Sabtu, 12 Oktober 2013

Sampul Koinonia Volume 8 no. 4


Dari Meja Uskup Agung: PESTA EMAS KONSTITUSI LITURGI


Maksud Tulisan Ini
              Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja. Konsili ini berlangsung antara 11 Oktober 1962 dan 8 Desember 1965. Rencana mengadakan Konsili Ekumenis ini pertama kali disampaikan oleh Paus Yohannes XXIII dalam maklumat beliau yang penuh optimisme pada tanggal 25 Januari 1959. Dalam Konstitusi Apostolik Humanae Salutis, 25 Desember 1961, Sri Paus mencetuskan harapannya, semoga Konsili Vatikan II merupakan ulangan Pentakosta bagi umat Kristiani. Beliau mengharapkan agar Gereja semesta mengevaluasi kehidupan serta pelaksanaan misinya. Ada 3 sasaran yang mau dicapai, yakni: (1) pembaruan rohani dalam terang Injil, (2) penyesuaian dengan masa sekarang (aggiornamento) untuk menanggapi tantangan-tantangan zaman modern, dan (3) pemulihan persekutuan penuh antara segenap umat Kristiani. Jadi semula, aggiornamento hanyalah salah satu dari ke-3 tujuan diadakannya Konsili. Namun, pada sidang terakhir Konsili, Paus Paulus VI mengartikan aggiornamento sebagai usaha untuk makin mendalami semangat Konsili dan penerapan setia norma-norma yang digariskan. Orang pun yakin, bahwa Konsili ini adalah karya Roh Kudus sendiri: “Utuslah Roh-Mu ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi” (Refr. Mzm Tanggapan Misa Pentakosta, bdk. Mzm. 104:30).

Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Concilium (disingkat SC) merupakan buah sulung Konsili, yang disahkan pada 4 Desember 1963. Jiwa semangat aggiornamento (penyesuaian/pembaharuan) langsung dimunculkan dengan sangat jelas dan tegas dalam alinea pembuka: “Konsili Suci bermaksud makin meningkatkan kehidupan kristiani di antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang ke dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan Liturgi” (SC,1).

Atas kerjasama Komlit KWI, Komlit KAMS dan Mitra Komisi Liturgi KWI, akan diadakan perayaan nasional “Pesta Emas Konstitusi Liturgi”, yang akan berlangsung di Makassar, 15-17 Oktober 2013. Dipilihnya Kota Makassar sebagai tempat penyelenggaraan Perayaan Emas ini tentu merupakan suatu kehormatan yang patut disyukuri. Tetapi yang lebih penting ialah manfaat yang dapat diperoleh Gereja lokal kita dari kegiatan akbar ini. Dari perkiraan 400 peserta yang akan mengambil bagian dalam perhelatan besar ini, terbanyak akan berasal dari Keuskupan Agung Makassar. Kita berharap perayaan ini, yang mengambil  tema “Liturgia Semper Reformanda Est” (“Liturgi Harus Selalu Diperbaharui”), menjadi salah satu penyulut semangat untuk menindaklanjuti visi-misi Gereja lokal kita, hasil Sinode Diosesan 2012, khususnya misi pertama tentang Re-evangelisasi, c.q. bidang Liturgi. Semestinya kegiatan ini akan mendorong secara berdaya guna dan tepat arah kehidupan Liturgi di Gereja lokal kita. Untuk mendukung harapan inilah maksud tujuan tulisan ini. Di bawah ini dicoba disajikan pokok-pokok berikut: (1) Tempat Liturgi dalam Hidup Gereja; (2) Dampak Positif Konstitusi Liturgi; dan (3) Menatap ke Masa Depan.
  
Tempat Liturgi dalam Hidup Gereja
Terdapat sinyalemen adanya gejala yang melanda setiap agama, berupa pendangkalan bahkan pengosongan makna upacara-upacara keagamaan. Umat Katolik kiranya tidak luput dari kecenderungan ini.  Setiap kali mengikuti perayaan Liturgi, kita selalu berhadapan dengan kenyataan kegiatan manusiawi, baik dalam kata, lagu, musik, maupun dalam tata gerak serta peralatan. Dan secara spontan orang cenderung tersekat pada tataran lahir itu. Karena itu keluhan yang sering terdengar ialah bahwa Liturgi kita kering dan tidak menarik.

Tetapi Gereja menandaskan bahwa, Liturgi pertama-tama adalah tindakan Kristus sebagai Imam Agung, yang melaksanakan tugas-Nya menguduskan (menebus, menyelamatkan) dengan melibatkan Gereja lewat tanda-tanda lahir secara sakramental. Dalam karya ini pun dilaksanakan kebaktian umum seutuhnya oleh Tubuh Mistik Kristus, yakni oleh Kepala dan anggota-anggota-Nya (lih. SC,7). Jadi Liturgi mewujudkan karya penyelamatan oleh Allah. Karya ini sudah dimulai sejak awal mula sampai berpuncak pada misteri Paskah Kristus, yang selanjutnya dipercayakan kepada Gereja untuk meneruskannya. Karya penyelamatan terlaksana dalam banyak cara. Namun Gereja menandaskan bahwa tidak ada karya lain dari Gereja yang dapat menandingi daya dampak Liturgi. Sebab dalam perayaan Liturgi, Kristus bertindak sebagai Kepala dalam kesatuan dengan Gereja, Tubuh-Nya sendiri (lih. SC,7).

Sedemikian itu, maka segala kegiatan lahir dalam perayaan Liturgi harus dilihat pertama-tama dalam kaitannya dengan ‘Misteri’ yang terjadi saat itu. Apa itu ‘Misteri’? Perayaan Liturgi adalah hal istimewa berkaitan dengan anugerah dari Yesus Kristus untuk kehidupan para pengikut-Nya. Itulah pemberian diri-Nya, yang berpuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Pemberian diri Kristus inilah Misteri itu. “Dalam Liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita” (SC,8). Kehadiran misteri ilahi ini menuntut penyelarasan sikap lahir dan batin sepanjang berlangsungnya perayaan Liturgi. Sebab berkat martabat imamat rajawi, kita turut mengambil bagian dalam kegiatan Sang Imam Agung kita. Umat Gereja perdana mewariskan kepada kita kepekaan mendalam akan misteri yang dirayakan, dan hal itu mempengaruhi segala aspek kehidupan menggereja: “… Dan mereka disukai semua orang” (Kis. 2:41-47).

Melihat hakekat Liturgi yang sedemikian luhur, mudah dipahami mengapa Vatikan II menandaskan bahwa, “Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegatan Gereja, dan serta-merta sumber segala daya-kekuatannya” (SC,10). Sebagai puncak, di mana semua yang telah dibaptis berhimpun dalam Allah Tritunggal; masuk ke dalam lingkaran cinta kasih trinitaris, dengan pusat utama ialah meja perjamuan Tuhan. Sebagai sumber, di mana dari santapan Sabda dan Santapan Kurban dalam kesatuan perayaan bersama Tuhan, kita membawa ke dunia, ke dalam hidup dan karya kita semangat cinta kasih ilahi serta wawasan kebijaksanaan dan kebenaran yang menyatukan (lih. SC,10).   

Dampak Positif Konstitusi Liturgi

Kitab Suci dan Liturgi
Sampai beberapa waktu berselang, dengan cukup gampang membedakan orang Katolik dari orang Kristen non-Katolik. Pada hari Minggu, ketika mereka berjalan menuju gereja: Kalau di tangan mereka memegang Kitab Suci, itu tentu orang Protestan atau non-Katolik lain; kalau mereka membawa Madah Bakti atau Puji Syukur, itu pasti orang Katolik! Sesungguhnya di balik tanda pengenal sederhana seperti itu terdapat sebuah sejarah panjang. Akibat polemik anti Protestan (Gerakan Kontra Reformasi), sesudah Konsili Trente (1545-1563) di dalam Gereja Katolik semakin diutamakan segi pengorbanan dari Liturgi (Kurban Misa); sementara Gereja-Gereja Reformasi, dengan prinsipnya Sola Scriptura (Hanya Kitab Suci satu-satunya), memberi peran utama pada Kitab Suci dalam ibadat mereka. 

Tetapi Konsili Vatikan II memulihkan peran penting Kitab Suci dalam Liturgi: “Dalam perayaan Liturgi, Kitab Suci sangat penting. Sebab dari Kitab Sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab Sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; daripadanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab Suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat” (SC,24).

Dengan menekankan kembali peran penting Kitab Suci dalam Liturgi, Konsili Vatikan II hendak mempertegas dua tugas utama Gereja, yaitu tugas mewartakan dan tugas menguduskan, dan sekaligus meneguhkan lagi kaitan erat antara keduanya. Sesungguhnya perayaan Ekaristi pertama yang diadakan Yesus yang bangkit bersama dua murid di Emaus itu harus menjadi model setiap perayaan Ekaristi (Luk. 24:13-35): Ada momen penjelasan Kitab Suci yang selanjutnya memuncak pada pemecahan roti (Ekaristi). Tentu saja homili yang disampaikan Yesus bukanlah penjelasan teoritis atas Kitab Suci, melainkan sebuah kesaksian: “Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (ay. 27). Perayaan Liturgi seperti itu menyapa dan membuat hati berkobar-kobar: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita … dan menerangkan Kitab Suci kepada kita?” (ay. 32). Memang, sebagaimana pernah dikatakan oleh seorang imam, “Aktualisasi Sabda Tuhan bagi orang lain hanya dapat terjadi melalui aktualisasi bagi diri sendiri; jika tidak, ada risiko bahwa homili kita menjadi omongan basa-basi seorang salesman”. Karena itu sungguh dibutuhkan persiapan pribadi sebelum pelaksanaan perayaan Liturgi sendiri. Kardinal Francis Arinze, ketika masih menjabat Prefek Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, menegaskan bahwa setiap orang  dalam Gereja, klerus, biarawan-biarawati, kaum awam lainnya harus semakin akrab dengan Kitab Suci.

Terjemahan, Penyesuaian dan Inkulturasi
Berkat penerjemahan, yang didorong oleh Konstitusi Liturgi (SC,36), penggunaan bahasa setempat dalam Liturgi semakin luas. Tentu saja di sini muncul tantangan untuk menghasilkan terjemahan yang setia pada naskah asli Latin, yang indah sebagai karya sastra, yang dapat dilagukan, yang tahan zaman, dan mampu memupuk kesalehan serta kebutuhan rohani umat. Hendaknya dihindari bahaya dan penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari terjemahan sementara, karya tergesa-gesa, dan terjemahan tidak sah (yang tidak mendapat approbatio dari Konferensi Uskup dan recognitio dari Takhta Suci).


Tentang inkulturasi, Konstitusi Liturgi menegaskan dengan kata-kata berikut: “Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam Liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhyul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dalam keadaan baik dan utuh. Bahkan ada kalanya Gereja menampungnya dalam Liturgi sendiri, asal saja selaras dengan hakekat semangat Liturgi yang sejati dan asli” (SC,37).

Tetapi adanya gejala kreativitas serba bebas dan tidak terkendali, menyebabkan Takhta Suci memberi peringatan: Dalam penyesuaian atau inkulturasi, harus diperhatikan dengan saksama misteri-misteri Kristus yang dirayakan dalam Liturgi. Kita harus waspada terhadap bahaya pemiskinan atau kompromi lewat bentuk-bentuk eksperimen atau praktek-praktek tanpa pengawasan saksama dari lembaga gerejawi yang berwenang, sebab Liturgi Kudus mengungkapkan dan merayakan iman seluruh Gereja, serta merupakan warisan dari seluruh Gereja; maka tidak dapat ditentukan oleh Gereja-Gereja lokal lepas dari Gereja universal (Ensiklik Ecclesia de Eucharistia, disingkat EE,51). Sebagai pedoman dalam arah ini, sampai sekarang Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen telah mengeluarkan tidak kurang dari enam Instruksi. Instruksi ke-4, yang khusus berkaitan dengan inkulturasi (SC,37-40), berjudul “De Liturgia Romana et Inculturatione” (Liturgi Romawi dan Inkulturasi, bertanggal 25 Januari 1994).

Disebut beberapa hal konkret dalam praktek Liturgi yang perlu dihindari, antara lain: tarian yang bertentangan dengan cita rasa Liturgi dan tidak membantu umat mengangkat hati kepada Allah, komentar-komentar yang berkepanjangan dan tidak perlu, nyanyian yang dimonopoli oleh koor, serta busana dan perlengkapan yang tidak cocok untuk Liturgi.

Kendati hal-hal negatif itu, yang tampaknya menyebabkan Takhta Suci mengeluarkan instruksi-instruksi yang terkesan mau mengerem proses inkulturasi, tidak dapat disangkal terdapat pula hasil-hasil positif. Misalnya, di banyak daerah bangunan gereja telah mengambil arsitektur lokal. Begitu pula musik daerah telah diintegrasikan dalam perayaan-perayaan liturgis. Pada tingkat nasional, pantas disebut kehadiran buku nyanyian Madah Bakti. Madah Bakti berisikan banyak lagu yang berasal dari pelbagai daerah di Indonesia, yang kini diterima umat Katolik Indonesia sebagai milik mereka dan memperkaya khazanah liturgis Gereja Katolik Indonesia; dan dengan demikian memperkaya khazanah Liturgi Gereja universal pula. Kecuali itu, mungkin tanpa disadari, dengan itu Gereja Katolik Indonesia memberi sumbangan pada proses terbentuknya budaya nasional Indonesia, yang harus bertumbuh dari integrasi budaya-budaya daerah yang lama-kelamaan diterima bangsa Indonesia sebagai milik mereka, dan bukan sekedar milik daerah yang bersangkutan.

Partisipasi Aktif
Mengenai partisipasi aktif seluruh umat, Konstitusi Liturgi menegaskan: “Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi. Keikut-sertaan seperti itu dituntut oleh hakekat Liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat Kristiani sebagai ‘bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri’ (1 Ptr. 2:9; lih. 2:4-5)” (SC,14).
   
Partisipasi aktif memiliki dimensi batin dan lahir. Partisipasi batiniah merupakan landasan dan tujuan untuk partisipasi lahiriah. Maka saat-saat hening untuk doa dan refleksi pribadi sangat penting. Demi terlaksananya partisipasi aktif, dituntut pendidikan Liturgi yang memadai bagi para klerus, biarawan-biarawati, katekis, dan pelayan-pelayan pastoral lain.

Devosi dan sikap hormat sangat mendukung untuk membatinkan partisipasi aktif. Dan ini harus ditunjukkan pertama-tama oleh mereka yang sangat berpengaruh terhadap jemaat: imam, putra altar, lektor, koor, dan pelayan komuni; tata gerak mereka harus menunjukkan sikap hormat dan devosi yang mendalam. Musik dan lagu juga dapat memacu partisipasi aktif. Demikian pula tata gerak. Tata bangun dan tata ruang gereja juga mempengaruhi partisipasi aktif umat.

Peran Liturgis Kaum Awam
Kristus, Imam Agung, telah memberikan kepada umat bagian dalam peran-Nya menghantar persembahan kepada Allah. Imamat umum memberi kemampuan kepada umat untuk melaksanakan ibadat Kristiani, untuk mempersembahkan Kristus kepada Bapa Kekal lewat tangan imam, untuk menerima sakramen-sakramen, untuk menjalani hidup suci, dan untuk membuat seluruh hidup mereka menjadi kurban bagi Tuhan lewat penyangkalan diri dan amal kasih. Oleh karena itu, Konstitusi Liturgi menandaskan: “Upacara-Upacara Liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup. Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikut-sertaan aktual mereka” (SC,26).

Oleh sebab itu, perlu dihindari kecenderungan klerikalisasi kaum awam, misalnya tumbuhnya sikap atau anggapan bahwa awam pun bisa melakukan apa yang dilakukan imam; atau pelayan awam yang mulai bersikap dan menuntut perlakuan seperti klerus. Yang sebaliknya juga harus diwaspadai, yakni laikalisasi klerus. Ini tampak dalam gejala-gejala klerus menempatkan diri sebagai salah satu dari umat, misalnya ia tidak lagi mau mengatakan “Semoga saudara/i diberkati Allah” melainkan “Semoga kita diberkati Allah”. Begitu juga bila imam lebih senang “ikut Misa” bersama/sebagai umat daripada berkonselebrasi.

Tentu saja demi lebih memantapkan peran liturgis kaum awam perlu diusahakan pendidikan teologis, liturgis dan spiritual bagi para awam pelayan komuni, katekis, petugas pastoral, dan kaum awam pada umumnya.

Revitalisasi Kehidupan Gereja Melalui Liturgi
Dalam Vicesimus Quintus Annus, Paus Yohannes Paulus II bersyukur kepada Allah “Atas gairah luar biasa di kalangan begitu banyak komunitas kristiani, suatu gairah yang ditimba dari mata air liturgi” (VGA,12). Tidak diragukan bahwa Konstitusi Liturgi terus memberikan dukungan kepada Gereja di sepanjang lorong kekudusan untuk memajukan kehidupan Liturgi yang tulen. Ini menegaskan kembali mengapa selalu penting untuk melihat bahwa pedoman-pedoman tulus dari Konsili harus dipatuhi.

Ditegaskan bahwa yang paling penting di atas semuanya ialah “pemahaman yang semakin mendalam terhadap Liturgi Gereja, yang dirayakan seturut buku-buku Liturgi baru dan lebih-lebih yang dihayati sebagai realita dalam tata hidup rohani” (VGA,14). Oleh karena itu ditekankan agar di bawah bimbingan para Uskup, Komlit Keuskupan dan Komlit Nasional didorong untuk melanjutkan karya mereka selaras dengan arah tersebut.   
Devosi dan penghormatan Sakramen Ekaristi di luar Misa juga perlu dikembangkan. Ulah kesalehan umat Kristiani pun sangat dianjurkan, asal selaras dengan hukum dan kaidah-kaidah Gereja (SC,13).  

Menatap Ke Depan
Memasuki ulang tahun ke-50 Konstitusi Liturgi, terasa bahwa gonjang-ganjing  pro-kontra sekitar pembaharuan liturgi sudah jauh mereda. Situasi normal perlahan-lahan mulai pulih. Kita percaya, ini tentu karena Tuhan tetap setia menyertai Gereja-Nya “sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Dalam keteguhan iman ini kita harus memandang ke depan, berprinsipkan “Liturgia semper reformanda est”; bagaimanapun juga Liturgi yang hidup tidak dapat lain daripada terus-menerus memperbaharui diri selaras dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Dalam kaitan ini, Pesan Sidang Pleno IX FABC yang berlangsung di Manila, 10-16 Agustus 2009 (lih. Koinonia, vol. 4 no. 4, September-November 2009: 6-8), memberi arah dasar kontekstual bagi pengembangan Liturgi, khususnya Ekaristi, di Asia. Sidang Pleno, yang mengambil tema “Menghayati Ekaristi di Asia” tersebut, menemukan empat orientasi kontekstual dalam upaya menghayati Ekaristi di Asia: (1) panggilan ke komunitas, (2) panggilan mendengarkan Sabda, (3) panggilan kepada iman dan pengharapan, dan (4) panggilan untuk misi.

Ekaristi dan Panggilan ke Komunitas
   Di dalam Sakramen Ekaristi, Tuhan Pemersatu datang meresapi dan menyelubungi kita, secara pribadi dan dalam kebersamaan, membawa anugerah persatuan dengan Dia dan dengan sesama. Kita perlu menyadari bahwa orang Asia menghargai keluarga, makan bersama dan perayaan-perayaan komunitas untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan. Ekaristi sebagai kurban dan perjamuan, awal mulanya disebut “Perjamuan Tuhan” dan selanjutnya “Pemecahan Roti”. Nama-nama ini mengungkapkan dimensti penting: keintiman dengan Yesus dan seperti kesatuan kekeluargaan di antara orang-orang yang berbagi roti. Perayaan-perayaan kita mesti membangkitkan semangat dan keberanian di dalam hati setiap orang untuk membangun komunitas sejati yang mendamaikan, mengampuni, melayani orang miskin dan yang terpinggirkan.

SAGKI tahun 2000 mencanangkan Komunitas Basis sebagai cara baru hidup menggereja di Indonesia. Kalau benar bahwa Ekaristi adalah puncak dan sumber kehidupan Gereja, maka semestinya sedapat mungkin Ekaristi dirayakan sesekali di Komunitas Basis, baik teritorial (Rukun) maupun kategorial (kelompok sektoral), seperti yang terjadi pada umat perdana (lih. Kis. 2:41-47).

Ekaristi dan Panggilan Mendengarkan Sabda
Merayakan Ekaristi adalah hidup dalam iman; iman yang tertanam, terpelihara dan terawat oleh Sabda. Ini menuntut kita menjadi pendengar yang berkontemplasi dan perenung-perenung Sabda, seperti Perawan Maria, Bunda kita. Saudari-saudara kita dari agama-agama lain di Asia memiliki devosi yang besar terhadap Kitab-Kitab Suci mereka. Mereka mendaraskan dan mendalami Sabda itu. Budaya mendengarkan ini merupakan undangan lebih lanjut untuk menjadi jemaat yang menghormati dan mendevosikan diri mereka kepada Sabda dan kepada pemecahan roti. Cara mendengarkan sedemikian itu tentu akan membawa ke penghayatan di dalam terang Sabda. Khususnya para imam mempunyai tanggung jawab besar untuk menjadikan Ekaristi suatu peristiwa yang mentransformasikan. Ini menuntut persiapan yang memadai, perayaan yang efektif dan secara khusus homili yang mengena dan menyentuh hati.

Ekaristi dan Panggilan kepada Iman dan Pengharapan
Kita adalah peziarah di bumi ini, yang berjalan di dalam terang dan gelap, yang terlunta dalam kekuatiran dan ketidakpastian. Rasa sakit dan derita, seringkali menimpa kita. Kita menghargai Ekaristi, karena di dalamnya kita menerima Sabda kehidupan dan terang, yang membuka mata kita, serta Roti kehidupan yang menghangatkan hati kita. Kesatuan Sabda dan Roti di dalam Ekaristi mengundang kita untuk menghargai dan menghayati kedua segi ini.

Tanpa anugerah ini, kita hanya akan meraba-raba dalam kegelapan, berjalan melalui terowongan tanpa melihat seberkas sinar pengharapan. Berkat kedua pemberian ini (Sabda dan Roti), kita akan menemukan, seperti kedua murid dalam perjalanan ke Emaus (Luk. 24:13-35), arti yang lebih dalam dan panggilan ilahi untuk berharap di tengah segala sesuatu yang kita alami dalam hidup.  

Bagi mereka yang mengalami kekosongan dan tidak punya arti kehidupan, kita mesti membawa kenangan akan Yesus yang tersalib dan bangkit, kenangan yang dibuat nyata dalam Ekaristi, sebuah kenangan yang mampu menyembuhkan trauma ketidak-berdayaan. Misteri Paskah memiliki kekuatan untuk menafsirkan pengalaman-pengalaman hidup kita. Sebab di dalam Yesus dihadirkan bukan saja Allah, melainkan juga arti hidup kemanusiaan kita dengan segala kekayaan dan kerapuhannya. Sabda-Nya dapat menerangi setiap pengalaman kita.

Ekaristi dan Panggilan Misi
Perayaan Asia mempunyai ciri kegembiraan, kesederhanaan dan keikutsertaan. Hati orang Asia dikobarkan oleh kontemplasi keindahan di alam. Perayaan Ekaristi kita perlu menyentuh hati orang Asia yang mencintai warna, bunga-bunga, simbol-simbol, musik dan kontemplasi. Simbol-simbol Asia, melodi-melodi Asia, dan lebih-lebih nilai-nilai Asia, mesti membuat perayaan kita menciptakan gema yang mendalam di hati orang Asia. Seberapa besar kesaksian iman kita – (Kristus telah datang bukan untuk menghancurkan melainkan untuk menyempurnakan) – sedemikian pulalah adanya Ekaristi! Ajakan Paus Yohannes Paulus II untuk menampilkan ‘Wajah Asia Yesus’ kepada saudara/i kita bergema segar di telinga kita (Ecclesia in Asia).

Kita yakin bahwa Ekaristi yang penuh makna, kontemplatif, terhayati dan bernuansa doa mempunyai potensi untuk memberdayakan komunitas-komunitas Kristiani Asia menjadi saksi-saksi penuh daya akan Yesus, saksi-saksi yang menampakkan kehadiran-Nya, cinta-Nya dan daya penyembuhan-Nya. Perayaan Ekaristi diakhiri dengan ajakan untuk misi: “Pergilah, kamu diutus”.

Saya teringat akan apa yang dikatakan imam perwakilan UNIO Apostolica dari Roma, yang menghadiri Munas IX UNIO Indonesia yang diselenggarakan di Makassar dan Toraja, 4-10 Agustus 2008, dengan tema “Menemukan Benih-Benih Sabda di Tana Toraja”. Sehari sebelum seminar yang dilangsungkan di Aula Kodim Rantepao pada 9 Agustus, para peserta berkesempatan melayat ke upacara kematian kakek seorang Pastor. Di Seminar tersebut imam perutusan UNIO Apostolica itu mengatakan sebagai berikut: “Saya sungguh terkesan menyaksikan upacara kematian khas Toraja. Saya lihat banyak sekali orang yang hadir. Saya yakin banyak dari mereka bukanlah orang Katolik. Kesempatan seperti ini sangat istimewa untuk mewartakan iman Katolik. Tetapi mengapa tidak ada perayaan Ekaristi?”. Pertanyaan ini perlu direnungkan secara serius, khususnya oleh para imam yang bertugas di Kevikepan Toraja.

Ekaristi yang Menyentuh dan Membuat Hati Berkobar-kobar
Apabila seorang beriman Katolik mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi mampu menjiwai dan berkontemplasi atas drama sakramental yang berlangsung, tidak dapat tidak hatinya tersentuh dan menjadi berkobar-kobar. Itulah yang dialami dua murid di Emaus. Itulah yang dialami Scott Hahn, seorang Pendeta dan teolog Gereja Presbyterian di Amerika Serikat yang kemudian berpindah ke Gereja Katolik, yang selanjutnya juga diikuti oleh isterinya, Kimberly. Saya kutipkan kesaksiannya dari buku yang mereka tulis bersama, berjudul Rome Sweet Home; Our Journey to Catholicism / Roma Rumahku; Sebuah Penziarahan ke Pangkuan Gereja Katolik, (Penerbit Dioma – Malang, 2008): 144-146.

Kemudian pada suatu hari, aku mengalami “kesalahan yang sangat fatal” – aku memutuskan itulah saatnya aku harus menghadiri Misa Kudus. Akhirnya aku memutuskan diri sebagai tamu tak diundang di Gereja Gesu dari Paroki Universitas Marquette. Tepat sebelum tengah hari, aku diam-diam menyelinap ke kapel di lantai dasar untuk menghadiri misa harian. Aku tidak yakin apa yang dapat aku harapkan; barangkali aku akan berada dengan seorang imam dan sepasang suster tua. Aku duduk di bangku bagian belakang sebagai pengamat.
Tiba-tiba banyak orang awam mulai masuk dari jalanan – berbagai orang dengan kedudukan sosial yang berbeda-beda. Mereka masuk, bertelut, berlutut, dan mulai berdoa. Devosi mereka yang sederhana namun tulus sungguh mengesankan.
Lonceng berbunyi dan imam berjalan masuk menuju altar. Aku tetap duduk; aku belum yakin benar untuk berlutut. Selaku seorang anggota Gereja Kalvinis evangelis, padaku diajarkan bahwa Misa Gereja Katolik adalah sakrilegi terbesar yang dapat dilakukan manusia – untuk mengorbankan Kristus kembali – maka aku tidak yakin harus berbuat apa.
Aku mengamati dan mendengarkan ketika bacaan-bacaan, doa-doa, dan tanggapan-tanggapan yang begitu berakar pada Alkitab, membuat Alkitab menjadi hidup. Aku hampir-hampir ingin menghentikan Misa dan berkata, “Tunggu, bacaan itu diambil dari kitab Yesaya; nyanyian itu dari Mazmur. Wadaow, engkau mengacu pada nabi lain lagi dalam doa itu”. Aku menemukan banyak unsur dari liturgi Yahudi kuno yang pernah aku pelajari dengan mendalam.
Tiba-tiba aku menyadari, di sinilah Alkitab seharusnya berada. Inilah tatanan di mana pusaka keluarga yang berharga ini dibaca, dinyatakan dan diuraikan. Kemudian kami beralih ke Liturgi Ekaristi, tempat semua kesimpulan perjanjian berpusat.
Aku ingin menghentikan semua dan berteriak, “He, bolehkah aku menerangkan apa yang terjadi menurut Alkitab? Ini sungguh luar biasa!” Aku hanya terduduk di sana, secara adikodrati sangat kelaparan akan Roti Kehidupan.
Setelah mengucapkan kata-kata konsekrasi, imam mengangkat Hosti. Aku merasa tetes keraguan terakhir meninggalkan diriku. Dengan sepenuh hati, aku berbisik “Tuhanku dan Allahku. Itu sungguh Dikau! Dan bilamana Engkau itu, maka aku menginginkan persatuan penuh dengan-Mu. Aku tidak ingin mempertahankan apa pun juga”.


           Makassar, Awal Oktober 2013
          + John Liku-Ada’