Senin, 21 Juli 2014

Sampul Koinonia volume 9 no. 3


 

“MENGKATOLIKKAN ORANG MATI”?



Judul di atas ditempatkan di dalam tanda kutip, karena memang merupakan kutipan langsung. Judul itu dikutip langsung dari surat yang ditandatangani oleh Pastor Paroki Rantepao dan Sekretaris Depas Paroki Rantepao tertanggal 20 Maret 2014, di bawah No.: 05/DEPAS/PR/20/03/2014, perihal “Penegasan Sikap Paroki Rantepao”. Surat tersebut ditujukan kepada Pengurus Stasi Tombang Kalua’ dan Seluruh Umat Katolik Wilayah II, dan ditembuskan kepada: (1) Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, (2) Vikep Toraja, (3) Para Pastor Kevikepan Toraja, (4) Dewan Pastoral Stasi se-Wilayah II, (5) Ketua Wilayah Paroki Rantepao, dan (6) Arsip. Kasusnya menyangkut seorang Bapak, bernama Tampang Sarungallo, meninggal pada 4 Februari 2014 dalam usia 78 tahun, sebelum sempat dibaptis menjadi Katolik. Tetapi pihak keluarga almarhum, yaitu isteri (yang notabene beragama Kristen Protestan) dan ke-6 anak almarhum (empat di antaranya beragama Kristen Protestan dan dua yang beragama Katolik), meminta pelayanan penguburan secara Katolik. Bahkan mereka mengeluarkan Surat Pernyataan tertanggal 5 Februari 2014, yang ditandatangani Ibu Janda dan ke-6 anak almarhum serta seorang saksi. Alasan mereka, waktu masih hidup almarhum sudah mengatakan kerinduan mendalam untuk dibaptis Katolik. Namun, pihak Paroki Rantepao menolak memberi pelayanan secara Katolik, dengan alasan yang bersangkutan bukan Katolik. Maka pihak keluarga menemui Vikep Toraja meminta pelayanan secara Katolik. Setelah Vikep Toraja mempelajari masalahnya, beliau menyetujui memberi pelayanan secara Katolik. Ini kemudian membuat pihak Paroki Rantepao mengeluarkan surat penegasan sikap tersebut di atas, yaitu bahwa “Gereja (Stasi/Wilayah/Paroki) tidak melayani kegiatan doa pada orang mati tersebut”. Selanjutnya, surat tersebut menyatakan: “Pelayanan Gereja yang telah dilaksanakan, telah menimbulkan reaksi masyarakat ‘Orang Katolik meng-katolik-kan orang mati’”. Saya, sebagai Uskup diosesan, pertama kali mendapat tahu tentang kasus tersebut melalui telpon dari Paroki Rantepao pada hari Kamis, 20 Maret 2014, pk. 09.30 wita. Ketika itu proses kegiatan pelayanan sementara berlangsung. Saya diminta menggunakan wewenang sebagai Uskup memerintahkan agar pelayanan tersebut dihentikan. Saya segera menelpon Vikep Toraja. Setelah mendapatkan penjelasan, seperti sudah dikemukakan di atas, saya justru meminta agar pelayanan yang sudah berjalan itu dilanjutkan dan dituntaskan.

Kejadian tersebut sudah berlalu beberapa bulan. Tetapi persoalan yang tercantum di dalamnya sungguh serius. Dan bukan tidak mungkin kasus yang sama muncul lagi kemudian hari. Apalagi, konon, kasus tersebut banyak dipertanyakan di tengah masyarakat (?). Karena itu dibutuhkan kejelasan dan ketegasan sikap Gereja Katolik dalam hal ini. Inilah alasannya, mengapa topik ini diangkat dalam rubrik “Dari Meja Uskup Agung” KOINONIA kita kali ini.

BERDASARKAN AJARAN RESMI GEREJA KATOLIK
Supaya segera menjadi jelas, sebaiknya kita langsung mengutip Kitab Hukum Kanonik (KHK), kanon 849, sebagai berikut: “Baptis, pintu gerbang sakramen-sakramen, yang perlu untuk keselamatan, entah diterima secara nyata atau setidak-tidaknya dalam kerinduan, dengan mana manusia dibebaskan dari dosa, dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah serta digabungkan dengan Gereja setelah dijadikan serupa dengan Kristus oleh meterai yang tak terhapuskan, hanya dapat diterimakan secara sah dengan pembasuhan air sungguh bersama rumus kata-kata yang diwajibkan”.

Kanon doktriner ini dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa Sakramen Baptis, dan hanya Sakramen Baptislah satu-satunya cara resmi untuk meng-katolik-kan orang. Itulah pintu gerbang Sakramen-Sakramen lainnya. Oleh karena itu ungkapan “mengkatolikkan orang mati” adalah ungkapan yang aneh. Pastilah tidak dimaksudkan bahwa, telah ada upaya membaptis Katolik orang yang sudah meninggal! Yang terjadi pada kasus di atas adalah pelayanan      penguburan secara Katolik, berdasarkan permintaan pihak keluarga almarhum. Upacara penguburan Katolik bukanlah Sakramen, khususnya bukan Sakramen meng-katolik-kan orang. Upacara penguburan Katolik pada prinsipnya merupakan rangkaian doa secara Katolik. Dan Gereja Katolik tidak boleh menolak permintaan doa dari siapa pun, sepanjang tidak ada persoalan dan keberatan dari pihak non-Katolik.

Menurut iman Katolik, Sakramen Baptis diperlukan untuk keselamatan. Terdapat dua macam atau bentuk baptisan, yaitu “baptis yang diterima secara nyata” dan “baptis rindu”. “Baptis nyata” adalah baptis yang secara faktual diterimakan kepada seorang yang percaya kepada Kristus. Supaya baptis tersebut sah, terdapat dua prasyarat utama yang harus dipenuhi: (1) pembasuhan/pencurahan air yang sungguh-sungguh (-jadi bukan cairan lain), biasanya pada dahi calon; (2) sambil si pembaptis mengucapkan rumus yang diwajibkan, yaitu: “Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus”.

Sedangkan “baptis rindu” (=”in voto”) adalah ketika, karena satu dan lain sebab, yang bersangkutan secara faktual tidak menerima Sakramen itu sendiri, tetapi dia rindu menerimanya. Sesungguhnya ajaran tentang baptis rindu ini mempunyai dasarnya dalam Konsili Vatikan II: “Mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan tulus hati mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar” (LG,16).

Kasus alm. Tampang Sarungallo di atas merupakan salah satu contoh jelas menyangkut “baptis rindu”. Penjelasan yang saya peroleh dari pihak keluarga almarhum pada tanggal 26 Maret 2014, sebagai berikut: (1) Sejak Desember 2013 almarhum sudah menyatakan keinginannya untuk masuk Katolik, dan sudah sering mengikuti doa rukun bila anak mantunya yang Katolik mendapat giliran Doa Rukun; (2) Almarhum belum sempat dibaptis Katolik, karena anak-anaknya belum sempat berkumpul untuk menghadiri pembaptisan tersebut, sesuai keinginan almarhum. Konon, maksud tersebut telah disampaikan almarhum sendiri kepada Pengantar Stasi yang bersangkutan, Stasi Tombang Kalua’. Atas dasar ini isteri dan anak-anak almarhum meminta Gereja Katolik melalui Stasi, agar doa/kebaktian penguburan dilaksanakan secara Katolik. Ini dipertegas dengan Surat Pernyataan, sebagai berikut: (lih. Gambar)


KASUS DI TONDON MATALLO 1993/4
Ada yang mengait-gaitkan kasus di atas dengan kasus yang berlangsung di Tondon Matallo, kini Kabupaten Toraja Utara, antara April 1993 dan Februari 1994. Kasus rumit yang berlarut-larut dan mengarah pada isyu SARA itu, akhirnya dapat diselesaikan dalam pertemuan di Makodam VII/Wirabuana, Ujung Pandang, pada tanggal 24 Januari 1994. Dalam pertemuan tersebut Gereja Katolik diwakili hanya dua orang, yaitu P. Patrick Galla’ Samperuru (alm.), yang waktu itu parochus Rantepao, dan saya, waktu itu sebagai Uskup Auxilier  KAUP. Jadi, dari pihak Gereja Katolik, yang paling mengetahui duduk persoalan kasus itu hanya kami berdua. Adapun penjelasan rinci mengenai kasus tersebut, sudah saya tuliskan dalam Buku Kenangan “56 Tahun Kodam VII/Wirabuana (20 Juni 1950-20 Juni 2006)”, khususnya hlm. 114-118, dalam artikel berjudul “Opini dan Harapan Uskup Agung Makassar terhadap Kodam VII/Wirabuana”. Saya menganggap penting mengutipkan penjelasan tersebut, sebagai berikut:
Kasusnya menyangkut status agama seorang bernama Paulus Kariri Dalipang, yang sudah meninggal hampir 3 tahun sebelumnya (Oktober 1990), yang dipermasalahkan antara Alukta (agama asli Toraja yang sejak 1969 dicabangkan pada Hindu Dharma) dan Gereja Katolik di sana. Berdasarkan fakta yang didukung dokumen-dokumen otentik dan saksi-saksi, Bpk. Kariri Dalipang telah dibaptis Katolik secara sah pada tanggal 16 Oktober 1990 atas permintaannya sendiri secara bebas, dan mengambil nama Paulus. Tidak berapa lama kemudian beliau meninggal dunia, dan diadakan kebaktian kedukaan Katolik yang disaksikan keluarga almarhum dan banyak anggota masyarakat setempat. Tiada keberatan dari pihak manapun. Selanjutnya, sesuai tradisi setempat, jenazah disemayamkan di rumah tongkonan dengan status sebagai penganut agama Katolik. Lama sesudah itu upacara penguburan belum juga dilaksanakan. Tahu-tahu pada bulan April 1993, tanpa pemberitahuan kepada Gereja, ritual penguburan sudah mulai dilaksanakan menurut tata cara Alukta, yang berarti pembelokan status agama almarhum. Tentu saja Pengurus Gereja Katolik setempat memprotes. Karena tampaknya jalan musyawarah dengan pihak keluarga almarhum tersumbat, maka Pengurus Gereja menyampaikan keberatannya secara tertulis ke Kakandepag Dati II Tana Toraja. Pada gilirannya Kakandepag meneruskan masalahnya kepada Pemda dan Kapolres Tana Toraja. Pemda Tator menugaskan Camat setempat meneliti status agama almarhum. Hasil penelitian tersebut, yang selanjutnya disampaikan kepada Pemda, ialah bahwa almarhum benar secara sah telah dibaptis Katolik atas permintaannya sendiri secara bebas. Pada rapat Muspida yang Diperluas di mana dipertemukan Pengurus Gereja Katolik dan pihak keluarga almarhum, kesimpulan itu disampaikan oleh Bupati. Tetapi pihak keluarga tidak menerima baik. Maka selanjutnya ditempuhlah jalur hukum. Setelah melalui beberapa kali persidangan, maka pada tanggal 14 Oktober 1993 Pengadilan Negeri Makale mengeluarkan penetapan yang menegaskan bahwa alm. Paulus Kariri Dalipang adalah penganut sah agama Katolik. Tetapi selanjutnya pihak ahli waris dari almarhum menyatakan menolak penetapan Pengadilan tersebut dan akan mengajukan perlawanan terhadapnya. Dan sesungguhnya dalam hal ini mereka memiliki alasan mendasar yang kuat. Pertanyaannya, sejauh mana Pengadilan sipil umum memiliki wewenang menetapkan status agama seorang warga negara? Tidakkah itu merupakan suatu campur tangan negara yang terlalu jauh ke dalam masalah intern agama? Harus diingat, Indonesia bukan negara agama.   

Merasa berada di atas angin, kelompok yang ada di belakang para ahli waris almarhum mulai semakin bersemangat. Tanggal 15 Nopember 1993 tiba-tiba ada pengumuman kepada masyarakat umum lewat pengeras suara dari kendaraan bermotor oleh oknum tertentu di pasar Bolu, Rantepao. Isinya, bahwa SABUNG AYAM dalam rangka upacara kematian alm. Kariri Dalipang akan jadi direstui pihak berwenang. Pengumuman ini semakin memperkuat kecurigaan pihak Pengurus Gereja Katolik sejak dari semula, bahwa permasalahan pokok di sini sesungguhnya bukanlah status agama almarhum melainkan motif mengadakan acara sabung ayam. Dalam Alukta dicoba dibela dan dipertahankan acara “sabung ayam” itu sebagai unsur aluk (agama). Tetapi dalam prakteknya acara tersebut telah diselewengkan menjadi judi yang telah berkembang menjadi candu bagi masyarakat Toraja, dan bagi para bandar judi sabung ayam merupakan sumber uang yang besar. Dan karena itulah Gereja Katolik menolak tegas acara sabung ayam dalam kaitan dengan upacara kematian.

Tentu saja pengumuman di pasar Bolu tersebut di atas mengejutkan dan menimbulkan keresahan di kalangan umat Katolik di Tana Toraja. Ormas-Ormas Katolik dan kelompok-kelompok umat mendatangi kantor DPRD Kab. Tator. Dewan Paroki Sta. Theresia Rantepao mengirim surat kepada Muspida Tator. Sementara itu para pendukung ahli waris almarhum juga tidak tinggal diam. Terlebih setelah Ketua Pengadilan Negeri Makale pada tanggal 14 Desember1993 mengeluarkan Penetapan yang menyatakan bahwa penetapan Hakim Pengadilan Negeri Makale tanggal 14 Oktober 1993 tersebut di atas “dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum”. Pada hari yang sama ada oknum yang berkeliling kota Rantepao dengan kendaraan memberi pengumuman lewat pengeras suara, bahwa sabung ayam dalam rangka upacara alm. Kariri Dalipang akan dilaksanakan dari tanggal 16 s/d 22 Desember 1993. Sekitar hari-hari itu juga tersiar isyu di masyarakat bahwa rencana acara sabung ayam tersebut telah mendapat restu dari Kodam. Bahkan ada isyu yang mengatakan bahwa ada nota dari Kodam untuk itu. Dalam pertemuan dengan kelompok umat Katolik, Ketua DPRD Dati II Tator sempat menyinggung bahwa beliau juga telah mendengar isyu acara sabung ayam tersebut akan diadakan atas restu Kodam dan bahkan akan diamankan oleh petugas dari Kodam. Sudah barang tentu semua ini semakin memperbesar dan memperdalam keresahan umat Katolik di Tana Toraja.

Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan itu, yang dapat berkembang sebagai masalah SARA yang sulit dikendalikan, Pimpinan Kodam VII/Wrb. mengambil inisiatif baru untuk mencari penyelesaian. Difasilitasi oleh Asintel Kodam VII/Wrb., Kol. S. Nasution, kedua pihak dipertemukan di Makodam pada tanggal 24 Januari 1994. Pihak Alukta dan ahli waris almarhum diwakili oleh Kila’, BA (Ketua Alukta), Tiku Pongsammin (Sekretaris Alukta), Ritta (salah satu ahli waris/anak kandung alm.) yang nota bene bukan penganut Alukta, dan masih ada dua orang lain (Tarra’ Sampetoding dan Payung) yang keduanya juga bukan penganut Alukta. Mencermati latar belakang agama yang dianut oleh para perwakilan ini, memang menimbulkan pertanyaan besar, apakah persoalan pokok di sini adalah status agama alm. Kariri Dalipang atau motif sabung ayam? Hanya Kila’ dan T. Pongsammin yang penganut Alukta, nota bene masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Alukta. Tetapi keduanya hari itu didatangkan dari Makale dengan mobil tahanan dan dikawal oleh petugas penjara, karena mereka sedang berstatus tahanan, katanya, karena soal judi sabung ayam di tempat lain. Pihak Gereja Katolik diwakili oleh Pastor Patrick Galla’, selaku Pastor Paroki Sta. Theresia Rantepao yang membawahi wilayah Tondon Matallo, dan saya sendiri sebagai Uskup Auxilier Keuskupan Agung Ujung Pandang waktu itu.

Setelah Asintel memberi pengantar selaku pimpinan pertemuan, beliau meminta masing-masing pihak mengemukakan pandangan dan sikapnya dalam kasus ini. Kila’ menjadi pembicara pihak Alukta dan ahli waris almarhum. Beliau menegaskan sikapnya meminta upacara pemakaman almarhum dilaksanakan secara Alukta. Ketika giliran pihak Katolik diminta pandangan dan sikapnya, saya langsung tampil dengan ‘senjata’ yang saya anggap ampuh untuk menyelesaikan masalahnya. Saya mulai dengan menegaskan bahwa berdasarkan bukti-bukti otentik, almarhum waktu masih hidup dengan kesadaran dan kebebasan penuh telah meminta dibaptis menjadi Katolik. Dalam Gereja Katolik tidak ada satu pihak pun, tidak seorang Pastor, tidak seorang Uskup, juga tidak seorang Paus dapat membatalkan pembaptisan sah seseorang. Hanya ada dua pihak yang dapat membatalkannya, yaitu orang yang bersangkutan sendiri dan Tuhan. Tetapi kita tidak mungkin lagi bertanya kepada orangnya, sebab ia sudah meninggal. Kenyataannya masalah ini sudah dicoba diselesaikan di berbagai forum, termasuk di pengadilan. Tetapi semuanya mentah lagi. Sementara itu risiko munculnya keributan berwarna SARA makin jelas. Dan ke mana pun masalah ini dibawa, tak akan pernah selesai. Sebab masing-masing pihak tetap bertahan pada posisinya yang saling bertentangan. Jadi kita sebagai manusia tampaknya tak akan mampu lagi menyelesaikan kasus ini. Maka sebaiknya kita serahkan saja kepada Tuhan, sebagai Hakim Mahaadil. Pemimpin pertemuan bertanya: “Apa maksud saudara?” Saya menjawab, “apabila pihak pimpinan Alukta dan ahli waris berani bersumpah, sambil memegang jenazah almarhum, bahwa segala risiko/hal yang menyangkut baik-buruknya yang timbul di kemudian hari, baik di dunia maupun di hadapan Tuhan menjadi tanggung jawab bersama anak cucu mereka, maka silakan mereka melaksanakan upacara kematian almarhum secara Alukta. Apabila pihak Alukta dan ahli waris tidak bersedia, berikanlah kesempatan itu kepada pihak Gereja Katolik”. Mendengar penjelasan itu Sdr. T. Sampetoding spontan menggumam dalam bahasa daerah, menyatakan ketakutannya terhadap sumpah semacam itu. Memang maksud kami ialah memaksa pihak mereka mengakui kebenaran, yaitu bahwa almarhum di masa hidupnya telah dibaptis Katolik secara sah. Kami tahu betapa sumpah semacam itu di hadapan jenazah sangat ditakuti dalam masyarakat Toraja. Melihat adanya kemungkinan jalan keluar, Pimpinan pertemuan tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Beliau langsung meminta jawaban juru bicara Alukta dan ahli waris. Kila’ menanggapi dengan bicara berputar-putar, jelas mencoba menghindar memberi jawaban langsung. Tetapi Asintel, yang kelihatan mulai tidak sabar, menegaskan: “Jawab, berani tidak?” Jelaslah ia tidak berani dan menghindar dengan mengatakan: “Terserah kepada ahli waris”. Giliran Sekretaris Alukta ditanya. Reaksinya persis sama, mulai bicara berputar-putar untuk akhirnya menghindar dengan kata-kata yang sama, “Terserah kepada ahli waris”. Saya terperangah menyaksikan sikap pemimpin agama seperti ini, yang dengan mudahnya berlepas tangan dan membebankan tanggung jawab seberat itu kepada umatnya! Ketika tiba giliran wakil ahli waris ditanya, tampaknya dia merasa sangat terdesak dan menjawab dengan singkat, “Berani”. Saya terkejut, tetapi di hati kecil saya lebih menghargai orang ini daripada para pimpinan Alukta itu. Dengan demikian dalam waktu kurang dari sejam diselesaikanlah kasus yang telah mencengkam selama hampir setahun itu. Segera dirumuskanlah kesepakatan itu, yang intinya “pelaksanaan pemakaman almarhum Kariri Dalipang dilakukan secara Alukta, dengan terlebih dahulu diadakan sumpah di hadapan jenazah almarhum oleh anak-anaknya”, yang selanjutnya ditandatangani para pihak. Pelaksanaan sumpah kemudian dilangsungkan pada tanggal 5 Februari 1994.

Sesudah penandatanganan kesepakatan tersebut, tak ada lagi kegiatan intimidasi kepada umat Katolik, khususnya umat Paroki Sta. Theresia Rantepao, oleh pihak-pihak tertentu. Memang dengan penyelesaian seperti itu, mereka yang selama ini berhadapan dengan Gereja Katolik, c.q. Paroki Sta. Theresia Rantepao, kini berhadapan dengan Tuhan, yang tidak dapat ditipu oleh manusia. Selanjutnya beberapa umat Katolik menyampaikan keberatan. Mereka bertanya kepada kami: “Mengapa kalian berani membuat kesepakatan seperti itu, padahal jelas almarhum sudah dibaptis Katolik?”. Saya menjawab, “Kesepakatan yang kami tandatangani ialah bahwa alm. dapat diupacarakan secara Alukta, dan bukan bahwa alm. belum dibaptis Katolik. Itu sangat berbeda. Dalam Gereja Katolik, dengan alasan yang luar biasa dan berat, dimungkinkan adanya dispensasi dari cara upacara kematian Katolik bagi seseorang yang telah dibaptis Katolik”. Intinya: Almarhum tetap Katolik, hanya upacara kematiannya dilaksanakan secara Alukta! Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang dapat mengubah status agama seseorang!

MEMELIHARA KERUKUNAN ANTAR AGAMA
Agaknya semangat memelihara kerukunan antar agama inilah yang menjadi pertimbangan utama, mengapa pihak Paroki Rantepao menolak permintaan pelayanan upacara kematian secara Katolik alm. Tampang Sarungallo. Dan memang dokumen-dokumen resmi Gereja Katolik menekankan agar umat Katolik berupaya sungguh-sungguh untuk menjaga dan memajukan kerukunan dan dialog antar agama (lih. mis. Deklarasi ‘Nostra Aetate’ tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristiani  dari Konsili Vatikan II). Namun, menolak melayani upacara penguburan seorang yang telah sah menjadi Katolik lewat baptis rindu, secara doktriner jelas salah.

Kalau pertimbangannya adalah “demi memelihara kerukunan antar agama”, maka solusinya sederhana saja: Silakan minta pihak keluarga almarhum berbicara dan menjelaskan duduk persoalannya kepada pimpinan Alukta! Saya percaya, setelah mendapatkan penjelasan tentang duduk persoalan yang sebenarnya, pimpinan Alukta tak akan ada keberatan. Kasus di Tondon Matallo, 1993/4 itu berkembang menjadi sedemikian rumit karena adanya unsur pemaksaan kehendak. Sejak awal pihak ahli waris almarhum dan pimpinan Alukta waktu itu tidak memperlihatkan kehendak baik. Lama-kelamaan menjadi jelas bahwa motif mereka bukanlah iman murni, melainkan motif judi sabung ayam. Gereja Katolik tidak dapat lain daripada menentang motif semacam itu. Bukankah “menolak perjudian” termasuk salah satu poin Janji Baptis?

WEWENANG MAGISTERIUM
Bagian pertama dari surat “Penegasan Sikap Paroki Rantepao” tersebut di atas memuat pernyataan yang termasuk dalam wilayah ajaran iman. Saya kutip khususnya poin 2: “Yang dimaksud orang beriman Katolik yang dilayani, adalah: Mereka yang telah ‘mengakui secara resmi akan menjadi Katolik’, dan telah menjadi Katekumen serta telah pernah hadir (masuk) Gereja, dilayani baik pada saat masih hidup maupun ketika dia meninggal dunia, meskipun belum dibaptis”. Pernyataan yang masuk wilayah ajaran iman ini tidak disertai rujukan pada suatu dokumen otentik Magisterium Gereja. Itu berarti pernyataan ini dikeluarkan atas wewenang si penulis surat. Padahal dalam Gereja Katolik, kuasa mengajar dalam hal iman dan moral ada pada Magisterium.

Siapa saja yang termasuk Magisterium Gereja? Pertama-tama, adalah Sri Paus, demi jabatannya (KHK, kan. 749 § 1). Selanjutnya, adalah Dewan para Uskup, “apabila para Uskup, tergabung dalam Konsili Ekumenis, melaksanakan tugas mengajar dan selaku pengajar dan hakim iman dan kesusilaan, menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu ajaran di bidang iman atau kesusilaan harus diterima secara definitif; dan pula apabila mereka, biar tersebar di seluruh dunia, namun sambil memelihara ikatan persekutuan antara mereka dan dengan pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama dengan Uskup Roma itu, sesuatu dari iman atau dari kesusilaan dan mereka sepakat bahwa ajaran itu harus diterima secara definitif” (KHK, kan. 749 § 2). Ketiga, adalah “Uskup-Uskup yang berada dalam persekutuan dengan kepala dan anggota-anggota Dewan, entah sendiri-sendiri atau tergabung dalam konferensi Waligereja  atau dalam konsili-konsili partikular, sungguh-sungguh adalah guru dan pengajar otentik dari iman kaum beriman yang dipercayakan kepada mereka” (KHK, kan. 753).

Hanya ketiga unsur tersebut di atas yang secara sah memiliki wewenang menentukan ajaran iman dan kesusilaan (Magisterium Gereja). Jadi jelas Pastor Paroki tidak termasuk di dalamnya; juga tidak seorang Sekretaris Depas Paroki. Maka, pernyataan imani dalam surat “Penegasan Sikap Paroki Rantepao” di atas, batal dengan sendirinya. Tambahan lagi, pernyataan dalam wilayah iman tersebut tidak sesuai dengan ajaran otentik Gereja tentang “baptis rindu”.

Akhirnya, semoga dengan penjelasan yang cukup panjang ini, segala ketidakjelasan dan kebingungan yang muncul akibat kasus di atas, yang konon tersebar luas, dapat teratasi. Mari kita berkarya dan melayani dalam iman sesuai dengan rambu-rambu ajaran otentik Gereja, “demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan demi kebahagiaan manusia” (LG,17; AG,9).

Tuhan memberkati kita semua!
Makassar, Medio Juni 2014

       + John Liku-Ada’

PERAYAAN 25 TAHUN MASUKNYA TRANSMIGRAN DI TANAH TOBADAK – MAMUJU TENGAH


Puncak perayaan 25 tahun hadirnya umat Katolik di wilayah Tobadak dirayakan Selasa, 29 April 2014 dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Agung Keuskupan Agung Makassar, Mgr. John Liku-Ada bersama Vikep Sulbar, RD. Martinus Pasomba dan RD. Octavianus Samson Bureny (Pastor Paroki St. Mikael Tobadak). Perayaan dimulai pkl. 09.00 – 11.00 yang juga dihadiri oleh para pastor se-Kevikepan Sulawesi Barat, yakni: RD. Vius Oktavianus (Pastor Paroki St. Petrus Mamasa), RD. Cornelis Gerryt, dan RD. Hendrik Palimbo (Pastor Paroki dan kapelan Paroki St. Fransiskus Messawa), RD. Simon Refliandi (Pastor Paroki St. Yosef Polewali). Selain itu juga hadir RD. Niko Tangke yang pernah bertugas di wilayah ini dan sekarang bertugas di Paroki Mengkendek – Tanah Toraja serta RD. Bine’ Saramae, (Rektor Seminari Tinggi Anging Mammiri, Yogyakarta) yang sebelumnya hadir memberikan pelatihan liturgi kepada para pengantar di wilayah Tobadak ini bersama Bpk. Petrus Matutu.

Perayaan yang dihadiri oleh sekitar 500-an orang ini berlangsung dengan lancar dan khidmat yang dimeriahkan oleh kelompok koor dan tarian dari suku NTT. Selain umat paroki Tobadak, juga hadir para tamu undangan dari setiap paroki di Kevikepan Sulbar. Sebut saja: komunitas suster JMJ Messawa, komunitas suster MC Mamuju dan para umat utusan dari setiap paroki.

Uskup dalam khotbahnya menggarisbawahi teks Kitab Suci: “Carilah perkara yang di atas dimana Kristus berada” dan “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu”. Dijelaskan bahwa mencari perkara yang di atas... tidak hanya mengarahkan pandanggan kepada Kristus (di atas) tetapi terlebih mengikuti segala perintahNya, yakni perintah yang disampaikan dalam bentuk teladan hidup. Hal ini nyata dalam perjamuan Malam Terakhir Yesus, “Aku telah memberi teladan kepada kamu, pergilah dan berbuatlah demikian”.

Jadi pengikut Kristus yang sejati – seperti perayaan hari ini – merayakan 25 tahun hadirnya Gereja Katolik di wilayah Tobadak yang dibawa oleh diasporais dari NTT. Pertanyaannya: Apakah kita telah mengikuti teladan Yesus Kristus sendiri? Teladan Yesus tentu berdimensi luas. Di sini, fokus renungan Mgr. John pada konteks hidup masyarakat pasca Pileg.

Sebagai pengikut Kristus, apa panggilan kita? Beliau mengutip semboyan dari Mgr. Soegijapranata, “Kita harus 100% Katolik dan 100% warga negara Indonesia”, yang dijadikan visi Bimas Katolik Kementerian Agama RI.

Mgr. John melanjutkan renungannya dengan menjelaskan pemeran utama dalam kisah sengsara Yesus yang direnungkan dalam setiap pekan suci. Mereka itu adalah Yudas Iskariot, Penguasa Agama, Penguasa Politik, dan rakyat.

Yudas Iskariot (penghianat), dikatakan bahwa ia menjadi murid Yesus selama 3 tahun, tetapi setelah itu ia memperdagangkan Gurunya demi 30 keping perak. Ia lebih memilih uang. Uskup pun mengutip apa yang pernah disampaikan Kardinal Indonesia bahwa sila 1 Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kini diubah menjadi “Keuangan Yang Maha Esa”. Sungguh memprihatinkan. Maka tidak heranlah saat ini ada “human trafficking, perdagangan manusia” demi mendapatkan uang. Yudas telah berbuat itu, menjual Gurunya demi uang. Manusia pun bisa menjual dirinya yakni sebagai PSK. Tentu praktek hidup ini semua dilawan oleh Yesus.

Uskup melanjutkan renungan dengan menilik kembali peristiwa Pileg baru-baru ini. “Peristiwa Pileg diwarnai dengan “serangan fajar”. Mereka yang terkena serangan ini sama saja menjual dirinya. Sehingga tujuan Pileg tidak lagi sesuai dengan demokrasi, yang berarti kekuasaan ada di tangan rakyat karena harkat ini dijual sebagai warga negara. Wakil rakyat yang mengucapkan sumpah nantinya... kini tidak bernilai. Karena kesempatan ini akan dipakai untuk mengembalikan uang yang telah digunakan melakukan “serangan fajar”, jelas Mgr. John.

“Pemimpin agama. Sejatinya, masalah yang dituduhkan kepada Yesus adalah persoalan agama, karena Ia menyamakan DiriNya dengan Allah, yang bagi orang Yahudi ini menghujat Allah maka sesuai dengan hukum harus dirajam. Namun waktu itu penjajah Romawi yang berkuasa, maka hukum yang berlaku adalah penyaliban. Dalam kisah ini, nampak bahwa pemimpin agama tidak mau mengotori dirinya sehingga mencuci tangan, dengan mengatakan, “kami tidak menemukan kesalahan pada orang ini”. Akhirnya, Yesus diserahkan ke pimpinan politik. Tetapi pemimpin politik juga tidak menemukan kesalahan pada diri Yesus, sehingga harus dibebaskan karena tidak ada alasan hukum. Tetapi toh akhirnya Yesus dihukum mati karena penguasa takut kehilangan jabatan. Jadi ada kooptasi penguasa agama dan penguasa politik. Ini merupakan kisah abadi”, tegas Uskup.

“Rakyat. Dalam peristiwa penyaliban Yesus, rakyat pun berperan. Sebelumnya rakyat mengelukan Yesus sebagai raja dengan mengucapkan “Hosana” tetapi setelah itu mereka meneriakkan “salibkan Dia”. Mengapa demikian? Ya karena mereka sudah “dibeli”. Maka ungkapan “Vox Populi Vox Dei”, Suara rakyat adalah suara Tuhan, harus hati-hati karena rakyat bisa diperjualbelikan”, lanjut Uskup.

Uskup mengakhiri kotbahnya dengan mengatakan bahwa syukur 25 tahun hadirnya Gereja di Tanah Tobadak, menjadi momentum yang baik untuk merefleksikan sabda Yesus, mencari nilai yang lebih tinggi daripada nilai yang lebih rendah. Yesus yang sama mengajar kita, kita harus mengikuti teladan Dia agar layak disebut sebagai pengikut Kristus karena mengikuti segala perintahNya dalam tingkah dan langkah dalam masyarakat. Ditekankan bahwa kita masih perlu terus-menerus mendalami pendidikan politik. Tuhan memberkati.

Setelah renungan yang membuat umat tersentak itu dan Perayaan Ekaristi selesai, acara dilanjutkan di panggung yang telah disiapkan oleh panita. Acara ramah tamah diawali dengan laporan panitia dan sambutan-sambutan. Dalam laporannya, ketua panitia mengatakan bahwa kehadiran transmigrasi dari NTT awalnya 155 KK namun dalam perjalanan waktu berkurang menjadi 60 KK, karena banyak yang kembali ke kampung halaman lantaran tidak mampu bertahan dalam situasi dan kondisi yang dihadapi. Yang bertahan inilah yang berkembang, beranak-cucu sampai saat ini. Ia pun menyampaikan limpah terimakasih kepada semua pihak sehingga perayaan syukur 25 tahun ini bisa terlaksana dengan baik dan aman. Dilaporkan juga bahwa  dalam rangkaian peristiwa pesta perak ini, diawali dengan  beberapa pertandingan olahraga dan seni serta berziarah ke kuburan dengan berjalan kaki. Selain itu diadakan pendalaman iman dan pelatihan liturgi yang dibawakan oleh RD. Bine Saramae’ dan Bpk. Petrus Matutu dari Komisi Kerawam KAMS. Meski cuaca agak panas umat tetap setia duduk mengikuti acara demi acara dan sebelum sambutan ditampilkanlah tari “Togo” dari komunitas NTT di Tobadak.

P. Samson dalam sambutannya membacakan sekapur sirih 25 tahun gereja Katolik Tobadak. Dikatakan bahwa Gereja Katolik Tobadak ditandai dengan kedatangan warga NTT, April 1989. Waktu itu jumlah transmingran 155 kk dan 299 jiwa, mereka yang bertahan inilah yang berkembang dan beranak cucu di tanah Tobadak. Peristiwa 25 tahun lalu adalah peristiwa rahmat, Tuhan hadir menaungi umatNya dalam berkelana di Tanah Tobadak. Pastikan bahwa masa lalu adalah kenangan, sekarang adalah kenyataan, dan masa depan adalah mimpi. Bermimpilah dan gapailah mimpi itu. We have a dream, kata Martin Luther King.

Mimpi apa yang harus kita mimpikan 25 tahun yang akan datang? Kita tidak bermimpi di siang bolong tetapi bermimpi yang berlandaskan pada semangat perjuangan yang totalitas. Mimpi-mimpi itu dapat kita sebutkan yakni gedung paroki St. Mikael Tobadak yang ada sekarang ini harus lebih besar, megah. Kita melihat perjalanan gedung gereja ini dari bangunan sederhana pelan-pelan berkembang menjadi permanen dan semi-megah saat ini untuk ukuran distrik. Selain fisik yang megah, paroki ini juga harus mandiri. Indikator kemandirian ini dalam hal paroki dan stasi harus mampu menghidupi dirinya sendiri dengan segala penghuninya, SDM harus berkualitas, berpendidikan dan profesional, mampu mengolah SDA yang ada secara baik.

Dalam rentang waktu 25 tahun ke depan, “harus” ada putra daerah yang jadi imam dan ditahbiskan di paroki yang megah itu nantinya. Namun semua ini bisa terjadi bila ada kerja sama dari semua umat, bergandengan tangan, sehati-sejiwa dalam meraih mimpi-mimpi itu. Inilah jawaban atas hadirnya Kristus di tengah-tengah umatNya.

Bupati Mamuju Tengah (Mateng) yang diwakili oleh Sekda H. Amin Jasa dalam sambutannya mengungkapkan rasa harunya mendengar kilas balik kehidupan para transmigran di tanah Tobadak. Beliau mengatakan 25 tahun umat Katolik telah memberi kontribusi untuk pembangunan daerah ini. Meskipun Mateng secara operasional baru berjalan 9 bulan secara efektif, namun pembangunan sudah berjalan dengan baik. Ia menyambut gembira kehadiran umat Katolik yang merayakan 25 tahun di tanah Tobadak. Beliau menghimbau agar semua umat saling bekerja sama baik internal maupun eksternal dalam membangun daerah yang dilirik oleh para investor baik dalam negeri maupun luar negeri. Sekda menegaskan bahwa kita harus menjaga kondisi yang aman dan stabil agar hidup tenteram dan sejahtera.

Mgr. John yang tampil terakhir membawakan sambutannya menyebutkan tiga hal pokok yakni, selamat, terima kasih dan harapan. Beliau mengungkapkan apresiasi yang mendalam atas hadirnya para transmigran dari NTT yang membawa wajah Gereja Katolik di Tanah Tobadak. Kepada pemerintah, Mgr. John juga mengungkapkan rasa terima kasihnya atas perhatian dan perlindungan pemerintah kepada umat Katolik. Harapan beliau adalah agar usia 25 tahun ini ke depan partisipasi umat semakin nampak dan bersama golongan lain menjaga kerukunan, keramahan, sehingga semakin nyatalah semboyan Mgr. Soegijapranata: 100% Katolik dan 100% warga negara Indonesia. Harapan lain dari Mgr. John bahwa kita semua diutus untuk menjadi terang dan garam dalam masyarakat untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Acara ditutup dengan tarian “Gawe” dari masyarakat NTT yang juga diikuti oleh Mgr. John, Sekda, pastor paroki Tobadak, dan para tamu undangan. Acara terakhir adalah makan bersama, sebagai perjamuan kasih, syukur dan terima kasih atas berkat Tuhan 25 tahun lalu di Tanah Tobadak.*** Penulis: Anton Ranteallo