Senin, 19 Agustus 2013

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2013: KELUARGA BERSEKUTU DALAM SABDA

BULAN KITAB SUCI NASIONAL 2013
KELUARGA BERSEKUTU DALAM SABDA
“Oleh karena berkat-Mu keluarga hamba-Mu ini diberkati untuk selama-lamanya” (2 Sam 7:29)
GAGASAN PENDUKUNG
Oleh : Paskalis Edwin Nyoman Paska (Lembaga Biblika Indonesia)
PRAKATA
Paus Benediktus XVI melalui Surat Apostolik Porta Fidei (Pintu kepada Iman) mengabdikan tahun 2013 sebagai Tahun Iman. Sang Gembala Gereja Semesta mengajak segenap umat Kristen untuk merefleksikan imannya dan sekaligus mengambil langkah kreatif untuk membangun iman dalam ziarah sepanjang tahun 2013.
Dalam rangka membangun iman yang solid, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengajak umat Katolik Indonesia mendalami dokumen-dokumen Konsili Vatikan II sebagai dasar pijak yang kokoh untuk terus bertumbuh dalam iman akan Kristus, Sang Penyelamat. Para Bapa Uskup serentak pula mengajak umat untuk menghayati iman dalam respek dan tanggung jawab kepada alam sekitar.
Menanggapi seruan itu, Lembaga Biblika Indonesia (LBI) dalam kiprah gerakan Kerasulan Kitab Suci di Indonesia menjadikan keluarga sebagai locus yang ideal bagi pewartaan iman perdana. Melalui Pertemuan Nasional Kitab Suci yang dilaksanakan di Wisma Samadi, Klender, Jakarta Timur, 1-5 Agustus 2012, segenap delegatus Kitab Suci sekeuskupan di Indonesia sepakat mengusung tema “Kitab Suci dalam Keluarga” sebagai fokus kerasulan Kitab Suci selama empat tahun (2013-2016). Melalui tema ini diharapkan setiap keluarga bisa bertumbuh dalam iman berkat permenungan dan penghayatan akan Sabda Allah yang tertulis dalam Kitab Suci.
Tahun 2013 merupakan tahun perdana ziarah keluarga Katolik Indonesia dalam tema “Kitab Suci dalam Keluarga”. Selain Buku Ibadat Keluarga yang sudah beredar sejak bulan Januari 2013, LBI juga menyiapkan bahan pertemuan dalam kelompok selama bulan September 2013. Dalam sub tema: “Keluarga Bersekutu dalam Sabda”, segenap umat Katolik, baik anak-anak, para remaja, orang muda, maupun para orang tua, diajak untuk mengadakan sharing iman di tingkat kelompok guna membangun iman yang solid, matang, dan kreatif. Melalui perjumpaan dengan tokoh-tokoh biblis, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, setiap peserta diharapkan merefleksikan imannya dan menemukan cara yang memadai untuk menumbuhkan imannya dalam dunia yang sekuler, yang penuh dengan tantangan dan kesulitan.
Kami menghimbau segenap umat Katolik Indonesia untuk memiliki dan memberikan apresiasi atas buku panduan ini sebagai salah satu wujud nyata untuk memberi makna kepada Tahun Iman. Dan lebih dari itu. kami mengajak segenap umat Katolik, di manapun berada, untuk menghadiri pertemuan kelompok sebagai momen saling berbagi iman dalam aneka pengalaman kecemasan dan kedukaan, juga dalam aneka pengalaman kegembiraan dan kebahagiaan. Saling berbagi dalam aneka pengalaman hidup adalah sebuah praksis iman yang paling konkret dan nyata sebagaimana dihayati jemaat perdana.
Akhirnya saya mengucapkan limpah terima kasih untuk Bapak Dr. Paskalis Edwin Nyoman Paska yang telah menyiapkan gagasan dasar untuk buku panduan ini. Tak lupa, respek dan ucapan terima kasih yang mendalam buat para Delegatus Kitab Suci yang telah menyusun bahan pertemuan kelompok, serta semua rekan kerja di LBI yang telah bekerja keras untuk membuat buku panduan ini siap dan pantas digunakan dalam reksa pastoral dalam lingkungan Gereja Katolik Indonesia. Selamat menggunakan buku ini dan semoga ziarah iman kita sungguh berbuah limpah.
P. Yosef Masan Toron, SVD
Ketua Lembaga Biblika Indonesia 
KELUARGA YANG BERIMAN : KELUARGA ABRAHAM DAN SARA (Kej 12:1-6)

Abraham sering disebut bapa kaum beriman (Rm. 4:16) tentu karena ia telah menunjukkan dirinya sebagai orang beriman (Gal. 3:9). Iman ini pertama-tama ditunjukkan oleh Abraham dengan kesiapsediaannya melaksanakan perintah Tuhan untuk meninggalkan negeri kelahiran dan sanak saudaranya (Kej. 12:1-6). Apa yang bisa kita pelajari perihal iman dari kisah panggilan Abraham ini?Susunan TeksPerikop Kej. 12:1-6 merupakan bagian dari kisah panggilan Abraham (Kej. 12:1-9). Perikop ini berisi pengulangan-pengulangan yang memberi informasi tambahan atau agak berbeda. Misalnya, dalam ayat 4a dikatakan Abraham pergi bersama Lot seperti yang difirmankan TUHAN, lalu ayat 5 diulang lagi dengan mengatakan bahwa Abraham pergi juga bersama Sarai, istrinya. Bahkan ada pengulangan yang sepertinya bertentangan. Misalnya, ayat 1 mengatakan Abraham diminta pergi oleh TUHAN ke negeri yang akan ditunjukkan kepadanya, namun dalam ayat 5 Abraham sepertinya sudah tahu ke mana ia harus pergi, yakni Kanaan. Adanya pengulangan-pengulangan seperti itu mendorong banyak penafsir untuk melihat Kej. 12:1-9 sebagai teks yang berasal dari dua sumber yang berbeda: tradisi Yahwis (ayat l-4a,6-9) dan tradisi Imamat (ayat 4b-5). Namun, pembagian itu tidak perlu terlalu membuat kita memisahkan perikop ini dalam dua tradisi, melainkan tetap melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh sebagaimana adanya.Kej. 12:1-9 tersusun dari tiga bagian, yakni perintah untuk meninggalkan negeri (ayat 1), janji berkat (ayat 2-3), dan berita perjalanan Abraham (ayat 4-9).Perintah untuk Meninggalkan Negeri (Kej. 12:1)Tuhan memerintahkan Abraham untuk meninggalkan “negerinya, sanak saudaranya, dan rumah bapanya” (Kej. 12:1). Negeri mana yang harus Abraham tinggalkan?
Berdasarkan konteksnya, negeri yang dimaksud di sini tentu Haran, karena di sinilah Abraham menerima panggilan Tuhan. Haran adalah kota di Mesopotamia Utara yang menjadi salah satu pusat perdagangan yang penting dalam rute perjalanan antara Niniwe dan Damaskus. Namun, bila kita melihat konteksnya yang lebih luas, negeri ini bisa mengacu ke Ur Kasdim, Mesopotamia Selatan. Sebelum kisah panggilan ini, dikatakan bahwa Terah, ayah Abraham, berasal dari Ur Kasdim (Kej. 11:28). Atas kemauannya sendiri, Terah berangkat meninggalkan negerinya bersama Abraham, anaknya, dan Sarai, istri Abraham, serta Lot, cucunya, menuju Kanaan (Kej. 11:31).
Keluarga besar Abraham tampaknya suku semi-nomaden yang hidup di negara-kota Mari, dekat Sungai Efrat, antara abad ke-20 SM hingga abad ke-14 SM. Mereka mempunyai banyak ternak. Untuk memperoleh padang penggembalaan yang subur dan untuk kelangsungan hidup mereka, sering kali mereka berpindah-pindah sebagai imigran ke daerah Bulan Sabit yang subur. Mungkin karena alasan itu pulalah Terah pergi menuju Kanaan. Namun, sebelum mencapai Kanaan, mereka sepertinya mengubah rencana dan tujuan perjalanan mereka. Mereka berhenti dan menetap di Haran (Kej. 11:31). Berdasarkan latar belakang ini, negeri yang harus Abraham tinggalkan tampaknya Ur Kasdim (Kasdim = Babel), negeri asal-usulnya.
Jadi, negeri yang harus Abraham tinggalkan ialah baik Ur Kasdim maupun Haran. Mengingat tujuan awal perjalanan Terah meninggalkan Ur Kasdim ialah Kanaan (Kej. 11:31), apa yang diperintahkan oleh Tuhan kepada Abraham dalam arti tertentu adalah melanjutkan dan menggenapi perjalanan yang sudah dimulai oleh ayahnya.
Siapa sanak saudaranya yang harus ditinggalkan oleh Abraham? Kata sanak saudara (Ibrani: moledet) mengacu pada kaum kerabat, mereka yang bersaudara karena hubungan darah atau perkawinan. Beberapa sanak saudara Abraham yang disebut dengan namanya dalam Alkitab adalah Terah (ayahnya), Nahor dan Haran (saudara kandungnya), dan Milka (istri Nahor).
Ungkapan “rumah bapamu” (Ibrani: bet ‘abika) tidak dipakai dalam arti harfiah “rumah milik bapamu” atau “rumah di mana bapamu tinggal”, melainkan “orang-orang yang masih ada hubungan saudara dengan engkau”, “keluarga besarmu”, atau “klanmu”. Mungkin lebih kasarnya bisa disebut “orang sekampungmu”. Speiser yang menganggap kata “negeri” dan “sanak saudara” merupakan hendiyadys (dua kata untuk mengungkapkan satu ide), dan harus dimengerti sebagai ungkapan “tanah kelahiran”, mengartikan ungkapan “rumah bapamu” dengan “semua mereka yang tinggal dengan ayahmu”.
Singkatnya, Abraham diminta pergi meninggalkan akar hidupnya, dasar yang menopang hidupnya, yang memberi dia rasa aman, yakni tanahnya, masyarakatnya, dan keluarga dekatnya.
Janji Berkat (Kej. 12:2-3)
Alasan Tuhan memanggil Abraham ialah karena Ia mempunyai rencana besar yang hendak Ia wujudkan melalui Abraham. Rencana besar itu ialah: “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:2-3). Rencana besar ini berupa janji berkat bagi Abraham dan semua orang yang diharapkan akan terjadi di masa mendatang.
Berkat bagi Abraham
“Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat” (ayat 2).
Pertama, Abraham akan dibuat menjadi bangsa (goy) yang besar (ayat 2a). Bahasa Ibrani mengenal dua istilah untuk kata “bangsa”, yakni ‘am dan goy. Kata ‘am mengacu pada bangsa dalam arti kelompok manusia yang anggotanya disatukan oleh hubungan darah. Semuanya berasal dari orangtua atau nenek moyang yang sama. Sedangkan goy mengacu ke bangsa (Inggris:nation) yang mengandung konotasi politis (mempunyai bentuk pemerintahan yang merdeka), administratif, geografis (mempunyai wilayah), dan identitas kultur yang membedakan komunitas tertentu dengan kelompok yang lain. Yang dijanjikan kepada Abraham ialah menjadi goy yang besar, menjadi suatu kekuatan politis yang besar, yang mengandaikan jumlah penduduk yang banyak, wilayah geografis yang luas, dan merdeka (tidak ada di bawah kekuatan bangsa lain).
Kedua, “membuat namamu masyhur”. Janji ini bertentangan dengan apa yang terjadi pada peristiwa Menara Babel (Kej. 11:1-9). Manusia ingin mencari nama (“marilah kita cari nama”, Kej. 11:4) dengan mendirikan Menara Babel, namun mereka tidak mendapatkannya. Abraham tidak mencari nama, namun ia akan mendapat dari Allah sendiri “nama” yang mashyur, yang begitu didambakan oleh umat manusia. Kemasyhuran juga mengandung nuansa politis, sebab dulu kemasyhuran sering dicapai dengan mengalahkan bangsa-bangsa lain (bdk. 2Sam. 8:13). Sekarang pun orang sering meraih kemashyuran dengan terlibat dalam politik praktis.
Ketiga, “dan engkau akan menjadi berkat”. Dalam Perjanjian Lama, ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa seseorang atau suatu bangsa dapat menjadi berkat bagi bangsa lain. Misalnya, Za. 8:13, “Dan kalau dahulu kamu telah menjadi kutuk di antara bangsa-bangsa, hai kaum Yehuda dan kaum Israel, maka sekarang Aku akan menyelamatkan kamu, sehingga kamu menjadi berkat. Janganlah takut, kuatkanlah hatimu!” (lih. juga Yes. 19:24). Namun, tidak begitu gampang memahami apa sebenarnya arti “menjadi berkat”. Ada yang mengartikannya dalam arti pasif, “Engkau akan diberkati”, artinya, “Engkau akan menjadi perwujudan berkat”. Ada pula yang mengartikannya dalam arti aktif, “Engkau akan menjadi sumber berkat bagi orang lain”. Barangkali pengertian “menjadi berkat” di sini harus dimengerti dalam arti aktif, menjadi “sumber berkat” dalam kaitannya dengan ayat 3 di bawah ini.
Berkat bagi semua orang
“Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (ayat 3).
Abraham akan menjadi sumber berkat, sehingga nasib seseorang tergantung dari hubungannya dengan Abraham. Mereka yang memberkati Abraham akan diberkati, sedangkan yang mengutuknya akan dikutuk. Mengutuk ialah mengucapkan kata-kata yang mengandung kuat kuasa untuk memisahkan sesuatu atau seseorang dari dunia Tuhan, yakni dari hidup maupun dari lingkungannya (keluarga, suku, kota, dan sebagainya). Mengutuk bertentangan dengan memberkati. Berkat dimaksudkan untuk berkembang biak, untuk mengembangkan kehidupan, sebaliknya kutukan untuk menghancurkan kehidupan. Mereka yang memberkati Abraham artinya mereka yang berhubungan baik dengan Abraham, mau membuat hidup Abraham berkembang menjadi besar, dengan mengakui berkat yang diberikan Tuhan kepadanya (bdk. Kej. 14:19). Orang yang demikian ini akan diberkati, artinya akan memiliki banyak keturunan, berhasil, dan makmur.
Kata “olehmu” (Ibrani: beka) dalam janji “olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” sulit dipahami. Kata Ibrani beka di sini biasanya diterjemahkan dengan “olehmu”, “oleh karena engkau”. Namun, kata ini juga bisa diterjemahkan dengan “dalam engkau”: semua bangsa di bumi “akan diberkati dalam engkau” atau “menemukan berkat dalam engkau”. Betapapun juga, kedua terjemaban ini mengandung makna adanya janji berkat bagi segala bangsa melalui Abraham. Misalnya, ketika Israel mengalami berkat kemakmuran besar pada zaman Daud dan Salomo, bangsa-bangsa di sekitarnya pun menikmatinya. Mereka dapat ambil bagian dalam berkat yang diberikan kepada Israel.
Abraham Melaksanakan Perintah Tuhan (Kej. 12:4-6)
Abraham tidak melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Dia langsung melaksanakan perintah Tuhan, “Lalu pergilah Abraham seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya” (ayat 4a). Dia pergi meninggalkan Haran menuju Kanaan bersama Sarai, istrinya, dan Lot, anak Haran, saudaranya. Mengapa ia tidak mengajak Terah, ayahnya, ikut serta? Bukankah Kanaan merupakan tujuan utama keberangkatan Terah dan Ur Kasdim (Kej. 11:31)? Apakah karena ayahnya sudah meninggal atau tidak kuat jalan karena sudah tua?
Abraham lahir ketika Terah, ayahnya, berumur 70 tahun (Kej. 11:26). Ketika berangkat dari Haran ke Kanaan Abraham berusia 75 tahun (Kej. 12:5), sedangkan Terah berusia 145 tahun (70+75=145). Menurut Kej. 11:32 Terah meninggal pada usia 250 tahun, artinya masih hidup ketika Abraham berangkat meninggalkan Haran. Ia pun kemungkinan masih kuat, karena masih hidup 105 tahun lagi (250-145=105). Kenyataan bahwa Terah tidak diajak mungkin merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah TUHAN untuk meninggalkan sanak “saudaramu”.
Ayat 5-6 melukiskan perjalanan Abraham dari Haran sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni di pohon tarbantin di More. Sikhem adalah sebuah kota yang terletak sekitar 65 kilometer di sebelah utara Yerusalem, antara Gunung Ebal dan Gunung Gerizim. Dekat Sikhem, ada pohon tarbantin, pohon besar yang dianggap keramat. More sebenarnya mempunyai makna dasar “peramal”. Peramal bisa mengacu ke orang atau ke tempat yang dipakai oleh Yang Ilahi untuk menyampaikan pengetahuan tersembunyi. Oleh karena itu, beberapa terjemahan menyebut “pohon tarbantin di More”, sedangkan yang lain menyebutnya “pohon tarbantin milik More” (RSV, NIV). Tempat yang dimaksud mungkin tempat suci orang Sikhem. Kelak, Tuhan pun menampakkan diri kepada Abraham di tempat ini (Kej. 18:1).
Refleksi
Apa yang bisa kita pelajari tentang iman Abraham yang disebut bapa kaum beriman (Rm. 4:16)? Perikop yang kita baca tidak mengungkapkan secara eksplisit iman Abraham, namun secara implisit ia sudah menunjukkan awal kehidupan beriman.
Iman diawali oleh kemampuan mendengarkan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Keberangkatan Abraham dari Haran dapat saja merupakan suatu keharusan baginya karena tuntutan hidup, seperti yang dialami Terah, ayahnya, yang harus meninggalkan Ur Kasdim. Namun, di mata Abraham, keberangkatan ini adalah jawabannya atas perintah Tuhan. Jawaban itulah ungkapan imannya.
Perbedaan antara orang beriman dan tidak beriman kadang kala sangat tipis. Ketika orang tidak beriman lulus ujian, ia berkata, “Saya lulus karena saya rajin belajar”. Tetapi, orang beriman mengatakan, “Semua itu karena anugerah Tuhan”. Dia pun lalu bersyukur kepada Tuhan dan tidak menyombongkan dirinya. Apakah saya melihat peristiwa hidup sehari-hari semata-mata sebagai sesuatu yang alami ataukah merupakan campur tangan Allah dalam hidup saya?
Iman merupakan jawaban atas firman atau panggilan Tuhan. Inisiatifnya selalu dari Tuhan. Asal-usul Abraham menunjukkan kepada kita bahwa panggilan dari Tuhan tidak menuntut prasyarat tertentu, entah itu latar belakang keluarga yang baik, kekayaan, iman, ataupun kesalehan yang istimewa. Abraham hidup dalam lingkungan kafir. Dia tidak mengenal hukum Tuhan, dan oleh karenanya ia juga tidak pernah menunjukkan secara eksplisit kesetiaannya kepada perintah Tuhan. Namun, Tuhan memanggil dia. Dengan kata lain, panggilan dan berkat Tuhan diberikan menurut kehendak bebas Tuhan. Panggilan itu benar-benar rahmat yang diberikan secara cuma-cuma. Jika Tuhan menghendaki, orang setua Abraham pun (75 tahun) bisa menapaki perjalanan yang dikehendaki-Nya.
Menjawab panggilan Tuhan dalam iman berarti berani meninggalkan zona aman dalam hidup kita, seperti Abraham yang meninggalkan negeri kelahiran dan sanak saudaranya yang memberi rasa aman kepadanya. Meninggalkan zona aman berarti juga siap memasuki zona gelap, wilayah yang tidak jelas, seperti Abraham yang siap pergi ke tempat “yang akan ditunjukkan” (berarti belum ditunjukkan). Abraham belum tahu atau tidak tahu persis ke mana ia harus pergi. Namun, karena iman, karena percaya sepenuhnya kepada Tuhan, Abraham siap berjalan dalam kegelapan, dalam ketidakjelasan. Kej. 15:6 mengatakan, “Lalu percayalah Abraham kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran”.
Kata iman diambil dari kata Ibrani aman yang berarti percaya. Namun, makna dasarnya sebenarnya “mengokohkan” atau “mendukung”, yang mengacu kepada suatu perbuatan memukul patok utama dengan palu untuk mendirikan sebuah tenda. Patok utama ini sangat penting karena sangat menentukan tegak atau robohnya tenda itu. Dalam arti ini, beriman tiada lain dari menancapkan patok utama sebuah tenda, yakni hidup kita, di batu karang yang kuat, yang bagi kita orang Kristen tiada lain dari Kristus. Beriman berarti menerima Allah sebagai tempat pertama dalam hidup kita, mempercayakan diri sepenuhnya kepada-Nya, bersandar pada-Nya, dan mengakui-Nya sebagai penopang, tonggak di mana kita membangun hidup kita.
Perjalanan sejarah hidupnya kemudian menunjukkan bagaimana dia bergumul dalam wilayah yang tidak jelas itu. Tidak jarang keraguan menyelimuti hati dan pikirannya sampai-sampai ia mebkukan tindakan bodoh karena meragukan kemahakuasaan Tuhan dan kesetiaan Tuhan pada janji-Nya. Misalnya, ia menyebut Sarai sebagai saudaranya, bukan istrinya (Kej. 12:10-20; 20:1-2), dan mengawini Hagar, hambanya (Kej. 16:1-6). Namun, berkat penyertaan Tuhan, dia berhasil taat sampai akhir. Bagaimana kita bergulat, jatuh bangun dalam iman kita? Meski kita sudah beriman, kita perlu memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa iman kita masih terlalu kecil. Seperti ayah seorang yang bisu dalam Injil, kita pun patut berkata, “Aku percaya, tolonglah aku yang tidak percaya ini” (Mrk. 9:24).
Kita ingin disebut keturunan Abraham yang akan mewarisi berkat Abraham. Menurut Paulus, unsur yang paling menentukan untuk menjadi keturunan Abraham bukanlah hubungan darah, melainkan iman yang diungkapkan dalam perbuatan dan kesetiaan. “Jadi kamu lihat, bahwa mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham. Dan Kitab Suci, yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: ‘Olehmu segala bangsa akan diberkati’. Jadi mereka yang hidup dari iman, merekalah yang diberkati bersama-sama dengan Abraham yang beriman itu” (Gal. 3:7-9; bdk. Kej. 15:6).
Semoga iman Abraham mewarnai kehidupan keluarga kita, dan kita semua pantas disebut anak-anak Abraham.***
KELUARGA YANG BERAKAR PADA SABDA ALLAH : KELUARGA ZAKHARIA DAN ELISABET (Luk 1:57-66)
Setiap keluarga Kristen diharapkan hidup berdasarkan firman Tuhan. Namun, firman Tuhan sering kali tidak begitu jelas dan sering dikaburkan oleh suara-suara lainnya. Sebagai pegangan untuk hidup, firman Tuhan bersaing dengan norma-norma dan aturan-aturan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika banyak keluarga Kristen melanggar firman Tuhan tetapi tidak menyadarinya.
Pengalaman hidup Zakharia, pergumulannya dalam mempercayai firman Tuhan dan mau melaksanakannya, memberi inspirasi serta dorongan bagi kita untuk mengutamakan firman Tuhan di atas yang lainnya. Salah satu peristiwa yang sangat inspiratif ialah kelahiran Yohanes Pembaptis dan upacara sunat yang dilaksanakan oleh keluarga ini. Kisah yang dituangkan dalam Luk. 1:57-66 ini dapat dibagi dalam tiga tema pokok: kelahiran Yohanes (ayat 57-58), sunat dan pemberian nama (ayat 59-63), serta tanggapan Zakharia dan orang banyak terhadap karya agung Allah berupa pujian dan keheranan (ayat 64-66).
Kelahiran Yohanes (Luk. 1:57-58)
Tidak memiliki anak merupakan suatu aib bagi wanita Israel di zaman dulu, dan beberapa orang menganggap mandul sebagai kutukan atau hukuman dari Tuhan. Maka, tidak jarang ketika tidak mempunyai keturunan seorang wanita sangat sedih karena merasa tidak berguna. Sebaliknya, melahirkan anak mereka yakini sebagai tanda Tuhan menunjukkan rahmat-Nya kepada dia yang dikasihi-Nya. Dalam latar belakang budaya seperti ini, bisa dibayangkan betapa besar sukacita seorang wanita Yahudi ketika melahirkan seorang anak, apalagi kalau yang dilahirkan itu anak lagi-laki.
Apa yang dialami Elisabet benar-benar mendatangkan sukacita yang besar. Dia bukan saja melahirkan anak dan anak itu anak laki-laki, melainkan juga karena ia mendapatkannya pada usia yang lanjut dan setelah bertahun-tahun dinyatakan mandul (Luk. 1:7). Alkitab, khususnya Perjanjian Lama, menyajikan banyak kisah tentang wanita yang semula dianggap mandul kemudian melahirkan anak berkat kemurahan Tuhan. Bahkan wanita-wanita itu adalah istri dari tokoh-tokoh besar atau ibu dari tokoh penting dalam sejarah keselamatan. Selain Elisabet, beberapa nama yang patut diingat ialah Sarai, istri Abraham (Kej. 11:30); Ribka, istri Ishak (Kej. 25:21); Rahel, istri Yakub (Kej. 30:22); istri Manoah atau ibu Simson (Hak. 13:2-3); serta Hana, istri Elkana dan ibu Samuel (1Sam. 1:5).
Dari sekian banyak cerita tentang wanita mandul tetapi kemudian melahirkan, ada beberapa hal yang menarik. Pertama, mereka sangat rindu memiliki anak, serta sangat sedih dan menderita karena belum memilikinya. Kedua, mereka tiada hentinya memohon kepada Tuhan dengan penuh harapan dan setia kepada-Nya.Ketiga, mereka harus menunggu begitu lama, sehingga beberapa di antara mereka akhirnya merasa mustahil akan mendapat anak karena usia yang sudah lanjut. Namun, Tuhan berjanji akan mengabulkan doa mereka (Luk. 1:13) dan menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya (Kej. 18:14; Luk. 1:37). Wanita yang mandul itu pun melahirkan anak. Sarai misalnya, mempunyai anak setelah berusia 90 tahun. Selanjutnya, anak yang diperoleh dengan penantian yang lama dan perjuangan iman yang berat itu akhirnya menjadi tokoh yang luar biasa dan berjasa bagi umat manusia.
Lahirnya seorang anak dari seorang yang dianggap mandul menandaskan bahwa anak itu benar-benar anugerah Tuhan dan Tuhan mempunyai rencana yang indah untuknya. Kegembiraan atas anugerah ini begitu besar, sehingga tidak cukup dirayakan oleh Elisabet dan Zakharia, melainkan juga oleh tetangga-tetangga dan sanak saudaranya (ayat 58). Rasa syukur dan sukacita atas begitu besarnya rahmat yang Tuhan tunjukkan memang harus dibagi bersama, bukan untuk dinikmati sendiri. Tetapi apakah orang lain mau diajak berbagi?
Reaksi para tetangga dan sanak saudaranya sangat positif, mereka mau diajak berbagi sukacita. Mereka tidak iri hati melainkan seperti yang dikatakan Paulus “bersukacita dengan orang yang bersukacita” (bdk. Rm. 12:15). Demikianlah mereka bersukacita bersama-sama.
Sunat dan Pemberian Nama (Luk. 1:59-63)
Sunat
Di kalangan banyak bangsa di dunia ini, sunat dikaitkan dengan masalah sosial, yakni tanda seorang anak memasuki jenjang dewasa, dan masalah kesehatan. Dalam tradisi Yahudi, sunat dikaitkan dengan perjanjiar Allah dengan Abraham (Kej. 17:7). Sunat dibuat dengan memotong kulit khatan atau kulup kelamin laki-laki, dan menjadi tanda perjanjian Israel dengan Tuhan yang diikat dalam daging. Israel mengimani bahwa Tuhan mengadakan perjanjian bukan dengan Abraham sebagai perorangan melainkan sebagai kepala keluarga, bapa bangsa yang besar. Perjanjian Tuhan berlaku untuk keturunan Abraham sampai selama-lamanya, “Antara Aku dengan kamu serta keturunanmu turun-temurun” (Kej. 17:7-11). Sunat lalu dijadikan sebagai tanda lahiriah seseorang menjadi anggota umat perjanjian. Itulah sebabnya mengapa seorang anak laki-laki Yahudi disunat bukan ketika ia menginjak remaja, melainkan ketika ia masih kecil, tepatnya ketika berusia delapan hari. Yesus pun disunat tepat ketika berusia delapan hari (Luk. 2:21).
Ada yang mengatakan bahwa vitamin K dan prothrombin yang sangat dibutuhkan untuk membekukan darah mencapai puncaknya pada usia delapan tahun. Karena itu, sunat paling ideal dilakukan pada hari kedelapan karena akan sangat aman dan lukanya cepat sembuh. Namun, sunat dilakukan pada hari kedelapan bukanlah karena hal itu, melainkan karena anak harus segera dimasukkan dalam anggota umat perjanjian, menjadi ciptaan baru. Hari kedelapan merupakan hari baru setelah tujuh hari penciptaan. Inilah hari yang tepat untuk menunjukkan bahwa anak yang disunat lahir sebagai manusia baru.
Pemberian nama
Upacara penyunatan biasanya disertai dengan pemberian nama. Nama sangat penting karena merupakan pembeda identitas. Nama memungkinkan kita membedakan sesuatu dengan yang lainnya, anjing dengan kucing, juga Setiawan dengan Budiman. Sebuah nama diharapkan mencerminkan identitas seseorang. Dalam budaya Israel, nama bersifat deskriptif, menggambarkan identitas orang yang memakainya. Misalnya, manusia pertama diberi nama Adam karena ia dibuat dari tanah (Ibrani: adamah), sedangkan istrinya disebut Hawa (Ibrani: hayah, artinya “hidup”), yang berarti “ibu semua yang hidup” (Kej. 3:20). Pemimpin yang mengantar Israel ke tanah terjanji bernama Yosua,.yang berarti “TUHAN menyelamatkan” atau “TUHAN adalah juruselamat”. Nabi Hosea yang menikah dengan Gomer, perempuan sundal, menamai anak-anaknya Yizreel (artinya “Tuhan menabur”), Lo-Ruhama (artinya “tidak disayangi”, Hos. 1:6), dan Lo-Ami (artinya “bukan umat-Ku”, Hos. 1:9) untuk menggambarkan relasi Tuhan dengan Israel. Adik Esau disebut Yakub (Ibrani ‘akeb = tumit) karena ketika lahir ia memegang tumit Esau (Kej. 25:26).
Biasanya kalau mereka kesulitan menemukan nama yang mendeskripsikan sesuatu yang khas, mereka memberi nama orangtuanya atau nenek moyangnya. Anak laki-laki pertama biasanya diberi nama sesuai nama ayahnya. Maka, tidaklah mengherankan bahwa para tetangga dan sanak saudara Elisabet hendak menamai anak yang baru lahir itu Zakharia, sesuai nama ayahnya (ayat 59). Tetapi, Elisabet tidak menyetujuinya dan mengatakan bahwa ia harus diberi nama Yohanes (ayat 60). Nama ini sesuai dengan apa yang dipesankan oleh malaikat kepada suaminya (Luk. 1:13). Orang-orang itu sulit menerima penolakan Elisabet karena bertentangan dengan tradisi (ayat 61). Mereka lalu menanyakannya kepada Zakharia. Karena Zakharia bisu dan kelihatannya juga tuli, mereka bertanya kepadanya dengan bahasa isyarat (ayat 62). Zakharia meminta batu tulis, semacam lempengan tanah liat yang dipakai untuk membuat catatan sementara, lalu menulis, “Namanya adalah Yohanes” (ayat 63). Yohanes merupakan transliterasi dalam bentuk singkat dari kata Ibrani Iehochanan, artinya “Allah adalah rahim”. Nama orang-orang yang kelahirannya telah dinubuatkan biasanya mempunyai makna tertentu yang berkaitan dengan panggilan khusus yang direncanakan Tuhan baginya. Yohanes dipanggil untuk menyerukan pertobatan agar orang menerima kerahiman Allah dan Sang Penebus. Menyaksikan semua itu tentu saja orang banyak heran karena tidak sesuai dengan apa yang lazim atau tradisi mereka (ayat 63b).
Zakharia Memuji Allah (Luk. 1:64-66)
Ayat 64-66 berisi reaksi Zakharia dan orang-orang di sekitarnya terhadap karya agung Allah. Pertama kita melihat reaksi Zakharia. Dengan mulutnya, Zakharia telah menunjukkan ketidakpercayaannya kepada Tuhan, sehingga mulut itu terkutuk dan tidak bisa berbicara (Luk. 1:11-23). Kini, ketaatan Zakharia kepada firman Tuhan, yang membuktikan bahwa dia benar-benar percaya kepada Allah, menghapus kutuk yang dia terima. Mulutnya terbuka dan ia mulai berbicara kembali (ayat 64a). Hukuman bisunya berakhir dan sebagai tanggapan atas karya Allah ini Zakharia memuji-Nya (ayat 64b).
Bahasa Ibrani kuno mengenal beberapa kata untuk istilah memuji (Yunani:eulogeo). Pertamahalal artinya “memuji”, misalnya seruan haleluya (pujilah Tuhan) yang merupakan gabungan dua kata Ibrani halelu (pujilah) dan Yah(singkatan nama Tuhan, YHWH; bdk. Mzm. 111:1;112:1;113:1,9;150:1;dll.).Keduayadah artinya “mengucap syukur” dalam arti mengakui dan memuji kebaikan hati seseorang. Ketigabarak artinya “memberkati” dalam arti mengakui dan memuji kebaikan Allah (lih. Kej. 24:27). Kata memuji memiliki makna yang hampir tidak terpisahkan dengan bersyukur. Zakharia memuji Allah, artinya ia bersyukur kepada Allah dengan mengakui dan memuji kebaikan hati-Nya.
Israel memuji Allah bukan pertama-tama dengan mempersembahkan kurban kepada-Nya, melainkan terutama dengan mengakui di depan umum apa yang diperbuat-Nya. Itulah yang dilakukan oleh Zakharia. Zakharia memuji dan bersyukur kepada Allah karena ia mengalami kasih Allah yang mengikutsertakan umat manusia dalam mengungkapkan kasih dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan dan mengatasi pikiran manusia. Sebetulnya inilah salah satu kekhasan kekristenan. Orang Kristen mengakui keselamatan sebagai anugerah Allah, karena itu mereka selalu bersyukur kepada Tuhan seperti dinasihatkan oleh Paulus, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (lih. Ef. 5:20; Kol. 3:17; Flp. 4:6).
Kedua, kita melihat reaksi orang-orang di sekitar Zakharia. Mereka ketakutan bukan ketakutan dalam arti harfiah, melainkan hormat dan kagum, seperti sikap seorang anak terhadap orangtuanya (ayat 65). Karena kekaguman itu, mereka pun membicarakannya di mana-mana sehingga berita tentang hal ini semakin tersebar luas, bahkan sampai ke telinga Lukas, pengarang Injil ini. Semua orang yang mendengarnya “merenungkannya”. Bahasa Yunaninya berbunyi “ethento … en te kardia auton” yang secara harfiah berarti “menempatkannya dalam hatinya”.
Maksudnya mungkin bukan pertama-tama merenungkannya atau menyimpan dalam hati seperti Maria, nielainkan lebih berarti “mengaguminya” atau “heran” penuh tanda tanya. Mereka heran dan berkata, “Menjadi apakah anak ini nanti?” (ayat 66a). Di dalam keheranannya, mereka bertanya-tanya soal masa depan, soal rencana Tuhan terhadap anak ini. Mereka yakin bahwa Tuhan menyertai anak ini dan mempunyai rencana besar di inasa depan untuknya (ayat 66b).
Refleksi
Beberapa pokok-pokok refleksi yang bisa kita buat berdasarkan ulasan teks di atas:
Menghargai anak
Sabda Tuhan menunjukkan kepada kita pentingnya seorang anak. Apakah sebagai suami-istri, kita benar-benar mendambakan dan menghargai anak sebagai anugerah istimewa dari Tuhan? Bagaimana pandangan kita dengan sikap orang yang menikah tctapi tidak mau mempunyai anak? Bagaimana sikap kita terhadap aborsi, terhadap kasus bayi yang dibuang begitu saja olgh-orang yang melahirkannya?
Bagaimana sikap kita terhadap orang yang mandul? Apa yang kita buat bila sebagai suami-istri kita belum juga dikaruniai keturunan? Usaha-usaha apa saja yang kita buat dan apakah usaha itu sesuai dengan iman dan kesetiaan kita kepada Tuhan? Bila sudah begitu lama kita menantikannya, masih beranikah kita berharap dan percaya bahwa “tiada yang mustahil bagi Tuhan”?
Sunat
Sunat dalam Perjanjian Lama pertama-tama merupakan tanda lahiriah perjanjian Israel dengan Allah. Namun, sunat tidak boleh terbatas sebagai tanda lahiriah, melainkan juga tanda rohani. Sunat berkaitan erat dengan ketaatan, menjadi tanda jawaban manusia atas kasih karunia Allah yang memilih dan menandai umat milik-Nya. Jawaban itu berupa penyerahan diri kepada Allah dan kesetiaan dalam menaati hukum-Nya. “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela”. Darah yang tumpah dalam sunat menunjukkan tuntutan yang mahal yang harus dibayar oleh manusia yang hidup dalam perjanjian dengan Tuhan.
Perjanjian Lama sebenarnya sudah menekankan pentingnya sunat hati, sunat rohani. “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk” (Ul. 10:16); “Allahmu, akan menyunatkan hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi TUHAN” (Ul. 30:6). Yeremia mengajak orang Yehuda bertobat dengan berkata, “Sunatlah dirimu bagi TUHAN, dan jauhkanlah kulit khatan hatimu” (Yer. 4:4). Namun, Perjanjian Baru lebih tegas lagi dalam menandaskan pentingnya sunat rohani, terutama ketika hukum sunat hendak dijadikan sebagai syarat untuk keselamatan. Paulus dengan keras menentang kewajiban sunat jasmani, “Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah menaati hukum-hukum Allah” (1Kor. 7:19); “Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Kristus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman yang bekerja oleh kasih (Gal. 5:6).
Keselamatan diperoleh bukan karena sunat, melainkan karena Kristus, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang (2Kor. 5:17).
Sunat dalam Perjanjian Baru bukan lagi sunat lahiriah, melainkan sunat dalam Kristus, yaitu terpisah, putus hubungan dengan dosa. “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa” (Kol. 2:11). Sunat yang sejati adalah sunat “di dalam hati, secara rohani, bukan secara harfiah” (Rm. 2:29). Seperti alat kelamin laki-laki, hati dalam arti tertentu juga merupakan tempat bertumbuhnya benih, baik benih-benih kasih maupun benih-benih kejahatan.
Pembungkus hati yang menodai hati kita harus dibuang agar kita terbuka dan bersih, bebas dari perbuatan-perbuatan daging: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, kemarahan, kepentingan diri sendiri, percekcokan, perpecahan, kedengkian, bermabuk-mabukan, pesta pora, dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Sunat baru yang menandai kita masuk menjadi umat perjanjian ialah sakramen baptis. Dengan dibaptis kita dibersihkan dari dosa-dosa kita oleh Kristus dan mulai menjalani hidup baru yang dipimpin Roh.
Bagaimana sikap saya terhadap sunat dan baptis? Apakah saya inelihatnya hanya sebagai upacara formal, lahiriah, ataukah sudah saya hayati nilai-nilai rohaninya dengan hidup dalam kekudusan?
Hidup dalam janji
Kelahiran anak laki-lakinya dan berakhirnya kebisuan menunjukkan kepada Zakharia bahwa Allah pasti menepati janji-Nya dan tidak ada yang mustahil bagi Dia (Luk. 1:37). Dia harus membayar mahal ketidakpercayaannya, namun ketidakpercayaannya itu sendiri tidak dapat menghalangi Allah dalam melaksanakan rencana-Nya.
Kita pun umat perjanjian, umat yang hidup dalam janji. Hidup dalam janji tidaklah mudah apalagi kalau apa yang dijanjikan itu seakan mustahil dan lama tidak terpenuhi. Pengalaman Zakharia menyadarkan kita bahwa Allah tidak pernah melupakan janji-Nya. Janji Allah bisa dipercaya dan kita tidak perlu meragukannya karena Allah tidak mungkin berdusta (Ibr. 6:18). Tapi, bagaimana dengan janji kita yang menyebut diri anak-anak Allah? Masih pantaskah kita disebut anak Allah bila janji kita tidak bisa dipercaya lagi?
Ketaatan pada firman mendatangkan berkat
Belajar dari pengalaman, Zakharia dan Elisabet berusaha sebisa mungkin menaati firman Tuhan. Mereka menyunatkan anak mereka pada hari kedelapan dan menamainya Yohanes. Dalam memberi nama ini, mereka lebih memilih taat kepada firman Tuhan daripada kepada tradisi yang berlaku. Akibatnya, mereka menjadi orang yang terberkati dan Allah menyertai anak mereka. Betapa banyak Iradisi dan peraturan-peraturan duniawi yang sepertinya kurang scsuai bahkan bertentangan dengan firman Tuhan. Bagaimana kita mcnyikapinya?
Nama menunjukkan identitas diri
Nama merupakan pembeda identitas dan menggambarkan siapa saya, juga apa yang Tuhan dan orang lain harapkan dari saya. Betapa sering kita memilih nama secara sembarangan, atau menyebut nama orang lain secara tidak benar. Nama atau sebutan yang diberikan kepada kita menunjukkan dan menggambarkan identitas kita. Sebuah pepatah Cina berbunyi, “Awal kebijaksanaan adalah memanggil sesuatu dengan namanya yang benar”. Apakah kita menghargai nama? Ataukah kita menyepelekannya seperti Shakespeare, pujangga besar Inggris, yang mengatakan, “Apalah arti sebuah nama? Setangkai mawar tetap harum entah ia bernama rose atau rosa”?
Memuji
Ketika bisa berbicara kembali seperti sediakala, hal pertama yang dilakukan oleh Zakharia ialah memuji Allah (ayat 64b). Apakah kita termasuk orang yang bisu seperti Zakharia yang sedang menjalani hukuman, ataukah orang yang memujiTuhan? Berapa lama kita membisu? Apakah kita sedang menunggu karya ajaib supaya bisa melepaskan kebisuan kita? Ataukah kita sudah dijiwai oleh pesan Paulus untuk selalu memuji dan bersyukur kepada Allah dalam situasi apapun?***
KELUARGA YANG BERSEKUTU : KELUARGA KUDUS NAZARET (Luk 2:41-52)
Keluarga Kristiani sering disebut Ecclesia Domestica artinya Gereja Domestik atau Gereja Rumah Tangga. Maksudnya, keluarga kristiani diharapkan menjadi perwujudan Gereja, persekutuan hidup dalam iman akan Yesus Kristus yang menghadirkan nilai-nilai Injili. Nilai-nilai itu terutama kasih dan ketaatan kepada Allah dan sesama, serta kerendanan hati.
Tiga pilar ini menjadi tiang utama penyangga persatuan hidup berkeluarga. Keluarga dipanggil untuk melayani hal-hal jasmani dan sekaligus juga hal-hal rohani. Hal ini dapat kita pelajari dari Keluarga Kudus Nazaret, khususnya dari kisah tentang Yesus yang ditemukan di Bait Allah dalam Luk. 2:41-52. Maria dan Yusuf yang setiap tahun pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah menjadi teladan bagi kita dalam kesetiaan melayani Allah dan menaati hukum-hukum-Nya.
Kisah dalam Luk. 2:41-52 dapat dibagi dalam tiga bagian, yakni Yesus yang berusia dua belas tahun diajak orangtuanya pergi ke Yerusalem (ayat 41-42), Yesus tertinggal di Yerusalem (ayat 43-50), dan Yesus kembali ke Nazaret (ayat 51-52).
Yesus yang Berusia Dua Belas Tahun Diajak ke Yerusalem (Luk. 2:41-42)
Kisah Yesus ditemukan di Bait Allah diawali dengan pernyataan bahwa “tiap-tiap tahun orangtuaYesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah” (ayat 41). Sebenarnya yang diwajibkan pergi ke Yerusalem tiga kali setahun untuk merayakan Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun hanyalah orang laki-laki Yahudi dewasa (Kel. 23:14-17;34:23; Ul. 16:16). Namun, tidak sedikit perempuan-perempuan saleh, seperti Hana misalnya (1Sam. 1:7), juga pergi ke Yerusalem. Maria sadar bahwa kebersamaan itu perlu dibangun bukan saja dalam hidup keseharian, waktu makan minum dan bermain bersama, melainkan juga dalam ibadah bersama. Persekutuan dalam hidup keluarga belum sempurna tanpa persekutuan dalam ibadah bersama. Oleh karena itu, Maria selalu menemani Yusuf pergi ke Yerusalem untuk merayakan Paskah.
Kali ini perjalanan mereka ke Yerusalem sangat istimewa, karena Yesus sudah berusia dua belas tahun (ayat 42). Pada usia ini, anak laki-laki Yahudi dinyatakan secara resmi sebagai anggota masyarakat dewasa melalui upacara inisiasi yang disebut Bar Mitzvah. Istilah ini berasal dari bahasa Aram dan berarti “anak ajaran Taurat”, maksudnya anak yang hidupnya diarahkan untuk menaati Taurat. Setelah menerima upacara inisiasi itu, seorang anak bisa berperan penuh dalam jemaat, ambil bagian secara penuh dalam perayaan Paskah atau ibadat lainnya. Mereka bertanggung jawab penuh dalam menaati hukum Taurat, oleh karena itu, agar memahami Taurat dengan baik, mereka pun mulai diterima dalam sekolah Taurat. Ketika bayi hingga disapih, ia diasuh oleh ibunya, kemudian oleh ayahnya, dan setelah berusia dua belas tahun, ia memperoleh guru baru lagi, yakni Taurat itu sendiri.
Menyadari pentingnya masa setelah usia dua belas tahun, Yusuf mempersiapkan Yesus sebaik-baiknya agar benar-benar dewasa secara fisik maupun rohani. Ia memahami bahwa dalam memelihara dan mendidik anak, yang perlu diperhatikan bukan saja segi fisik (perkembangan dan kesehatan tubuh), melainkan juga kecerdasan (otak), pengolahan batin (perasaan atau emosi), rasa religius (agama), dan segi sosial. Itulah sebabnya Yusuf tidak hanya mengajari Yesus hukum Taurat, melainkan juga melatih-Nya berpuasa, mengajak-Nya ikut dalam perayaan-perayaan bersama sebagaimana lazimnya dilakukan oleh orangtua Yahudi pada waktu itu.
Mengajak Yesus pergi ke Yerusalem bukan saja memberi Yesus pengalaman pertama merayakan Paskah, melainkan juga mengembangkan-Nya di bidang kehidupan sosial. Pengalaman pertama ini pasti sangat menyenangkan. Suasana hati Yesus tersirat dalam Mzm. 122:1, “Aku bersukacita, ketika dikatakan orang kepadaku: ‘Mari kita pergi ke rumah TUHAN”. Sebab, Dia pasti sudah lama merindukannya, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mzm. 42:1).
Jarak dari Nazaret ke Yerusalem cukup jauh, sekitar 150 km, atau empat hari perjalanan. Biasanya, dalam melakukan ziarah suci, penduduk sebuah desa atau distrik pergi bersama-sama dalam suatu rombongan. Rombongan anak-anak paling depan, kemudian rombongan perempuan, disusul dengan rombongan laki-laki. Mereka akan bertemu di suatu tempat perhentian atau penginapan yang mereka sepakati. Berjalan dalam rombongan seperti ini sangat berguna bukan saja untuk perlindungan atau keamanan, melainkan juga memberi kenyamanan karena adanya teman seperjalanan dan teman ngobrol yang membuat perjalanan jauh yang berat dan meletihkan menjadi kurang terasa. Terlebih bagi anak-anak, perjalanan ini merupakan kesempatan bagi mereka untuk bermain bersama, bersosialisasi, beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman seperjalanan. Mereka belajar bagaimana menghargai teman, melepaskan ego, peduli pada teman, dan memperlakukan orang lain secara benar.
Kita tidak tahu apakah Yesus menerima upacara Bar Mitzvah di Bait Suci sebelum perayaan Paskah atau tidak, sebab tidak diceritakan. Yang dikatakan Lukas hanyalah bahwa Ia sudah bisa mengikuti upacara Paskah dan mendengarkan pengajaran Taurat yang disampaikan para rabi.
Yesus Tertinggal di Yerusalem (Luk. 2:43-50)
Perayaan Paskah biasanya berlangsung selama tujuh hari, meski tidak semua peziarah wajib merayakannya dalam tujuh hari. Seusai perayaan itu, Yusuf dan Maria kembali ke Nazaret, tetapi Yesus tinggal di Yerusalem tanpa sepengetahuan mereka (ayat 43). Manusia mempunyai dua kewajiban: berdoa dan bekerja. Ada waktu untuk berdoa, ada waktu untuk bekerja. Ada waktu untuk pergi ke Yerusalem, ada waktu untuk kembali dan melaksanakan kegiatan sehari-hari di Nazaret. Perlu ada keseimbangan: yang satu dibuat, yang lain jangan diabaikan. Menyadari hal itu, Yusuf dan Maria kembali ke Nazaret bersama peziarah lainnya.
Mereka kembali dalam rombongan masing-masing: Yusuf di rombongan laki-laki, sedang Maria dengan rombongan perempuan. Ada banyak rombongan peziarah. Pada umumnya mereka yang berada dalam rombongan-rombongan itu saling mengenal, bahkan ada hubungan saudara. Itulah sebabnya Yusuf dan Maria kurang mencemaskan Yesus. Mereka yakin Yesus “ada di antara orang-orang seperjalanan mereka” (ayat 44). Yusuf mungkin mengira Yesus di rombongan anak-anak atau rombongan ibunya, sebaliknya Maria mungkin mengira Yesus dengan Yusuf, sehingga mereka tenang-tenang saja. Setelah berjalan sehari perjalanan jauhnya. mereka mulai mencari Yesus, namun tidak menemukan-Nya (ayat 45a). Mereka pun panik, gelisah, dan cemas, takut kehilangan anak. Kegelisahan dan kecemasan ini merupakan bukti betapa dalamnya cinta mereka terhadap anak. Mereka mencari-Nya di antara rombongan lain, rombongan sanak saudara dan kenalan mereka. Karena tetap tidak menemukan Dia, “kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia” (ayat 45b).
Inilah salah satu contoh yang menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dalam keluarga. Tiadanya komunikasi dapat mengakibatkan salah pengertian yang berujung pada malapetaka. Yusuf mengira Yesus bersama Maria, sedang Maria mengira Yesus bersama Yusuf. Keduanya tidak cepat-cepat berkomunikasi memastikannya. Orangtua mengandaikan anak mereka sudah ikut pulang, sementara si anak ternyata tetap tinggal di Yerusalem (ayat 43). Memberi keleluasaan kepada anak memang baik asalkan dibarengi dengan komunikasi yang baik agar si anak tidak lepas kendali. Keleluasaan memungkinkan Yesus bisa menikmati pengalaman pertama di rumah Bapa-Nya. Cinta-Nya pada rumah Bapa-Nya begitu besar, “TUHAN, aku cinta pada rumah kediaman-Mu dan pada tempat kemuliaan-Mu bersemayam” (Mzm. 26:8). Ia asyik mengikuti sekolah Taurat yang untuk pertama kalinya boleh Ia masuki. Apalagi ada banyak kelompok sekolah Taurat di pelataran Bait Allah, sehingga Ia bisa berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Begitu asyiknya Dia menikmati semua itu, sampai-sampai Ia lupa pulang dan tidak menyadari orangtua-Nya sudah berangkat kembali ke Nazaret.
Sesudah tiga hari pencarian yang melelahkan, Yusuf dan Maria yang sangat cemas dan gelisah akhirnya menemukan Yesus di Bait Allah. “Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka” (ayat 46).
Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada hari raya dan hari Sabat, Mahkamah Agama dan para alim ulama, yakni para rabi, memberi pelajaran di Bait Allah tentang hal-hal keagamaan, tentang Taurat, kepada para peziarah. Metode pengajaran yang dipakai umumnya dialog: para peziarah bertanya dan mereka menjawab. Yang mengagumkan orang banyak ialah bahwa Yesus bukan sekadar berada di antara para peziarah untuk mendengarkan, melainkan aktif mengajukan pertanyaan-pertanyaan bahkan juga memberikan jawaban yang cerdas (ayat 47).
Kemampuan Yesus memberi jawaban tentulah karena keistimewaan-Nya. Yang dibahas para rabi umumnya teks-teks Kitab Suci yang menunjukkan kehendak dan rencana Allah. Yesus datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Allah, oleh sebab itu Ia tentu tahu apa yang menjadi kehendak Allah. Namun, kita tidak bisa mengabaikan pendidikan yang diberikan oleh Yusuf yang telah membuat Keluarga Kudus menjadi tempat persemaian cinta kepada Allah dan sesama. Dalam keluarga ini, sabda Allah dan hal-hal yang berhubungan dengan Allah dibicarakan, diperdalam, dan dihayati. Pendidikan ini tentu membuat Yesus makin terbuka dan mudah memahami kehendak Bapa-Nya.
Yesus tidak menganut budaya instan. Ia menjalani hidup-Nya tahap demi tahap secara alami. Ia tidak pernah mendahului bila saatnya belum tiba. Sebelum menjadi pengkhotbah, Ia menjadi pendengar yang baik. Sebelum menjadi pengajar, Ia menjadi murid yang belajar penuh minat. Sebelum menyampaikan hukum Allah, Ia menjadi murid yang benar-benar mencintai hukum Allah, seperti kata pemazmur, “Hancur jiwaku karena rindu kepada hukum-hukum-Mu setiap waktu” (Mzm. 119:20). Tetapi, lebih dari semua itu, yang mengagumkan ialah, bahwa meskipun tahu, Yesus tidak sok tahu.
Mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami?
Ketika menemukan Dia, orangtua-Nya tercengang (ayat 48). Maria lalu berkata, “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau” (ayat 49). Panggilan “nak” (Yunani:technon) secara harnah berarti “anak” atau juga “anak muda”. Pertanyaan “mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami” merupakan sebuah teguran, teguran seorang ibu yang kecewa dan marah, tetapi bercampur gembira karena telah menemukan anak yang begitu dicemaskannya.
Alasan teguran itu ialah karena “bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau”. Maria menganggap apa yang Yesus perbuat tidak benar karena telah membuat mereka cemas dan susah payah mencari-Nya. Seharusnya Yesus pulang bersama mereka, tidak tetap tinggal di Bait Allah. Kata-katanya itu juga menunjukkan betapa mereka mencintai Yesus dan peduli pada-Nya. Namun, secara tidak langsung, ia juga mengingatkan Yesus akan kewajiban-Nya terhadap orangtua.
Mengapa kamu mencari Aku?
 Jawaban Yesus benar-benar mengejutkan, “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (ayat 49). Sepintas jawaban Yesus mencerminkan jawaban khas anak muda yang cerdas namun kurang berpikir panjang. Mereka tenggelam dalam kesibukannya sendiri, begitu menikmatinya sehingga tidak peduli atau tidak sempat memikirkan akibat-akibat yang mungkin menimpa orang lain, khususnya orangtuanya. Mereka pikir orangtua tidak perlu repot-repot memikirkan dia. Namun, bila disimak lebih dalam, jawaban Yesus sebenarnya sangat teologis. Dia mempertentangkan urusan bapa duniawi-Nya dengan Bapa surgawi, “Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”. Ketika Maria mengingatkan Dia akan kewajiban-Nya terhadap Yusuf, bapa-Nya, Yesus mengingatkan Maria akan kewajiban-Nya terhadap “Bapa-Ku”, yakni Allah.
Yesus merasa, seharusnya Maria tahu bahwa Ia harus berada di dalam rumah Bapa-Nya. Dalam bahasa aslinya (Yunani) frasa “di dalam rumah Bapa-Ku” berbunyi “en tois tou patros mou“, yang secara harfiah berarti “dalam hal-hal Bapa-Ku”, maksudnya “dalam urusan Bapa-Ku”. Yesus bermaksud mengatakan bahwa Dia harus terserap dalam urusan-urusan Bapa-Nya, menyibukkan diri dengan perkara-perkara Bapa-Nya. Dia harus mengutamakan kewajiban-Nya terhadap Allah daripada terhadap orangtuanya. Kata “harus” menandaskan bahwa hal itu sudah menjadi kehendak Allah.
Apa yang dikatakan Yesus ini sulit dipahami. Kedua orangtua-Nya tidak mengerti (ayat 50). Hal ini termasuk dalam misteri keputraan ilahi Yesus. Banyak orang tidak mengerti ketika berhadapan dengan keputraan Yesus. Bahkan para murid yang bergaul sehari-hari dengan Yesus pun tidak mengerti ketika Yesus memberitahukan kepada mereka bahwa Ia harus menderita dan disalibkan (Luk. 9:45; 18:34). Ketidakmengertian ini biasa dialami oleh manusia ketika berhadapan dengan misteri keputraan ilahi Yesus.
Yesus Kembali ke Nazaret (Luk. 2:51-52)
Akhirnya Yesus pulang bersama kedua orangtua-Nya ke Nazaret (ayat 51a). Sungguh mengejutkan. Yesus yang pada ayat sebelumnya sepertinya bandel, kini tampak manis. Ketika tampil sebagai Putra Bapa, Anak Allah, Ia sering bersikap dan melakukan hal-hal yang mengherankan dan sulit dipahami. Namun, sebagai anak Yusuf, ia selalu tampil sebagai anak yang penurut, taat, setia, serta menghormati orangtua-Nya. “Ia tetap hidup dalam asuhan mereka” (ayat 51b), terjemahan harfiahnya, “Ia terus-menerus ditundukkan (hipotassomenos) kepada mereka”. Ini berarti Yesus senantiasa taat dan patuh kepada orangtua-Nya.
Maria menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya
Menyimpan dalam hati bukan berarti merahasiakan, melainkan malah sebaliknya: menceritakannya kepada orang lain, sehingga Lukas bisa mengetahui hal itu dan menuliskannya untuk kita. Menyimpan dalam hati tidak identik dengan menerima begitu saja karena tidak mau repot atau susah-susah, melainkan mencoba makin memahami misteri itu. Menyimpan dalam hati merupakan ungkapan yang berarti memikirkannya berulang-ulang, dan setiap kali memikirkannya, ia menemukan arti yang makin dalam dari apa yang dipikirkannya itu. Maria belum memahami apa yang dilakukan dan dikatakan Yesus. Pandangannya sepertinya berbeda dengan pandangan Yesus, bahkan dalam pengertiannya, sikap Yesus kadang keliru dan sulit diterima. Namun, Maria cukup rendah hati untuk mengakui bahwa banyak hal tentang Putranya, khususnya tentang keputraan ilahi-Nya, tidak mudah dipahami. Dulu, ketika diberitahu oleh para gembala tentang apa yang dikatakan malaikat tentang Putranya, ia pun menyimpannya dalam hati (Luk. 2:19). Maria tidak berhenti pada apa yang terjadi, melainkan terarah ke masa depan karena ia sadar bahwa tidak segala sesuatu bisa dipahami serta merta. Maria bergumul dengan misteri itu, sehingga hari demi hari ia makin memahaminya dan bisa menghargai perbedaan dan keunikan putranya.
Yesus makin dikasihi Allah dan manusia
Sebagai penutup kisah ini, Lukas mengatakan secara ringkas bahwa “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia” (ayat 52). Yesus bukan hanya bertambah besar secara fisik dan cerdas secara intelektual, melainkan juga “bertambah hikmat-Nya”. Hikmat adalah kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan secara tepat. Berkat hikmat-Nya, Yesus tahu apa dan siapa yang menjadi prioritas hidup-Nya. Hikmat membuat-Nya semakin peka dalam melihat dan memahami kebutuhan orang lain serta solider dengan sesama manusia. Taurat pun menjadi sesuatu yang hidup, bukan ajaran mati atau kewajiban yang kaku, melainkan hidup yang dianugerahkan Bapa kepada manusia. Hikmat ini diperoleh-Nya bukan saja dari pengalaman hidup sehari-hari, melainkan terutama karena keakraban-Nya dengan Tuhan, sumber hikmat.
Demikianlah, pembinaan yang dilakukan oleh Yusuf sejak dini, secara bertahap, menyeluruh, dan berkesinambungan menghasilkan buah yang menggembirakan. Hidup dalam kehangatan kasih sayang di tengah keluarga yang saleh, membuat Yesus bertumbuh menjadi orang yang penuh perasaan, peka terhadap orang lain. Hati-Nya penuh dengan belas kasihan, sehingga tidak mengherankan kalau Lukas mengatakan bahwa Yesus “makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Itu berarti Yesus bertumbuh secara utuh dan menjadi berkat. Ia hidup bagi kepentingan Tuhan dan manusia. Ia menyadari bahwa hidup-Nya dibaktikan demi urusan-urusan Bapa-Nya. Ia berkomitmen untuk terus melakukan ini hingga di atas salib, ketika Ia menyerahkan diri-Nya kepada Bapa (Luk. 23:46). Namun, di sisi lain, Dia tidak mengabaikan manusia. Yesus benar-benar telah bertumbuh secara fisik, pikiran, perasaan, dan kerohanian-Nya hingga menjadi pribadi yang utuh dan dewasa.
Refleksi
Beberapa pertanyaan refleksi:
  • Maria dan Yusuf sangat patuh pada peraturan peribadatan. Mereka membangun keluarganya berpusat pada ibadah dan berusaha menjaga keseimbangan antara melayani Tuhan dan bekerja untuk hidup sehari-hari. Bagaimana dengan keluarga kita? Apakah liturgi, khususnya Ekaristi, sudah menjadi puncak dan sumber kehidupan kita? Bagaimana dengan ibadat keluarga di rumah?
  • Yusuf dan Maria cemas mencari Yesus karena mereka merasa kehilangan Dia. Pernahkah keluarga kita merasa kehilangan Yesus, merasa sepertinya Yesus tidak hadir dalam keluarga kita? Apakah kita bersusah payah mencari-Nya? Ke mana? Sebenarnya Yesus tidak pernah hilang karena Ia ada dalam Bait Allah, dan seperti Paulus katakan, “Kamu adalah bait Allah” (1Kor. 3:16). Paulus katakan “kamu” (jamak) bukan “engkau”, artinya kita bersama dalam persekutuan, keluarga domestik, merupakan bait Allah. Kita merasa kehilangan mungkin karena kita kurang peduli dengan Dia atau terlalu menyepelekan Dia.
  • Jika seandainya kita kehilangan anak, ke mana kita akan mencarinya? Mungkinkah kita akan menemukannya di gereja, ataukah di tempat-tempat hiburan dan permainan? Mengapa anak-anak kita merasa lebih nyaman di diskotek atau tempat hiburan daripada di gereja?
  • Jawaban Yesus kepada Maria, “Mengapa kamu mencari Aku?” menyadarkan kita bahwa Yesus bukanlah pertama-tama milik Maria dan Yusuf, melainkan milik Allah. Pernahkah kita berpikir bahwa anak itu bukan obyek yang harus kita miliki, melainkan subyek yang dipercayakan kepada kita? Apakah kita termasuk orangtua yang terlalu mau mengontrol anak, mengatur, dan mengarahkannya sesuai dengan kemauan kita tanpa mempedulikan keinginannya? Apakah kita kurang memberi keleluasan kepada anak? Terkadang anak melangkah tidak sesuai dengan harapan kita, tetapi apa yang dilakukannya itu bisa jadi merupakan langkah untuk berada lebih dekat dengan Bapa di surga.
  • Maria dan Yusuf menunjukkan kepada kita pentingnya pembinaan iman sejak usia dini. Sejak kecil anak-anak perlu dibiasakan berdoa, beribadat, dan membaca Kitab Suci, baik itu melalui pembinaan di rumah maupun kegiatan bersama dalam komunitas. Bagaimana dengan pendidikan anak kita? Apakah kita hanya mementingkan pendidikan intelektualnya, dan kurang memperhatikan segi spiritual dan sosialnya, sehingga anak-anak kita tidak bisa dewasa secara menyeluruh dan dikasihi Tuhan dan sesama?***
KELUARGA SEBAGAI SARANA MENUJU KESUCIAN (Ef 5:21-6:4)
Perintah “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus”, berlaku bukan hanya bagi Israel, namun juga umat Kristen dewasa ini. Tempat pertama yang diharapkan membantu manusia mencapai kekudusan ialah keluarga. Relasi yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Tuhan di antara anggota keluarga merupakan jalan menuju kekudusan. Salah satu teks yang sangat membantu kita dalam hal ini ialah Ef 5:21-6:4.Ef. 5:21-6:4 berisi ajaran yang kaya sekali tentang perkawinan kristiani. Di dalamnya bisa kita temukan dasar biblis pemahaman Gerej tentang perkawinan sebagai sakramen dan hubungan cinta suami-istri yang menyerupai hubungan kasih antara Yesus Kristus dengan jemaat-Nya. Mungkin benar sebagaimana diperkirakan oleh banyakrang, Paulus mengambil pengajarannya ini dari tata relasi keluarga besar (suami, istri, anak, dan budak) yang dipakai oleh budaya-budaya sekitarnya pada abad pertama. Namun, harus kita akui bahwa Paulus telah memberi warna baru terhadap relasi itu dengan menempatkan kasih Kristus sebagai modelnya.Perikop ini terdiri dari nasihat kepada istri (5:22-24), kepada suami (5:25-32), kepada suami-istri (5:3), dan nasihat kepada anak-anak (6:1-4) tentang bagaimana mereka harus bersikap dalam membangun keluarga kristiani yang harmonis dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Nasihat ini sebenarnya dilanjutkan dengan nasihat untuk budak dan tuan (6:5-9), namun tidak kita bahas karena dewasa ini keluarga biasanya terbatas pada suami, istri, dan anak. Nasihat ini diawali dengan nasihat yang berlaku untuk semua anggota komunitas agar saling merendahkan diri (5:21) yang harus mendasari setiap relasi antarmanusia.
Nasihat kepada Setiap Orang agar Merendahkan Diri (Ef. 5:21)
“Dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus.”
Seluruh anggota komunitas diminta oleh Paulus untuk saling merendahkan diri (Yunani: hypotassomai). Secara harfiah, hypotasso berarti “menaruh di bawah”, sedangkan hypotassomai berarti “menempatkan diri di bawah” atau “tunduk”. Dari konteksnya jelas bahwa yang dimaksud di sini adalah takluk atau tunduk secara sukarela. Merendahkan diri tidak sama dengan menjadi rendah diri, melainkan rendah hati seperti yang dinasihatkan Paulus dalam Ef. 4:2, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar,” meskipun kata yang dipakai di sini bukan hypotassomai melainkan tapeinofrosune.
Kata Yunani tapeinos yang biasa diterjemahkan dengan rendah hati, dapat berarti rendah, miskin, tertindas, lembut (2Kor. 7:6; 10:1). Dalam Perjanjian Lama ada tiga kata yang sering dipakai untuk kerendahan hati yakni anaw (miskin, menderita, rendah hati, lemah lembut), kana (malu, hormat), dan hapar (malu). Ketiga kata ini mengandung makna dasar “tunduk” atau “takluk”. Orang tunduk karena ada kekuatan lain yang memaksanya, atau karena ada kuasa yang keluar dari diri orang itu sendiri (merendahkan diri), atau karena kemiskinan. Kemiskinan bisa mengakibatkan seseorang ditaklukkan oleh orang yang mampu. Jadi, makna dasar kerendahan hati ialah meletakkan diri di bawah orang lain, tunduk.
Bagi Paulus, kerendahan hati sangat penting dalam membangun relasi yang harmonis. Ia menganjurkan agar orang rendah hati seperti Yesus yang merendahkan diri-Nya menjadi manusia. Inti kerendahan hati tiada lain menganggap yang lain lebih utama daripada diri sendiri dan peduli akan kepentingan orang lain (Flp. 2:3-8).
Alasan untuk tunduk atau merendahkan diri tersirat dari kata-kata yang menyusulnya, “di dalam takut akan Kristus”. Kata “takut” di sini merupakan terjemahan kata Yunani phobos yang sepadan dengan kata Ibrani yirah atau kata kerja yare. Dalam Perjanjian Lama, makna istilah “takut akan Tuhan” berkembang dari pengertian harfiah ke pengertian sakral atau religius dan moral. Aslinya kataphobeomai berarti “takut” dalam pengertian biasa, takut terhadap TUHAN yang kudus, dahsyat, dan misterius. Namun, dalam perkembangannya, kata phobeomaibanyak dipakai dalam arti devosi religius, ungkapan kesalehan, dan penyembahan. Demikian orang kafir yang masuk agama Yahudi disebut phoboumenoi ton theon, artinya orang-orang yang takut akan Allah, yakni orang yang menyembah Allah (Kis. 13:16,26). Peralihan ini bisa dimengerti mengingat keagungan dan kekudusan Allah menimbulkan rasa kagum yang mengantar manusia kepada kerendahan hati dan selanjutnya mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah serta menyembah-Nya.
Selain itu, takut akan Tuhan juga sering dikaitkan dengan tingkah laku moral: hormat dan taat kepada hukum Tuhan yang bergandengan dengan hormat terhadap hak dan kebebasan orang lain (Kej. 20:11; Yer. 5:24-25). Pemakaiannya dalam arti ini banyak kita jumpai dalam teks-teks kebijaksanaan, misalnya “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan” (lih. Ams. 1:7,29;2:5;9:10;15:33; Ayb. 28:28; bdk. Mzm. 111:10; Yes. 11:2; 33:6).
Dalam ayat ini, kata “takut akan Tuhan” tentu tidak dipakai dalam arti harfiah, melainkan religius. Setiap anggota komunitas diminta saling merendahkan diri, melihat kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingannya sendiri, terdorong oleh rasa hormat, kagum, dan cinta kepada Kristus. Cinta yang mengantarnya kepada kesatuan dengan Kristus membuatnya melihat saudara-saudarinya sebagai bagian dari tubuh Kristus (4:25; 5:30). Dia menghayati apa yang pernah Yesus katakan, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).
Nasihat dalam ayat 21 ini dipakai untuk membantu dan mendasari pemahaman kita tentang tata relasi yang disebutkari dalam 5:22-6:4.
Nasihat untuk Istri agar Tunduk kepada Suami (Ef. 5:22-24)
Paulus menunjukkan apa yang harus dilakukan istri (ayat 22a) dan bagaimana melakukannya (ayat 22a-24). Dalam teks aslinya (Yunani), ayat 22 tidak mempunyai kata kerja. Namun, dari konteksnya orang tahu bahwa kata kerja yang diharapkan di sini ialah hypotassein artinya tunduk (bdk. ayat 21), karena ayat 24 berbunyi, “Sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus.” Jadi yang harus dilakukan oleh istri ialah tunduk kepada suami, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu…” (ayat 22a).
Bagaimana istri harus tunduk kepada suaminya disebutkan dalam kalimat yang menyusulnya, “Seperti kepada Tuhan” (ayat 22b), artinya “Sebagaimana mereka tunduk kepada Tuhan.” Cara istri tunduk kepada suami harus analog atau serupa dengan cara dia tunduk kepada Kristus, yakni secara tulus. Selain itu, tunduknya istri kepada suami haruslah merupakan ungkapan tunduknya dia kepada Kristus.
Alasan mengapa istri tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan dijelaskan dalam ayat 23-24. Pertama-tama dikatakan “karena suami adalah kepala istri”. Metafor “kepala” dimaksudkan untuk menempatkan suami di atas istri. Dalam tata hubungan keluarga besar zaman Paulus, posisi suami sebagai kepala dianggap sebagai hukum kodrat. Budaya yang lebih luas pada masa itu pun mengandaikan istri harus tunduk kepada suami. Misalnya, Aristoteles mengatakan, “Hukum keluarga besar adalah monarki, karena setiap rumah ada di bawah satu kepala” (Pol. 1.1255b; 1254ab). Dionisius dari Halicarnassus memuji relasi keluarga besar Romawi karena menekankan ketaatan istri, anak, dan budak (Ant. Rom. 2.24.3-2.27.4). Karena posisi suami di atas istri dalam tata hubungan di keluarga besar, maka Paulus menasihati para istri untuk menempatkan diri mereka di bawah suami mereka. Bagaimana suami menjadi kepala tidak dijelaskan. Namun, yang jelas kita tidak bisa mempersempit makna “kepala” di sini ke “mempunyai otoritas atas” sebagaimana nanti jelas dalam ayat 28-31.
Tata urutan suami di atas istri diambil Paulus dari kisah penciptaan (Kej. 2) yang menyatakan bahwa laki-laki diciptakan pertama, lalu perempuan dari rusuknya (1Kor. 11:3,8-9; 1Tim. 2:12-13). Paulus tidak melihat tata urutan ini bertentangan dengan kisah penciptaan dalam Kej. 1:27 yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah, sama-sama luhur, sederajat.
Yang mengejutkan ialah pernyataan Paulus, “Seperti Kristus adalah kepala jemaat” (bdk. Ef. 4:15). Bagaimana sesuatu yang transenden (hubungan Kristus dan jemaat) bisa dibandingkan dengan sesuatu yang manusiawi (relasi suami-istri)? Membandingkan sesuatu tidak sama dengan menyamakan sesuatu. Sebuah analogi atau perbandingan selalu mengandung kesamaan, tetapi sekaligus juga perbedaan. Paulus menyadarkan kita bahwa ada perbedaan di antara suami sebagai kepala istri dan Kristus sebagai kepala jemaat. Perbedaan itu terletak dalam pernyataan, “Dialah yang menyelamatkan tubuh” (ayat 23c). Peran Yesus dalam relasi-Nya dengan jemaat lebih besar daripada peran suami terhadap istri. Yesus bukan saja menjadi kepala, melainkan juga penyelamat. Meskipun ada perbedaan itu, Paulus tetap membandingkan tunduknya jemaat kepada Kristus dengan tunduknya istri kepada suami. “Tetapi sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus demikian jugalah istri (harus tunduk) kepada suami dalam segala sesuatu” (ayat 24).
Dapatkah kita menyamakan istri dengan anak dan budak yang dituntut untuk tunduk? Kata hypotassein mempunyai makna “tunduk”, “takluk”. Dalam Tit. 2:9 dan 1Ptr. 2:18 hypotassein dipakai baik untuk budak maupun untuk istri. Selain itu, 1Ptr. 3:1,5-6 memakai kata “tunduk” dan “taat” secara bergantian. Peralihan dari “tunduk” ke “taat” dalam Ef. 5-6 hanyalah gaya. Istri diminta melakukan hal yang sama seperti anak dan budak, yakni tunduk dan taat. Tunduk di sini bukanlah tunduk yang pasif karena suatu kewajiban, melainkan tunduk secara sukarela dan tulus sebagai jawaban cinta.
Istri diminta tunduk kepada suami “dalam segala hal”, bukan dalam arti mutlak tanpa kecuali, melainkan sebagai pernyataan prinsip. Buktinya, ketika Paulus berbicara tentang kewajiban suami terhadap istrinya, ia mengatakah, “Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya” (IKor. 7:4). Jika suami meminta melakukan sesuatu dan si istri tahu bahwa hal itu dosa maka ia tidak perlu menaatinya. Seperti dikatakan oleh Paus Pius XI, “Ketertundukan di sini tidak menyangkal atau mengambil kebebasan yang sepenuhnya menjadi milik perempuan karena keluhurannya sebagai pribadi manusiawi… istri juga tidak terikat untuk menaati setiap permintaan suaminya jika hal itu tidak sesuai dengan alasan yang benar atau keluhurannya sebagai istri…” (Casti connubii, 27).
Paulus memang mengambil tata hubungan suami-istri yang dianut paham tradisional, namun pendekatannya terhadap perkawinan berbeda dengan apa yang dianut masyarakat sekelilingnya. Tunduknya istri kepada Kristus dalam Gereja merupakan model untuk tunduknya istri kepada suami dalam keluarga besar. Di sinilah perbedaan etika Kristen dan etika dalam budaya pada umumnya.
Perintah kepada Suami: Kasihilah Istrimu Sebagaimana Kristus Telah Mengasihi Jemaat (Ef. 5:25-32)
Ef. 5:25-32 berbicara tentang apa yang harus dilakukan suami terhadap istrinya dan bagaimana melakukannya. Berdasarkan dua perintah dalam ayat 25 dan 28 yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh suami, perikop ini bisa kita bagi dalam dua bagian: ayat 25-27 dan ayat 28-32, yang masing-masing memberikan model yang menggambarkan bagaimana suami harus mencintai istri.
Model pertama: kasih Kristus terhadap Gereja yang diungkapkan dengan pengurbanan diri (ayat 25-27)
Yang harus dilakukan suami adalah mengasihi istrinya (ayat 25a). Bagaimana? Sebagaimana Kristus telah mengasihi, yakni memberikan diri-Nya untuk jemaat (ayat 25b). “Mengasihi” di sini bukan soal cinta yang romantis atau erotis, melainkan agape. Cinta yang romantis itu cinta yang berlandaskan keinginan yang muncul secara alami dan diungkapkan dengan keintiman hubungan suami-istri, sedangkan agape itu cinta yang lahir dari pilihan kehendak dan tidak tergantung pada layak tidaknya seseorang ataupun jawaban orang yang dicintai. Meskipun lahir dari kehendak, agape melibatkan seluruh keberadaan manusia, termasuk emosinya. Jadi, perintah “cintailah istrimu” dapat dikalimatkan dengan, “Suami-suami, pasanglah hatimu pada istrimu: hormati, hargai, dan peliharalah mereka. Bersikap mesralah terhadapnya dan carilah kebaikan-kebaikannya”.
Paulus tidak memberikan detail atau hal-hal praktis bagaimana suami harus memperlakukan istrinya, melainkan teladan yang harus ditiru dalam mengasihi: sebagaimana Kristus telah mengasihi, yakni memberikan diri-Nya untuk jemaat (ayat 25b). Seperti Yesus yang rela mati di salib, demikian hendaknya para suami rela menyerahkan hidup bagi istri mereka. Mati secara harfiah bagi istri mungkin jarang dilakukan oleh suami, namun mati bagi istri dalam pengertian mati terhadap diri sendiri dengan mengutamakan kepentingan istri bisa dilakukan setiap hari. Suami diminta menyangkal diri seperti ia meminta istri menyangkal diri mereka dengan menundukkan diri di bawah suami mereka (Ef. 5:22,24).
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sering membandingkan hubungan Tuhan dan umat-Nya (Israel atau Gereja) seperti hubungan perkawinan (Yes. 54:4-8;62:4-5; Yeh. 16; Hos. 2:16-20). Dalam hubungan ini mempelai laki-laki surgawi mengurbankan diri-Nya untuk tiga tujuan yang saling berkaitan.
Pertama, untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman (ayat 26). Menguduskan berarti memisahkan seseorang atau sesuatu dari apa yang profan danmengkualifikasi orang atau objek itu untuk Allah. Cara yang dipakai ialah melalui baptisan (“dibenamkan dalam air”, Kis. 22:16; 1Kor. 6:11; Tit. 3:5) dan “firman”, maksudnya dengan pesan injil (Ef. 1:13; Yoh. 15:3; 17:17; 1Kor. 6:11; Ibr. 10:22), pengakuan iman yang dibuat oleh para baptisan baru (Rm. 10:9-10) atau rumusan yang dipakai dalam pembaptisan. Singkatnya, Yesus mengurbankan hidup-Nya supaya melalui sabda Allah dan pembaptisan kita dapat menjadi umat yang kudus, yang pantas bagi Allah.
Kedua, untuk “menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu” (ayat 27a). Menurut kebiasaan kuno di Timur Dekat, dan kini masih dipraktikkan di beberapa tempat, upacara perkawinan dibuat dalam dua tahap. Pertama, pertunangan. Pada saat itu kontrak ditandatangani dan sejak itu laki-Iaki dan perempuan sah secara hukum sebagai suami-istri. Kedua, saat ketika mempelai perempuan dibawa ke rumah mempelai laki-laki dan diserahkan kepadanya. Sejak itu mereka mulai hidup bersama sebagai suami-istri. Setelah upacara persiapan itu barulah perayaan pokoknya dimulai.
Pada tahap kedua itu, ada upacara memandikan mempelai perempuan dengan minyak wangi agar ia bersih sebersih muhgkin dan cantik secantik mungkin (lihat Yeh. 16:8-14). Paulus membandingkan upacara mandi yang mempersiapkan mempelai wanita bersatu dengan mempelai laki-Iaki itu dengan upacara pembersihan umat Allah melalui baptis dan firman. Namun, ada yang istimewa di sini. Yang memandikan mempelai wanita bukanlah pelayannya atau keluarganya, seperti yang lazim waktu itu, melainkan mempelai laki-laki itu sendiri. Dengan perbuatannya itu, mempelai laki-laki, yakni Kristus, menempatkan dirinya di posisi yang lebih rendah (bdk. Flp. 2:6-8). Selain itu, kalau dalam 2Kor. 11:2 bapa mempelai wanita berperan menampilkan jemaat kepada Kristus, di sini Kristus sendiri menampilkan mempelai wanita kepada diri-Nya, mempelai laki-Iaki. Yesus membersihkan mempelai-Nya (jemaat), sehingga mereka bisa hadir di hadapan-Nya sebagai yang mulia, yang tidak memiliki noda atau cacat atau kerut sehingga ia menjadi kudus dan tak bercela.
Gambaran yang diberikan Paulus ini mengingatkan kita akan peristiwa Yesus membasuh kaki para murid-Nya (Yoh. 13:1-7). Dengan menampilkan kerendahan hati dan cinta Yesus, Paulus menunjukkan kepada para suami bagaimana “tunduk” (5:21) dan melayani istri.
Menurut Gereja, perayaan inti perkawinan setelah upacara persiapan di atas akan terjadi di masa yang akan datang, ketika Kristus kembali untuk menyatakan mempelai-Nya sebagai milik-Nya, dan umat-Nya akan ambil bagian dalam “pesta pernikahan Anak Domba” (Why. 9:9). Meskipun pemenuhannya terjadi di masa depan, Kristus sudah merawat mempelai-Nya dengan sakramen-sakramen dan karunia Roh (5:29). Pengurbanan Yesus di salib, yang buahnya kita terima melalui baptis, menyucikan kita, dan karunia Roh-Nya menghiasi kita dengan semarak-Nya (bdk. Yeh. 16:14).
Ketiga, “supaya jemaat kudus dan tidak bercela” (ayat 27b; bdk. 1:4). Tujuan ini mengulang tujuan pertama (menguduskan jemaat), namun di sini tekanannya ada pada kekudusan sebagai privilese jemaat. Setiap mempelai perempuan ingin tampil secantik mungkin pada hari pernikahannya. Yesus sudah mempersiapkan mempelai-Nya untuk bisa menghias dirinya dengan keindahan kekudusan, dengan tingkah laku dan sifat yang akan menjadi dandanan dan hiasannya dalam pesta perkawinan Anak Domba (lihat Why. 19:7-8). Yesus memberikan diri-Nya sebagai kurban baik untuk membersihkan kita maupun untuk memberi kita kuasa agar dapat menghidupi kekudusan.
Model kedua: mengasihi istri sama seperti tubuh sendiri (ayat 28-30)
Model kedua perihal cara suami mengasihi istri ialah “memelihara istrinya seperti memelihara tubuhnya sendiri (ayat 28a). Orang yang normal tidak akan membenci tubuhnya sendiri, melainkan mengasuhnya dan merawatnya (ayat 29). Suami-suami hendaknya sebanyak mungkin memikirkan kebaikan istrinya sebagaimana ia memikirkan kebaikan dirinya. Sesungguhnya, “Siapa yang mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri” (ayat 28b). Dalam hal ini pun suami harus meneladani Yesus, “Sama seperti Kristus terhadap jemaat” (ayat 29b). Jemaat yang dimaksud oleh Paulus di sini adalah “kita”, yakni kumpulan umat yang percaya yang membentuk satu tubuh, tubuh milik Kristus (ayat 30).
Bagaimana Yesus mengasuh dan merawat jemaat-Nya? Kata Yunani‘ektrefoi yang diterjemahkan dengan “mengasuh”, sebenarnya secara harfiah berarti “memberi makan”. Kristus memberi kita makan dengan sabda Allah dan tubuh-Nya sendiri daiam Ekaristi (Mat. 4:4; Yoh. 6:51-58). Kata Yunanithalfo mempunyai arti “memelihara”, “merawat’; “menghangatkan” Kedua kata ini mengandung makna emosional, mengungkapkan kelembutan hati dan perhatian, seperti perbuatan seorang ibu terhadap anaknya (bdk. 1Tes. 2:7). Kristus memelihara kita dengan menyediakan kebutuhan-kebutuhan kita, mendengarkan doa-doa kita, dan tetap dekat dengan kita (Mat. 28:20).
Kesatuan Suami dan Istri, Kristus dan Gereja (Ef. 5:31-32)
“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.”
Paulus mengutip Kej. 2:24, ayat yang menjelaskan asal dan arti perkawinan. Kej. 2:24 dan Ef 5:31 mengajarkan bahwa perkawinan, yang disempurnakan dalam hubungan seksual, menyatukan suami dan istri menjadi satu entitas, satu daging, satu tubuh. Meskipun mereka tetap dua pribadi yang berbeda, keduanya kini berbagi satu hidup, membentuk satu keluarga. Allah membuat mereka menjadi satu (Mrk. 10:9). Karena itu, sudah sepantasnya pula suami mencintai istri “seperti tubuhnya sendiri”.
Pernyataan bahwa suami adalah “kepala istri” (5:23) kini menjadi jelas. Kata “kepala” tidak boleh dipersempit dalam arti memiliki “otoritas atas”, seperti dalam istilah “kepala pemerintahan” misalnya. Sebaliknya, karena “kepala” dikaitkan dengan “tubuh’; maka yang ditekankan di sini adalah kesatuan keduanya dan hubungan ketersalingan mereka. Apa yang menguntungkan seseorang, akan menguntungkan yang lain. Apa yang merusak yang satu, juga akan merusak yang lain. Kepala tidak dapat bermngsi tanpa tubuh, demikian juga sebaliknya. Jadi, harus ada kerja. sama. Ikatan perkawinan juga tidak terpisahkan, karena seperti memisahkan kepala dengan tubuh yang berarti mengakhiri hidup. “Karena itu, apa yang disatukan oleh Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia” (Mat. 19:6).
“Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (ayat 32). Maksud perkataan ini, perkawinan manusia yang ditetapkan dalam kisah penciptaan kini menunjuk ke realitas yang lebih besar, yakni perkawinan Kristus dengan jemaat. Keduanya menjadi satu tubuh.
Nasihat Penutup (Ef. 5:33)
“Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah istrimu seperti dirimu sendiri dan istri hendaklah menghormati suaminya”.
Ayat ini meringkas apa yang sudah disampaikan sebelumnya. Pertama-tama Paulus menyampaikan nasihatnya kepada setiap suami (“kamu masing-masing”) bahwa mereka harus mengasihi istri mereka seperti diri mereka sendiri (ayat 33). Perintah ini menggemakan perintah Yesus untuk mencintai sesama seperti diri sendiri (Mat. 22:39; bdk. Im. 19:18). Kemudian kepada istri-istri, Paulus tidak mendesak mereka untuk “tunduk” melainkan untuk “menghormati suaminya”. Kata menghormati di sini secara harfiah sebenarnya berarti “takut”, namun takut dalam arti hormat dan mengagumi orang yang berada di atas kita (Luk. 1:50; Rm. 13:7; 1Ptr. 2:17).
Nasihat untuk Anak-anak dan Orangtua (Ef. 6:1-4)
Anak-anak dinasihati untuk menaati orangtuanya “di dalam Tuhan, karena haruslah demikian”. Menaati merupakan bentuk takluk yang mencakup baik mendengarkan pengajaran maupun mengikuti perintah. Mereka harus menaatinya “di dalam Tuhan” artinya sebagai ungkapan relasi mereka dengan Yesus. “Karena haruslah demikian” artinya karena hal itu sesuai dengan kehendak Allah, seperti tertulis dalam hukum Musa, “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel. 20:12; Ul. 5:16).
Perintah ini penting karena inilah perintah pertama yang disertai dengan janji, “Supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi”. Banyak pengalaman telah membuktikan bahwa menghormati orangtua memberikan kepada seseorang umur panjang dan kese)ahteraan. Semua janji Allah ini akan menemukan pemenuhannya dalam Yesus (2Kor. 1:20). Mereka yang menghormati orangtuanya di dalam Tuhan, tetapi ternyata mati muda atau sangat menderita dalam hidupnya, tidak dianggap bertentangan dengan hukum ini. “Umur panjang di bumi” dimengerti sebagai bentuk hidup abadi dalam Kerajaan Allah (Mat. 5:5; Rm. 4:13).
Bagaimana tanggung jawab ayah terhadap anak-anaknya? Mereka diminta untuk tidak “membangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu” (6:4a). Misalnya, mungkin dengan menerapkan otoritasnya secara kasar, kurang menyenangkan, atau mungkin terlalu menuntut si anak. Sebaliknya, mereka diminta untuk mendidik “di dalam ajaran dan nasihat Tuhan”. Inilah tanggung )awab terbesar orangtua: mendidik anak-anak sebagai murid Yesus. Mendidik di sini dipakai dalam arti seluruh proses pendidikan dan pembentukan dalam hidup. Mereka wajib mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anak mereka (Ams. 13:24;19:18) dan mengajarkan firman Tuhan kepada mereka (Ul. 6:4-9,24).
Refleksi
Sama dan tunduk
Nasihat Paulus agar istri tunduk kepada suami sepertinya tidak relevan bahkan bertentangan dengan gagasan kesetaraan yang didengung-dengungkan dewasa ini dan oleh Paulus sendiri dalam Gal. 3:28. Namun, bila disimak lebih dalam, kesamaan dan kesetaraan yang diwartakan oleh Paulus dalam Gal. 3:28 tidak bermaksud menyangkal perbedaan gender, etnis, maupun sosial, melainkan menekankan kesatuan dan kesamaan orang Yahudi dan non-Yahudi di hadapan Allah. Semuanya memperoleh pembenaran dan keanggotaan yang penuh dalam umat Allah melalui iman akan Kristus. Kesatuan dan kesamaan keluhuran kita dalam Kristus tidak menghapus perbedaan. Sebaliknya perbedaan perlu untuk saling melengkapi (1Kor. 12:12-28).
Bila kita baca teks Ef. 5:2-10:32 secara keseluruhan, tentu tidak sulit menerima perintah “tunduk” kepada suami, karena konteksnya suami mengasihi istri. Selain itu, suami juga harus merendahkan diri dan melayani istri, bukan bersikap main kuasa. Apalagi dalam ayat 21 dianjurkan agar setiap orang saling merendahkan diri. Tapi bagaimana kita bisa menghubungkan kesamaan dan tunduk?
Gagasan kesamaan dan tunduk perlu dilihat dalam terang relasi yang terdapat dalam pribadi-pribadi Allah Tritunggal, khususnya antara Bapa (Allah) dan Putra (Kristus). Dalam 1Kor. 11:3, Paulus menggambarkan hubungan perempuan dan laki-Iaki seperti hubungan Kristus dan Allah, “Kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah”. Gambaran kepala di sini jelas menunjukkan tunduknya Kristus pada Allah, seperti nyata pula dalam 1Kor. 15:28, “Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia”. Tunduknya Kristus pada Allah hanyalah untuk menunjukkan perbedaan peranan yang terdapat dalam Allah Tritunggal dan perbedaan relasi di antara mereka, sedangkan masing-masing pribadi itu memiliki kodrat yang sama. Perbedaan, bahkan takluk-Nya Putra kepada Bapa, sama sekali tidak meniadakan kesamaan fundamental mereka. Oleh karena itu, persekutuan Allah Tritunggal patut menjadi model persekutuan semua anggota Gereja, khususnya persekutuan antara suami dan istri dalam perkawinan. Suami dan istri tetap sama dan sederajat, meskipun suami adalah kepala istri.
Perbedaan istri dan suami
Paulus meminta istri untuk tunduk (ayat 21) dan hormat (ayat 33) kepada suami, sedangkan para suami diminta untuk mengasuh (memberi makan) dan merawat istri (ayat 29). Mengapa ada perbedaan seperti itu, apakah tidak cukup bahwa relasi mereka dibangun atas dasar saling merendahkan diri? Perbedaan ini mungkin merefleksikan perbedaan kebutuhan laki-Iaki dan perempuan. Laki-laki lebih membutuhkan hormat, sedangkan perempuan lebih membutuhkan perhatian dan kehangatan. Suami merasa nyaman dan bahagia ketika istrinya menunjukkan rasa hormat kepadanya, percaya dan mengandalkan dia. Sebaliknya istri merasa bahagia ketika suaminya menempatkan kebutuhannya sendiri sesudah kebutuhan istrinya. Apakah memang demikian?
Kewajiban dan bukan hak
Ketika membahas hubungan suami-istri, Paulus hanya menunjukkan tanggung jawab masing-masing pihak dan bukan hak-hak mereka. Hal ini tidak berarti bahwa ia tidak peduli dengan hak masing-masing pasangan. Yang mau dia tekankan ialah agar masing-masing pihak melakukan tanggung jawabnya masing-masing tanpa syarat. Dia tidak meminta suami mencintai istrinya jika si istri menghormati dan tunduk kepadanya. Ia juga tidak menyuruh istri-istri untuk tunduk kepada suami mereka jika suami mereka mengasihi dan mengurbankan dirinya untuk mereka. Bagaimana dengan relasi dalam keluarga kita? Apakah masing-masing pihak lebih memikirkan kewajiban orang lain daripada tanggung jawabnya sendiri? Menuntut orang lain berubah, dan bukan dirinya sendiri?
Kuasa dan kerendahan hati
Dalam keluarga perlu ada tata susunan relasi. Ada yang menjadi kepala dan ada yang menjadi tubuh. Tidak bisa semuanya menjadi kepala. Namun, meskipun ada perbedaan itu, pusat perhatian masing-masing anggota keluarga, khususnya suami, bukanlah menunjukkan otoritasnya, melainkan merendahkan diri, melihat kepentingan orang lain lebih dari kepentingannya sendiri.
Kewajiban orangtua mendidik anak
Perubahan-perubahan nilai dalam budaya modern cenderung mendorong anak kurang menghargai dan menghormati orangtuanya. Selain itu, tanggung jawab orangtua untuk mendidik anak di dalam Tuhan juga menjadi tugas yang sulit dijalankan, padahal itu sangat vital. Ketika dunia dan media massa menawarkan nilai-nilai yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai kristiani, orangtua diharapkan mampu memberi pengarahan agar anak tidak bingung dalam memilih jalannya. Adanya sekolah Katolik dan katekese di paroki tidak menggantikan peran orangtua sebagai yang pertama mendidik anak-anaknya dalam hal keagamaan.
Banyak orangtua telah menyadari tanggung jawab mereka memperkenalkan liturgi, sakramen, katekismus, dan rosario kepada anak-anaknya, tetapi mengapa begitu sedikit yang sudah memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anaknya? Orangtua dapat belajar berbicara tentang firman Tuhan dengan anak-anak mereka dan membangun keluarga yang mempunyai kebiasaan mengakui pentingnya dan kudusnya Kitab Suci, misalnya dengan membiasakan diri membuat ibadat keluarga memakai buku yang sudah diterbitkan oleh LBI. Orangtua dapat memakai kesempatan-kesempatan atau perayaan-perayaan khusus, seperti Natal, Paskah, dan Pentakosta untuk menerangkan iman Katolik dari Kitab Suci.***
BIBLIOGRAFI
  • Barclay, William, The Daily Bible Study: The Gospel of Luke, terj. A.A. Yewangoe, Jakarta, Gunung Mulia 1996.
  • Best, Ernest, A Critical and Exegetical Commentary on Ephesians, T&T Clark, London 1998.
  • Fretheim, T.E., The Book of Genesis: Introduction, Commentary, and Reflections, NIB I (1994), 320-674.
  • Leks, Stefan, Tafsir Injil Lukas, Kanisius, Yogyakarta 2002.
  • Pareira, B.A., Abraham: Imigran Tuhan dan Bapa Bangsa-bangsa, Dioma, Malang 2004.
  • Riyadi, St. Eko, Lukas, “Sungguh, Orang Ini adalah Orang Benar!”, Kanisius, Yogyakarta, 2011.
  • Scnackenburg, Rudolf, The Epistle to the Ephesians, T&T Clark, Edinburgh 1991.
  • Sembiring, M.K., Injil Lukas, Diadaptasi dari A Handbook on the Gospel of Luke karya J. Reiling dan J.L. Swellengrebel, dan A Translator’s Guide to the Gospel of Luke karya Robert Bratcher, Lembaga Alkitab Indonesia dan Yayasan Kartidaya, Jakarta 2005.
  • Ska, J.L., The Abraham Cycle: Synchronic and Diachronic Analysis, PIB, Rome 1996.
  • Stuhlmueller, Carroll, New Testament Reading Guide, The Gospel of St. Luke, terj. LBI, Kanisius, Yogyakarta 1981.
  • Talbert, Charles H., Ephesians and Colossians, Baker Academic, Grand Rapids 2007.
  • Wenham, G.J., Genesis 1-15, WBC 1, Word Books Publisher, Waco 1987.
  • Westermann, C, Genesis 12-36, SPCK, London 1985.
  • Williamson, P.S., Ephesians, Baker Academic, Grand Rapids 2009.
Bahan Pendalaman BKSN 2013 bagi Orang Muda Katolik (OMK) dapat diunduh di sini.