Kamis, 07 November 2013

Konstitusi Liturgi: Kembali ke Semangat Awal

Tahun 2013 ini dirayakan 50 tahun Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Conci­lium (SC). SC telah ditetapkan dan diumumkan oleh Paus Paulus VI bersama para Bapa Konsili Vatikan II (KV II), 4 Desember 1963.

Para Bapa Konsili sepakat agar kaum awam lebih aktif berpartisipasi (dan berbuah) dalam liturgi, khususnya Ekaristi; serta penataan liturgi hendaknya berdasarkan Kitab Suci dan sumbersumber liturgi.

Pasca KV II hingga kini, masih timbul banyak ketegangan dalam ranah pastoral dan pelaksanaannya. Perdebatan antar umat yang konservatif dan progresif sering terjadi. Misal, meski sudah lazim imam menghadap umat saat Ekaristi, tapi kaum konservatif masih bernostalgia agar imam menghadap altar (atau matahari), dan membelakangi umat.

Tentu saja dua kelompok ini punya argumentasi teologis kuat. Kendati nyanyian dalam Ekaristi dibawakan dalam bahasa Indonesia, tapi kadang muncul kerinduan akan lagu-lagu Gregorian berbahasa Latin, terutama bagi mereka yang sudah Katolik sebelum KV II. Kerinduan ini tak boleh disepelekan, karena menyangkut “perasaan iman”.

Kita bersyukur, dalam liturgi pasca KV II, umat memperoleh bacaan Kitab Suci yang kaya dan berlimpah. Gereja hidup dari Sabda Allah yang diwariskan secara tertulis dalam Alkitab. Jika Gereja mewartakan Sabda dalam liturgi, ia menyambutnya sebagai sarana kehadiran Kristus. “Kristus sendirilah yang berbicara kalau Kitab Suci dibacakan dalam gereja” (SC art.7).

Teks-teks liturgi diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa lain. Nyanyian liturgi menjadi bagian integral liturgi. Kaum awam terlibat sebagai petugas liturgi, seperti: prodiakon, lektor, termasuk perempuan dilibatkan. Pada zaman pra KV II, hanya pelayan liturgi yang boleh naik ke panti imam.

Keterbukaan akan pembaruan memberi peluang kebebasan yang salah kaprah. Ketika menyampaikan homili, imam turun dari panti imam, berdialog dengan umat. Homili menjadi tanya-jawab bak guru Taman Kanak-Kanak bersama para muridnya.

Kadang homili diganti dengan semacam sandiwara kecil yang murahan. Kurang persiapan dari segi seni, apalagi dari segi liturgi, pastoral dan teologi. Koor tak hanya membantu partisipasi umat, melainkan justru membawakan lagu-lagu yang cenderung menjadi show dan entertainment. Akibatnya, bukan umat memuji Allah, tapi bertepuk tangan memuji koor.

Semangat dan jiwa triumphalisme masa lampau masih muncul dalam liturgi meski sudah 50 tahun Konstitusi Liturgi SC diterbitkan. Itulah yang menyebabkan ibadah yang seharusnya menjadi perayaan liturgi, terjebak menjadi upacara. Dilupakan bahwa liturgi hendaknya sederhana, tapi luhur; userfriendly dan tak muluk-muluk.

Pembaruan Liturgi oleh KV II bertujuan untuk meningkatkan kehidupan kristiani, mendorong penyesuaian dengan tuntutan zaman dan tak kalah penting, meneguhkan persatuan persaudaraan antarumat beriman.

Kecuali menyangkut iman dan hal-hal utama, KV II memberi kebebasan untuk kreatif dalam penyesuaian dengan budaya setempat. Kita tak perlu secara ketat terpaku pada patokan-patokan yuridis – rubrikisme. Namun diingatkan agar bentuk-bentuk baru hendaknya bertumbuh secara organis dengan bentuk yang sudah ada.

Namun apa yang terjadi? Karena aspek kebersamaan begitu ditekankan, aspek keheningan dilupakan. Pemakaian bahasa lokal menggantikan bahasa Latin cenderung menghilangkan aspek misteri. Diciptakan pembaruan di sana-sini tanpa memahami tradisi. Kita terjebak dalam rasionalisme dangkal. Yang terjadi justru perubahan luar, bukan perubahan dari dalam. Liturgi cenderung menjadi ritual kosong. Allah tak lagi menjadi subyek liturgi. Demi pragmatisme pastoral, kita menciptakan tambahan upacara non liturgis, terjebak dalam salah kaprah. Marilah kita renungkan kembali maksud utama dari Konstitusi Liturgi SC. Secara kritis, kita memilah mana yang sesuai, dan mana yang salah kaprah. Kita perlu bertobat karena sering menyalahgunakan kebebasan yang diberikan.

Pastor RD Jacobus Tarigan - sumber: http://www.hidupkatolik.com/2013/09/10/konstitusi-liturgi-kembali-ke-semangat-awal

Pesta Emas Konstitusi Liturgi

HIDUPKATOLIK.com - “Yang lebih penting, umat merayakan liturgi dengan sadar, aktif, dan berbuah. Perayaan liturgi harus sederhana, singkat, sesuai dengan daya tangkap umat, sekaligus agung dan luhur,” kata Ketua KWI, Mgr Ignatius Suharyo.

Merupakan suatu kebanggaan ketika Makassar menjadi tuan rumah Pesta Emas Konstitusi Liturgi atau Sacrosanctum Concilium (SC). Betapa tidak! Makassar sering tampil dengan citra buruk sebagai kota dengan aksi anarkis dan brutal. Namun, citra buruk itu tidak selalu benar, “karena Makassar juga menyandang nama kota Anging Mammiri, angin yang sepoi-sepoi.” Demikian Uskup Agung Makassar, Mgr John Liku Ada’, saat memberikan sambutan sebagai tuan rumah Perayaan 50 tahun SC.

Perayaan bertajuk “Liturgia Semper Reformanda Est” ini berlangsung pada Selasa-Kamis, 15-17/10, dihadiri sekitar 300 peserta dari semua keuskupan di Indonesia. Panitia memilih tema ini, karena Gereja yang membarui diri dan berkembang itulah Gereja yang merayakan liturgi secara baru. Maka, dalam perayaan ini panitia fokus pada dua aspek, yaitu selebrasi dan refleksi.

Misa pembukaan dipimpin Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Antonio Guido Filipazzi, dengan konselebran Mgr John Liku Ada’, Uskup Banjarmasin Mgr Petrus Boddeng Timang, dan Ketua Komisi Liturgi KWI Mgr A.M. Sutrisnaatmaka MSF, serta puluhan imam.

Dalam homili, Mgr Filipazzi menegaskan bahwa tepat sekali perayaan diawali dengan Misa. Perayaan Liturgi harus mendahului studi, karena arti liturgi jauh lebih penting ketimbang gagasan-gagasan. Jangan sampai Misa dianggap sebagai kegiatan sekunder atau formal belaka. “Apa yang didiskusikan dalam konferensi ini mesti menuju pada penghayatan dan pemahaman liturgi yang semakin baik dan berguna.”

Diskusi selama Perayaan Pesta Emas ini menghadirkan 13 narasumber. Berbagai tema diperbincangkan, antara lain sejarah lahirnya SC, instruksi-instruksi pelaksanaan SC, dan implementasi 50 tahun SC di Gereja Katolik Indonesia.

Melalui diskusi, para peserta diajak merefleksikan gejala kurang serasi antara penghayatan dan praktik liturgi. “Kedepan, perlu direnungkan apa saja yang masih perlu dibenahi dan ditingkatkan agar pembaruan Gereja pada umumnya dan pembaruan liturgi pada khususnya semakin membawa umat kepada keselamatan yang dirindukan, sekaligus menghasilkan buah-buah yang dapat disumbangkan kepada masyarakat demi kemuliaan Tuhan dan pelayanan terhadap sesama di sekitarnya,” tandas Mgr Sutrisnaatmaka.

Sementara Ketua KWI Mgr Ignatius Suharyo mengingatkan, hendaknya SC dipahami dalam konteks yang lebih luas dengan latar belakang Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, Dei Verbum dan Gaudium et Spes, serta dokumen-dokumen Konsili Vatikan II lainnya. Dalam hal ini, harus juga ditempatkan dalam kerangka Roh yang berkembang sebelum dan selama Konsili berlangsung.

Diskusi menjadi hangat dalam Breakout Session, ketika berbicara tentang inkulturasi yang menyangkut musik, tarian, pembangunan gedung gereja, dan penggunaan teknologi modern. Teknologi modern bisa mendukung ibadat dan menunjang umat agar dapat mengikuti perayaan liturgi dengan lebih baik, asalkan digunakan secara efisien dan berimbang.

Demikian pula inkulturasi perlu dicermati dengan bijaksana. Inkulturasi tidak boleh bersifat subjektif dan pragmatis.

RD Jacobus Tarigan (sumber: http://www.hidupkatolik.com/2013/11/01/pesta-emas-konstitusi-liturgi)

Kotbah Nuncio untuk Pembukaan Konferensi Liturgi


Homili Mgr ANTONIO GUIDO FILIPAZZI untuk Pembukaan Konferensi Nasional pada Perayaan 50 tahun dikeluarkannya Konstitusi "Sacrosanctum Concilium" dari Konsili Vatikan II 

1. Perayaan Ekaristi ini membuka Konferensi Nasional untuk memperingati lima puluh tahun pemakluman Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” dari Konsili Vatikan II. Perayaan Ekaristi akan kita rayakan setiap hari dan juga dalam acara penutupan Konferensi ini, di mana kita belajar merenungkan dan berdiskusi bersama. Berkait dengan itu, saya ingin mengingatkan kepada kita semua bahwa Misa suci tidak boleh dianggap sebagai kegiatan sekunder atau formal belaka.

Perayaan Misa tidak dapat dinomorduakan oleh ceramah dan diskusi yang akan dilaksanakan selama berlangsungnya Kongregasi ini. Perayaan liturgi harus mendahului studi, karena arti dari liturgi jauh lebih penting daripada gagasan-gagasan yang bisa kita pelajari tentangnya. “Sacrosanctum Concilium” mengingatkan kepada kita bahwa  “setiap perayaan liturgi-liturgi, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkat yang sama” (SC, 7). Kita perlu memupuk kesadaran iman ini mengenai liturgi, agar liturgi tidak pernah direduksi menjadi sesuatu yang kita manipulasi sesuka hati. Benediktus XVI pernah mengatakan: “sayangnya, kita juga sebagai gembala dan para ahli, lebih memandang liturgi sebagai sesuatu yang perlu diperbaharui daripada sebagai subyek yang mampu membaharui hidup Kristiani” (Ceramah, 6 Mei 2011). Ketika kita merayakan ataupun mempelajari liturgi, kita mesti bersikap penuh hormat bagaikan nabi Musa yang menghampiri semak duri yang menyala, sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup.

Perayaan Misa juga tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10). Dari sumber rahmat ini, yakni misteri-misteri suci yang dirayakan oleh Gereja, terpancar terang dan kekuatan untuk memahami liturgi serta menimba semangat untuk komitmen yang makin kuat. Sekaligus, apa yang akan didiskusikan dalam konferensi ini mesti menuju pada penghayatan dan pemahaman Liturgi yang semakin baik serta berguna.

“Orang yang benar akan hidup oleh iman”: dalam bacaan pertama Santo Paulus, yang mengutip nubuat Habakuk, mengingatkan kepada kita akan iman sebagai prinsip yang menerangi serta mengarahkan seluruh hidup dan pengetahuan kita, khususnya ketika pengetahuan itu menyangkut realitas Allah dan keselamatan. Oleh karena itu, jika kita mau mempelajari realitas suci, studi tersebut mesti dilaksanakan di bawah naungan iman. Semoga di dalam konferensi ini, dan demikian juga pada kesempatan-kesempatan lain di mana  kita mempelajari liturgi, kita tetap berada di bawah terang iman yang kita mohon kepada Tuhan dalam perayaan Ekaristi ini!

2. Kita membuka Konferensi Nasional ini dengan memperingati Santa Teresia dari Yesus, perawan dan pujangga Gereja.

Memperingati para santo dan santa menjadi kesempatan untuk menggarisbawahi suatu dimensi liturgi, yang kita ucapkan pada setiap penutup prefasi Misa, yakni: “kami memuliakan Dikau bersama para malaikat dan semua orang kudus, yang tak henti-hentinya bernyanyi: Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan,  Allah segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah Engkau di surga” (Prefasi Para Perawan Kudus).

Konstitusi liturgi Konsili Vatikan II melukiskan liturgi Gereja seperti berikut: “Dalam liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan perziarahan kita. Di sana Kristus duduk di sisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati. Bersama dengan segenap balatentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus Penyelamat kita, sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama dengan-Nya dalam kemuliaan”  (SC, 8).

Dalam Liturgi, Surga memandang bumi (bdk. Benediktus XVI,. Sacramentum Caritatis, 35), Allah menampakkan diri kepada kita dalam kemuliaan-Nya, dan kita dapat bertemu dengan Kristus “yang terelok di antara anak-anak Manusia”. Bapak Paus Fransiskus telah mengingatkan kepada kita bahwa “eloknya tahun liturgi ini…bukanlah karena indahnya dekorasi, melainkan karena kemuliaan Allah”  (Kotbah Misa Krisma, 2013). Sebagaimana kemuliaan Allah tercermin di dalam alam semesta (menurut Santo Paulus kepada Jemaat di Roma kesempurnaan Allah , “yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih”Rm:1 20), demikian juga kemuliaan itu terungkap di dalam doa resmi Gereja. Inilah yang menjadikan Liturgi duniawi Gereja begitu indah: keindahan liturgi terkait pada hakikat liturgi sendiri, dan tidak tergantung pada upaya kita untuk memperindahnya. Kita harus membiarkan keelokan ilahi ini terungkap dengan sendirinya melalui perayaan Liturgi. Melalui Iman, kasih, keheningan dan kerapian, serta hormat pada lambang-lambang, perbuatan dan kata-kata liturgi: sikap-sikap seperti ini mutlak agar indahnya acara-acara suci dapat dirasakan dan dihayati.

Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas, menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan keindahan liturgi yang nyata.
Semoga Roh Kudus mengilhami Konferensi Nasional serta penghayatan liturgi di Indonesia ini agar indahnya liturgi yang sebenarnya semakin dipahami, serta semua imam dan umat berkomitmen agar keelokan itu semakin terpancar di setiap perayaan.

3. “Dalam kehidupan S. Teresia Engkau memberikan teladan  hidup yang suci, persahabatan yang tulus, dan doa restu yang sangat kami perlukan” (Prefasi para Kudus.I). Peringatan para Orang Kudus mempertemukan kita dengan para pria dan wanita ini, yang bersama kita membentuk Gereja Kristus, serta mengajak kita untuk meneladani dan mempercayakan diri pada perantaraan mereka kepada Allah.
Dalam hal manakah teladan Santa yang besar dari Spanyol ini  menjadi inspirasi bagi Konferensi Liturgi ini?

Santa Teresia dari Avila hidup dan berkarya pada jaman yang ditandai oleh Reformasi Protestan dari Martin Luther, dan juga oleh Reformasi Katolik, yang merupakan tanggapan Gereja kepada tuntutan pembaharuan eklesial yang dijelmakan dalam Konsili Trent dan dalam karya sedemikian banyak orang Kudus, pria dan wanita, pada abad tersebut. Oleh karena itu, pada jaman Santa Karmelit ini, terjadi dua jenis reformasi: salah satu mengakibatkan pemecahan kesatuan Gereja Kristus, sedangkan yang lain menimbulkan kembali pemekaran kehidupan Kristiani, yang dewasa ini masih terlihat buahnya.

Sepanjang sejarah, Gereja dihadapkan dengan reformasi-reformasi yang benar dan tidak benar. Bahkan di dalam setiap proses pembaharuan hidup eklesial bisa saja tercampur unsur-unsur pembaharuan yang benar dengan unsur-unsur lain yang memiskinkan dan menodai citra Gereja. Oleh karena itu kita perlu menentukan kriteria untuk membeda-bedakan pembaharuan benar dari yang tidak benar.

Kriteria-kriteria itu tidak boleh bersifat subjektif atau hanya pragmatis; melainkan, mengingat bahwa Gereja merupakan realitas sekaligus ilahi dan jasmani yang dapat dipahami hanya berkat terang wahyu ilahi, maka kriteria tersebut harus merujuk pada iman. Jika kita memandang pengalaman Gereja selama dua ribu tahun, kita dapat memetik beberapa kriteria. Setiap pembaharuan Gereja yang benar harus terjadi dalam kesatuan yang penuh dengan ajaran Gereja; pembaharuan itu mesti berlangsung sambil menghormati struktur hierarkis dan disiplin Gereja; pembaharuan itu mesti membangun persekutuan serta kesatuan Gereja, dengan menghindari kecenderungan untuk memecah-mecahkan; pembaharuan itu mesti menghormati warisan spiritual dan devosi dari jaman dulu; pembaharuan mesti melawan kecondongan naluri manusia yang berdosa serta pengaruh mentalitas duniawi; pembaharuan itu mesti diwujud-nyatakan dengan sikap sabar dan rendah hati.

Kriteria-kriteria inilah yang pastinya mengarahkan perwujudan dari amanat Konsili Vatikan II mengenai liturgi, lima puluh tahun yang lalu. Selama setengah abad ini kita telah menyaksikan terang dan gelap, positif dan negatifnya di dalam hidup liturgi-liturgi Gereja; hal tersebut tergantung juga dari perwujudan amanat Konsili itu yang ternyata dilaksanakan tanpa memperhatikan kriteria-kriteria tersebut.

Sebaliknya, jika kita memandang kehidupan dan karya Santa Teresia dari Yesus, kita menyaksikan perwujudan dari semua kriteria untuk pembaharuan eklesial yang benar. Menjelang akhir hidupnya dia menyerukan: “Saya adalah putri Gereja”, Santa ini dapat memberi dorongan abadi bagi pembaharuan yang sesungguhnya. Semoga perantaraan Santa Teresia tetap menyokong upaya untuk mempelajari liturgi di dalam Konferensi ini, dan lebih lagi menuntun kehidupan liturgi-liturgi di semua komunitas Kristiani di Indonesia agar senantiasa diilhami oleh kriteria-kriteria ini, sehingga “Umat Kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi suci” (SC 21).

4. Doa pembukaan untuk peringatan hari ini mengatakan bahwa Roh Kudus “menimbulkan di dalam Gereja Santa Teresa dari Avila guna memperlihatkan sebuah jalan yang baru menuju kesempurnaan hidup”. Gereja menawarkannya kepada kita sebagai model, tetapi juga sebagai guru hidup rohani. Pada tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh, Hamba Allah Paulus VI telah memaklumkannya sebagai wanita pertama, bersama Katarina dari Siena, yang digelar pujangga Gereja.
Paus Paulus VI mengatakan bahwa ajaran santa Teresia membuka “rahasia-rahasia doa”; santa Teresia, dipimpin oleh Roh Kudus, telah mengenal rahasia-rahasia tersebut “melalui pengalamannya” serta “menjadi mampu mengajarkannya”. Oleh karena itu dia menyampaikan kepada Gereja dan dunia “ajaran mengenai doa”. (Khotbah, 20 September 1970).
Bagi Santa Teresia, doa merupakan “percakapan antara dua sahabat serta keakraban dengan Allah; kita bercakap-cakap di lubuk hati kita dengan Dia, sambil merasakan bahwa kita dicintai oleh Dia” (Kehidupan, 8,5). Doa ini juga berpusat pada kontemplasi Kemanusiaan Kristus yang tersuci.

Sangatlah menarik menyadari bahwa Paus Paulus VI menghubungkan ajaran Santa Teresia dari Yesus ini, pujangga Gereja, dengan pembaharuan liturgi-liturgi yang diprakarsai oleh Vatikan Kedua dengan berkata: “Ajaran doa! Ajaran ini disampaikan kepada kita, anak-anak Gereja, pada saat di mana sedang diupayakan pembaharuan doa liturgi”. (Khotbah, 20 September 1970).

Pada Konferensi Liturgi Nasional ini, ajaran Santa Teresia mengingatkan kepada kita bahwa doa resmi Gereja mesti menuntun kita pada “keakraban dengan Allah”, mesti menjadi percakapan dengan Tuhan. Ini tidak selalu pasti terjadi: doa liturgi bisa menjadi perbuatan yang tidak menyentuh hati manusia.

Ajakan untuk membatinkan sering terulang dalam kata-kata para nabi di Perjanjian Lama. Tuhan Yesus berulang kali meminta kepada murid-muridNya untuk menyelaraskan perkataan dengan perbuatan melalui sikap batin yang tepat. Injil hari ini juga mengajak kita untuk lebih menyadari bahwa “Dia yang menciptakan bagian lahiriah”, telah menciptakan juga “batin” kita, dan oleh karena itu tidak cukuplah suatu kemurnian lahiriah belaka.

Konsili Vatikan II, searah dengan ajaran  para Paus sejak Pius X sampai Pius ke XII, menegaskan  “partisipasi yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi” kepada umat. Sejak waktu itu banyak diskusi timbul mengenai arti dari partisipasi itu. Benediktus XVI  telah menegaskan bahwa “kata itu tidak berarti kegiatan eksternal belaka waktu perayaan” (Sacramentum Caritatis, 52). Sayangnya kita semua tahu bagaimana pengertian yang terbatas mengenai partisipasi dalam liturgi begitu beredar, baik secara teoretis maupun praktis.

Perlu juga digarisbawahi, sebagaimana diajarkan Hamba Allah Pius XII, bahwa “unsur mutlak dari ibadat ialah sikap batiniah”, karena “kalau sebaliknya, agama menjadi formalisme tanpa dasar dan kosong” (Mediator Dei). Oleh karena itu, “Sacrosanctum Concilium” menuntut “partisipasi kaum beriman secara aktif, baik lahir maupun batin” (SC,19); minta agar “Umat beriman datang menghadiri Liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan menerimanya dengan sia-sia” (SC,11). Karena itu sikap yang tepat untuk pembaharuan liturgi-liturgi mesti membawa seluruh umat Kristiani untuk berdoa dengan sungguh-sungguh dalam dan dengan liturgi. Agar liturgi menjadi petunjuk dan sajian untuk doa setiap umat Kristiani, sebagaimana diharapkan Gerakan Liturgi yang mengantisipasi dokumen “Sacrosanctum Concilium”. Kita tidak boleh mengabaikan doa pribadi dan “ulah kesalehan” yang bersumber serta menuju pada liturgi (bdk. SC,13).

Sebagai kesimpulan, perwujudan yang sebenarnya dari pembaharuan liturgi tergantung dari hal berikut: sesungguhnya orang yang ikut serta dalam liturgi mesti semakin mampu berdoa dalam suasana percakapan yang mendalam dengan Allah, sebagaimana diterangi oleh pengalaman Santa Teresia yang kita peringati hari ini. Sangatlah relevan bahwa Beato Yohanes Paulus II, 10 tahun yang lalu, ketika memperingati pemakluman “Sacrosanctum Concilium” telah menentukan prioritas ini: “Pastoral liturgi-liturgi mesti menimbulkan kerinduan akan doa” (Spiritus et Sponsa, 14). Program ini tetap aktual bagi Konferensi serta bagi kegiatan liturgi-liturgi di seluruh Gereja Indonesia: yakni menimbulkan kerinduan akan doa!

5. Sebagai kesimpulan dari semua pemikiran yang diutarakan selama ini, liturgi membutuhkan iman ketika dirayakan maupun dipelajari. Iman membantu kita memahami apa arti liturgi serta bagaimana cara untuk merayakannya. Iman menjadi sumber semua kriteria untuk mengembangkan hidup liturgi dalam diri umat beriman serta komunitas. Tahun Iman mengingatkan kepada kita akan realitas ini.
Dengan iman seperti ini, setiap perayaan Ekaristi, Gereja memohon kepada Bapa anugerah Roh Kudus untuk menguduskan roti dan anggur, “agar menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus” serta agar kita “menjadi sehati dan sejiwa dalam Kristus” (Doa Syukur Agung III).

Setiap upaya pembaharuan yang otentik merupakan hasil dari karya Roh Kudus yang menyempurnakan serta menguduskan umatnya. Roh Kuduslah yang membaharui hati para pria dan wanita – yakni para orang Kudus – yang telah membaharui Gereja dan dunia. Demikianlah juga terjadi dalam diri Santa Teresia, yang kepadanya kita percayakan komitmen kita di dalam Gereja Indonesia untuk merayakan serta menghayati misteri suci dengan semakin baik, yakni dengan iman yang hidup.

Oleh karena iman, setiap kali Misa Suci, Santa dari Spanyol ini merasakan kehadiran Tuhan Yesus sang Penyelamat yang tetap hidup di dalam sejarah manusia. Kehadiran Yesus di dalam Ekaristi, sama dengan kehadiran-Nya ketika Dia hidup dua ribu tahun yang dunia ini: “Ketika Yesus ada di dunia, persentuhan dengan jubahnya bisa menyembuhkan orang sakit, maka jika ada iman, bagaimana mungkin kita meragukan bahwa Dia, yang bersatu dengan kita dan tinggal serumah dengan kita, akan melakukan mujizat-mujizat  serta memberikan apa yang kita minta kepadanya?” (Perjalanan Menuju Kesempurnaan, 34,8). Santa Teresia telah berkata juga: “Tuhan telah memberikan kepada saya iman yang sedemikian hidup, sehingga ketika saya mendengar bahwa ada orang yang ingin hidup pada jaman Yesus, […] saya tertawa di lubuk hati saya, karena Yesus hidup di dalam Sakramen Mahasuci sekarang ini senyata dulu, maka kita tidak berkekurangan lagi.” (34,6).

Santa Teresia juga mengingatkan kita bahwa perjumpaan dengan Tuhan menuntut kontribusi dari kita: “Raja ini sangat berbelas kasih karena ingin agar kita menyadari kehadirannya di dalam Sakramen Mahasuci. Namun Dia berkehendak memperlihatkan diri, serta memberikan kekayaan dan hartanya, hanya kepada mereka yang memiliki kerinduan mendalam akan Dia, karena merekalah teman-temanNya yang sebenarnya” (34,13).

Mari kita minta kepada S. Teresia iman dan kasih seperti ini, ketika kita merayakan misteri suci, pada hari ini dan setiap hari!

Amin.