Senin, 18 Maret 2013

Sampul Koinonia Volume 8 nomor 2



Surat dari Meja Uskup Agung: Sekitar Syahadat Apostolik dan Syahadat Nisea-Konstantinopel



Fokus Tahun Iman : Syahadat Iman
           Tahun Iman, yang berlangsung dari 11 Oktober 2012 sampai 24 November 2013, kini sudah berjalan sekitar liman bulan. Sebagaimana kita semua sudah tahu, Tahun Iman ini dimaklumkan Bapa Suci Benediktus XVI lewat Surat Apostolik ‘Porta Fidei’ (‘Pintu Iman’). Ini diadakan dalam rangka memperingati dua peristiwa bersejarah bagi Gereja, yaitu: Ulang Tahun ke-50 pembukaan Konsili Vatikan II (1962) dan ulang tahun ke-20 dikeluarkannya Katekismus Gereja Katolik yang baru (1992). Dewan Kepausan untuk Pengembangan Evangelisasi Baru ditunjuk menjadi Sekretariat Pelaksana Tahun Iman. Ketua Dewan Kepausan tersebut mengeluarkan surat edaran, di mana disampaikan bahwa Tahun Iman akan berfokus pada Pengakuan Iman. Ini dimaksudkan untuk mengembalikan Syahadat Iman pada tempatnya yang istimewa sebagai doa harian setiap orang Katolik.

Sesuai dengan kebutuhan aneka ragam zaman muncullah dalam peredaran zaman banyak pengakuan atau simbola atau syahadat iman. Simbola beberapa Gereja apostolik tua, “Guicumque” yang disebut simbolon Atanasian, pengakuan iman dari konsili dan sinode tertentu atau Paus tertentu, umpamanya “Fides Damasi” dan “Credo Umat Allah” dari Paus Paulus VI, 1968. Dua pengakuan iman mendapat tempat yang sangat khusus dalam kehidupan Gereja (Katolik): Syahadat Para Rasul (Apostolik) dan Syahadat Nisea-Konstantinopel. Kedua Syahadat ini kiranya dihafal baik oleh kebanyakan umat Katolik, karena selalu diucapkan atau dinyanyikan dalam setiap Misa pada Hari Minggu atau Hari Raya yang disamakan dengan Hari Minggu. Pertanyaannya, apakah semua memahami isinya, sehingga membawa efek dalam kehidupan nyata? Untuk membantu umat lebih memahami kedua Syahadat tersebut, di bawah ini disajikan penjelasan ala kadarnya.


Latar Belakang Sejarah
Siapa yang berkata: “Aku percaya (Credo)”, menegaskan: “Saya setuju dengan apa, yang kita percaya”. Persekutuan dalam iman membutuhkan bahasa iman yang sama, yang mengikat semua dan yang mempersatukan dalam pengakuan iman yang sama. Rumusan iman bersama inilah yang disebut “pengakuan iman”, atau “simbola iman”, atau “syahadat”.

Sejak awal, Gereja rasuli sudah mengungkapkan dan meneruskan imannya dalam rumus-rumus yang singkat dan baku untuk semua (bdk. Rom. 10:9; 1 Kor. 15:3-5). Tetapi dengan segera Gereja juga hendak memasukkan intisari imannya dalam ringkasan yang organis dan tersusun, yang dimaksudkan terutama untuk calon Baptis. Sebagaimana ditulis Sirilus dari Yerusalem (315-386 AD): “Bukan kesewenang-wenangan manusiawi telah menyusun ringkasan iman ini, melainkan ajaran-ajaran terpenting dari seluruh Kitab Suci dihimpun di dalamnya, menjadi ajaran iman yang satu-satunya. Bagaikan biji sesawi membawa banyak cabang dalam sebuah biji kecil, demikianlah ringkasan iman ini mencakup dalam kata-kata yang sedikit semua pengetahuan dari Perjanjian Lama dan Baru”.

Sesuai dengan tradisi lama yang sudah disaksikan oleh Sto. Ambrosius (340-397 AD), orang biasanya menghitung dua belas artikel atau pasal Credo, supaya jumlah para Rasul itu melambangkan seluruh iman rasuli. Di samping berbagai simbola iman, dua pengakuan iman mendapat tempat yang sangat khusus dalam kehidupan Gereja, yaitu Syahadat Para Rasul dan Syahadat Nisea-Konstantinopel. Syahadat Para Rasul dinamakan demikian, karena dengan alasan kuat ia dipandang sebagai rangkuman setia dari iman para Rasul. Itulah pengakuan Pembaptisan lama dalam Gereja Roma. Karena itu Syahadat ini mempunyai otoritas tinggi. Sebagaimana ditegaskan Sto. Ambrosius: “Itulah simbolum yang dijaga Gereja Roma, di mana Petrus, yang pertama di antara para Rasul, mempunyai takhtanya dan ke mana ia membawa ajaran iman para Rasul itu”.

Memperhatikan sepintas lalu Syahadat Para Rasul itu, satu-dua ciri segera tampak: rumusannya lebih singkat, bahasa sederhana, konkret, dan mudah diikuti, lebih dekat dengan bahasa Kitab Suci. Perlu diketahui bahwa alam pikiran Kitab Suci seluruhnya adalah alam pikiran Semit, yang berbeda dengan alam pikiran Yunani. Pandangan Semit sesungguhnya bersifat dinamis, konkret dan fungsionil. Dalam alam pikiran ini, berbicara mengenai Allah tidak pertama-tama ditanyakan, apa Allah itu (zat-Nya, hakekat-Nya), melainkan apa yang secara konkret dikerjakan-Nya. Tetapi setelah Gereja berkembang di dunia helenis (Yunani-Romawi), berlangsunglah proses peralihan dari alam pikiran Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani (abstrak-esensialistis). Segi, yang kurang mendapat perhatian dalam alam pikiran Semit, menimbulkan persoalan yang rumit di lingkungan alam pikiran Yunani. Perdebatan pokok berpusat pada zat keallahan Putera dan Roh Kudus. Berbagai macam bidaah (kesesatan) bermunculan. Ada yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah Allah sejati (Arianisme, Adopsianisme); ada pula yang menyangkal bahwa Yesus Kristus adalah manusia sejati (Doketisme, Apolinarisme, Monofisitisme); dan ketiga ada yang menyangkal kesatuan pribadi Kristus, bahwa dalam Kristus terdapat dua pribadi: Allah Putera dan Manusia Yesus (Nestorianisme). Di tengah segala macam silang pendapat seperti itu, Gereja harus menjaga ortodoksi ajaran iman berdasarkan ajaran para Rasul (Kitab Suci).

Sesudah perdebatan hangat yang berlangsung lama, maka berturut-turut ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi bahwa: Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah, lahir dari ‘hakekat’ (ousia, substantia) Bapa … Allah sejati (AlĂ©thinos) … sehakekat (homo-ousios) dengan Bapa (Konsili Nisea, tahun 325 AD, DS 125). Roh Kudus, Tuhan yang menghidupkan, terbit dari Bapa, dan sama-sama disembah serta dimuliakan dengan Bapa dan Putera (Konsili Konstantinopel I, tahun 381 AD, DS 150). Sungguh dan benar-benar berasal dari Bapa, seperti Putera berasal daripada-Nya, yaitu dari hakekat (substantia) ilahi, dan (Roh Kudus) itu sungguh-sungguh Allah (Konsili Roma, tahun 382, Tomas Damasi, DS 168). Akhirnya semua dikumpulkan dalam rumus ini: Hanya ada satu Allah … Bapa dan Putera dan Roh Kudus, tiga diri (personae, hyposthaseis), tetapi satu hakekat (essentia), wujud (substantia) atau kodrat (natura) yang tunggal sama sekali. Bapa … Putera … dan Roh Kudus … sehakekat (consubstantiales, homoousioi) dan sama (coaequales) … . Tritunggal yang Kudus ini adalah tunggal (individua) menurut hakekat-Nya bersama (communa essentia), tetapi berbeda (discreta) menurut sifat-sifat pribadi (personales proprietates) (Konsili Lateran IV, tahun 1215 AD, DS 800). Rumus teologisnya yang sangat padat: “satu kodrat (natura) dan tiga diri (personae) ilahi”.

Peralihan dari alam pikiran Semit (fungsionil) ke alam pikiran Yunani (abstrak-esensialistis) tentu mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya ialah bahwa pokok-pokok iman dirumuskan secara lebih tepat dan secara logis lebih jelas. Kelemahannya, perkembangan refleksi imani (teologis) selanjutnya menjadi sempit dan berat sebelah. Lama-kelamaan titik tolak refleksi teologis bukan lagi Kitab Suci, melainkan dogma-dogma yang telah ditetapkan oleh kewibawaan gerejawi. Misalnya, gagasan Allah trinitaris dalam Kitab Suci, yang tampil dalam rangka karya penyelamatan (seringkali disebut ‘Trinitas ekonomis’), bergeser dan berpusat pada ‘Trinitas imanen’, dalam diri Allah sendiri (statis). Akibatnya seluruh permenungan teologis menjadi abstrak, seperti tentang Allah yang esa (De Deo Uno),  tentang Allah Trinitas (De Deo Trinatate). Berbeda dengan gagasan triniter biblis yang bersifat menurun dinamis fungsional: Allah, Bapa mengutus Putera-Nya yang Tunggal dalam Roh Kudus untuk menyelamatkan manusia. Struktur menurun-dinamis-fungsionil ini masih jelas terlihat dalam Syahadat Nisea-Konstantinopel. Memang Konsili Nisea (325 AD) berpusat pada tema ‘Kristus’, dan karena itu sering disebut Konsili Kristologis (lih. psl. 2 Syahadat Nisea-Konstantinopel). Sedangkan Konsili Konstantinopel I (381 AD) berpusat pada Roh Kudus, dan karenanya kerap dinamakan Konsili ‘Roh Kudus’ (lih. psl. 8).

Struktur
Baik Syahadat Para Rasul maupun Syahadat Nisea-Konstantinopel mempunyai susunan yang sama. Bagian terbesar keduanya mengenai Allah Tritunggal (psl 1-8): Pasal 1 mengenai Allah Bapa; pasal 2-7 mengenai Putera; dan pasal 8 mengenai Roh Kudus. Jadi setengah dari keseluruhan 12 pasal Syahadat mengenai Pribadi Kedua dalam Tritunggal Maha Kudus, Yesus Kristus. Keempat pasal terakhir mengenai efek atau hasil dari karya penyelamatan Allah atas manusia: lahirnya Gereja, persekutuan iman (psl 9), pengampunan dosa (psl 10), kebangkitan badan (psl 11), dan kehidupan abadi (psl 12). Dibandingkan dengan Syahadat Para Rasul, Syahadat Nisea-Konstantinopel lebih panjang dan lebih rinci.


Penjelasan Singkat tentang Isi
Baik Syahadat Para Rasul maupun Syahadat Nisea-Konstantinopel pada dasarnya mempunyai isi yang sama. Hanya saja Syahadat Nisea-Konstantinopel lebih rinci, dan karenanya juga lebih panjang:

Allah yang Esa
Pengakuan iman kita mulai dengan Allah: “Aku percaya akan Allah”. Mengapa? Karena Allah adalah ‘Yang Pertama’, dan ‘Ăťang Terakhir’ (Yes. 44:6), Awal dan Akhir segala sesuatu. Sesungguhnya seluruh pengakuan iman berbicara tentang Allah, dan kalaupun ia berbicara juga tentang manusia dan dunia, maka itu dilakukan dalam hubungan dengan Allah. Pasal-pasal Credo semuanya bergantung dari yang pertama, sama seperti perintah-perintah Dekalog selanjutnya mengembangkan perintah yang pertama. Pasal-pasal berikutnya membuat kita mengenal Allah lebih baik, seperti Ia mewahyukan Diri kepada manusia, langkah demi langkah.

Keesaan Allah dalam Perjanjian Baru sama sekali tidak dipersoalkan. Tanpa diganggu-gugat diambil alih dari Perjanjian Lama dan agama Yahudi. Ketika Yesus ditanya oleh seorang ahli Taurat, Ia menjawab dengan mengutip pengakuan iman Israel (Ul. 6:4): “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa…” (Mrk. 12:29). Dalam lingkungan Yahudi pokok itu malah tak perlu disebut lagi. Maka itu dalam pengajaran/pewartaan kepada orang-orang Yahudi tidaklah muncul (Kis. 2-12). Baru dalam lingkungan kaum kafir, di mana hidup paham politeisme, keesaan Allah itu dimasukkan ke dalam pengakuan iman yang mutlak harus diterima untuk masuk Kristen (bdk. 1 Tes. 1:9; 1 Kor. 8:4-6; Gal. 3:20; Rom. 3:30; 16:27; 1 Tim. 1:17; 2:5; Ef. 4:6; Yud. 25; Kis. 26:18-20; 20:21; 17:24-29). Keyakinan tentang keesaan Allah ini termasuk ‘permulaan iman Kristen’ (Ibr. 6:1;11:6). Demikianlah, maka Syahadat Nisea-Konstantinopel berbunyi: “Aku percaya akan satu Allah”. (Tentang misteri Allah Tritunggal, lih. mis. KOINONIA, vol. 6, no. 3, Juni-Agustus 2011:2-6).

Bapa
Orang dibaptis menjadi Kristen atas “nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (Mat. 28:19). Sebelumnya mereka menjawab pertanyaan tiga ganda, apakah mereka percaya akan Bapa, Putera dan Roh Kudus dengan: “Aku percaya”. Sebagaimana ditegaskan Sesarius dari Arles, “Inti iman semua orang Kristen adalah Allah Tritunggal”. Orang Kristen dibaptis atas “nama” (tunggal) dan bukan atas “nama-nama” (jamak) Bapa, Putera dan Roh Kudus, karena hanya ada satu Allah, Bapa yang mahakuasa dan Putera-Nya yang tunggal dan Roh Kudus: Tritunggal Mahakudus.

Kalau bahasa iman menamakan Allah itu ‘Bapa’, ia menunjukkan terutama kepada dua aspek: (a) bahwa Allah adalah awal mula segala sesuatu (Pencipta) dan otoritas yang mulia (Maha kuasa) dan (b) sekaligus kebaikan dan kepedulian yang penuh kasih akan semua anak-Nya. Kebaikan Allah sebagai orang tua ini dapat dinyatakan juga dalam gambar keibuan (bdk. Yes. 66:13; Mzm. 131:2), yang lebih menekankan imanensi Allah, hubungan mesra antara Allah dan ciptaan-Nya. Dengan demikian bahasa iman menimba dari pengalaman manusia dengan orang tuanya, yang baginya boleh dikatakan wakil-wakil Allah yang pertama. Tetapi sebagaimana pengalaman menunjukkan, orang tua manusiawi itu dapat juga membuat kesalahan dan dengan demikian menodai citra kebapaan dan keibuan. Karena itu perlu diperingatkan bahwa Allah melampaui perbedaan jenis kelamin pada manusia. Ia bukan pria, bukan juga wanita. Ia adalah Allah. Ia juga melebihi kebapaan dan keibuan manusiawi (bdk. Mzm. 27:10), walaupun Ia adalah awal dan ukurannya (bdk. Ef. 3:14; Yes. 49:15). Tidak ada seorang bapa seperti Allah.

Syahadat Nisea-Konstantinopel lebih memerinci apa saja yang diciptakan oleh Allah. Di samping ”langit dan bumi “ ditambahkan “dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan”.      

Putera
Yesus mewahyukan bahwa Allah merupakan ‘Bapa’ dalam arti tak terduga: tidak hanya sebagai pencipta, tetapi dari segala abad. Bapa bagi Putera-Nya yang tunggal, yang hanyalah putera dalam hubungan dengan bapa-Nya. “Tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang-orang kepada siapa Anak itu memperkenalkan Bapa” (Mat. 11:27). Karena itu, para Rasul mengakui Yesus sebagai Sabda: yang pada mulanya bersama dengan Allah dan adalah Allah (bdk. Yoh. 1:1), sebagai “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15), sebagai “yang memancarkan keagungan Allah yang gilang-gemilang” dan sebagai “gambar yang nyata dari Diri Allah sendiri” (Ibr. 1:3).

Pengakuan para Rasul itu dipelihara oleh tradisi apostolik dan sebagai akibatnya Konsili Nisea (325 AD) mengakui bahwa Putera adalah “sehakekat (homousios, consubstantialis) dengan Bapa”; artinya satu Allah yang Esa bersama dengan Bapa. Selanjutnya, Konsili Konstantinopel (381 AD) mempertahankan ungkapan ini dalam rumusannya mengenai iman Nisea dan mengakui Putera Allah yang tunggal sebagai yang “dilahirkan dari Bapa sebelum segala abad: Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar; dilahirkan, bukan dijadikan, sehakikat dengan Bapa”. Selanjutnya, “Ia turun dari surga untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”. Rumus pengakuan iman ini menegaskan dengan kata-kata lain apa yang tertulis dalam Kitab Suci: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:16-17). Sedemikian itu, pasal dan Syahadat Nisea-Konstantinopel ini menegaskan kepercayaan pada dua aspek mendasar pada Kristus, yang selanjutnya, menjadi dasar pengembangan dua ‘cabang’ teologi tentang Kristus, yaitu ‘Kristologi’ dan ‘Soteriologi’. Yang pertama menguraikan tentang diri Kristus sendiri, hakekat-Nya, susunan metafisi-Nya dan struktur psikhis-Nya. Yang kedua mengutarakan mengenai karya-Nya (untuk keselamatan manusia).

Psl 3 Syahadat Nisea-Konstantinopel menambahkan pada rumus Syahadat Para Rasul “dan menjadi manusia”, sehingga berbunyi: “Ia dikandung dari Roh Kudus, dilahirkan oleh Perawan Maria dan menjadi manusia”. Tambahan tersebut teramat penting untuk menegaskan bahwa, Kristus yang ‘sehakikat dengan Bapa’ (psl 2), sekaligus adalah sungguh manusia: “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). “Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr. 4:15). Maka, berdasarkan Kitab Suci, ditetapkanlah dogma tentang Kristus, sebagai ‘satu pribadi’ (hypostasis) dengan dua kodrat (ousia: kodrat keallahan dan kodrat manusia). Kiranya bermanfaat di sini mengutip hasil penemuan studi resen nan mendalam Karen Armstrong, sebagai berikut: “Doktrin Inkarnasi dapat dipandang sebagai usaha … untuk menetralkan bahaya keberhalaan. Begitu ‘Tuhan’ dilihat sebagai  realitas yang sama sekali lain ‘di luar sana’, dia dengan mudah akan menjadi sekedar berhala dan proyeksi, yang membuat manusia mengeksternalisasi dan menyembah praduga dan hasrat mereka sendiri. Tradisi-tradisi keagamaan yang lain telah berupaya mencegah hal ini dengan menekankan bahwa Yang Mutlak itu bagaimanapun terjalin dengan kondisi manusia … Arius – kemudian Nestorius dan Eutyches- kesemuanya ingin membuat Yesus entah manusia atau ilahi. Benar, jalan ke luar yang mereka tempuh lebih bersifat rasional, namun dogma … tidak mesti terbatas pada apa-apa yang bisa diungkapkan sepenuhnya, (melainkan) seperti puisi dan musik. Doktrin Inkarnasi merupakan upaya yang mengartikulasikan pandangan universal bahwa ‘Tuhan’ dan manusia haruslah tak terpisah. Di Barat, di mana Inkarnasi tidak diformulasikan dengan cara ini, terdapat kecenderungan untuk memandang Tuhan tetap bersifat eksternal terhadap manusia dan sebagai realitas alternatif  bagi dunia yang kita kenal. Akibatnya, sangat mudah untuk menjadikan ‘Tuhan ini sekedar sebagai proyeksi …”. (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4.000 Tahun, Cetakan XII, diterjemahkan oleh Zainul Am, (Penerbit Mizan-Khazanah Ilmu-Ilmu Islam, Bandung, 2007): 184-185).

Psl 4-6 merumuskan pengakuan iman akan misteri Paskah Kristus: sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya: Sedangkan psl 7, pasal yang terakhir mengenai Kristus (Putera), menunjuk pada zaman eskatologis: pemenuhan karya penyelamatan oleh Kristus pada akhir zaman.

Roh Kudus
Psl 8 dari kedua Syahadat berbicara mengenai Pribadi ke-3 dalam Tritunggal Mahakudus: Roh Kudus. Sebelum Paskah-Nya, Yesus menjanjikan seorang ‘Penghibur (paraklet) yang lain’: Roh Kudus. Ia sudah bekerja waktu penciptaan (bdk. Kej. 1:2) dan telah “bersabda dengan perantaraan para nabi”. Ia akan bersama murid-murid-Nya dan dalam mereka (bdk. Yoh. 14:17), mengajar mereka (bdk. Yoh. 14:26) dan “membimbing mereka supaya mengenal seluruh kebenaran” (Yoh. 16:13). Dengan demikian Roh Kudus diwahyukan bersama Yesus dan Bapa sebagai satu Pribadi ilahi yang lain. Asal Roh yang abadi menyata dalam perutusan-Nya di dalam nama Putera dan oleh Putera sendiri, setelah Ia kembali kepada Bapa-Nya (bdk. Yoh. 14:26; 15:26; 16:14). Perutusan Pribadi Roh sesudah pemuliaan Yesus (bdk. Yoh. 7:39) menyatakan misteri Tritunggal dalam pemenuhannya.

Gereja
Ke-4 pasal terakhir dari kedua Syahadat (psl 9-12) bicara mengenai pengakuan iman akan karya penyelamatan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus (Tritunggal). Di sini secara khusus diperhatikan segi manusiawinya, yaitu bagaimana karya penyelamatan itu terlaksana dalam diri kita. Misteri Gereja berhubungan langsung dengan misteri Allah sendiri, khususnya dengan pengutusan Roh Kudus. Yang paling penting dalam Syahadat itu Gereja tidak disebut tersendiri, melainkan dalam hubungan langsung dengan Roh Kudus. Memang di kemudian hari ada yang merasa perlu dengan tajam membedakan iman akan ketiga ‘Pribadi’ ilahi dan kepercayaan akan Gereja. Bagaimanapun juga, rumusan asli tetap dipertahankan sebab Gereja hanya mempunyai arti kalau dilihat sebagai karya Roh. Tanpa Roh, Gereja hanyalah organisasi manusiawi biasa. Yang membuat kumpulan ini menjadi ‘Gereja’  adalah kegiatan Roh di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan, “Aku percaya akan Gereja” (psl 9) (NB: Kata ‘Gereja’ yang berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata tersebut adalah ejaan Portugis untuk kata Latin ecclesia, yang ternyata berasal dari bahasa Yunani, ekklesia. Kata Yunani itu sebetulnya berarti ‘kumpulan’ atau ‘pertemuan’, ‘rapat’. Tetapi lama-kelamaan mendapat arti sangat khusus. Kata Yunani itu berasal dari kata kerja ekkalein, yang berarti ‘memanggil’. Jadi Gereja berarti ‘umat yang dipanggil Tuhan’).

Syahadat singkat (Syahadat Para Rasul) kecuali menyebut dua sifat/ciri Gereja, katolik dan kudus, juga menyebut Gereja sebagai ‘persekutuan para kudus’. ‘Persekutuan para kudus’, communio sanctorum, dapat berarti communio para kudus, dapat pula berarti ‘partisipasi dalam hal-hal yang kudus’. Partisipasi bersama dalam harta keselamatan (yang disebut ‘hal-hal yang kudus’), terutama dalam Ekaristi (lih. 1 Kor. 10:16), merupakan akar persekutuan antara orang beriman (yaitu ‘para kudus’ menurut istilah yang lazim dalam Kitab Suci), yang juga dinyatakan dalam perhatian untuk saudara dalam iman (lih. Rom. 15:26; 2 Kor. 8:4; Ibr. 13:16), ‘persekutuan dengan Yesus Kristus’ (1 Kor. 1:9; lih. 1 Yoh. 1:3), ‘persekutuan Roh’ (Flp. 2:1; lih. 2 Kor. 13:13). Komunikasi iman mengakibatkan suatu persekutuan rohani antara orang beriman sebagai anggota satu Tubuh Kristus dan membuat mereka menjadi sehati-sejiwa (lih. 1 Yoh. 1:7). Dengan demikian, ‘persekutuan para kudus’ dapat berarti Gereja dari segala zaman. Selanjutnya, secara lebih khusus lagi dibedakan antara Gereja yang berjuang di dunia ini, Gereja yang menderita dalam api pencucian, dan akhirnya Gereja yang mulia dalam kemuliaan surgawi (misteri ini secara khusus dirayakan oleh Gereja setiap tanggal 1 dan 2 November). Dengan ‘persekutuan para kudus’ dari semula mau ditegaskan bahwa kesatuan atau persekutuan di dalam Gereja bukanlah sesuatu yang lahiriah atau sosial saja.

Menyangkut sifat atau ciri Gereja, kecuali sifat/ciri katolik  dan kudus yang sudah disebut dalam Syahadat singkat, Syahadat panjang (Nisea-Konstantinopel) menambahkan lagi dua, yaitu satu dan apostolik.
Gereja yang satu: Dalam Perjanjian Baru sudah jelas terungkap gagasan, bahwa “dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik budak mapun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh” (1 Kor. 12:13). “Semua adalah satu dalam Yesus Kristus” (Gal. 3:28). Bapa-Bapa Gereja juga sering berbicara mengenai kesatuan Gereja, yang berakar dalam kesatuan Allah Tritunggal sendiri. Lumen Gentium mengutip Sto. Siprianus, “Gereja tampak sebagai umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus” (LG,4). Kesatuan malah dilihat sebagai sifat Gereja yang paling penting, karena mewujudkan cinta persaudaraan. Karena itu, kesatuan juga menjadi tanda Gereja yang benar, yang tidak terdapat pada sekte-sekte yang memisahkan diri dari Gereja yang satu itu. Khususnya sesudah tahun 381, kesatuan pun dilihat sebagai ciri pengenal Gereja. Aneka segi kesatuan ditonjolkan oleh para Bapa Gereja guna menampilkan keluhuran Gereja.
Gereja yang kudus: Ef. 5:27 telah melukiskan Gereja sebagai ‘yang kudus’, dan kiranya gagasan itu diambil alih dari Perjanjian Lama (Kel. 19; Ul. 7:6; 26:19; dll). Dalam Perjanjian Lama kaum beriman juga disebut ‘orang kudus’ (1 Mak. 10:39.44; Keb. 18:19). Kebiasaan itupun diteruskan dalam Perjanjian Baru. Sejak abad pertama (Ignatius dari Antiokhia) sebutan ‘Gereja yang kudus’ menjadi umum. Seperti dalam 1 Ptr. 2:9 begitu juga dalam tradisi selanjutnya (mis. Yustinus) ‘bangsa yang kudus’ selalu dihubungkan dengan ‘bangsa terpilih’ serta ‘umat kepunyaan Allah’. Maka tidak mengherankan bahwa dalam Syahadat Gereja disebut ‘kudus’.
Gereja yang katolik: Kata ‘katolik’ tidak terdapat dalam Kitab Suci. Tetapi sudah digunakan oleh Ignatius dari Antiokhia untuk menunjukkan sifat universal (semesta) Gereja yang tersebar di seluruh dunia. Sejak abad ke-2 kata ‘Katolik’, dalam arti universal, mulai dilawankan dengan aneka sekte dan bidaah (ajaran salah) yang bermunculan pada zaman itu. Istilah ‘Katolik’ tetap berarti ‘umum’, universal, tetapi dipakai untuk menunjuk pada Gereja yang ‘benar’ dilawankan dengan bidaah-bidaah itu.
Gereja yang apostolik: Kesadaran bahwa Gereja berasal dari zaman para Rasul dan tetap mau berpegang teguh pada iman rasuli, sudah diungkapkan sejak abad ke-2. Pewartaan Gereja dilihat sebagai penerusan sabda Yesus, melalui para Rasul, dan sering ditonjolkan hubungan turun-temurun antara para Rasul dan Gereja selanjutnya. Gereja mulai dengan para Rasul dan tetap mempunyai iman yang sama. Maka ‘apostolik’ atau rasuli, tidak hanya berarti dari (zaman) para Rasul, melainkan juga sesuai dengan pewartaan dan ajaran para Rasul. Sudah sejak zaman Ignatius dari Antiokhia sifat ini disebut sebagai tanda Gereja yang benar. Dan itulah artinya dalam Syahadat Panjang.

Pengakuan iman apostolik menghubungkan iman akan pengampunan dosa (psl 10) dengan iman kepada Roh Kudus, tetapi juga dengan pengakuan akan Gereja dan persekutuan para kudus. Ketika Kristus mencurahkan Roh Kudus kepada para Rasul, Ia menyerahkan kepada mereka wewenang ilahi untuk mengampuni dosa: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada’ (Yoh. 20: 22-23). Kecuali itu, Tuhan kita telah menghubungkan pengampunan dosa dengan iman dan Pembaptisan. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum” (Mrk. 16:15-16). Pembaptisan adalah Sakramen pertama dan terpenting demi pengampunan dosa. Ia menyatukan kita dengan Kristus, yang telah wafat untuk dosa kita dan yang telah dibangkitkan demi pembenaran kita (bdk. Rom. 4:25), supaya “kita hidup sebagai manusia yang baru’ (Rom. 6:4). Tetapi siapakah cukup kuat dan waspada, sehingga dalam perjuangan dan kecondongan kepada yang jahat sama sekali tidak dilukai oleh dosa?” Karena perlu bahwa di dalam Gereja kuasa untuk pengampunan dosa masih ada dalam cara lain selain Sakramen Pembaptisan, maka dipercayakan kepadanya kunci-kunci Kerajaan Surga, yang olehnya setiap orang yang menyesali dosa, dapat diampuni dosa-dosanya, sekalipun ia berdosa sampai pada hari terakhir kehidupannya” (Catechismus Romanus, 1,11,4).

Selanjutnya, Gereja bukan Kerajaan Allah, melainkan menuju Kerajaan Allah. Gereja masih dalam perjalanan. Penyadaran akan aspek historis ini perlu, supaya kita bisa lebih bersifat terbuka dan rendah hati. Dalam perjalanan ini, Gereja masih mengalami jatuh bangun dan berjuang bersama semua manusia yang berkehendak baik membangun Kerajaan Allah itu. Gereja belumlah sempurna. Maka “Gereja baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga” (LG,48). Sekarang ini “kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rom. 8:24). Oleh karena itu dalam Syahadat Panjang dikatakan: “Aku menantikan kebangkitan orang mati (psl 11), dan hidup di akhirat” (psl 12). “Menantikan” tidak berarti bahwa kita masih ragu-ragu. Rumus dalam Syahadat Pendek menjelaskan hal itu (psl 8-12 berupa satu kalimat): Iman akan Roh Kudus, akan Gereja dan akan akhirat dijadikan satu. Dasar pengharapan kita bukanlah keinginan khayal, melainkan karya Roh dalam Gereja, dan kesadaran bahwa apa yang ada sekarang masih bersifat sementara. “Sekarang kita melihat suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka” (1 Kor. 13:12), dan iman bahwa “Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga” (1 Kor. 6:14; lih. 2 Kor. 4:14; Rom. 8:11). Dan Allah tidak mengingkari janji. “Dia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya” (1 Tes. 5:24). Menantikan hidup di akhirat tidak lain dari “menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia, dan pernyataan kemuliaan Allah yang mahabesar dan Juru Selamat kita Yesus Kristus” (Tit. 2:13). Menantikan akhirat berarti mengharapkan kepenuhan karya penyelamatan.

Makassar, 8 Maret 2013

     + John Liku-Ada’
   Uskup Agung KAMS