Jumat, 28 September 2012

Sampul Koinonia Vol. 7 no. 4



Kunjungan FKUB ke Vatikan: Tak Kenal Maka Tak Sayang

Korespondensi
Pada tanggal 24 Januari 2012 saya menerima surat dari Pengurus FKUB Sulawesi Selatan, yang ditanda-tangani Ketua, Bpk. Drs. H. Abdurahman K, dan Sekretaris, Bpk. Drs. H. Burhanuddin Yusuf, M.Ag. Surat di bawah No.: 09/FKUB-SS/I/2012, perihal “Permohonan Fasilitasi dalam Rangka Kunjungan ke Vatikan” itu sebenarnya sudah bertanggal 19 Desember 2011. Dalam surat tersebut antara lain ditulis: “Dalam rangka meningkatkan kualitas hubungan dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, pengurus FKUB Sulawesi Selatan mempunyai program berkunjung ke pusat-pusat setiap agama. Pada tahun 2009, kami telah berkunjung ke pusat agama Budha dan Konghuchu di China, tahun 2011 yang lalu kami telah berkunjung ke pusat agama Hindu dan Bakai di India. Pada tahun 2012, tepatnya dalam bulan Juni atau Juli, kami memprogramkan berkunjung ke pusat agama Katolik di Vatikan dan ingin audiensi dengan Bapak Sri Paus sebagai pimpinan tertinggi agama Katolik”. Selanjutnya disampaikan: “Berkaitan dengan rencana mulia tersebut, kami mohon dukungan Bapak Uskup, sekaligus membantu kami memfasilitasi dalam hal hubungan dengan yang berkepentingan di Vatikan”.

Berdasarkan surat tersebut, dua hari kemudian, tepatnya pada 26 Januari 2012, saya menulis surat kepada Dubes Vatikan, YM Uskup Agung Antonio Filipazzi, di Jakarta, perihal “Request for an Audience with the Holy Father”. Kiranya sadar akan relevansi dan makna penting dari rencana kunjungan tokoh lintas agama tersebut, sekitar dua minggu kemudian saya sudah menerima tanggapan positif dari Nuncio, melalui surat No.: 390/12/I, tertanggal 2 Februari 2012. Beliau meminta agar diusulkan suatu tanggal pasti, sebelum permohonan dilanjutkan ke Prefektur Urusan Rumah Tangga Kepausan. Kecuali itu Nuncio menambahkan bahwa, kemungkinan yang terbuka ialah rombongan mengambil bagian dalam Audiensi Umum pada hari Rabu, dan di akhir audiensi mungkin 1-2 wakil rombongan diijinkan berbicara singkat dan berjabat tangan dengan Sri Paus. Nuncio juga berpesan agar rombongan mengupayakan kesempatan berkunjung ke Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (PCID) di Roma nanti.

Setelah berkonsultasi dengan Pengurus FKUB Sulsel melalui P. Marsel Lolo Tandung, sebagai wakil Katolik di Badan tersebut, saya membalas surat Nuncio pada kesempatan pertama. Kami mengusulkan kunjungan ke Roma/Vatikan tanggal 19-22 Juni 2012, dan akan berpartisipasi dalam audiensi umum pada hari Rabu, 20 Juni 2012, dengan peserta sekitar 40 orang. Saya juga menulis, akan sangat indah apabila setiap agama (Islam, Protestan, Hindu, Budha, Konghuchu, dan tentu saja Katolik) dapat terwakili dalam anggota rombongan yang diperkenankan bertemu langsung dan berjabat tangan dengan Sri Paus. Tentang nasehat Nuncio agar rombongan juga berkunjung ke PCID, saya menulis, tentu itu akan diupayakan. Itu akan merupakan kunjungan balasan yang membahagiakan dari pihak FKUB Sulsel. Sebab pada kunjungan beliau ke Indonesia pada tahun 2009, Bpk. Kardinal Jean-Louis Tauran, Presiden PCID, juga berkunjung ke Makassar dari 28-29 November 2009, dan bertemu serta berdialog dengan wakil-wakil FKUB Sulsel.

Selanjutnya, pada bulan April 2012 kami menerima informasi dari RP. Markus Solo SVD, imam Indonesia yang sedang bertugas di PCID, bahwa berkas permohonan kami telah diteruskan Nunciatur di Jakarta ke PCID, yang pada gilirannya sudah mulai memproses lebih lanjut. Kami mengharapkan Pastor Markus bersedia menjadi guide rombongan nanti di Roma/Vatikan. Beliau menyatakan kesediaan, tetapi untuk itu dibutuhkan izin dari pimpinannya. Maka pada tanggal 29 April 2012, saya menulis surat kepada Kardinal Ketua PCID, Kardinal Jean-Louis-Tauran. Karena saya mendengar bahwa Bpk. Wagub, selaku Ketua Dewan Penasehat FKUB, atau Kepala Kesbang Propinsi, juga berencana ikut serta, maka dalam surat saya mengusulkan kiranya dapat diupayakan perwakilan rombongan yang diperkenankan menghadap langsung dan berjabat tangan dengan Sri Paus berjumlah 7-8 orang. Surat tersebut kemudian dibalas oleh Kardinal Ketua melalui surat tertanggal 25 Mei 2012, di bawah N.457/12. Pertama-tama beliau menyesalkan, bahwa pada waktu kunjungan rombongan kami ke Vatikan nanti, beliau tidak ada di tempat. (-Menurut info dari Pater Markus, waktu itu beliau akan berada di Lebanon, dalam rangka mempersiapkan rencana kunjungan Sri Paus ke negara tersebut September 2012-). Maka yang akan menerima rombongan kami di PCID adalah Uskup Agung Sekretaris, Mgr. Pier Luigi Celata. Beliau menjanjikan akan mengupayakan kemungkinan kurang lebih tujuh perwakilan Forum diperkenankan bertemu pribadi dengan Sri Paus. Tetapi beliau menambahkan, jumlah sebanyak itu belum tentu dapat disetujui oleh Pejabat yang berkompeten (Prefek Urusan Rumah Tangga Kepausan). Sedangkan mengenai permintaan agar Pater Markus Solo boleh membantu menjadi guide rombongan selama berada di Roma, dijawab akan diatur segera setelah semua agenda kunjungan sudah ditetapkan, agar bisa disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan di kantor.

Dari Amsterdam ke Roma, via Belgia-Perancis-Swiss
Forum memutuskan menggunakan Antatour, dan mengambil paket tour Eropa, 11-23 Juni 2012. Karena macam-macam kesibukan, sebenarnya saya berharap tidak ikut serta. Tetapi karena permintaan audiensi dengan Sri Paus diajukan atas nama saya selaku Uskup Agung KAMS, maka saya tidak dapat menghindar. Lalu saya berpikir tak perlu ikut tour secara penuh. Saya bisa langsung ke Roma untuk menemani rombongan ke Vatikan, lalu pulang. Tetapi Pengurus FKUB bersiteguh agar saya menyertai rombongan secara penuh. Akhirnya rombongan yang jadi berangkat berjumlah 39, termasuk seorang tour leader. Sayanglah Bpk. Wagub dan Kepala Kesbang tidak jadi ikut serta. Begitu juga Konghuchu tak ada yang mewakili. Petang hari Senin, 11 Juni 2012, rombongan sudah meninggalkan Makassar menuju Jakarta dengan JT 777. Dan Selasa dini hari, 12 Juni, pk. 00.40 wib., pesawat Emirates Airlines, yang membawa rombongan, sudah lepas landas dari Bandara Internasional Sukarno-Hatta menuju Amsterdam, dengan transit sekitar 3 jam di Dubai. Pk. 13.30 waktu setempat pesawat mendarat di Schiphol Amsterdam. Rombongan dijemput dengan bis yang akan digunakan selama tour sampai di Roma. Selanjutnya diadakan City Tour di Amsterdam dengan mengunjungi Dam Square yang terkenal itu. Sesudahnya rombongan mengunjungi Mesjid Fatih, di mana saudari/a Muslim berkesempatan sholat. Yang menarik ialah bahwa mesjid tersebut dulunya adalah sebuah gereja. Sesudah makan malam di restoran, rombongan diantar ke hotel untuk beristirahat.

Pada hari Rabu, 13 Juni, rombongan berkunjung ke Leiden. Di sini terdapat Koninklijk Institut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), “Institut Kerajaan untuk Bahasa, Negeri dan Budaya Bangsa-Bangsa”. KITLV mempunyai perpustakaan paling lengkap mengenai Indonesia dan suku-suku bangsa di Indonesia. Banyak mahasiswa dan ilmuwan Indonesia pernah berkunjung dan belajar di Leiden. Bagi saya kunjungan ke KITLV ini merupakan kunjungan nostalgia. Ketika saya menyusun disertasi pada Universitas Kepausan Gregoriana di Roma, pernah selama lebih dua bulan pada tahun 1984 saya meringkuk di sini dalam rangka penelitian kepustakaan.  Saya gembira karena pada kunjungan ini saya dapat membeli buku yang sudah lama saya cari-cari, dan ternyata itu eksemplar terakhir yang masih ada. Masih ada buku lain yang saya cari, tapi kebetulan tak ada persediaan lagi. Namun petugasnya menjanjikan mencari di tempat lain, dan akan mengirimkannya kepada saya via perwakilan KITLV di Jakarta. (Kemudian memang saya mendapatkan buku tersebut). Dari Leiden rombongan diantar mengunjungi Volendam untuk melihat kincir angin, pembuatan keju dan klom Belanda yang terkenal itu. Pada sore hari kita mengikuti Canal Cruise, naik perahu motor berkeliling menyaksikan keunikan kota Amsterdam.

Hari berikutnya, Kamis, 14 Juni, rombongan menuju Paris dengan mampir di Brussels, stop ambil foto di Atomium, lalu ke Grand Central, pusat kota dengan bangunan-bangunan antik yang megah dan indah. Selanjutnya ke patung Mannekepis yang terkenal di seluruh dunia itu: patung tembaga anak lelaki yang sedang buang air kecil. Tetapi godaan belanja, terutama di kalangan ibu-ibu, makin kelihatan tak terbendung, yang menyebabkan banyak agenda ngolor waktunya. Dan ini menimbulkan perasaan jengkel sopir. Rombongan tiba di Paris cukup lambat, dan terperangkap dalam kemacetan lalu lintas yang lazim di Paris. Hari Jumat, 15 Juni, didampingi oleh seorang guide yang sudah berpengalaman, seorang wanita Perancis yang fasih berbahasa Indonesia, rombongan diantar berkeliling melihat kota Paris yang indah dan kaya dengan bangunan-bangunan dan monumen-monumen bersejarah; tentu saja tidak terlewatkan Menara Eifel yang kesohor itu. Setelah makan siang di sebuah restoran, ada waktu bebas untuk shopping. Sementara anggota rombongan berbelanja, P. Paulus Tongli, P. Marsel Lolo Tandung dan saya mengunjungi gereja. Malam harinya, setelah kembali ke hotel, sebagian anggota rombongan berkunjung ke Mesjid Raya kota Paris.

Pagi hari Sabtu, 16 Juni, rombongan meninggalkan Paris menuju Zurich di Swiss. Perjalanan memakan waktu sehari penuh. Hari Minggu pagi, 17 Juni, kami anggota rombongan yang beragama Kristiani (P. Paulus Tongli, P. Marsel Lolo Tandung, Bpk. Therik Widagdo, Pdt. Paul Patanduk, dan saya) berkeliling mencari gereja untuk perayaan Ekaristi/kebaktian. Pk. 10.00 rombongan berangkat dari Zurich menuju Engelberg. Dengan kereta gantung (cable car) kita naik gunung Titlis, yang puncaknya mencapai ketinggian 3.020 m. di atas permukaan laut dan terkenal dengan salju abadinya. Hari itu banyak pengunjung. Sebagian terbesar anggota rombongan kami untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju. Mereka segera berbaur di antara para pengunjung lain, dan meluapkan kegembiraannya. Ada yang berlari-lari di atas salju, ada yang duduk-duduk, ada pula yang berbaring, dan minta diabadikan dengan mengambil foto-foto. Bahkan tersedia tempat khusus untuk berpose, entah sendiri entah dalam kelompok, dan diabadikan dalam pakaian tradisional Swiss. Karena didesak-desak oleh kedua Pastor muda, P. Paulus Tongli dan P. Marsel Lolo Tandung, akhirnya saya menyerah untuk diabadikan bertiga, masing-masing sebagai pemburu memanggul bedil dan berselempangkan tali-temali berburu, peniup horn panjang besar, dan pemain akordeon, dalam pakaian tradisional khas. Melihat itu, Pak Therik Widagdo juga tak mau ketinggalan, dan meminta saya berpose dan diabadikan bersama beliau. Sesudah makan siang di sebuah restoran di atas gunung itu, kami pun turun dan melanjutkan perjalanan ke kota Luzern. City Tour di Luzern mengunjungi Lion Monument, simbol jatidiri Swiss yang pemberani dan setia, Old City, dan Chapel Bridge yang terkenal dengan hiasan bunga-bunga yang indah mempesona. Kami juga menyempatkan diri mengunjungi gereja. Pk. 20.00 rombongan kembali ke Zurich, sesudah makan malam di sebuah restoran.

Senin pagi, 18 Juni, sesudah sarapan pagi, rombongan meninggalkan Zurich menuju kota Milano dan selanjutnya ke Prato, keduanya di Italia. Rombongan bermalam di sebuah hotel di Prato, dan besoknya, Selasa, 19 Juni, ke Pisa mengunjungi Menara Pisa yang termasyhur itu. Setelah puas berkeliling-keliling, mengambil foto-foto dan berbelanja, siangnya rombongan melanjutkan perjalanan ke Roma. Tiba di Roma sudah larut petang. Rombongan diantar berkunjung ke Mesjid Roma. Teman-teman Muslim menggunakan kesempatan untuk sholat. Dari sana rombongan diantar ke hotel, yang terletak di luar kota Roma. Makan malam diupayakan sendiri-sendiri, gara-gara sopir tak bersedia lagi mengantar ke restoran yang sudah dipesan, karena sudah melampaui jam kerjanya.

Audiensi dengan Sri Paus
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga: Rabu, 20 Juni 2012! Malam sebelumnya berulang kali diingatkan, agar semua berusaha tepat waktu. Soalnya jarak antara hotel dan Vatikan cukup jauh, dan ada bahaya terkena kemacetan lalu lintas, sesuatu yang biasa di Roma. Morning call bangun pk. 06.00; sarapan pagi pk. 07.00-08.00. Pk. 08.00 tepat sudah berangkat menuju Vatikan. Hampir pk. 09.00 rombongan tiba di Lapangan Sto. Petrus. Di situ kita bertemu Mgr. Julius Mencuccini OP, Uskup Sanggau, Kalbar, yang ternyata sedang menanti rombongan peziarah lain dari Indonesia, yang juga mau mengambil bagian dalam audiensi umum hari itu. Masih sempat mengambil foto bersama. Juga Pater Markus Solo SVD sudah menantikan kami di situ. Sayang, karena kesibukan di kantor beliau tidak dapat mendampingi rombongan dalam audiensi. Kepada saya beliau menyerahkan surat dari Prefektura Urusan Rumah Tangga Kepausan untuk nanti diserahkan kepada petugas, yang akan mengatur segala sesuatunya untuk rombongan kami.

Biasanya audiensi diadakan di Piazza San Pietro. Tetapi karena pada bulan Juni itu di Roma udara sudah sangat panas menyengat, audiensi dipindahkan ke aula Paulus VI, yang terletak di samping sebelah kanan Basilika Sto. Petrus. Rombongan buru-buru menggabungkan diri pada barisan antrian yang sudah sangat panjang melalui pemeriksaan keamanan. Apa boleh buat, harus belajar bersabar berdesak-desakan. Tetapi tak ada yang mengeluh, apalagi membuat ulah. Para peziarah yang berasal dari pelbagai penjuru dunia itu semua memperlihatkan wajah ceria, bercanda, murah senyum dan saling menyapa dengan ramah penuh nada persaudaraan. Tiba di depan pintu, saya menyerahkan surat tadi kepada petugas, yang segera mengantar rombongan kami melalui lorong khusus masuk ke dalam aula; sementara para peziarah lain harus berdesak-desakan masuk melalui pintu utama. Rombongan kami mendapat tempat khusus bagian paling depan sebelah kanan. Saya sendiri, karena memakai jubah Uskup, diminta mengambil tempat di panggung sebelah kiri bersama para Uskup lainnya yang hadir. Saya perhatikan di kursi-kursi terdepan, yang diperuntukkan khusus bagi mereka yang mendapat kehormatan akan naik panggung menghadap dan berjabat tangan dengan Bapa Suci pada akhir audiensi, duduk antara lain enam anggota rombongan kami: Bpk. Drs. H. Abdurahman K. (Ketua FKUB Sulsel); Bpk. Dr. H. Muhammad Arfah Shiddiq, MA (intelektual Islam); Bpk. Kol. (Purn.) I Nyoman Suartha, S.TP. (Hindu); Bikkhu Kliwon Sampir Vicayadharma (Budha); Pdt. Paul Patanduk (Protestan); dan P. Marsel Lolo Tandung (Katolik). Bersama saya, berarti 7 orang. Itu sesuai jumlah yang dimohonkan oleh PCID (Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama) ke Prefektura Urusan Rumah Tangga Kepausan. Sebetulnya kita berharap dalam jumlah 7 orang itu tidak terhitung Uskup Agung, dan dengan demikian Prof. Dr. H. Hamka Haq, MA, dapat pula ikut serta. Tetapi ternyata harapan kita meleset.

Para peziarah peserta audiensi hari itu membludak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk, dan berdiri berdesak-desakan sepanjang lorong samping kiri dan kanan aula serta ruangan di depan pintu utama. Ketika Bapa Suci memasuki ruangan sambil mengangkat tangan ke arah hadirin, semua spontan berdiri, bertepuk tangan riuh; lambaian bendera-bendera ukuran kecil warna-warni oleh kelompok-kelompok yang membawanya menambah semarak suasana; anak-anak muda berteriak histeris, sambil melambai-lambaikan tangan. Kemudian Paus duduk, dan diikuti oleh semua hadirin. Suasana menjadi hening. Setelah ritus pembukaan, dibacakan teks Kitab Suci dari salah satu surat Paulus berturut-turut dalam 7 bahasa oleh pembaca yang berbeda: Italia, Perancis, Inggeris, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Polandia. Pemilihan bahasa ini tentu berdasarkan kelompok-kelompok yang hadir dalam audiensi. Kemudian Paus menyampaikan homili dalam bahasa Italia, yang ringkasan selanjutnya berturut-turut disampaikan dalam ke-6 bahasa lainnya. Temanya berkisar pada “beriman dan mewartakan iman dalam dunia kita dewasa ini”.

Lalu tibalah bagian yang paling riuh rendah dan gegap gempita: acara Paus menyapa kelompok-kelompok yang hadir dalam 7 bahasa berbeda itu. Lazimnya setiap group yang ingin mengambil bagian dalam audiensi umum sebelumnya mendaftarkan diri ke Prefektura Urusan Rumah Tangga Kepausan. Sebelum audiensi berlangsung daftar tersebut diserahkan kepada Sri Paus. Mungkin saja ada group yang tidak mendaftar, dan karenanya tidak disebut. Setiap kali nama dan negara asal kelompok disebut/disapa dalam bahasa mereka sendiri oleh Sri Paus, seluruh anggota kelompok memberi respons khas masing-masing, meluapkan kegembiraan. Ada yang melompat berdiri, berseru sekuat-kuatnya sambil melambai-lambaikan tangan. Ada yang serentak berdiri tegap, menyanyikan lagu kebangsaan sambil melambai-lambaikan bendera kebangsaan dalam ukuran kecil yang mereka bawa. Ada yang berdiri dan spontan menyanyikan dengan penuh semangat lagu yang mereka sudah siapkan. Kelompok-kelompok remaja lain lagi. Mereka bangkit berdiri dan berseru serempak sekuat-kuatnya: “Viva il Papa Benedetto! Viva il Papa Benedetto!”. Lalu menyambung dengan lagu kesukaan mereka. Pokoknya suasananya riuh, gegap gempita, penuh semangat kegembiraan. Rombongan FKUB Sulawesi Selatan, Indonesia, disapa Sri Paus dalam kelompok berbahasa Inggeris secara khusus sebagai group istimewa, karena merupakan rombongan lintas agama, diembel-embeli “yang didampingi Uskup Agung Makassar, Mgr. Johannes Liku-Ada’”. Sambutan spontan tidak hanya datang dari bagian di mana rombongan FKUB ada, melainkan juga dari bagian lain dalam ruangan. Itu menyatakan bahwa ternyata ada group lain dari Indonesia yang mengambil bagian dalam audiensi hari itu.

Pada akhir audiensi, sekitar 30-an orang yang mendapat kesempatan istimewa, beriringan naik panggung untuk berjabat tangan dan mendapat berkat dari Bapa Suci, termasuk 6 perwakilan FKUB Sulsel. Saya diminta berdiri dekat Sri Paus untuk memperkenalkan masing-masing ke-6 teman dari FKUB itu. Bpk. Ketua menyerahkan kepada Sri Paus sebuah souvenir khas: perahu phinisi yang terkenal dari Sulsel itu. Saya menerangkan kepada Sri Paus, “dengan perahu phinisi ini nenek moyang kami dahulu kala berlayar sampai ke Madagascar”. Sri Paus kelihatan sangat terkesan, dan mengucapkan terima kasih. Bikkhu Vicayadharma juga mempersembahkan souvenir, foto beliau bersama Bpk. Kardinal Julius Darmaatmadja SJ, yang sudah dibingkai bagus.
Audiensi hari itu berakhir pk. 12.30 waktu setempat. Semua anggota rombongan FKUB Sulsel menyatakan sangat terkesan dan berbahagia dengan pengalaman istimewa dan unik hari itu.

Kunjungan ke Museum Vatikan – Kapel Sistina
Rencana semula, seusai audiensi rombongan akan berkunjung ke Basilika Sto. Petrus. Tetapi melihat begitu meluapnya para pengunjung dalam antrian yang sangat panjang, kita khawatir waktu tak akan cukup. Sebab kita sudah mempunyai janji dengan Pater Markus Solo, pk. 14.30 beliau akan menemani rombongan berkunjung ke Museum Vatikan. Maka rombongan menggunakan waktu yang ada berkeliling-keliling sekitar Vatikan, sambil berbelanja. Dari semula acara kunjungan ke Museum Vatikan kita jadikan salah satu prioritas, karena alasan berikut: Mantan Dubes Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Pietro Sambi, pernah memberi informasi tentang lukisan pelabuhan Makassar di abad ke-17 yang terdapat di salah satu ruangan di Museum Vatikan. Dan beliau menasehati saya, selaku Uskup Agung Makassar, agar menyempatkan diri pergi melihat lukisan tersebut, kalau kebetulan berada di Roma.

Menjelang pk. 15.00 rombongan kami sudah berada di depan pintu masuk Museum. Pengunjung berjubel berdesak-desakan. Pater Markus berupaya menemui petugas yang ternyata sudah menunggu kedatangan kami. Kami diantar melalui jalur khusus. Saya diminta bertemu Direktur Museum. Dengan susah payah petugas membuka jalan bagi saya di tengah lautan kerumunan manusia, di bawah udara Roma yang ketika itu sudah sungguh panas. Bapak Direktur menerima saya dengan ramah. Melihat jubah dan solideo saya basah dengan keringat, beliau langsung mengerti. Dengan tersenyum beliau berkata: “Hari ini memang pengunjung sangat padat, pasti antara 23-24 ribu; hari-hari lain biasanya berkisar antara 16-17 ribu”. Kami mendapat 39 karcis GRATIS! Padahal harga ticket masuk 5 Euro/orang. Tidak itu saja. Rombongan kami dibagi dua kelompok, masing-masing kelompok diberi satu guide yang berpengalaman. Setiap anggota kelompok mendapat alat elektronik earphone, agar dapat mengikuti penjelasan dengan terang. Luar biasa! Dalam hati saya berbisik, “Terima kasih, PCID, yang telah mengurus kunjungan kami dengan sangat baik!”.

Sebelum mulai berkeliling, guide bertanya, berapa waktu kami miliki. Kami menjawab, “Dua jam”. “Uuh... terlalu sedikit! Kalau mau melihat seluruh Museum disertai penjelasan yang memadai, dibutuhkan waktu 5 hari! Jadi kita harus membuat seleksi ketat”, katanya dengan nada agak menyayangkan. Memang waktu 2 jam terlalu kurang untuk melihat Museum sebesar dan setua Museum Vatikan, yang sudah mulai dirintis di bawah Paus Yulius II (1503-1513) itu. Sebagai tempat menyimpan peninggalan sejarah, seni dan ilmu, kini Museum Vatikan meliputi tidak kurang dari 23 bagian, mulai dari peninggalan paling kuno (mis. The Gregorian Egyptian Museum, The Pagan Museum of the Library, The Gregorian Pagan Museum) sampai ke yang modern (mis. The Collection of Modern Religious Art).

Bagi pengunjung pertama kali ke Museum Vatikan, pastilah yang tidak boleh dilewatkan ialah Kapel Sistina. Itulah juga prioritas kunjungan rombongan kami. Oh ya, sayang keberadaan lukisan pelabuhan Makassar dari abad ke-17 itu belum berhasil ditemukan para petugas Museum Vatikan. Kembali ke Kapel Sistina, ini merupakan kapel pribadi resmi para Paus. Kapel, yang didedikasikan kepada Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga ini, dibangun oleh Giovannino dei Dolci menurut desain yang dibuat Baccio Pontelli antara tahun 1475 dan 1482, atas perintah Paus Sixtus IV (1471-1484). Itulah sebabnya diberi nama Kapel Sistina. Di kapel inilah diadakan konklaf untuk memilih Paus baru. Kapel ini sangat kaya dengan karya seni religius. Ke-12 lukisan dinding, 6 pada masing-masing dinding samping, menampilkan kisah hidup Musa dan kisah hidup Yesus Kristus. Loteng kapel yang berbentuk kubah mempunyai lukisan-lukisan yang dikerjakan oleh Michelangelo antara tahun 1508 dan 1512 di bawah arahan Paus Yulius II. Lukisan-lukisan tersebut menggambarkan kisah-kisah Kitab Kejadian. Lukisan Pengadilan Terakhir pada tembok di belakang altar dikerjakan pada masa Paus Paulus III antara 1535 dan 1541, sekitar 30 tahun setelah lukisan-lukisan di kubah, ketika Michelangelo sudah berusia di atas 60 tahun. Dan masih banyak lagi lukisan artistik religius lainnya yang terdapat di kapel ini. Luas Kapel Sistina sekitar 200 m2 dan memuat lebih dari 390 lukisan tokoh Kitab Suci dan orang suci, banyak dari lukisan tersebut yang lebih 2 m tingginya.

Waktu berada di Kapel Sistina, sambil mendengar penjelasan dan mengagumi lukisan-lukisan artistik religius itu, tiba-tiba guide bertanya kepada saya, apa sudah pernah melihat tempat khusus ke mana Paus yang baru terpilih dalam konklaf mengundurkan diri untuk hening dalam doa, dan kemudian mengganti pakaian kardinal dengan pakaian Paus? Saya jawab, belum. “Mau lihat?” tanya beliau. Serempak kami menjawab: “Mau!”. Maka masuklah kami ke situ. Guide menunjukkan di mana Paus baru biasa duduk untuk hening dalam doa. Masing-masing berebut duduk di situ untuk diambil foto. Saya bercanda: “Kalau nanti Uskup-Uskup Indonesia mendengar bahwa rombongan FKUB Sulsel boleh masuk di tempat khusus yang suci ini, saya khawatir mereka akan cemburu. Karena selain Rm. Kardinal, mungkin belum ada Uskup Indonesia yang pernah melihat tempat ini. Kita benar-benar beroleh berkat istimewa”. Dan teman-teman mengangguk-angguk, tanda setuju.

Ketika rombongan keluar dari Museum Vatikan hari sudah petang. Acara dilanjutkan dengan City Tour, melewati Monumen Nasional Victorio Emannuelle II, mengunjungi Colloseum. Karena sudah cukup lambat, rencana kunjungan ke Fontana di Trevi dibatalkan. Dan sesudah makan malam di sebuah restoran Italia, rombongan diantar pulang ke hotel. Walau cukup lelah, tetapi semua tampak terkesan dan puas dengan acara hari itu.

Kunjungan ke PCID
Kamis, 21 Juni 2012, adalah hari terakhir rombongan kami berada di Roma. Masih ada satu acara penting, yaitu kunjungan ke Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama (=Pontifical Council for Interreligious Dialog, disingkat PCID). PCID adalah salah satu dari 12 ‘Dewan Kepausan’, badan baru yang dibentuk dalam lingkungan Kuria Romawi sesudah dan berdasarkan ajaran Konsili Vatikan II. Semula bernama ’Sekretariat untuk Umat non-Kristiani’. Konstitusi Apostolik ‘Pastor Bonus’, yang dikeluarkan pada 28 Juni 1988, meningkatkan status dan menyeragamkan nama ke-12 badan itu menjadi, ‘Dewan Kepausan’ (lih. KOINONIA vol. 7, no. 1:4-6). Dan Sekretariat untuk Umat non-Kristiani berubah nama menjadi ‘Dewan Kepausan untuk Dialog antar Agama’. Ketuanya kini ialah Kardinal Jean Louis-Tauran.

Sesudah sarapan pagi hari itu, rombongan segera check out dari hotel dan berangkat menuju Vatikan. Karena terhalang kemacetan lalu lintas, kami agak terlambat tiba di Kantor PCID. Seperti sudah dikemukakan di atas, Kardinal Ketua sedang tidak berada di tempat. Sedianya kami akan diterima oleh Uskup Agung Sekretaris, Mgr. Pier Luigi Calata. Tetapi ternyata beliau juga berhalangan. Maka jadilah kami diterima oleh Kepala Bagian Islam PCID, Mons. Khaled  B. Akasheh, PhD., yang berasal dari Yordania, ditemani Pater Markus Solo SVD, dan seorang Staf PCID lainnya. Dari awal suasana keterbukaan dan persaudaraan sudah kuat terasa. Ketika saya mendapat kesempatan pertama untuk berbicara, saya berpikir sebaiknya teman-teman lainlah yang mendapat kesempatan lebih lama untuk berbicara. Maka saya hanya mengambil waktu untuk, atas nama rombongan dan dari relung hati paling dalam, menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas penerimaan luar biasa yang boleh dialami rombongan, baik pada audiensi maupun pada kunjungan ke Museum Vatikan, hari sebelumnya. Itu semua berkat perhatian istimewa yang diberikan PCID! Saya meminta agar ungkapan hati kami yang setulus-tulusnya ini disampaikan kepada Kardinal Ketua, disertai rasa hormat kami sedalam-dalamnya.

Segera teman-teman lain mengambil kesempatan berbicara. Banyak hal diangkat, dan semua ditanggapi secara terbuka dalam suasana penuh persaudaraan, terkadang diselingi gelak tawa. Saya melihat, beruntunglah Mons. Khaled yang menerima rombongan kami. Sebagai orang Arab asli, dengan bahasa Arab sebagai bahasa ibu, tentu lebih mudah baginya berkomunikasi dan berdialog dengan teman-teman Muslim. Dalam berbicara, di sana sini beliau mengutip Al Quran dalam bahasa Arab. Teman-teman mengajukan sejumlah pertanyaan relevan dan bermutu. Misalnya, seberapa jauh sebenarnya kesungguhan Vatikan dalam memajukan dialog dan kerukunan hidup antar umat beragama? Mons. Khaled menanggapi dengan menegaskan bahwa, tugas memajukan dialog dan kerukunan antar agama adalah tugas yang diberikan Konsili Vatikan II kepada Gereja (Katolik). Dalam Deklarasi ‘Nostra Aetate’ tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama bukan-Kristiani, antara lain dikatakan: “Gereja Katolik tidak menolak apa pun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat dan tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang” (NA,2). Lalu Mons. Khaled memberikan contoh-contoh konkret upaya-upaya yang telah dilaksanakan Gereja Katolik dalam hal itu.

Contoh lain, dalam pertemuan di lingkungan PBB beberapa waktu berselang, Indonesia digolongkan dalam kelompok negara intoleran, di mana golongan agama minoritas mendapatkan perlakuan diskriminatif. Apa pendapat Vatikan dalam hal ini? Padahal kehadiran rombongan kami sebagai wakil-wakil lintas agama dari Indonesia, khususnya dari Propinsi Sulawesi Selatan, merupakan salah satu bukti nyata berlakunya kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia! Mons. Khaled menanggapi dengan mengatakan, yang terpenting ialah bagaimana pada kenyataannya kita ada, dan bukan apa yang dikatakan orang lain tentang kita!

         Sebenarnya masih banyak teman yang ingin berbicara, tetapi waktu jugalah yang membatasi. Saat itu ada group lain dari Jakarta yang sudah menunggu untuk bertemu dengan Staf PCID, sesuai jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya. Kecuali itu, rombongan kami sendiri tak boleh terlambat ke bandara. Maka pertemuan penuh keterbukaan dan keakraban itu segera ditutup. Mengikut acara berfoto bersama, lalu berpamitan dengan bersalam-salaman.

Arrivederci, Roma!
Dari Kantor PCID rombongan diantar dengan bis ke Bandara Internasional Fiumicino. Dan pk. 15.30 pesawat Emirates, yang membawa kembali ke Indonesia dengan transit 5 jam di Dubai, sudah lepas landas meninggalkan Roma. Arrivederci,  Roma! Selamat tinggal sampai jumpa lagi, Roma! Lawatan selama 12 hari rombongan FKUB Sulsel ke Eropa sudah hampir berakhir. Tentu setiap anggota rombongan mempunyai kesan tersendiri. Tetapi setelah mendengar komentar dari teman-teman anggota rombongan, kiranya tidak salah kalau dikatakan bahwa bagi kebanyakan anggota rombongan pengalaman paling mengesan ialah kunjungan ke Vatikan, khususnya ketika berpartisipasi dalam audiensi umum dengan Sri Paus. Audiensi umum selalu menciptakan kesan mendalam kebersamaan lintas batas yang sulit diungkapkan. Ribuan, bahkan sering puluhan ribu, setiap hari Rabu peserta yang berasal dari segala penjuru dunia, dari berbagai bangsa, menemukan diri lebur menjadi satu. Tetapi Rabu itu, 20 Juni 2012, audiensi tidak hanya merupakan perjumpaan dan persatuan lintas bangsa. Audiensi hari itu sekaligus pula merupakan perjumpaan dan persatuan lintas agama, karena kehadiran rombongan FKUB Propinsi Sulaewesi Selatan, Indonesia! Ketika sosok pemersatu lintas batas itu, Sri Paus memasuki ruang audiensi sambil mengangkat kedua tangan seakan mau merangkul setiap peserta, dengan senyum kebapaan penuh kasih, tak ayal lagi seluruh hadirin bangkit berdiri, bertepuk tangan riuh, orang-orang muda berteriak histeris, bendera-bendera berbagai kebangsaan dan kelompok dikibar-kibarkan. Maka hati siapa yang tidak akan tergugah, terharu, terpesona, ketika menemukan diri dalam suasana unik seperti itu? Lalu acara-acara selanjutnya disampaikan dalam pelbagai bahasa, sehingga dapat diikuti oleh semua orang/kelompok yang hadir dalam audiensi, dan semua merasa sungguh disapa. Terlebih bagi keenam perwakilan rombongan yang mendapat kesempatan istimewa, bersama dengan sejumlah perwakilan dari negara-negara lain, diterima dan berjabat tangan dengan Sri Paus, saya percaya hati mereka berbunga-bunga. Barangkali tidak pernah terbayangkan oleh mereka akan pernah mendapatkan kesempatan indah seperti itu. Semangat persaudaraan dan kerukunan lintas bangsa dan lintas agama dialami benar-benar nyata hari itu. Sungguh suatu pengalaman unik yang akan sulit dilupakan. Dalam konteks seperti ini, ucapan “Arrivederci, Roma!”, Selamat tinggal, sampai bertemu lagi, Roma!”, adalah penuh makna. Moga-moga kunjungan FKUB Sulsel ke Vatikan membawa dampak positif, membuat teman-teman anggota rombongan semakin mengenal apa itu Gereja Katolik, apa yang diperjuangkan dan dihayati olehnya. Tak kenal, maka tak sayang!

Pesawat yang membawa rombongan dari Roma mendarat di Dubai pk. 23.15. Setelah menunggu dalam kebosanan selama 5 jam, penerbangan dilanjutkan ke Jakarta dan tiba pk. 15.40 wib, Jumat, 22 Juni 2012. Penerbangan lanjutan ke Makassar dengan Lion tertunda beberapa kali, dan baru take off dinihari Sabtu, 23 Juni 2012. Tiba di Makassar pk. 04.00 wita, dan begitu, berakhirlah Tour Eropa FKUB Sulsel 2012. Puji Tuhan, semua tiba dengan selamat!

Makassar, Awal September 2012

+ John Liku-Ada’