakan kepadanya seluruh perjalanan historis Yesus,
sambil menekankan keaslian tingkah laku dan pesan-Nya, pertanyaan-pertanyaan
yang muncul, jawaban-jawaban yang diberikan oleh kebangkitan-Nya, tetapi
sekaligus juga memperhatikan ambang iman Kristen yang sendiri membuat mungkin mengakui
Dia sebagai Penyelemat dan Tuhan.
2.
Mengoreksi penafsiran-penafsiran keliru mengenai iman
Kristen. Bagi kita, iman akan Inkarnasi bukanlah pengilahian (ta’lil)
seorang manusia, melainkan Sabda Kekal Allah “yang menjadi manusia”.
Transendensi mutlak Allah tetap dihormati dengan tidak berbaurnya dua kodrat
(kodrat ilahi dan kodrat manusia). Dan bila berbicara mengenai kodrat ilahi, jangan menggunakan kata tabîca dalam bahasa Arab; kata ini selalu berarti kodrat
tercipta, dan tabîca ilâhiyya
adalah ungkapan yang kontradiktoris; pakailah dât atau haqiqa.
Gagasan Putera Allah tidak mempunyai nuansa biologis (Allah mempunyai Anak
biologis) dan murni menunjuk pada asal usul Yesus dari Allah.
3.
Sebuah perbandingan yang sudah digunakan sejak awal oleh
orang-orang Kristen Arab (tetapi dengan nuansa polemik) dapat diajukan dengan
suasana dan semangat yang jauh berbeda dengan polemik: Tidak dapatkah kita
menjelaskan iman kita kepada seorang mitra bicara Muslim dalam bahasa dan
paham-paham keagamaan yang penuh makna baginya? Itulah perbandingan antara Qur’ân
dan Inkarnasi. Banyak Muslim terpelajar menyetujui, seperti sudah dikatakan
salah seorang dari mereka, bahwa “bagi kaum Muslim Qur’ân menduduki tempat
sentral sebagaimana Yesus bagi kaum Kristen” (Md. Talbi). Orang Muslim percaya
bahwa Sabda Allah (kalâm Allâh) adalah
kekal dalam Allah (kalâm nafsi) dan
bahkan identik dengan esensi-Nya (menurut beberapa teolog), dan bahwa itu
diwahyukan dalam bentuk Kitab Suci (Sâra
kitâban : Qur’ân) yang ditulis dan dibacakan (kalâm lafzî). Orang Kristen percaya bahwa Yesus adalah Sabda
Allah, dan sebagai demikian Dia kekal dalam Allah dan sendiri adalah Allah.
Sabda Kekal ini menjadi bukan sebuah Kitab Suci, melainkan manusia (sâra
insânan), karena bagi kita Yesus adalah wahyu sempurna Allah dalam
sejarah umat manusia.
Dan adalah penting untuk selalu menarik
perhatian pada misteri (gayb)
Kehendak Allah Yang Maha Kuasa dalam rencana-Nya bagi dunia.
4.
Tertinggallah dua pertanyaan terakhir yang perlu
ditanggapi/dijelaskan: Bagaimana mungkin seorang Allah menderita dan mati? Dan,
apakah Yesus lebih besar dari Muhammad, nabi terakhir? Pada tempat pertama
harus ditekankan, bahwa menurut iman Kristen yang menderita dan mati ialah
“Allah yang menjelma menjadi manusia” (Inkarnasi). Selanjutnya, fakta
penderitaan dan kematian Yesus harus dilihat dari dua pihak: pihak manusia
(yang menjatuhkan hukuman tidak adil), dan pihak Yesus sendiri. Dari pihak
manusia, sejak awal mula sejarahnya manusia sudah (cenderung) berdosa. Hakekat
dosa adalah penolakan terhadap Allah. Puncak suatu penolakan ialah melenyapkan
pribadi yang ditolak: pembunuhan Yesus.
Yesus menerima dengan rela hukuman mati
disalib itu sebagai ungkapan ketakwaan-Nya yang total kepada Allah, Bapa-Nya,
dan sekaligus sebagai perwujudan cinta-Nya yang tanpa batas kepada manusia. Di
taman Getsemani Ia berdoa: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu,
ambillah cawan ini daripada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki,
melainkan apa yang Engkau kehendaki” (Mrk. 14:36 par.). Selanjutnya, tujuan
Inkarnasi dirumuskan dengan kata-kata berikut: “Begitu besar kasih Allah akan
dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal” (Yoh. 3:16). Dan Yesus sendiri memaknainya dengan kata-kata: “Tidak ada
kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Inilah misteri kasih sejati dan sempurna dan
hanya Allah yang mampu mewujudkannya. Kendati ditolak, Allah tidak membatalkan
kasih-Nya kepada manusia. Sebab KASIH adalah salah satu sifat hakiki Allah:
“Allah adalah kasih” (1. Yoh. 4:8.16). Yesus mengubah hukum lama, yang
berbunyi: “Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu” (Mat. 5:43; Im.
19:18). Dengan kewibawaan penuh Dia menegaskan: “Tetapi Aku berkata kepadamu:
Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” (Mat. 5:44).
Dan itu dilaksanakan oleh-Nya ketika Ia digantung musuh-musuh-Nya di atas
salib: “Ya Bapa, ampunilah mereka” (Luk. 23:34).
Dan akhirnya, iman
Kristen mengakui bahwa Yesus dari Nazaret, Tuhan yang disalibkan dan bangkit
kembali, adalah wahyu terakhir dan sempurna dari Allah dalam sejarah manusia.
III. PENJELASAN AISHA NURRAMDHANI, AKTIVIS MUSLIMAT NU
Sungguh mengesan
dan mengharukan bahwa olok-olok Habib Rizieq dari FPI, “Tuhan Kok Beranak???”,
tidak dijawab oleh seorang Kristen melainkan oleh seorang aktivis Muslimat NU,
Aisha Nurramdhani, yang dimuat di infomenia.net,
Rabu, 28 Desember 2016. Penjelasan yang diberikan Ibu Aisha Nurramdhani tak
hanya akan bermanfaat bagi umat Muslim dalam memahami secara benar ajaran iman
Kristiani, melainkan juga bagi umat Kristiani sendiri. Kita patut mengucapkan
terima kasih yang setinggi-tingginya kepada beliau.
Pada awal
Nurramdhani antara lain menulis: “Pernyataan Habib Rizieq kemarin saya nilai
tidak berbobot. Bobotnya tidak lebih dari kebanyakan salah paham Muslim-Muslim
yang belum pernah belajar perbandingan agama sebelumnya. Muslim yang sama
sekali tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Dia masuk ke dalam,
menyentuh dasar, tapi kualitasnya hanya setara dengan pertanyaan anak sekolah
minggu/santri kecil. Muslimah seperti saya saja yang suka belajar agama bisa
menjelaskannya dengan mudah”.
Selanjutnya, beliau
memulai dengan pertanyaan, “Siapa sih Yesus itu?” Pertama-tama, kita harus
mengerti terlebih dahulu posisi Yesus di mata Kristiani. Ya, lepas dahulu
kacamata Islam kita yang penuh dengan doktrin dan ayat-ayat Qur’an tentang nabi
Isa, agar dapat melihat dengan jelas perspektif Kristiani terhadap Yesus.
(Lepasin perspektif Islamnya, bukan lepasin agama Islamnya yach). Bagi umat
Kristen, Yesus adalah Tuhan yang berinkarnasi
(=menjelma) menjadi manusia, bukan manusia yang diangkat menjadi Tuhan, seperti
yang selama ini disalah-pahami umat Muslim. (Red.: Menurut perspektif Kristen,
manusia tak mungkin jadi Tuhan. Tapi Tuhan Maha Kuasa, jadi Tuhan bisa menjelma
menjadi apapun, termasuk menjadi manusia. Menyangkal bahwa Tuhan bisa menjelma
menjadi manusia berarti menyangkal Kemahakuasaan Tuhan). Hal ini bukan tanpa
dasar. Mereka melihat banyaknya nubuatan mengenai kedatangan Messiah, sang
pembebas, Tuhan yang mengambil rupa manusia ini dari kitab Taurat, kitabnya para
Yahudi. Kitab yang sama yang juga memuat cerita mengenai nabi Adam AS, nabi
Ibrahim, dan nabi Musa AS.
Umat Islam mungkin
akan sulit mengerti ajaran Kristen mengenai kodrat ganda Yesus: “sepenuhnya
insani” (kamil bi al-masut),
sekaligus “sepenuhnya ilahi” (kamil bi
al-lahut) sebagai Kalimatullah.
Agar mengerti, kita mungkin dapat membandingkannya dengan ajaran Islam sendiri
mengenai kitab suci al-Qur’an al-Karim. Bagaimanapun, sebenarnya konsep dalam
Kristen ini juga ada dalam Islam, dengan posisi Yesus dalam iman Kristen
dibandingkan sejajar dengan posisi al-Qur’an dalam iman Islam. Perbandingannya
bukan Yesus dengan nabi Muhammad. Karena dalam Islam, nabi Muhammad sekedar
penerima Firman Allah, padahal dalam Kristen Firman-Nya adalah Yesus itu
sendiri. Sebaliknya, posisi nabi Muhammad sejajar dengan Maria (Maryam) karena
keduanya adalah “sarana turunnya Firman ke dunia” menurut keyakinan
masing-masing. Secara teologis, keperawanan Siti Maryam juga paralel dengan
kebuta-hurufan nabi Muhammad (Nabi
al-Ummi). Karena fakta bahwa Maria tetap perawan dan nabi Muhammad buta
huruf menegaskan kemurnian Firman Allah, tanpa intervensi atau campur tangan
manusia. Jadi sebenarnya ada hubungan paralel antara keyakinan Kristen mengenai
Firman Allah yang menjadi manusia dengan keyakinan Islam akan Kalam Allah yang
kekal yang turun menjadi al-Qur’an atau nuzul al-Qur’an.
Kalau Yesus itu
Tuhan/Firman Allah/Kalimatullah,
kenapa Dia butuh makan? Kenapa Dia bisa mati? Salah satu hal yang menjadi
olok-olok kepada kaum Nasrani adalah ketika orang awam membenturkan sifat
ke-Tuhan-an Yesus dengan kodrat-Nya sebagai manusia. Rata-rata karena mereka
tidak paham sifat “sepenuhnya insani” (kamil
bi al-nasuf) dan “sepenuhnya ilahi” (kamil
bi al-lahut) yang di atas. Yesus adalah 100% Allah (dalam kapasitas-Nya
sebagai Firman Tuhan) namun juga 100% manusia (dalam fisik insani-Nya). Sama
persis dengan Al-Qur’an yang 100% Kalimatullah
dan 100% buku. Secara fisik mungkin buku tersebut dapat rusak, robek, atau
bahkan terbakar sampai habis. Namun ketika Al-Qur’an rusak secara fisik, apakah
artinya Firman Allah juga telah rusak? Tentu tidak. Yesus pun dalam rupa
sebagai manusia tentu dapat mengalami kerusakan secara fisik, mengalami rasa
sakit, lapar, mati (namun bangkit lagi). Tetapi kerusakan secara fisik tentu
tidak berpengaruh apa-apa terhadap statusnya sebagai Firman Allah. Apalagi
sampai hal-hal fisik ini dipandang sebagai bukti bahwa Yesus bukan Firman
Allah.
Konsep ‘dualisme’
Yesus (Kalimatullah - manusia) dan
Qur’an (Kalimatullah – buku) ini juga
bukanlah sebuah konsep yang dibuat-buat hingga terkesan unit bin antik, di mana
suatu hal ternyata dapat memiliki 100% sifat A namun sekaligus juga memiliki
100% sifat B (sesuatu yang menjadi anggota sifat A dan B yang saling lepas).
Dalam dunia ilmu pengetahuan, cahaya juga memiliki sifat 100% partikel namun
secara bersamaan juga memiliki sifat 100%
gelombang. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa membenturkan segala hasil
eksperimen yang menunjukkan bukti cahaya adalah partikel untuk menyangkal fakta
bahwa cahaya juga merupakan gelombang. Begitupun sebaliknya. Hal ini karena memang
tidak nyambung. Yang mau diuji apa, parameternya apa. Ibarat kita yang adalah
100% anak ibu, namun juga merupakan 100% anak ayah. Fakta bahwa hidung kita
mirip ibu tidak lantas bisa dipertentangkan untuk menyangkal bahwa kita bukan
anak ayah. Begitupun dengan fakta bahwa mata kita mirip ayah tidak dapat
dijadikan bukti bahwa kita bukan anak ibu.
“Lantas waktu Yesus
turun ke dunia siapa yang ngatur alam semesta?” Mengatur alam semesta tidak ada
hubungannya dengan hadirnya Yesus di dunia. Kita umat Islam juga percaya bahwa
Allah memiliki sifat omnipotent (maha
kuasa) dan omnipresent (maha hadir).
Begitupun dengan umat Kristiani. Saat kita percaya bahwa Allah sedang hadir
menjawab doa kita sekarang, tentu tidak perlu menyangsikan kemampuan-Nya di
mana pada saat yang bersamaan Ia juga bisa hadir di tengah-tengah saudara kita
di belahan dunia lain. Bukankah Allah itu Maha Kuasa?
“Apa benar Yesus
adalah anak biologis Tuhan?” Teman-teman harus paham bahwa umat Nasrani
memiliki pemahaman yang sama dengan Islam, yakni bahwa Tuhan itu tidak beranak.
Alkitab tidak mengajarkan Allah melakukan hubungan biologis dengan Maryam
sehingga melahirkan allah baru, yakni Tuhan Yesus Kristus. Inilah pemahaman
sebagian umat Muslim yang salah. Banyak dari mereka menganggap Tuhannya Nasrani
itu ada 3: Tuhan Bapa, Tuhan Istri (Maryam), dan Tuhan Anak (Yesus). Mereka
juga mempunyai pemahaman demikian, bahwa Yesus anak biologis Tuhan, sulit
membedakan antara bahasa figuratif dan bahasa harafiah. Tapi anehnya, bila
mendengar kalimat “Muhammad adalah kekasih Allah”, mereka tahu ungkapan
tersebut hanya kiasan, sedangkan saat mendengar ungkapan “Anak Tuhan” mereka
langsung mengartikannya secara harafiah. Kiranya kita mengerti bahwa Alkitab
dan orang Nasrani manapun (bahkan bid’ah Nasrani paling melenceng seperti Saksi
Yehova atau Mormon sekalipun) tidak ada yang mengajarkan Isa Al-Masih adalah
hasil hubungan biologis antara Allah dan Siti Maryam!
“Kalau Yesus bukan
anak biologis Tuhan, terus kenapa Dia disebut ‘Anak Tuhan’?” Anak Tuhan itu
hanyalah istilah. Sama halnya dengan anak kunci atau anak tangga. Kunci dan
tangga tidak melahirkan anak kunci dan anak tangga, bukan? Gelar “Anak Tuhan”
disematkan kepada Yesus dalam kapasitasnya sebagai manusia. Patut dipahami oleh
umat Islam bahwa istilah “anak Tuhan” tersebut tidak hanya terbatas untuk Yesus
saja. Tiap individu umat Nasrani menyebut dirinya anak Tuhan. Oleh karena itu
mereka memanggil Tuhan mereka dengan sebutan “Bapa”. Istilah anak dan Bapa ini
digunakan untuk menunjukkan kedekatan umat Nasrani dengan Tuhannya. Layaknya
seorang bapak yang memelihara, membimbing, melindungi, dan mendisiplinkan
anaknya, begitu pula sikap Tuhan pada umat-Nya.
Akhirul
Kalam, selamat memasuki Masa Adven untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya
menyongsong perayaan Natal, saat Sang Sabda Allah ber-inkarnasi menjadi Imanuel, “yang berarti: Allah menyertai kita”
(Mat. 1:23). Dengan demikian di malam Natal nanti, bersama dengan malaikat dan
sejumlah besar bala tentara sorga, kita kembali berseru lantang tetapi syahdu:
“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di
antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).
Kare,
Minggu I Adven, 3-12-2017
+John Liku-Ada’
Sumber Bag. I-II:
1. CASPAR, Fr. Robert, et al.,Trying to Answer Questions, Pontificio Istituto di Studi Arabi e d’Islamistica (PISAI), (Rome, 1989).
2. TROLL, Christian W., Muslim Bertanya Kristen Menjawab, Alih bahasa oleh Markus Solo Kewuta, Kompas Gramedia, (Jakarta, 2013).
3. LIKU-ADA’, John, “Mencoba Memahami Misteri Allah Trtunggal”, KOINONIA 6/3 (2011): 2-6.
2. TROLL, Christian W., Muslim Bertanya Kristen Menjawab, Alih bahasa oleh Markus Solo Kewuta, Kompas Gramedia, (Jakarta, 2013).
3. LIKU-ADA’, John, “Mencoba Memahami Misteri Allah Trtunggal”, KOINONIA 6/3 (2011): 2-6.