Sabtu, 12 Oktober 2013

Sejarah Awal Berdirinya Paroki Roh Kudus, Unaaha

Keberadaan Gereja Katolik di wilayah Unaaha memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan transmigrasi di wilayah itu. Dalam rangka pemberkatan dan peresmian gereja serta dirangkaikan dengan penerimaan sakramen krisma oleh Bapa Uskup Mgr. John Liku Ada’ (22 Agustus 2013), kami mencoba mengulas sejarah awal keberadaan gereja di wilayah Sendang Muliasari, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Paroki Roh Kudus, Unaaha dengan mewawancarai salah seorang tokoh umat, Bpk. Adrianus I Made Dana (Pan Rita), yang menjadi pelaku sejarah awal keberadaan gereja di wilayah ini.
 
Bapa Uskup, Asisten I Pemda Kabupaten Konawe, Vikep Sultra, Pendeta Gepsultra Jemaat Sion Unaaha, serta para tamu undangan lainnya pada saat menghadiri acara ramah tamah pemberkatan dan peresmian gereja.
Pastor Paroki (PP): Pan Rita, bisakah bapak menceritakan bagaimana sejarah awal berdirinya gereja di wilayah ini?
Pan Rita (PR): Baik Pastor....Pada tanggal 15 Juli 1974 diberangkatkanlah rombongan transmigrasi Banpres dari Bali  menuju Sulawesi Tenggara. Rombongan Transmigrasi waktu itu berjumlah 63 KK, yang terdiri dari 54 KK beragama Hindu dan 9 KK beragama Katolik. Kami tiba di Kendari pada tanggal 21 Juli 1974 dan langsung menuju lokasi pemukiman kami di Unaaha, tepatnya di wilayah Sendang Muliasari dan Mekar Sari saat ini. 9 KK warga trans yang beragama katolik inilah yang menjadi cikal bakal umat Katolik di Unaaha.

PP :  Apa tantangan dan kendala yang dialami saat itu?
PR : Kala itu kami sebagai transmigrasi Banpres sangat minim mendapat bantuan dari pemerintah. Yang kami terima sebagai transmigrasi pada saat itu lahan seluas 2 ha yang sama sekali belum dibuka. Jaminan beras hanya selama 4 bulan. Perumahan tidak disiapkan untuk kami. Untuk perumahan hanya disiapkan beberapa batang kayu bulat saja; sedangkan atap yang disiapkan  dari daun rumbia yang pada waktu itu sudah tidak layak pakai karena sebagian besar sudah rusak.

PP :  Bagaimana cara kerja sama umat pada waktu itu, ketika mengalami kesulitan?
PR : Lahan perkebunan kami  rintis secara bergotong royong, demikian juga dalam membangun rumah. Tempat ibadat juga belum disiapkan oleh pemerintah saat itu. Syukurlah bahwa pada saat itu di Unaaha sudah ada 1 KK umat Katolik (Alm. Bpk. Martinus Muliasari) yang berprofesi sebagai TNI AD. Beliau selama ini bila tidak mendapat kunjungan Pastor dari Kendari, beribadat di Gereja Gepsultra Jemaat Sion Unaaha. Kami pun diajak ikut serta untuk beribadat bersama di sana. Ketika kami mendapat kunjungan Pastor dari Kendari, kami meminjam gedung gereja Sion untuk merayakan ekaristi.

PP :  Lantas bagaimana ceritanya sampai bisa ada Gereja di Sendang ini?
PR :  Ya, kondisi kami harus beribadah di Unaaha tidak berlangsung lama. Hal ini terjadi karena kami memohon kepada pemerintah agar diberi lokasi untuk membangun rumah ibadah. Permohonan kami dipenuhi dengan diberikannya lokasi satu kapling dengan luas 0,5 ha. Di atas lahan itulah kami mulai membangun gereja darurat. Gereja yang kami bangun itu berukuran 6x4m dengan dinding terbuat dari bambu, beratapkan rumbia, dan berlantaikan tanah; sesuai dengan kondisi rumah-rumah transmigrasi pada saat itu. Setahun setelah kedatangan kami di daerah ini, tepatnya pada 4 Agustus 1975 tibalah kembali rombongan transmigrasi yang juga berasal dari Bali. Hanya saja kelompok ini mendapat fasilitas yang lebih baik, karena mereka datang sebagai transmigrasi umum. Rombongan ini berjumlah 177 KK dengan rincian: 92 KK beragama Hindu dan 25 KK beragama Katolik. Dengan demikian jumlah umat Katolik di Sendang saat itu berjumlah 34 KK. Oleh karena jumlah umat yang sudah cukup banyak ini, pada tahun 1976 kami membangun gereja yang lebih baik yang berukuran 6 x 16 m dengan berdindingkan papan, beratapkan seng, serta berlantai semen. Inilah yang menjadi cikal bakal salah satu stasi dari Paroki Kendari dan yang kemudian menjadi Paroki Roh Kudus Unaaha. Seiring dengan perkembangan waktu, terbentuk juga kantong-kantong umat di wilayah-wilayah sekitar Sendang Muliasari.

PP : Bagaimana kisahnya sampai wilayah ini bisa jadi paroki?
PR : Ceritanya bermula sejak tahun 1987 ketika ada pastor yang menetap di Unaaha yaitu P. Albertus Maria Rua Pr. Dan mulai saat itu Gereja Katolik Roh Kudus, Unaaha mulai menjadi persiapan paroki. Setelah itu periode yang kedua dilanjutkan oleh P.Robby Lamba Tandilintin,Pr. Saat itu jugalah gedung gereja yang ada sekarang ini mulai dibangun.  Gedung gereja ini dibangun atas dasar swadaya umat selain itu ada juga bantuan dari Keuskupan Agung Makassar, dari Bimas Katolik, dari pemerintah kabupaten setempat dan dari donator-donatur lain. Walaupun demikian gedung gereja ini belum dapat dikatakan selesai karena masih banyak kekurangan yang masih perlu dilengkapi. Meskipun demikian, atas desakan dari Pastor Paroki saat ini, maka pada 22 Agustus 2013, gedung gereja yang ada secara resmi diberkati oleh Bapa Uskup Mgr. John Liku Ada’.
Paroki Roh Kudus Unaaha ini meliputi 5 kecamatan. 85% umat Katolik bermatapencaharian sebagai petani dan selebihnya PNS, TNI/Polri dan wiraswasta. Umat Katolik di paroki ini beraneka ragam suku yakni sebagian besar suku Bali; selebihnya suku Jawa,Toraja, Flores, Batak, Tolaki, Manado dan Tionghoa. Paroki Roh Kudus Unaaha ini terdiri dari 2 Rukun (di pusat paroki) dan  10 stasi dan satu cabang kebaktian yakni:
1. Rukun Kristoforus
2. Rukun Fransiskus Xaverius
3. Stasi Kristus Raja di Uepai
4. Stasi Santa Perawan Maria di Onembute
5. Stasi Santo Petrus dan Paulus di Abuki.
6. Stasi Santo Yosep di Lalonggauna
7. Stasi Santo Paulus di Ahuhu
8. Stasi Santo Yohanes Pemandi di SP A Lahumbuti hilir
9. Stasi Santo Yohanes Pembaptis SP B, Wawotobi
10. Stasi Santo Stefanus, Unaaha
11. Stasi Santo Bartholomeus Rasul, Asinua Lama
12. Cabang kebaktian Keluarga Kudus di Tanggobu.

Pada saat ini umat Katolik Paroki Roh Kudus, Unaaha sudah berjumlah kurang lebih 900 KK (sensus tahun 2006) yang tersebar di lima kecamatan di Kab.Konawe. *** Penulis: P. Bartholomeus Sire’pen, Pastor Paroki Unaaha

Tidak ada komentar: